BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Generasi muda merupakan generasi penerus bangsa Indonesia yang diharapkan dapat mewujudkan cita-cita bangsa. Cita-cita bangsa Indonesia telah
tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alenia ke-
4 yaitu “… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa,
melaksanakan ketertiban
dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan s
osial…”. Sehingga kemerdekaan bangsa Indonesia diharapkan dapat diisi dengan melakukan pembangunan guna
mencapai masyarakat adil dan makmur. Untuk mewujudkan cita-cita yang diinginkan oleh bangsa melalui tangan
generasi mudanya pastilah banyak tantangan yang mesti dilalui. Tantangan- tantangan tersebut timbul dikarenakan banyaknya pengaruh budaya luar yang
mulai masuk ke Negara Indonesia. Hal ini disebabkan oleh era globalisasi yang sepatutnya generasi muda dapat menyaring budaya-budaya yang masuk tersebut.
Pada kenyataannya terdapat beberapa budaya luar yang sekarang mulai merusak generasi muda seperti seks bebas, budaya minuman beralkohol dan penggunaan
obat-obatan terlarang seperti narkotika. Salah satu penyebab rusaknya generasi muda adalah dengan adanya peredaran dan penyalahgunaan terhadap narkotika.
Narkotika merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan dari tanaman sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan
perubahan keadaan, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan
sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini atau kemudian ditetapkan dengan keputusan menteri kesehatan.
1
Peredaran dan penyalahgunaan narkotika di Indonesia mulai muncul sejak pemerintahan Belanda yang memberikan izin pada tempat-tempat tertentu untuk
menghisap candu dan pengadaan secara legal dibenarkan berdasarkan undang- undang warisan Belanda. Ganja Cannabis Sativa yang banyak tumbuh di Aceh
dan daerah Sumatera lainnya, dan telah sejak lama digunakan oleh penduduk sebagai bahan ramuan makanan sehari-hari. Meskipun demikian obat-obatan
sintetisnya dan juga beberapa obat lain yang mempunyai efek serupa menimbulkan kecanduan.
Kemajuan teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang cepat, menyebabkan Undang-Undang narkotika warisan Belanda tahun 1927 sudah
tidak memadai lagi. Maka pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang No.9 tahun 1976, tentang Narkotika. Undang-Undang tersebut antara lain
mengatur berbagai hal khususnya tentang peredaran gelap illicit traffic. Disamping itu juga diatur tentang terapi dan rehabilitasi korban narkotika Pasal
32, dengan menyebutkan secara khusus peran dari dokter dan rumah sakit terdekat sesuai petunjuk menteri kesehatan. Dengan semakin merebaknya kasus
penyalahgunaan narkoba di Indonesia, maka UU Anti Narkotika mulai direvisi.
1
1
Setiawan, Widagdo, 2012, Kamus Hukum, Prestasi Pustaka, Jakarta, hlm. 352.
Ketersediaan narkotika disatu sisi merupakan obat yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan
namum di sisi lain menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan. Maka untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, maka pemerintah merasa perlu melakukan
perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, untuk mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana narkotika melalui
ancaman sanksi pidana yaitu berupa pidana penjara, pidana seumur hidup, atau pidana mati dengan Undang-Undang Narkotika yang baru, yakni Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 merupakan undang-undang yang
dibuat untuk memperbaharui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika karena Undang-Undang ini dianggap sudah tidak sesuai dengan
perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang di Indonesia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merupakan dasar bagi
penegakan hukum dalam rangka menjamin ketersediaan obat guna kepentingan ilmu pengetahuan, teknologi serta kesehatan, dan juga untuk mencegah
penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat mengancam keamanan Nasional.
