IMPLEMENTASI REHABILITASI PENYALAHGUNA NARKOTIKA DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR.

(1)

SKRIPSI

IMPLEMENTASI REHABILITASI PENYALAHGUNA

NARKOTIKA DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR

MADE ANA WIRASTUTI NIM. 1216051250

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(2)

ii

SKRIPSI

IMPLEMENTASI REHABILITASI PENYALAHGUNA

NARKOTIKA DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR

MADE ANA WIRASTUTI NIM. 1216051250

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(3)

iii

IMPLEMENTASI REHABILITASI PENYALAHGUNA

NARKOTIKA DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

MADE ANA WIRASTUTI NIM. 1216051250

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016


(4)

(5)

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Om Swastiastu,

Puji syukur Penulis Panjatkan Kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan anugerahnya akhirnya penulis dapat menyelesaikan tugas akhhir skripsi yang berjudul : “IMPLEMENTASI REHABILITASI PENYALAHGUNA NARKOTIKA DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR”, tepat pada waktunya.

Skripsi ini disusun dengan maksud memenuhi kewajiban untuk menyelesaikan pendidikan program Sarjana (S1) serta untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Pembuatan skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, karena tanpa bantuan dari pihak lain maka skripsi ini tidak akan berhasil diselesaikan, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD, Rektor Universitas Udayana.

2. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.,MH., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak I Ketut Sudiarta, SH.,MH., Pembantu Dekan I Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH.,MH., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana.


(7)

vii

5. Bapak I Wayan Suardana, SH.,MH., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana.

6. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, SH.,MH., Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana.

7. Bapak I Ketut Suardita, SH., MH., Pembimbing Akademik yang telah banyak membantu, memberikan semangat , serta arahan dalam setiap pengambilan mata kuliah serta selama Penulis mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

8. Bapak Dr. I Gusti Ketut Ariawan SH.,MH., Dosen Pembimbing I yang senantiasa meluangkan waktunya dengan sabar untuk memberikan bimbingan dan arahan serta saran-saran dalam penyuunan skripsi ini. 9. Bapak A.A Ngurah Wirasila, SH., MH., Dosen Pembimbing II yang

bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran membantu memberikan, bimbingan, motivasi, arahan, semangat serta saran-saran yang sangat mendukung hingga terselesainya skripsi ini.

10.Bapak/Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan yang tidak ternilai harganya.

11.Seluruh Staf Tata Usaha dan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan bantuan dan dukungan hingga penyusunan skripsi ini terselesaikan dengan baik.


(8)

viii

12.Ibu Made Sukreni, SH., Hakim Pengadilan Negeri Denpasar yang telah membantu memberikan informasi selama penelitian.

13.Bapak Kadek Hendra Palgudi, SH., Staf Bagian Pidana Pengadilan Negeri Denpasar yang telah banyak membantu memberikan data dan informasi selama penelitian.

14.Ibu dr. Dwi Ayu Anggreni Sukma, Dokter Pertama di Badan Narkotika Nasional Provinsi Bali yang telah membantu memberikan informasi selama penelitian.

15.Ayah dan Ibunda tercinta, I Wayan Narsa, Ni Putu Sri Utami, yang telah memberikan dukungan, semangat, doa, motivasi serta selalu menyertakan nama penulis dalam setiap munajatnya.

16.Kakak dan Adik Penulis I Wayan Putra Wiralaga, Nyoman Indra Wiragana, yang sudah membantu dan memberikan dukungan serta motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

17.Putu Herry Ari Wiguna, yang selalu memberikan semangat, doa, dan motivasi sejak penulis masuk perkuliahan hingga saat ini telah selesai dalam penyusunan skripsi.

18.Sahabat serta teman-teman Penulis di Fakultas Hukum Universitas Udayana Bella Kharisma, Wajihatut Dzikriyah, Dwi Nurmahayani, Ayu Sania, Nandia Amataria, Gladys Firdiana, yang selalu memberikan semangat dan saling membantu satu sama lainnya dalam penyusunan skripsi ini.


(9)

ix

19.Sahabat-sahabat penulis, July Christina, Diana Ayu Megasari, Purmita Sari, Rieska Apriliya Dewi, Ayu Rahmaditha, Sri Susantini, Suwindari, Vieda Pra Ramadhani, Diah manuswari, yang selalu memberi semangat, dukungan,motivasi, doa, serta warna tersendiri dalam hidup penulis. 20.Sahabat-sahabat penulis, Yudi Adi Wedana, Adi Wira Pinanditha, Gus

Parasara, Enny Kiranayanti, Tangkas Pemayun, Priti Nirmala Dewi, yang selalu memberi semangat, dukungan, motivasi, doa untuk penulis.

21.Segenap pihak yang membantu dan mendukung penulis baik secara material maupun immaterial yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Semoga bantuan, dorongan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis memperoleh balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Akhir kata penulis berharap agar bermanfaat bagi pembacanya dan kritik serta saran sangat penulis harapkan demi kesempurnaan skripsi ini, sehingga dapat memberi manfaat sebagimana yang diharapkan.

Om Shanti, Shanti, Shanti, Om

Denpasar, 17 Pebruari 2016


(10)

(11)

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DEPAN ... i

HALAMAN SAMPUL DALAM ... ii

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING/ PENGESAHAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... x

DAFTAR ISI ... xi

ABSTRAK ... xiv

ABSTRACT ... xv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 10

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 10

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 11

1.5 Tujuan Penelitian ... 12

1.5.1 Tujuan Umum ... 12


(12)

xii

1.6 Manfaat Penelitian ... 13

1.6.1 Manfaat Teoritis ... 13

1.6.2 Manfaat Praktis ... 13

1.7 Landasan Teoritis... 14

1.8 Metode Penelitian ... 21

1.8.1 Jenis Penelitian... ... 21

1.8.2 Sifat Penelitian ... 21

1.8.3 Lokasi Penelitian ... 22

1.8.4 Teknik Penentuan Sampel Penelitian ... 22

1.8.5 Sumber Data ... 23

1.8.6 Teknik Pengumpulan Data ... 23

1.8.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data... .. 24

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI NARKOTIKA DAN REHABILITASI 2.1 Narkotika ... 26

2.1.1 Pengertian Narkotika ... 26

2.1.2 Golongan Narkotika ... 28

2.1.3 Faktor Penyebab Penyalahgunaan Narkotika ... 29

2.1.4 Dampak Negatif Penyalahgunaan Narkotika ... 32

2.2 Rehabilitasi ... 37

2.2.1 Pengertian Rehabilitasi ... 37


(13)

xiii

2.2.3 Tahapan Dalam Pelaksanaan Rehabilitasi ... 39 2.2.4 Komponen Dalam Pelaksanaan Rehabilitasi ... 41

BAB III PENERAPAN TINDAKAN REHABILITASI DI PENGADILAN NEGERI DENPASAR

3.1 Ketentuan Penjatuhan Tindakan Rehabilitasi dalam Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ... 43 3.2 Frekuensi Penjatuhan Tindakan Rehabilitasi di Pengadilan Negeri

Denpasar ... 48 3.3 Hambatan Dalam Penjatuhan Tindakan Rehabilitasi ... 53

BAB IV PELAKSANAAN REHABILITASI TERHADAP PENYALAH-GUNA NARKOTIKA

4.1 Penjatuhan Pidana Rehabilitasi... 56 4.2 Tindakan Rehabilitasi di Panti Rehabilitasi ... 59 4.3 Hambatan Dalam Pelaksanaan Rehabilitasi ... 63

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan... ... 66 5.2 Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR INFORMAN

RINGKASAN SKRIPSI


(14)

xiv

ABSTRAK

Penerapan penjatuhan rehabilitasi telah diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2010. Rehabilitasi dianggap lebih dapat membantu para korban penyalahgunaan narkotika daripada penjatuhan pidana penjara/kurungan dengan kondisi Lembaga Pemasyarakatan yang tidak mendukung dan dapat memperburuk kondisi para penyalahguna, namun penjatuhan rehabilitasi masih jarang dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah frekuensi penjatuhan rehabilitasi penyalahguna narkotika serta hambatannya di Pengadilan Negeri Denpasar dan bagaimanakah pelaksanaan tindakan rehabilitasi penyalahguna narkotika. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian yuridis sosiologis/empiris, dengan menggunakan data primer dan data sekunder yang dikumpulkan melalui data lapangan dan teknik wawancara, kemudian dianalisis secara analisis deskriptif.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan frekuensi penjatuhan pidana rehabilitasi dalam praktek di Pengadilan Negeri Denpasar masih sangat minim, hambatannya diakibatkan mahalnya biaya rehabilitasi. Pelaksanaan tindakan rehabilitasi berdasarkan wawancara dengan dr. Angga di BNNP Bali, juga tergantung pada kesiapan atau keinginan dari diri si penyalahguna narkotika untuk sembuh dari ketergantungan tersebut. Selain itu pelaksanaan rehabilitasi harus didukung oleh keluarga, lingkungan maupun pemerintah, agar nantinya si pecandu narkotika dapat sembuh dan menjadi orang yang berguna di masyarakat. Kata kunci : Rehabilitasi, Penyalahguna, Narkotika


(15)

xv

ABSTRACT

The imposition of rehabilitation has been clearly by the regulation No.35 (2009) about narcotics and the SEMA No.4 (2010). The rehabilitation considered helping the people who addicted with narcotics instead of the punishment in the jail with the bad condition in the institution and also could be a aggavate condition of the people who addicted of that drug, but the imposition of the rehabilitation is still rare to find that in this time. Furthermore, the aims of this study is to find out how do the frequency of the throwing rehabilitation of the people who addicted with that drugs and the obstacle in Denpasar district court and how is the action to measure of the rehabilitation for trespasser of narcotic. The method that used in this study is empirical method. Its means used the primary data and secondary data which data were collected through field and also interview, after that analyzing with descriptive method.

