Sistem Kekerabatan dan Perkawinan
2.4. Sistem Kekerabatan dan Perkawinan
Pada dasarnya masyarakat Huaulu menganut sistem kekerabatan patrilineal, di mana anak laki-laki akan menjadi pewaris nama marga orang tuanya, sementara anak perempuan akan masuk ke dalam marga suami mereka setelah menikah. Namun demikian, ketika kita mencermati proses pernikahan di Huaulu, sistem kekerabatan ini ternyata tak sesederhana kelihatannya, karena tahap demi tahap dalam proses pernikahan tersebut disertai pula perubahan afiliasi dan residensi (lihat Valeri, 2001 [1975-1976]:142-143).
Secara tradisional, pernikahan “ideal” dilaksanakan di antara dua orang laki- laki dan perempuan yang memiliki hubungan kekerabatan sebagai kaefini. Secara sederhana, kaefini merupakan nama dalam bahasa Huaulu untuk menandai relasi seorang pria dengan anak perempuan dari saudara laki-laki ibunya atau yang dalam literatur antropologi kerap disebut sebagai MBD (mother’s brother’s daughter). Misalnya, laki-laki L adalah saudara kandung dari perempuan P. L memiliki anak perempuan X. Adapun P memiliki anak laki-laki Y. Maka, relasi antara X dan Y inilah yang disebut kaefini. Apabila anak dari L adalah laki-laki, sementara anak dari P adalah perempuan, maka relasi di antara kedua anak tersebut dinamakan “hautaniam”. Dua orang yang memiliki relasi hautaniam tidak boleh menikah.
Gambar 2.2. Kaefini (kiri) dan Hautaniam (kanan) Selain itu, hubungan kaefini juga dapat terjadi di antara anak laki-laki dari
seorang perempuan P dengan anak perempuan dari seorang laki-laki L yang merupakan sepupu dari P. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 2.3. Kaefini
Dalam perkawinan tradisional masyarakat Huaulu, mas kawin diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Mas kawin ini biasanya berupa piring besar (afala potoam) atau piring tua (afala mutuani) yang merupakan pusaka keluarga. Jika mas kawin ini telah dibayarkan, maka perkawinan baru dapat dikatakan “sah”. Terkait hal ini, masyarakat Huaulu membedakan antara pusawa dan kateha, yang mereka Indonesiakan masing-masing menjadi “kawin” dan “nikah”. Pernikahan yang telah “sah”, yakni yang prosesnya telah dituntaskan dengan pembayaran mas kawin, dinamakan kateha. Sementara perkawinan yang belum tuntas dinamakan pusawa.
Dengan kata lain, pembayaran mas kawin akan meningkatkan status pusawa menjadi kateha. Namun demikian, syarat untuk memenuhi hal ini bukan hanya pembayaran mas kawin berupa piring besar atau piring tua. Dalam sebuah keluarga, seorang laki-laki tidak boleh menikah “mendahului” saudara laki- lakinya yang lebih tua. Jika saudara laki-laki yang lebih tua sudah menikah, barulah saudara laki-laki yang lebih muda boleh menikah. Demikian halnya, seorang anak laki-laki tertua baru boleh menikah jika ayahnya juga telah menikah secara sah (kateha).
Pembedaan status perkawinan antara pusawa dan kateha ini memiliki konsekuensi tersendiri bagi keturunan yang dihasilkan. Seorang laki-laki yang belum menuntaskan pernikahannya hingga “sah” (kateha) tidak “berhak” atas anak yang dilahirkan istrinya. Dalam artian, anak yang lahir dari perkawinan tersebut tidak akan dimasukkan ke dalam marga pihak laki-laki, melainkan ke dalam marga pihak perempuan. Hanya anak-anak yang dilahirkan sebagai buah dari pernikahan “sah” antara seorang laki-laki dan perempuan yang akan mewarisi nama marga dari ayahnya. Selain itu, selama status kateha belum dicapai, seorang Pembedaan status perkawinan antara pusawa dan kateha ini memiliki konsekuensi tersendiri bagi keturunan yang dihasilkan. Seorang laki-laki yang belum menuntaskan pernikahannya hingga “sah” (kateha) tidak “berhak” atas anak yang dilahirkan istrinya. Dalam artian, anak yang lahir dari perkawinan tersebut tidak akan dimasukkan ke dalam marga pihak laki-laki, melainkan ke dalam marga pihak perempuan. Hanya anak-anak yang dilahirkan sebagai buah dari pernikahan “sah” antara seorang laki-laki dan perempuan yang akan mewarisi nama marga dari ayahnya. Selain itu, selama status kateha belum dicapai, seorang
Dalam kenyataannya, selalu ada orang-orang Huaulu yang menikah dengan orang luar. Catatan tentang kejadian ini di masa lalu memang tidak peneliti peroleh. Namun demikian, data terbaru menunjukkan bahwa saat ini 8 orang laki- laki Huaulu menikah dengan perempuan non-Huaulu dan 5 orang perempuan Huaulu menikah dengan laki-laki non-Huaulu. Orang-orang luar yang menikah dengan orang-orang Huaulu ini umumnya berasal dari Buton atau dari negeri- negeri lain di Pulau Seram. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.1. Orang-orang non-Huaulu yang menikah dengan orang Huaulu
No.
Asal
Jenis Kelamin