Penegakan hukum terhadap tindak pidana Narkotika, telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak putusan hakim tentang
tindak pidana Narkotika. Dengan demikian, penegakan hukum ini diharapkan
mampu menjadi faktor penangkal terhadap merebaknya peredaran gelap serta penyalahgunaan narkotika. Tapi dalam kenyataannya, justru semakin intensif
dilakukan penegakan hukum, semakin meningkat pula peredaran gelap serta penyalahgunaan narkotika tersebut. Undang-undang Nomor 35 tahun 2009
tentang Narkotika sebagai dasar hukum ketentuan perundang-undangan yang mengatur masalah narkotika telah disusun dan diberlakukan, namum demikian
kejahatan yang menyangkut narkotika ini belum dapat diredakan. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dirancang
untuk menekan jumlah peredaran narkotika di Indonesia yang telah bersifat transnasional dan untuk mengurangi jumlah korban penyalahgunaan narkotika
terutama di kalangan remaja yang membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini dapat dilihat dalam konsideran Undang-Undang Nomor 35
Tahun2009 tentang Narkotika. Dengan tujuan untuk mengurangijumlah korban penyalahgunaan narkotika tersebut maka dalam Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika dibuatkan bab khusus yaitu dalam Bab IX yang mencantumkan mengenai hukuman rehabilitasi bagi pecandu dan korban
penyalahgunaan narkotika. Pencantuman bab ini dimaksudkan agar korban penyalahguna narkotika dapat dikenakan hukuman rehabilitasi dan bukannya
hukuman pidana penjara maupun pidana kurungan. Tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan
dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih dan didukung dengan jaringan organisasi yang luasyang mengancam Indonesia
terutama pada kota-kota besar dan metropolitan yang sangat keras terkena imbas
globalisasi. Salah satu Provinsi di Indonesia yang rentan dengan peredaran dan penyalahgunaan
narkotika adalah
Provinsi Bali.
Bali yang
dalam perkembangannya, menjadi daerah yang sangat terbuka bagi transaksi dan
peredaran berbagai jenis benda haram. Salah satu kota yang terdapat di Bali yang rentan dengan peredaran narkotika adalah Kota Denpasar. Hal ini dikarenakan
Denpasar merupakan obyek wisata baik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara sehingga di kota Denpasar banyak terdapat turis-turis yang terdapat
menumbuhkan pertukaran kebudayaan secara besar-besaran. Obyek-obyek wisata di kota Denpasar terutama club-club malam sering dijadikan sebagai lokasi untuk
mengadakan transaksi narkotika baik oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Dengan adanya club malam yang menjamur, memungkinkan
transaksi narkotika semakin merajalela. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya berita-berita baik berita melalui media cetak maupun elektronik yang hampir
setiap hari mengabarkan adanya pengedar maupun pengguna narkotika yang ditangkap oleh aparat kepolisian.
Penyalahgunaan narkotika merupakan kejahatan, yang secara kriminologis dikategorikan sebagai kejahatan tanpa korban crime without victim, kejahatan ini
tidak diartikan sebagai kejahatan yang tidak menimbulkan korban tetapi mempunyai makna bahwa korban dari kejahatan ini adalah dirinya sendiri.
Dengan kata lain, penyalahguna atau pemakai yang akhirnya menjadi pecandu narkotika selain sebagai pelaku juga sekaligus menjadi korban.
Mereka sebagai
korban penyalahgunaan
ini akan
mengalami ketergantungan terhadap barang haram narkotika tersebut. Cara yang dianggap
tepat untuk menyembuhkan ketergantungan tersebut adalah dengan melakukan rehabilitasi terhadap para korban penyalahgunaan narkotika. Karena rehabilitasi
dapat melepaskan ketergantungan narkotikasampai dapat menikmati kehidupan bebas tanpa narkotika.
2
Untuk mencapai penyembuhan para korban penyalahgunaan narkotika dari ketergantungan tersebut, hukuman yang
sepatutnya diberikan kepada mereka adalah pembinaan dan rehabilitasi. Hukuman pembinaan dan rehabilitasi ini telah diatur dalam Pasal 54 UU Narkotika, pecandu
Narkoba dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan
pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika Pasal 1 angka 16. Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan
pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
Baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial dilakukan oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat. Pasal 55 UU Narkotika, dimana orang tua
atau wali pecandu narotika yang belum cukup umur serta yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya untuk mendapatkan
pengobatan danatau perawatan rehabilitasi. Masalah penyalahgunaan narkotika yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika mengambil langkah maju di dalam membangun paradigma penghentian kriminalisasi atau dekriminalisasi terhadap
2
2
Martono, Lydia Harina dan Satya Joewana, 2006, Peran Orang Tua dalam Mencegah dan menanggulangi Penyalahgunaan Narkoba, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 87.
pecandu narkotika. Dimana Undang-Undang tersebut telah memberikan kewenangan kepada Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika untuk
memutuskan yang bersangkutan menjalani pengobatan danatau perawatan, baik pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Hal ini
ditegaskan dalam rumusan Pasal 103 UU Narkotika, dimana hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat memutus dan menetapkan untuk
memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan danatau perawatan melalui rehabilitasi diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman jika
Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika dan Pasal 127 UU Narkotika, dimana setiap penyalahguna narkotika golongan I,
II, dan III dipidana dengan pidana penjara serta hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, 55, dan 103.