Based on the result of the this study, it can be concluded that the frequency of the punishment of the rehabilitation on the practice in Denpasar District court is still very low, and then the obstacle can makes the rehabilitation being expensive. Besides, the basis of the rehabilitation from interviewed with dr.Angga in BNNP, Bali, and also depending on ready or the plan from the people who wants to recover from that drugs. On the other hand, when the people who wants to recover they should getting sport from their family, environment and also Government so that people can be cured and also be a good people for the others.


(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Generasi muda merupakan generasi penerus bangsa Indonesia yang diharapkan dapat mewujudkan cita-cita bangsa. Cita-cita bangsa Indonesia telah tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alenia ke-4 yaitu “… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”. Sehingga kemerdekaan bangsa Indonesia diharapkan dapat diisi dengan melakukan pembangunan guna mencapai masyarakat adil dan makmur.

Untuk mewujudkan cita-cita yang diinginkan oleh bangsa melalui tangan generasi mudanya pastilah banyak tantangan yang mesti dilalui. Tantangan-tantangan tersebut timbul dikarenakan banyaknya pengaruh budaya luar yang mulai masuk ke Negara Indonesia. Hal ini disebabkan oleh era globalisasi yang sepatutnya generasi muda dapat menyaring budaya-budaya yang masuk tersebut. Pada kenyataannya terdapat beberapa budaya luar yang sekarang mulai merusak generasi muda seperti seks bebas, budaya minuman beralkohol dan penggunaan obat-obatan terlarang seperti narkotika. Salah satu penyebab rusaknya generasi muda adalah dengan adanya peredaran dan penyalahgunaan terhadap narkotika. Narkotika merupakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan dari tanaman sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan


(17)

2

perubahan keadaan, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini atau kemudian ditetapkan dengan keputusan menteri kesehatan.1

Peredaran dan penyalahgunaan narkotika di Indonesia mulai muncul sejak pemerintahan Belanda yang memberikan izin pada tempat-tempat tertentu untuk menghisap candu dan pengadaan secara legal dibenarkan berdasarkan undang-undang warisan Belanda. Ganja (Cannabis Sativa) yang banyak tumbuh di Aceh dan daerah Sumatera lainnya, dan telah sejak lama digunakan oleh penduduk sebagai bahan ramuan makanan sehari-hari. Meskipun demikian obat-obatan sintetisnya dan juga beberapa obat lain yang mempunyai efek serupa (menimbulkan kecanduan).

Kemajuan teknologi dan perubahan-perubahan sosial yang cepat, menyebabkan Undang-Undang narkotika warisan Belanda (tahun 1927) sudah tidak memadai lagi. Maka pemerintah kemudian mengeluarkan Undang-Undang No.9 tahun 1976, tentang Narkotika. Undang-Undang tersebut antara lain mengatur berbagai hal khususnya tentang peredaran gelap (illicit traffic). Disamping itu juga diatur tentang terapi dan rehabilitasi korban narkotika (Pasal 32), dengan menyebutkan secara khusus peran dari dokter dan rumah sakit terdekat sesuai petunjuk menteri kesehatan. Dengan semakin merebaknya kasus penyalahgunaan narkoba di Indonesia, maka UU Anti Narkotika mulai direvisi.1


(18)

3

Ketersediaan narkotika disatu sisi merupakan obat yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan namum di sisi lain menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila disalahgunakan. Maka untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, maka pemerintah merasa perlu melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, untuk mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana narkotika melalui ancaman sanksi pidana yaitu berupa pidana penjara, pidana seumur hidup, atau pidana mati dengan Undang-Undang Narkotika yang baru, yakni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 merupakan undang-undang yang dibuat untuk memperbaharui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika karena Undang-Undang ini dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang di Indonesia. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika merupakan dasar bagi penegakan hukum dalam rangka menjamin ketersediaan obat guna kepentingan ilmu pengetahuan, teknologi serta kesehatan, dan juga untuk mencegah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat mengancam keamanan Nasional.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana Narkotika, telah banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan telah banyak putusan hakim tentang tindak pidana Narkotika. Dengan demikian, penegakan hukum ini diharapkan


(19)

4

mampu menjadi faktor penangkal terhadap merebaknya peredaran gelap serta penyalahgunaan narkotika. Tapi dalam kenyataannya, justru semakin intensif dilakukan penegakan hukum, semakin meningkat pula peredaran gelap serta penyalahgunaan narkotika tersebut. Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika sebagai dasar hukum ketentuan perundang-undangan yang mengatur masalah narkotika telah disusun dan diberlakukan, namum demikian kejahatan yang menyangkut narkotika ini belum dapat diredakan.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dirancang untuk menekan jumlah peredaran narkotika di Indonesia yang telah bersifat transnasional dan untuk mengurangi jumlah korban penyalahgunaan narkotika terutama di kalangan remaja yang membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Hal ini dapat dilihat dalam konsideran Undang-Undang Nomor 35 Tahun2009 tentang Narkotika. Dengan tujuan untuk mengurangijumlah korban penyalahgunaan narkotika tersebut maka dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dibuatkan bab khusus yaitu dalam Bab IX yang mencantumkan mengenai hukuman rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika. Pencantuman bab ini dimaksudkan agar korban penyalahguna narkotika dapat dikenakan hukuman rehabilitasi dan bukannya hukuman pidana penjara maupun pidana kurungan.

Tindak pidana narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih dan didukung dengan jaringan organisasi yang luasyang mengancam Indonesia terutama pada kota-kota besar dan metropolitan yang sangat keras terkena imbas


(20)

5

globalisasi. Salah satu Provinsi di Indonesia yang rentan dengan peredaran dan penyalahgunaan narkotika adalah Provinsi Bali. Bali yang dalam perkembangannya, menjadi daerah yang sangat terbuka bagi transaksi dan peredaran berbagai jenis benda haram. Salah satu kota yang terdapat di Bali yang rentan dengan peredaran narkotika adalah Kota Denpasar. Hal ini dikarenakan Denpasar merupakan obyek wisata baik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara sehingga di kota Denpasar banyak terdapat turis-turis yang terdapat menumbuhkan pertukaran kebudayaan secara besar-besaran. Obyek-obyek wisata di kota Denpasar terutama club-club malam sering dijadikan sebagai lokasi untuk mengadakan transaksi narkotika baik oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Dengan adanya club malam yang menjamur, memungkinkan transaksi narkotika semakin merajalela. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya berita-berita baik berita melalui media cetak maupun elektronik yang hampir setiap hari mengabarkan adanya pengedar maupun pengguna narkotika yang ditangkap oleh aparat kepolisian.

Penyalahgunaan narkotika merupakan kejahatan, yang secara kriminologis dikategorikan sebagai kejahatan tanpa korban (crime without victim), kejahatan ini tidak diartikan sebagai kejahatan yang tidak menimbulkan korban tetapi mempunyai makna bahwa korban dari kejahatan ini adalah dirinya sendiri. Dengan kata lain, penyalahguna atau pemakai yang akhirnya menjadi pecandu narkotika selain sebagai pelaku juga sekaligus menjadi korban.

Mereka sebagai korban penyalahgunaan ini akan mengalami ketergantungan terhadap barang haram (narkotika) tersebut. Cara yang dianggap


(21)

6

tepat untuk menyembuhkan ketergantungan tersebut adalah dengan melakukan rehabilitasi terhadap para korban penyalahgunaan narkotika. Karena rehabilitasi dapat melepaskan ketergantungan narkotikasampai dapat menikmati kehidupan bebas tanpa narkotika.2 Untuk mencapai penyembuhan para korban penyalahgunaan narkotika dari ketergantungan tersebut, hukuman yang sepatutnya diberikan kepada mereka adalah pembinaan dan rehabilitasi. Hukuman pembinaan dan rehabilitasi ini telah diatur dalam Pasal 54 UU Narkotika, pecandu Narkoba dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika (Pasal 1 angka 16). Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik fisik, mental maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Baik rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial dilakukan oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat. Pasal 55 UU Narkotika, dimana orang tua atau wali pecandu narotika yang belum cukup umur serta yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan (rehabilitasi).

Masalah penyalahgunaan narkotika yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika mengambil langkah maju di dalam membangun paradigma penghentian kriminalisasi atau dekriminalisasi terhadap2

2 Martono, Lydia Harina dan Satya Joewana, 2006, Peran Orang Tua dalam Mencegah dan menanggulangi Penyalahgunaan Narkoba, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 87.


(22)

7

pecandu narkotika. Dimana Undang-Undang tersebut telah memberikan kewenangan kepada Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika untuk memutuskan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, baik pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana. Hal ini ditegaskan dalam rumusan Pasal 103 UU Narkotika, dimana hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat memutus dan menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika dan Pasal 127 UU Narkotika, dimana setiap penyalahguna narkotika golongan I, II, dan III dipidana dengan pidana penjara serta hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, 55, dan 103.

Dengan adanya ketentuan bahwa hakim yang memeriksa perkara terhadap pecandu narkotika dapat menjatuhkan putusan (vonis) rehabilitasi sebagaimana rumusan Pasal 103 diatas, secara implisit Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika telah mengubah paradigma bahwa pecandu narkotika tidaklah selalu merupakan pelaku tindak pidana, tetapi merupakan korban dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukan sendiri. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial juga ditegaskan mengenai dasar pertimbangan atau acuan hakim dalam menjatuhkan sanksi rehabilitasi. Hal ini diatur di dalam angka 3 huruf a, bahwa :


(23)

8

“Majelis hakim harus menunjuk secara tegas dan jelas tempat rehabilitasi

yang terdekat dalam amar putusannya”. SEMA ini sebagai bentuk edaran pimpinan MA ke seluruh jajaran peradilan yang berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan yang lebih bersifat administrasi dan memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika adalah suatu proses pengobatan untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan dan masa menjalani rehabilitasi tersebut diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman. Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika juga merupakan suatu bentuk perlindungan sosial yang mengintegrasikan pecandu narkotika ke dalam tertib sosial agar dia tidak lagi melakukan penyalahgunaan narkotika.

Mengingat persoalan bagaimana hakim dalam menjatuhkan putusan, dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana akan sangat menentukan apakah putusan seseorang hakim dianggap adil atau menentukan apakah putusannya dapat dipertanggungjawabkan atau tidak. Putusan hakim harus berdasarkan Undang-Undang. Dalam hal penyalahgunaan narkotika, pelaku dapat di rehabilitasi apabila telah dilengkapi dengan surat hasil asesmen dari tim asesmen, maka pelaku dapat ditempatkan pada lembaga rehabilitasi medis atau rehabiltasi sosial, hal ini diatur dalam Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi.


(24)

9

Sebelum peraturan bersama ini dikeluarkan hakim mengambil pertimbangan dari surat keterangan dokter bahwa pelaku tersebut memang pecandu narkotika dan pantas untuk di rehab. Pada saat peraturan bersama ini belum dikeluarkan hakim memiliki kendala dalam hal penyidikan dan meminta keterangan dokter karena hal tersebut memakan waktu yang cukup lama dan menghabiskan biaya yang cukup besar dan anggaran untuk biaya tersebut tidak ada sehingga hakim memiliki kesulitan untuk membuktikan pelaku tersebut harus di rehabilitasi atau di pidana penjara. Itu salah satu faktor rehabilitasi pada prakteknya masih jarang atau sedikit diterapkan.

Penerapan rehabilitasi dianggap lebih dapat membantu para korban penyalahgunaan narkotika daripada penjatuhan pidana penjara dan pidana kurungan dan kondisi Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) yang tidak mendukung dikhawatirkan malah mengakibatkan efek tidak baik terhadap mereka karena dapat semakin memperburuk kesehatan serta kondisi kejiwaan para penyalahguna narkotika tersebut.

Penjatuhan rehabilitasi masih jarang dijatuhkan kepada korban penyalahguna narkotika padahal telah diatur secara tegas di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 Menempatkan Pemakai Narkoba kedalam Panti Terapi dan Rehabilitasi. Sehingga dengan masih jarangnya pelaksanaan rehabilitasi inilah dilakukan penelitian tentang rehabilitasi yang tertuang dalam judul “Implementasi Rehabilitasi Penyalahguna Narkotika di Pengadilan


(25)

10

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat ditarik suatu permasalahan, yaitu :

1. Bagaimanakah frekuensi penjatuhan rehabilitasi penyalahguna narkotika dan hambatannya di Pengadilan Negeri Denpasar ?

2. Bagaimanakah pelaksanaan tindakan rehabilitasi penyalahguna narkotika di tempat rehabilitasi ?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan peraturan lainnya merupakan instrumen dalam menyelesaikan masalah kejahatan penyalahgunaan narkotika. Bertolak dari hal tersebut jelas cakupannya sangat luas, guna mencegah luasnya cakupan tersebut diperlukan batasan-batasan sehingga diperlukan ruang lingkup masalah. Ruang lingkup masalah menggambarkan luasnya cakupan lingkup penelitiannya yang akan dilakukan. Maka ruang lingkup dalam permasalahn pertama akan dibatasi pada frekuensi penjatuhan rehabilitasi penyalahguna narkotika dalam praktek di Pengadilan Negeri Denpasar dan hambatannya oleh pengadilan atau hakim, yang kedua pada pelaksanaan tindakan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika serta hambatan-hambatannya. 1.4 Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan data yang didapat oleh penulis, penulis menemukan adanya penelitian yang sejenis dengan penelitian yang penulis lakukan.


(26)

11

Indikator pembeda penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan penulis disajikan dengan tabel dibawah ini :

Tabel 1 : Daftar Penelitian Sejenis

No. Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah 1.

2.

Penerapan Tindakan Rehabilitasi Bagi Penyalahguna Tindak Pidana Narkotika Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

Pelaksanaan Therapeutic Community dan Rehabilitasi Terpadu bagi Narapidana Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan Klas I

Carlina Rusel Fakultas Hukum, Universitas Mataram Tahun 2008 M. Tavip Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara

1. Bagaimana penerapan tindakan rehabilitasi bagi penyalahguna tindak pidana narkotika berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ? 2. Apakah yang menjadi

faktor penghambat di dalam pelaksanaan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika? 1. bagaimanakah konsep

therapeutic community

dan rehabilitasi terpadu terhadap pelaku tindak pidana narkotika ?


(27)

12

Medan Tahun 2009 therapeutic community

dan rehabilitasi terpadu dalam pembinaan terhadap narapidana pelaku tindak pidana narkotika ?

Berdasarkan tabel diatas tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang penegetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.berdasarkan uraian tersebut maka penulis menyusun skripsi berjudul“Implementasi Rehabilitasi Penyalahguna Narkotika Di

Pengadilan Negeri Denpasar”.

1.5 Tujuan Penelitian

Setiap karya tulis ilmiah pada pokoknya mempunyai suatu tujuan yang ingin dicapai baik tujuan umum maupun tujuan khusus.

1.5.1 Tujuan Umum

Untuk perkembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma Science as a Procces (ilmu sebagai proses). Dengan paradigma ini ilmu akan terus berkembang di bidang implementasi rehabilitasi penyalahguna narkotika dalam praktek di Pengadilan Negeri Denpasar.


(28)

13

1.5.2 Tujuan Khusus

- Untuk mendeskripsikan dan menganalisa secara mendalam frekuensi penjatuhan rehabilitasi penyalahguna narkotika dan hambatannya di Pengadilan Negeri Denpasar.

- Untuk mendeskripsikan dan menganalisa secara mendalam pelaksanaan tindakan rehabilitasi penyalahguna narkotika di tempat rehabilitasi.

1.6 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini nantinya sangat diharapkan dapat memberikan manfaat baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis sebagai berikut : 1.6.1 Manfaat Teoritis

Untuk memperkaya khasanah ilmu hukum khususnya hukum pidana tentang implementasi rehabilitasi penyalahguna narkotika dan penyebab masih jarang atau sedikitnya penjatuhan tindakan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika.

1.6.2 Manfaat Praktis

1. Untuk mendalami dan mempraktekkan teori-teori yang telah diperoleh penulis selama kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.

2. Dapat memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat tentang implementasi pidana rehabilitasi terhadap penyalahguna Narkotika.


(29)

14

3. Sebagai bahan acuan bagi penegak hukum khususnya di tingkat peradilan dalam memeriksa dan mengadili pelaku sebagai penyalahguna narkotika.

1.7 Landasan Teoritis

a. Teori Tujuan Pemidanaan

Para pengguna narkotika yang merupakan korban dari penyalahgunaan terhadap narkotika harus dipidana guna mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut. Pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai dari pemidanaan tersebut, yaitu :

1) Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri,

2) Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan kejahatan,

3) Untuk membuat para penjahat tidak dapat melakukan kejahatan-kejahatan lain. 33Dari tujuan dasar pemidanaan tersebut menimbulkan beberapa teori pemidanaan yaitu :

1. Teori Absolut (Pembalasan)

menurut teori absolut, tujuan dari pemidanaan terletak pada hukum

pidana itu sendiri. ‘…. barang siapa yang melakukan suatu perbuatan pidana, harus dijatuhkan hukuman pidana…’ Teori ini disebut juga teori

pembalasan, karena bersifat pembalasan (vergelding). Hukuman dijatuhkan karena ada dosa.4

3P.A.F Lamintang, 1984, Hukum Penitenser Indonesia, Amico, Bandung, hlm.11. 4Yulies Tiena Masriani, 2004, Pengantar Hukum Indonesia, Sina Grafika, Jakarta,


(30)

15

2. Teori Relatif (Tujuan)

Dalam teori relatif ini, memidana bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Sehingga menurut J. Andenaes teori ini

dapat disebut sebagai “teori perlindungan masyarakat” (the theory of social defence)”.5 Menurut Nigel Walker teori ini disebut sebagai teori

atau aliran reduktif karena dasar pembenaran pidana menurut teori ini ialah untuk mengurangi frekuensi kejahatan.

Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana.tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.4

Jadi, dasar pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya. Pidana dijatuhkan bukan quia peccatum est (karena orang membuat jahat) melainkan ne peccetur (supaya orang jangan melakukan kejahatan).6

Tujuan pidana untuk pencegahan kejahatan biasa dibedakan antar prevensi spesial dan prevensi general. Prevensi spesial dimaksudkan pengaruh pidana terhadap terpidana.Sehingga bertujuan agar terpidana dapat berubah menjadi orang yang lebih baik dan berguna bagi masyarakat. Prevensi general dimaksudkan pengaruh pidana terhadap masyarakat pada umumnya, sehingga dapat mencegah masyarakat untuk tidak melakukan tindak pidana.

5Muladi, Barda Nawawi, 1984, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung,

hlm.16.


(31)

16

Selain itu terdapat beberapa tujuan pemidanaan menurut teori relatif, yaitu : a. Mencegah terjadinya kejahatan,

b. Menakut-nakuti sehingga orang lain tidak melakukan kejahatan, c. Memperbaiki orang yang melakukan tindak pidana,

d. Memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap kejahatan.

Teori ini disebut juga teori tujuan karena menitikberatkan pada tujuan hukuman. Ancaman hukuman perlu supaya manusia tidak melanggar.

Berdasarkan tujuan pemidanaan dari teori relatif tersebut, penjatuhan pidana rehabilitasi terhadap pengguna narkotika memiliki tujuan untuk memperbaiki orang yang telah melakukan tindak pidana. Hal ini dikarenakan para pengguna narkotika melakukan suatu tindak kejahatan merusak dirinya sendiri dengan memasukkan zat-zat adiktif yang pada akhirnya menimbulkan efek ketergantungan dan bila tidak diobati dapat membahayakan jiwa si pemakai. Sehingga berdasarkan teori relatif tersebut, penjatuhan tindakan rehabilitasi dimaksudkan agar nantinya seorang yang telah melakukan suatu tindak penyalahgunaan narkotika dapat menjadi seorang yang berguna bagi bangsa dan negara serta tidak mengulangi perbuatan yang sama untuk yang kedua kalinya.

b. Teori Perlindungan Hukum

Soetjipto Rahadjo mengemukakan bahwa perlindungan hukum adalah adanya upaya melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam kepentingannya tersebut. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa salah satu sifat dan sekaligus merupakan


(32)

17

tujuan dari hukum adalah untuk memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Oleh karena itu perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk adanyan kepastian hukum.7 Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undang yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Dalam konteks perlindungan terhadap5korban kejahatan, adanya upaya preventif maupun represif yang

dilakukan baik oleh masyarakat maupun pemerintah :

a. Upaya Preventif : Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban.

b. Upaya Represif : Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran.

Pentingnya korban memperoleh pemulihan sebagai upaya menyeimbangkan kondisi korban yang mengalami gangguan, dengan tepat dikemukakan oleh Muladi saat menyatakan korban kejahatan perlu dilindungi kerena pertama, masyarakat dianggap sebagai suatu wujud sistem kepercayaan yang melembaga (system of institutionalized trust). Kepercayaan ini terpadu

7Satjipto Rahardjo, 1983, Permasalahan Hukum Di Indonesia, Alumni Bandung, hlm.


(33)

18

melalui norma-norma yang diekspresikan di dalam struktur kelembagaan, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan sebagainya. Terjadinya kejahatan atas diri korban akan bermakna penghancuran sistem kepercayaan tersebut sehingga peraturan hukum pidana dan hukum lain yang menyangkut korban akan berfungsi sebagai sarana pengembalian sistem kepercayaan tersebut. Kedua, adanya argumen kontrak sosial dan solidaritas sosial terhadap kejahatan dan melarang tindakan-tindakan yang bersifat pribadi. Oleh karena itu, jika terdapat korban kejahatan, maka negara harus memerhatikan kebutuhan korban dengan cara peningkatan pelayanan maupun pengaturan hak. Ketiga, perlindungan korban yang biasanya dikaitkan dengan salah satu tujuan pemidanaan, yaitu penyelesaian konflik. Dengan penyelesaian konflik yang ditimbulkan oleh adanya tindak pidana akan memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.86

Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika maka pengguna diatur dalam pasal 116, 121, 126, 127, 128, 134.

Pecandu narkotika merupakan “Self Victimizing Victims” yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri. Karena pecandu narkotika menderita sindroma ketergantungan akibat penyalahgunaan narkotika yang dilakukannya sendiri. Namun demikian dalam Pasal 127 UU Narkotika dalam hal penyalahguna dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika penyalahguna tersebut sepatutnya mendapatkan

8 Muladi, 1997, Perlindungan Korban dalam Sistem Peradilan Pidana: Sebagaimana dimuat dalam Kumpulan Karangan Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Dipenogoro, Semarang, hlm. 172.


(34)

19

perlindungan hukum melalui rehabilitasi agar korban tersebut dapat menjadi lebih baik.

c. Double Track System

Double track system merupakan sistem dua jalur mengenai sanksi dalam hukum pidana, yakni jenis sanksi pidana dan sanksi tindakan. Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan seorang melalui pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera. Fokus sanksi tindakan lebih terarah pada upaya pemberian pertolongan pada pelaku agar ia berubah. Jelaslah bahwa sanksi pidana lebih menekankan pada pembalasan sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pelaku.

Dalam perkembangan RKUHP tahun 2015 berkaitan dengan penetapan tindakan sebagai bagian dari sistem pemidanaan. Tindakan adalah perlakuan (treatmeant) yang dikenakan oleh pelaku yang memenuhi beberapa ketentuan dalam Pasal 40 dan Pasal 41 RKUHP tahun 2015 atau tindakan yang dikenakan kepada seorang pelaku bersama-sama dengan pidana pokoknya. Jenis-jenis tindakan yang dikenakan kepada pelaku yang memenuhi ketentuan Pasal 40

dan Pasal 41 RKUHP berupa “perawatan di rumah sakit jiwa, penyerahan

kepada pemerintah, atau penyerahan kepada seseorang”, kemudian tindakan

yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok terdiri atas

“pencabutan surat izin mengemudi, perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, perbaikan akibat tindak pidana, latihan kerja, rehabilitasi,


(35)

20

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat konsep double track system dalam stelsel sanksinya. Diketahui karena dalam undang-undang tersebut mengatur sanksi pidana dan sanksi tindakan. Sanksi pidana untuk tindak pidana narkotika diatur dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 144 dan Pasal 147 UU Narkotika yang meliputi pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana denda. Sedangkan sanksi tindakan dalam UU Narkotika yaitu rehabilitasi yang diatur dalam BAB IX Pasal 53 sampai dengan Pasal 56 UU Narkotika. Pecandu narkotika yang juga sebagai korban patut untuk mendapat perlindungan. Namun, karena penyalahguna/pecandu narkotika juga sebagai pelaku tindak pidana atau kejahatan maka ia juga tetap harus di hukum, oleh karena hal inilah maka dikatakan double track system dalam perumusan sanksi terhadap tindak pidana penyalahgunaan narkotika adalah paling tepat. Double track system dalam penerapan sanksinya lebih tegas dan berat dalam penjatuhan sanksi pidananya bertujuan agar orang tidak akan melakukan tindak pidana narkotika serta agar orang tersebut jera dan tidak mengulangi perbuatannya lagi, di samping itu penerapan sanksi tindakan berupa rehabilitasi bertujuan supaya orang yang sudah terjerumus dengan narkotika bisa di sembuhkan dari ketergantungannya terhadap narkotika sehingga dapat diterima kembali dalam masyarakat.


(36)

21

1.8 Metode Penelitian 1.8.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis empiris, dengan salah satu cirinya adalah menggunakan landasan teoritis dan juga menggunakan data primer dan data sekunder, dimana data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dan landasan teoritis yang digunakan merupakan undang-undang, norma-norma maupun teori-teori yang sesuai dengan permasalahan yang penulis angkat.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode yuridis empiris karena penelitian ini membutuhkan data-data langsung dari lapangan. Data-data tersebut seperti jumlah kasus bagi pengguna narkotika, dan data mengenai pelaksanaan tindakan rehabilitasi di lapangan. Serta metode ini digunakan untuk memperoleh penyebab masih jarang atau sedikitnya penjatuhan tindakan rehabilitasi bagi pengguna narkotika. Untuk memperoleh informasi tersebut, maka penulis akan melakukan wawancara langsung kepada hakim Pengadilan Negeri Denpasar dan pihak-pihak yang terkait di BNN Provinsi Bali. 1.8.2 Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif yaitu penelitian yang dimaksudkan semata-mata untuk memberi gambaran suatu gejala, dan pokok perhatiannya adalah pengukuran yang cermat dari satu atau lebih variabel terikat (dependent variable) dalam suatu kelompok penduduk


(37)

22

atau dalam sample dari kelompok penduduk tertentu.97Gambaran suatu gejala di masyarakat yang saat ini sangat banyak terjadi yaitu adanya perubahan kedudukan seorang pengguna narkotika dari pelaku tindak pidana berubah menjadi korban penyalahgunaan narkotika. Sehingga akan dilakukan suatu penelitian di tempat rehabilitasi untuk mengobati para korban penyalahgunaan narkotika tersebut menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

1.8.3 Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Denpasar, alasannya untuk mengetahui pelaksanaan penjatuhan rehabilitasi penyalahguna narkotika dalam praktek di Pengadilan Negeri Denpasar. Serta di Badan Narkotika Nasional Provinsi Bali untuk mengetahui pelaksanaan dalam menjalani rehabilitasi.