Dengan adanya ketentuan bahwa hakim yang memeriksa perkara terhadap pecandu narkotika dapat menjatuhkan putusan vonis rehabilitasi sebagaimana
rumusan Pasal 103 diatas, secara implisit Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah mengubah paradigma bahwa pecandu narkotika tidaklah
selalu merupakan pelaku tindak pidana, tetapi merupakan korban dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukan sendiri. Dalam Surat Edaran
Mahkamah Agung SEMA Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke dalam
Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial juga ditegaskan mengenai dasar pertimbangan atau acuan hakim dalam menjatuhkan sanksi rehabilitasi. Hal
ini diatur di dalam angka 3 huruf a, bahwa :
“Majelis hakim harus menunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi yang terdekat dalam amar
putusannya”. SEMA ini sebagai bentuk edaran pimpinan MA ke seluruh jajaran peradilan yang berisi bimbingan dalam
penyelenggaraan peradilan yang lebih bersifat administrasi dan memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika adalah suatu proses pengobatan
untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan dan masa menjalani rehabilitasi tersebut diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. Rehabilitasi terhadap
pecandu narkotika juga merupakan suatu bentuk perlindungan sosial yang mengintegrasikan pecandu narkotika ke dalam tertib sosial agar dia tidak lagi
melakukan penyalahgunaan narkotika. Mengingat persoalan bagaimana hakim dalam menjatuhkan putusan, dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana akan sangat menentukan apakah putusan seseorang hakim dianggap adil atau menentukan apakah putusannya
dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Putusan hakim harus berdasarkan Undang-Undang. Dalam hal penyalahgunaan narkotika, pelaku dapat di
rehabilitasi apabila telah dilengkapi dengan surat hasil asesmen dari tim asesmen, maka pelaku dapat ditempatkan pada lembaga rehabilitasi medis atau rehabiltasi
sosial, hal ini diatur dalam Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga
Rehabilitasi.
Sebelum peraturan bersama ini dikeluarkan hakim mengambil pertimbangan dari surat keterangan dokter bahwa pelaku tersebut memang
pecandu narkotika dan pantas untuk di rehab. Pada saat peraturan bersama ini belum dikeluarkan hakim memiliki kendala dalam hal penyidikan dan meminta
keterangan dokter karena hal tersebut memakan waktu yang cukup lama dan menghabiskan biaya yang cukup besar dan anggaran untuk biaya tersebut tidak
ada sehingga hakim memiliki kesulitan untuk membuktikan pelaku tersebut harus di rehabilitasi atau di pidana penjara. Itu salah satu faktor rehabilitasi pada
prakteknya masih jarang atau sedikit diterapkan. Penerapan rehabilitasi dianggap lebih dapat membantu para korban
penyalahgunaan narkotika daripada penjatuhan pidana penjara dan pidana kurungan dan kondisi Lembaga Pemasyarakatan LAPAS yang tidak mendukung
dikhawatirkan malah mengakibatkan efek tidak baik terhadap mereka karena dapat semakin memperburuk kesehatan serta kondisi kejiwaan para penyalahguna
narkotika tersebut. Penjatuhan rehabilitasi masih jarang dijatuhkan kepada korban
penyalahguna narkotika padahal telah diatur secara tegas di dalam Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 4 Tahun 2010 Menempatkan Pemakai Narkoba kedalam Panti Terapi dan Rehabilitasi. Sehingga dengan masih jarangnya pelaksanaan
rehabilitasi inilah dilakukan penelitian tentang rehabilitasi yang tertuang dalam judul
“Implementasi Rehabilitasi Penyalahguna Narkotika di Pengadilan Negeri Denpasar”.
1.2 Rumusan Masalah