1.8.4 Teknik Penentuan Sampel Penelitian

Dalam penelitian ini, teknik penentuan sampel yang dipergunakan adalah teknik non probability sampling. Teknik ini digunakan agar diperoleh subyek-subyek yang ditunjuk sesuai dengan tujuan penelitian, dimana semua populasi mempunyai kemungkinan dan kesempatan sama untuk ditetapkan menjadi sampel. Teknik pengumpulan sampel dengan teknik non-probabilitas yang digunakan menekankan pada bentuk purposive sampling, artinya penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yaitu sampel dipilih atau ditentukan sendiri

9Amirudduin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja


(38)

23

oleh si peniliti, yang mana penunjukkan dan pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari populasinya.

Sampel yang dipergunakan peneliti dalam penelitian skripsi ini diambil dari Pengadilan Negeri Denpasar dan Badan Narkotika Nasional Provinsi Bali.

1.8.5 Sumber Data

Data-data yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini, diperoleh dengan menggunakan dua macam sumber data yaitu data primer dan data sekunder :

1. Data Primer : data primer diperoleh dengan cara Field Research (penelitian lapangan), yaitu dengan cara mengadakan penelitian langsung ke lapangan seperti ke Pengadilan Negeri Denpasar dan tempat rehabilitasi di Badan Narkotika Nasional Provinsi Bali. 2. Data Sekunder : data sekunder diperoleh dengan cara Library

Research (penelitian kepustakaan), yaitu data yang penulis peroleh adalah berasal dari kepustakaan sebagai sumber yang dapat memberi penjelasan terhadap data-data yang diperlukan.

1.8.6 Teknik Pengumpulan Data 1. Data Primer

Teknik pengumpulan data primer yang bersumber pada sumber lapangan dilakukan dengan teknik wawancara dengan pihak-pihak


(39)

24

atau orang-orang yang terkait. Wawancara ini dilakukan terhadap Hakim Pengadilan Negeri Denpasar mengenai bagaimana frekuensi dan hambatan dalam penjatuhan tindakan rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika, wawancara di BNN Provinsi Bali, serta wawancara terhadap pihak-pihak yang terkait lainnya

2. Data sekunder

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik kepustakaan, yaitu dengan membaca literatur yang berhubungan dengan permasalahan penelitian menggunakan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, serta peraturan-peraturan lainnya yang membahas mengenai penjatuhan rehabilitasi seperti Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2010 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba kedalam Panti Terapi dan Rehabilitasi. Dilakukan studi dokumen dengan meneliti putusan-putusan di Pengadilan Negeri Denpasar. Sehingga nantinya ditemukan kebenarannya yang ada hubungannya dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.

1.8.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan cara pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang pemidanaan penyalahgunaan narkotika, kemudian membuat sistematika dari pasal-pasal tersebut sehingga akan


(40)

25

menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.

Data yang dianalisis secara kualitatif akan ditemukan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian ini.108

10Bambang Sunggono, 2001, Metodologi Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada,


(41)

26

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI NARKOTIKA DAN REHABILITASI

2.1 Narkotika

2.1.1 Pengertian Narkotika

Narkotika secara etimologis berasal dari bahasa Inggris narcose atau narcois yang berarti menidurkan dan pembiusan. Kata narkotika berasal dari Bahasa Yunani yaitu narke yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa.11

Dari istilah farmakologis yang digunakan adalah kata drug yaitu sejenis zat yang bila dipergunakan akan membawa efek dan pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai seperti mempengaruh-pengaruhi kesadaran dan memberikan ketenangan, merangsang dan menimbulkan halusinasi.12

Secara terminologis narkotika dalam Kamus Besar Indonesia adalah obat yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa mengantuk dan merangsang.139

Menurut beberapa sarjana maupun ahli hukum, pengertian narkotika adalah sebagai berikut :

1. Soedjono D menyatakan bahwa yang dimaksud dengan narkotika adalah sejenis zat, yang bila dipergunakan (dimasukkan dalam tubuh)

11 Hari Sasangka, 2003, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana Untuk Mahasiswa dan Praktisi Serta Penyuluh Masalah Narkoba, Mandar Maju, Bandung, hlm. 35.

12

Soedjono, D, 1977, Narkotika dan Remaja, Alumni Bandung, (selanjutnya disebut Soedjono, D I), hlm. 3.


(42)

27

akan membawa pengaruh terhadap tubuh si pemakai. Pengaruh tersebut berupa menenangkan, merangsang dan menimbulkan khayalan atau halusinasi.14

2. Edy Karsono, narkotika adalah zat/bahan aktifyang bekerja pada sistem saraf pusat (otak) yang dapat menyebabkan penurunan sampai hilangnya kesadaran dan rasa sakit (nyeri) serta dapat menimbulkan ketergantungan (ketagihan).15

3. Elijah Adams memberikan definisi narkotika adalah terdiri dari zat sintetis dan semi sintetis yang terkenal adalah heroin yang terbuat dari morfhine yang tidak dipergunakan, tetapi banyak nampak dalam perdagangan-perdagangan gelap, selain juga terkenal dengan istilah dihydo morfhine.16

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, narkotika adalah :

“zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis

maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini.”10

Sehingga berdasarkan penjelasan pengertian narkotika diatas, dapat disimpulkan bahwa narkotika merupakan zat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman yang dapat menyebabkan penurunan, perubahan kesadaran, mengurangi sampai

14Ibid

15Soedjono D, 1977, Segi Hukum tentang Narkotika di Indonesia, Karya Nusantara,

Bandung, (selanjutnya disebut Soedjono, D II), hlm. 5.

16Wilson Nadaek, 1983, Korban dan Masalah Narkotika, Indonesia Publing House,


(43)

28

menghilangkan nyeri, menimbulkan khayalan atau halusinasi dan dapat menimbulkan efek ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam undang-undang ini atau kemudian ditetapkan dengan keputusan menteri kesehatan.

2.1.2 Golongan Narkotika

Narkotika yang merupakan zat atau obat yang pemakaiannya banyak digunakan oleh tenaga medis untuk digunakan dalam pengobatan dan penelitian memiliki beberapa penggolongan. Berdasarkan Pasal 6 Ayat (1) Undang-undang Narkotika, narkotika digolongkan dalam 3 (tiga) golongan, yaitu :

a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh : heroin, kokain, ganja.

b. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh : morfin, petidin, turuna/garam dalam golongan tersebut.

c. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh : kodein, garam-garam narkotika dalam golongan.


(44)

29

2.1.3 Faktor Penyebab Penyalahgunaan Narkotika

Terdapat 3 (tiga) faktor yang dapat dikatakan sebagai “pemicu” seseorang

dalam penyalahgunaan narkotika. Ketiga faktor tersebut adalah faktor diri, faktor lingkungan, dan faktor ketersdiaan narkotika itu sendiri, sebagai berikut :

1. Faktor diri :

- Keingintahuan yang besar untuk mencoba, tanpa sadar atau berfikir panjang tentang akibatnya di kemudian hari.

- Keinginan untuk mencoba-coba karena penasaran. - Keinginan untuk bersenang-senang.

- Keinginan untuk dapat diterima dalam suatu kelompok (komunitas) atau lingkungan tertentu.

- Workaholic agar terus beraktivitas maka menggunakan stimulant (perangsang).

- Lari dari masalah, kebosanan.

- Mengalami kelelahan dan menurunnya semangat belajar.

- Kecanduan merokok dan minuman keras. Dua hal ini merupakan gerbang ke arah penyalahgunaan narkotika.

- Karena ingin menghibur diri dan menikmati hidup sepuas-puasnya. - Upaya untuk menurunkan berat badan atau kegemukan dengan

menggunakan obat penghilang rasa lapar yang berlebihan.

- Merasa tidak dapat perhatian, tidak diterima, atau tidak disayangi, dalam lingkungan keluarga atau lingkungan pergaulan.

- Ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan.

- Ketidaktahuan tentang dampak dan bahaya penyalahgunaan narkotika. - Pengertian yang salah bahwa mencoba narkotika sekali-kali tidak akan

menimbulkan masalah.

- Tidak mampu atau tidak berani mengahadapi tekanan dari lingkungan atau kelompok pergaulan untuk menggunakan narkotika.

- Tidak dapat atau tidak mampu berkata TIDAK pada narkotika . 2. Faktor lingkungan :

- Keluarga bermasalah (broken home).

- Ayah, ibu, atau keduanya atau saudara menjadi pengguna atau penyalahguna atau bahkan pengedar gelap narkotika.

- Lingkungan pergaulan atau komunitas yang salah satu atau beberapa atau bahkan semua anggotanya menjadi penyalahguna atau pengedar gelap narkotika.

- Sering berkunjung ke tempat hiburan (cafe, diskotik, karaoke, dll). - Mempunyai banyak waktu luang, putus sekolah atau menganggur. - Lingkungan keluarga yang kurang atau tidak harmonis.


(45)

30

- Lingkungan keluarga dimana tidak ada kasih sayang, komunikasi, keterbukaan, perhatian, dan saling menghargai di antara anggotanya. - Orang tua/keluarga yang permisif, tidak acuh, serba boleh,

kurang/tanpa pengawasan.

- Orang tua/keluarga yang super sibuk mencari uang/di luar rumah. - Lingkungan sosial yang penuh persaingan dan ketidakpastian.

- Kehidupan perkotaan yang hirup piruk, orang tidak dikenal secara pribadi, tidak ada hubungan primer, ketidakacuhan, hilangnya pengawasan sosial dari masyarakat.

- Pengangguran, putus sekolah dan keterlantaran. 3. Faktor ketersediaan narkotika :

- Narkotika semakin mudah didapat dan dibeli.

- Harga narkotika semakin murah dan dijangkau oleh daya beli masyarakat.

- Narkotika semakin beragam dalam jenis, cara pemakaian, dan bentuk kemasan.

- Modus operandi tindak pidana narkotika makin sulit diungkap aparat hukum

- Masih banyak laboratorium gelap narkotika yang belum terungkap. - Sulit terungkapnya kejahatan komputer dan pencucian uang yang bisa

membantu bisnis perdagangan gelap narkotika.

- Semakin mudahnya akses internet yang memberikan informasi pembuatan narkotika.

- Bisnis narkotika yang menjanjikan keuntungan besar.

- Perdagangan narkotika dikendalikan oleh sindikan yan kuat dan profesional. Bahan dasar narkotika (prekursor) beredar bebas di masyarakat.17

11

Menurut pendapat Sumarno Ma’sum, bahwa faktor terjadinya

penyalahgunaan narkotika secara garis besar dikelompokkan kepada tiga bagian, yaitu :

1. Kemudahan didapatinya ibat secara sah atau tidak, status hukumnya yang masih lemah dan obatnya mudah menimbulkan ketergantungan;

2. Kepribadian meliputi perkembangan fisik dan mental yang labil, kegagalan cita-cita, cinta, prestasi, jabatan dan lain-lain, menutup diri

17 Badan Narkotika Nasional RI, 2004, Komunikasi Penyuluhan Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba, Jakarta, hlm. 76.


(46)

31

dengan lari dari kenyataan, kekurangan informasi tentang penyalahgunaan obat keras, bertualang dengan sensari yang penuh resiko dalam mencari identitas kepribadian, kurangnya rasa disiplin, kepercayaan agamanya minim;

3. Lingkungan, meliputi rumah tangga yang rapuh dan kacau, masyarakat yang kacau, tidak adanya tanggung jawab orang tua dan petunjuk serta pengarahan yang mulia, pengangguran, orang tuanya juga kecanduan narkotika, penindakan hukum yang masih lemah, dan kesulitan zaman.18

Faktor-faktor tersebut diatas memang tidak selalu membuat seseorang kelak menjadi penyalahgunaan obat terlarang.Akan tetapi makin banyak faktor-faktor diatas, semakin besar kemungkinan seseorang menjadi penyalahgunaan narkotika. Faktor individu, faktor lingkungan keluarga dan teman sebaya/pergaulan tidak selalu sama besar perannya dalam menyebabkan seseorang12menyalahgunakan narkotika. Karena faktor pergaulan, bisa saja seorang anak yang berasal dari keluarga yang harmonis dan cukup komunikatif menjadi penyalahgunaan narkotika.19

18 Mardani, 2008, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Pidana Nasional, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 103.


(47)

32

2.1.4 Dampak Negatif Penyalahgunaan Narkotika Kriminalitas

Aids, paru-paru, jantung Over dosis

Gangguan mental Putus Sekolah

Kecelakaan lalu lintas Gambar : Dampak Negatif Penyalahgunaan Narkotika

Kita hanya sering membaca di media yang melansir berita artis-artis luar negeri terkenal meninggal akibat overdosis pada usia sangat muda. Tapi nampaknya, berita tentang narkotika di Indonesia lebih di dominasi oleh berita tentang penangkapan pemilik narkoba, pesta narkoba, kurir narkoba, dan terakhir peredaran narkoba di Lapas. Dampak narkoba berupa kematian, kekerasan, dan bentuk kriminalitas nampaknya kurang mendapat tempat bagi media, atau justru karena faktanya yang tidak muncul ke permukaan sehingga tidak tertangkap kamera wartawan.

Kondisi persoalan narkoba sangat rumit dan hampir tidak bisa terdeteksi, karena terbentuknya jaringan antara produsen, pengedar, dan pengguna merupakan jaringan yang bersifat underground terlebih lagi keluarga juga sering


(48)

33

cenderung menyembunyikan anggota keluarganya yang menjadi korban narkotika karena berbagai alasan.

Tindak kekerasan atau kriminalitas sangat besar kemungkinan muncul pada pecandu yang mulai kehabisan uang maupun barang untuk dijual. Mereka

sangat nekad dan tidak peduli, sehingga melakukan kekerasan fisik, “berupaya

untuk mencuri, merampok serta berbagai tindakan kriminal lainnya”20 untuk mendapatkan apa yang diinginkan demi mendapat pasokan narkotika.

Berdasarkan efek yang ditimbulkan oleh narkotika itu sendiri dapat dibedakan menjadi 3 , yaitu

a. Memberikan efek depresan, yaitu menekan sistem syaraf pusat dan mengurangi aktivitas fungsional tubuh sehingga pemakai merasa tenang, bahkan bisa membuat pemakai tidur dan tak sadarkan diri.13

Bila dosis yang diberikan berlebihan dapat mengakibatkan kematian. Jenis narkotika depresan antara lain opioda, dan berbagai turunannya seperti morphin danheroin. Contohnya putaw.

b. Memberi efek stimulan, yaitu merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan serta kesadaran. Jenis stimulan antara lain kafein, kokain, amphetamin. Contohnya shabu-shabu dan ekstasi.

c. Memberi efek halusinogen, efek utamanya adalah mengubah daya persepsi atau mengakibatkan halusinasi. Halusinogen kebanyakan berasal dari tanaman seperti mescaline dari kaktus dan psilocybin dari jamur-jamuran.

20 Joko Suyono, 1980, Masalah Narkotika dan Bahan Sejenisnya, Yayasan Kanisius,


(49)

34

Selain itu ada juga yang diramu di laboratorium seperti LSD. Yang paling banyak dipakai adalah marijuana atau ganja.21

Dampak penyalahgunaan narkotika seseorang sangat tergantung pada jenis narkotika yang dipakai, kepribadian pemakai dan situasi atau kondisi pemakai.Secara umum, dampak negatif penyalahgunaan narkotika dapat terlihat pada fisik, psikis, maupun sosial seseorang.

a. Dampak fisik :

- Gangguan pada sistem syaraf (neurologis) seperti : kejang-kejang, halusinasi, gangguan kesadaran, kerusakan syaraf tepi. Jenis narkotika - Gangguan pada jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) seperti :

infeksi akut otot jantung, gannguan peredaran darah.

- Gangguan pada kulit (dermatologis) seperti : penanahan (abses), alergi, eksim.

- Gangguan pada paru-paru (pulmoner) seperti : penekanan fungsi pernafasan, kesukaran bernafas, pengerasan jaringan paru-paru.

- Sering sakit kepala, mual-mual, muntah, suhu tubuh meningkat, pengecilan hati dan sulit tidur.

- Dampak terhadap kesehatan reproduksi adalah gangguan pada endokrin, seperti : penurunan fungsi hormon reproduksi (estrogen, progesteron, testosteron), serta gangguan fungsi seksual.

- Dampak terhadap kesehatan reproduksi pada remaja perempuan antara lain perubahan periode menstruasi, ketidakteraturan menstruasi.

- Bagi pengguna narkotika melalui jarum suntik, khususnya pemakaian14

jarum suntik secara bergantian, resikonya adalah tertular penyakit seperti hepatitis B, C, dan HIV yang hingga saat ini belum ada obatnya. - Penyalahgunaan narkotika bisa berakibat fatal ketika terjadi over dosis

yaitu konsumsi narkotika melebihi kemampuan tubuh untuk menerimanya. Over dosis bisa menyebabkan kematian.

b. Dampak psikis :

- Lamban kerja, ceroboh, sering tegang dan gelisah.

- Hilang kepercayaan diri, apatis, pengkhayal, penuh curiga. - Menjadi ganas dan tingkah laku brutal.

- Sulit berkonsentrasi, perasaan kesal dan tertekan.

- Cenderung menyakiti diri, perasaan tidak aman, bahkan bunuh diri.

21Romeal Abdalla, 2008, “Narkoba dan Bahaya Pemakaiannya di Kalangan Remaja”

available from : URL : http://www.wikimu.com/News/DisplayNewsRemaja.aspc?id=5691/html, diakses tanggal 1 Desember 2015.


(50)

35

c. Dampak sosial :

- Gangguan mental, anti sosial dan asusila, dikucilkan oleh lingkungan. - Merepotkan dan menjadi beban keluarga.

- Pendidikan menjadi terganggu, masa depan suram.

Dampak fisik, psikis dan sosial berhubungan erat. Ketergantungan fisik akan mengakibat rasa sakit yang luar biasa (sakaw) bila terjadi putus obat (tidak mengkonsumsi obat pada waktunya) dan dorongan psikologis berupa keinginan sangat kuat untuk mengkonsumsi. Gejala fisik dan psikologis ini juga berkaitan dengan gejala sosial seperti dorongan untuk membohongi orang tua, mencuri, pemarah dan manipulati.22

Sedangkan menurut Lydia Harlina Martono dan Satya Joewana, akibat dari penyalahgunaan narkotika dapat dibagi menjadi empat yaitu akibat bagi diri sendiri, akibat terhadap keluarga, akibat bagi sekolah serta bagi masyarakat bangsa dan negara.2215

Adapun penjelasan dari keempat dampak tersebut adalah sebagai berikut : 1) Bagi diri sendiri, dampak pemakaian narkotika adalah sangat buruk seperti :

a. Terganggunya fungsi otak dan perkembangan normal yaitu daya ingat sehingga mudah lupa, sulit berkonsentrasi, perasaan yang tidak rasional, turunnya motivasi dalam bidang kehidupan.

b. Intoksikasi (keracunan), gejala yang timbul akibat pemakaian narkotika yang tidak sesuai dengan dosis atau takaran yang dianjurkan cukup berpengaruh terhadap tubuh dan perilaku, gejala yang ditimbulkan tergantung dari jenis, jumlah, dan cara penggunaan seperti fly, mabuk, teler, dan koma.

c. Overdosis dapat menyebabkan kematian karena terhentinya pernafasan atau pendarahan otak, dimana overdosis terjadi karena pemakaian

22Alkhaisar, 2013, Dampak Penyalahgunaan Narkotika, available from : URL

http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/9608/Alkhaisar.pdf?htm, diakses tanggal 20 Nopember 2015.


(51)

36

narkotika yang melebihi batas toleransi tubuh atau karena pemakaian yang lama tanpa henti.

d. Gejala putus zat adalah gejala dimana apabila dosis yang dipakai berkurang atau dihentikan pemakaiannya dimana berat atau ringannya gejala tergantung pada jenis, dosis, serta lama pemakaian.

e. Berulang kali kambuh, ketergantungan akibat pemakian narkotika menyebabkan crawling (rasa rindu) walaupun telah berhenti memakai, baik itu terhadap narkotika atau perangkatnya, kawan-kawan, suasana, serta tempat-tempat pengguna terdahulu yang mendorong pengguna untuk memakai narkotika kembali.

f. Gangguan mental/sosial dan perilaku adalah dimana menimbulkan sikap acuh tak acuh, sulit mengendalikan diri, menarik diri dari pergaulan, serta hubungan dengan keluarga yang terganggu. Terjadinya perubahan mentel dalam pemusatan perhatian, belajar/bekerja yang lemah ide yang paranoid dan lain-lain.

g. Masalah keuangan dan hukum, akibat keperluannya untuk memenuhi kebutuhan akan narkotika maka si pemakai akan berusaha untuk menipu, mencuri, menjual segala barang-barang milik diri sendiri atau orang lain, akibat lain adalah ditangkap polisi, ditahan, dan dihukum penjara, atau dihakimi masyarakat.

2) Bagi keluarga, dimana dampak yang ditimbulkan adalah suasana nyaman dan tentram yang terganggu, orang tua yang menjadi malu karena anggota keluarganya menjadi pengguna narkotika dan kehidupan ekonomi keluarga yang merosot akibat penggunaan narkotika oleh anggota keluarga tersebut. 3) Bagi sekolah, narkotika dapat merusak disiplin dan motivasi yang penting

dalam proses belajar serta prestasi yang merosot dan menciptakan iklim acuh tak acuh baik antara sesama murid maupun guru serta pihak lainnya.

4) Bagi masyarakat, Bangsa dan Negara, narkotika dapat mengganggu kesinambungan pembangunan, negara menderita kerugian karena masyarakat yang tidak produktif serta tingkat kejahatan yang meningkat.231716


(52)

37

2.2 Rehabilitasi

2.2.1 Pengertian Rehabilitasi

Rehabilitasi merupakan fasilitas yang sifatnya semi tertutup, maksudnya hanya orang-orang tertentu dengan kepentingan khusus yang dapat memasuki area ini. Rehabilitasi narkotika adalah tempat yang memberikan pelatihan ketrampilan dan pengetahuan untuk menghindarkan diri dari narkotika.24

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diselenggarakan berasaskan keadilan, pengayoman, kemanusiaan, ketertiban, perlindungan, keamanan, nilai-nila ilmiah, dan kepastian hukum (Pasal 3). Relevan dengan perlindungan korban, dalam undang-undang ini antara lain diatur tentang pengobatan dan rehabilitasi (Pasal 53 - Pasal 59), penghargaan (Pasal 109- Pasal 110) dan peran serta masyarakat. Rehabilitasi dapat berupa rehabilitasi medis (Pasal 1 angka 16 UU Narkotika) dan sosial (Pasal 1 angka 17 UU Narkotika). Penghargaan diberikan oleh pemerintah dan masyarakat diberi peran seluas-luasnya membantu pencegahan dan pemberantasan penyelundupan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.25

Sesuai dengan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut, mereka yang wajib menjalani rehabilitasi adalah pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika.17

24Soeparman, 2000, Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2, FKUI, Jakarta, hlm. 37.

25 Bambang Waluyo, 2014, Victimologi Perlindungan Korban & Saksi, Sinar Grafika,


(53)

38

Pecandu narkotika menurut Pasal 1 angka 13 adalah “.... orang yang

menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.”Yang

dimaksud “penyalah guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum” (Pasal 1 angka 15 UU Narkotika). Sehingga dapat dikatakan bahwa korban penyalahguna narkotika adalah orang yang tidak mengetahui bahwa narkotika yang digunakannya tersebut tanpa hak atau melawan hukum.

2.2.2 Tujuan Rehabilitasi Narkotika

Tujuan penjatuhan tindakan rehabilitasi tidak terlepas dari tujuan pemidanaan pada umumnya yang berdasarkan pada teori pemidanaan yaitu teori relatif atau teori tujuan, yaitu pidana rehabilitasi merupakan suatu penjatuhan tindakan yang dimaksudkan agar dapat memperbaiki orang yang melakukan tindak pidana. Karena tujuan dari penjatuhan tindakan rehabilitasi adalah untuk memberikan jaminan penanganan paripurna kepada korban penyalahgunaan narkotika melalui aspek hukum, aspek medis, aspek sosial, aspek spiritual, serta pengembangan pendidikan dan pelatihan dalam bidang narkotika secara terpadu, sedangkan tujuan khususnya adalah :

1) Terhindarnya korban dari institusi dan penetrasi pengedar;

2) Dipulihkan kondisi fisik, mental dan psikologis yang akan membunuh potensi pengembangan mereka;

3) Pemulihan secara sosial dari ketergantungan ;

4) Terhindarnya korban-korban baru akibat penularan penyakit seperti hepatitis, HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya;

5) Terwujudnya penanganan hukum yang selaras dengan pelayanan rehabilitasi medis/sosial;


(54)

39

6) Korban penyalahgunaan narkotika dapat hidup secara wajar di tengah-tengah masyarakat (keluarga, Tempat kerja, sekolah dan masyarakat lingkungannya); serta

7) Terwujudnya proses pengembangan penanganan korban narkotika dan aspek ilmiah, serta keilmuan yang dinamis, sesuai dengan perkembangan zaman sebagai pusat jaringan informasi terpadu dan mewujudkan teknis penanganan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang bagi daerah sekitarnya maupun nasional.26

2.2.3 Tahapan Dalam Pelaksanaan Rehabilitasi

Seseorang yang selalu menggunakan/mengkonsumsi narkotika, lambat laun akan mengalami ketergantungan. Ketergantungan merupakan gejala khas yaitu timbulnya toleransi dan atau gejala putus asa.Toleransi merupakan penggunaan jumlah narkotika yang semakin besar agar diperoleh18pengaruh yang sama terhadap tubuh, sedangkan gejala putus asa terjadi apabila pemakaian dihentikan atau jumlah pemakaiannya dikurangi.2719

Berdasarkan Pasal 1 angka 14 Undang-undang Nomor 35 Tahun2009

tentang Narkotika, ketergantungan narkotika adalah “kondisi yang ditandai

oleh dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan

gejala fisik dan psikis yang khas”.

Ketergantungan terhadap narkotika disebut sebagai suatu penyakit dan bukan kelemahan moral.Sebagai penyakit, penyalahgunaan narkotika dapat

26 I Wayan Suardana, “Urgensi Vonis Rehabilitasi Terhadap Korban Napza di Indonesia”,

2008, available from : URL : http://gendovara.com/urgensi-vonis-rehabilitasi-terhadap-korban-napza-di-indonesia/htm, diakses tanggal 27 Nopember 2015.


(55)

40

dijelaskan gejala yang khas, yang berulang kali kambuh (relaps) danberlangsung progresif, artinya makin memburuk jika tidak ditolong dan dirawat dengan baik.

Agar ketergantungan terhadap narkotika tersebut dapat disembuhkan, maka perlu dilakukan terapi dan rehabilitasi. Tujuan terapi dan rehabilitasi merupakan suatu rangkaian proses pelayanan yang diberikan kepada pecandu untuk melepaskannya dari ketergantungan pada narkotika, sampai ia dapat menikmati kehidupan bebas tanpa narkotika.

Adapun tahap-tahap dalam rehabilitasi : 1. Tahap rehabilitasi medis (detoksifikasi)

Tahap ini pecandu diperiksa seluruh kesehatannya baik fisik dan mental oleh dokter terlatih. Dokterlah yang memutuskan apakah pecandu perlu diberikan obat tertentu untuk mengurangi gejala putus zat (sakau) yang ia derita. Pemberian obat tergantung dari jenis narkoba dan berat ringannya gejala putus zat.Dalam hal ini dokter butuh kepekaan, pengalaman, dan keahlian guna mendeteksi gejala kecanduan narkotika tersebut.

2. Tahap rehabilitasi nonmedis

Tahap ini pecandu ikut dalam program rehabilitasi.Di Indonesia sudah dibangun tempat-tempat rehabilitasi, sebagai contoh di bawah BNN adalah tempat rehabilitasi di daerah Lido (Kampus Unitra), Baddoka (Makassar), dan Samarinda. Di tempat rehabilitasi ini, pecandu menjalani berbagai program diantaranya program therapeutic


(56)

41

communities (TC), 12 steps (dua belas langkah), pendekatan keagamaan, dan lain-lain.

3. Tahap bina lanjut (after care)

Tahap ini pecandu narkotika diberikan kegiatan sesuai dengan minat dan bakat untuk mengisi kegiatan sehari-hari, pecandu dapat kembali ke sekolah atau tempat kerja namun tetap berada dibawah pengawasan.2820

2.2.4 Komponen Dalam Pelaksanaan Rehabilitasi

Adapun komponen penting dalam pelaksanaan rehabilitasi narkotika agar penyalahguna narkotika dapat pulih dan kembali ke masyarakat, sebagai berikut :

1. Asesmen yaitu menilai masalah dengan mengumpulkan informasi untuk menetapkan diagnosis dan modalitas terapi yang paling sesuai baginya.

2. Rencana terapi yaitu didasarkan pada asesmen dan kebutuhan klien dan meliputi masalah, fisik, psikologis, sosial, spiritual, keluarga dan pekerjaan.

3. Program detoksifikasi yaitu tahap pemulihan untuk melepaskan pasien dari efek langsung narkotika yang disalahgunakan dan mengelola gejala putus asa karena dihentikannya pemakaian narkotika. Detoksifikasi dapat dilakukan dengan obat atau tanpa obat (alami).

4. Rehabilitasi sebagai tahap kedua dalam pemulihan, meliputi aspek fisik, psikologis, sosial, spiritual, dan pendidikan.

5. Konseling baik individu maupun kelompok sebagai teknik untuk membantu pecandu memahami diri, membujuk, memberi saran dan keyakinan sehingga ia melihat permasalahannya secara lebih realistik dan motivasinya agar terampil menghadapi masalah. 6. Pencegahan kambuhan sebagai strategi untuk mendorong pecandu

berhenti memakai narkotika, membantu mengenal dan mengelola situasi berisiko tinggi.

7. Keterlibatan keluarga.

28Lina Haryati, 2011, Tahap-Tahap Pemulihan Pecandu narkotika”, avaiable from : URL :

http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2012/08/24/514/tahap-tahap-pemulihan-pecandu-narkoba.htm, diakses tanggal 27 Nopember 2015.


(57)

42

8. Sepulang dari perawatan, pecandu harus tetap memperoleh perawatan lanjut yang sangat penting dalam pemulihannya, meliputi :

a. Konseling, memotivasi dan meningkatkan ketrampilan menangkal narkotika, membantu pemulihan hubungan antar sesama, dan meningkatkan kemampuannya agar berfungsi normal di masyarakat.

b. Kelompok pendukung, melengkapi program terapi secara profesional.

c. Rumah pendampingan, sebagai tempat antara yang menyediakan program pendampingan bagi pecandu yang sedang pulih di masyarakat.

d. Latihan vokasional, agar pecandu yang sedang pulih dapat bekerja dan berfungsi normal.

e. Pekerjaan, sesuai minat, ketrampilan, dan kesempatan.29

21


(1)

2.2 Rehabilitasi

2.2.1 Pengertian Rehabilitasi

Rehabilitasi merupakan fasilitas yang sifatnya semi tertutup, maksudnya hanya orang-orang tertentu dengan kepentingan khusus yang dapat memasuki area ini. Rehabilitasi narkotika adalah tempat yang memberikan pelatihan ketrampilan dan pengetahuan untuk menghindarkan

diri dari narkotika.24

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika diselenggarakan berasaskan keadilan, pengayoman, kemanusiaan, ketertiban, perlindungan, keamanan, nilai-nila ilmiah, dan kepastian hukum (Pasal 3). Relevan dengan perlindungan korban, dalam undang-undang ini antara lain diatur tentang pengobatan dan rehabilitasi (Pasal 53 - Pasal 59), penghargaan (Pasal 109- Pasal 110) dan peran serta masyarakat. Rehabilitasi dapat berupa rehabilitasi medis (Pasal 1 angka 16 UU Narkotika) dan sosial (Pasal 1 angka 17 UU Narkotika). Penghargaan diberikan oleh pemerintah dan masyarakat diberi peran seluas-luasnya membantu pencegahan dan pemberantasan

penyelundupan dan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika.25

Sesuai dengan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika tersebut, mereka yang wajib menjalani rehabilitasi

adalah pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika.17

24Soeparman, 2000, Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2, FKUI, Jakarta, hlm. 37.

25 Bambang Waluyo, 2014, Victimologi Perlindungan Korban & Saksi, Sinar Grafika,


(2)

Pecandu narkotika menurut Pasal 1 angka 13 adalah “.... orang yang

menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan

ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.”Yang

dimaksud “penyalah guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum” (Pasal 1 angka 15 UU Narkotika). Sehingga dapat dikatakan bahwa korban penyalahguna narkotika adalah orang yang tidak mengetahui bahwa narkotika yang digunakannya tersebut tanpa hak atau melawan hukum.

2.2.2 Tujuan Rehabilitasi Narkotika

Tujuan penjatuhan tindakan rehabilitasi tidak terlepas dari tujuan pemidanaan pada umumnya yang berdasarkan pada teori pemidanaan yaitu teori relatif atau teori tujuan, yaitu pidana rehabilitasi merupakan suatu penjatuhan tindakan yang dimaksudkan agar dapat memperbaiki orang yang melakukan tindak pidana. Karena tujuan dari penjatuhan tindakan rehabilitasi adalah untuk memberikan jaminan penanganan paripurna kepada korban penyalahgunaan narkotika melalui aspek hukum, aspek medis, aspek sosial, aspek spiritual, serta pengembangan pendidikan dan pelatihan dalam bidang narkotika secara terpadu, sedangkan tujuan khususnya adalah :

1) Terhindarnya korban dari institusi dan penetrasi pengedar;

2) Dipulihkan kondisi fisik, mental dan psikologis yang akan membunuh

potensi pengembangan mereka;

3) Pemulihan secara sosial dari ketergantungan ;

4) Terhindarnya korban-korban baru akibat penularan penyakit seperti

hepatitis, HIV/AIDS dan penyakit menular lainnya;

5) Terwujudnya penanganan hukum yang selaras dengan pelayanan


(3)

6) Korban penyalahgunaan narkotika dapat hidup secara wajar di tengah-tengah masyarakat (keluarga, Tempat kerja, sekolah dan masyarakat lingkungannya); serta

7) Terwujudnya proses pengembangan penanganan korban narkotika dan

aspek ilmiah, serta keilmuan yang dinamis, sesuai dengan perkembangan zaman sebagai pusat jaringan informasi terpadu dan mewujudkan teknis penanganan penyalahgunaan narkotika dan

obat-obatan terlarang bagi daerah sekitarnya maupun nasional.26

2.2.3 Tahapan Dalam Pelaksanaan Rehabilitasi

Seseorang yang selalu menggunakan/mengkonsumsi narkotika, lambat laun akan mengalami ketergantungan. Ketergantungan merupakan gejala khas yaitu timbulnya toleransi dan atau gejala putus asa.Toleransi merupakan penggunaan jumlah narkotika yang semakin besar agar

diperoleh18pengaruh yang sama terhadap tubuh, sedangkan gejala putus asa

terjadi apabila pemakaian dihentikan atau jumlah pemakaiannya

dikurangi.2719

Berdasarkan Pasal 1 angka 14 Undang-undang Nomor 35 Tahun2009

tentang Narkotika, ketergantungan narkotika adalah “kondisi yang ditandai

oleh dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan/atau dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan

gejala fisik dan psikis yang khas”.

Ketergantungan terhadap narkotika disebut sebagai suatu penyakit dan bukan kelemahan moral.Sebagai penyakit, penyalahgunaan narkotika dapat

26 I Wayan Suardana, “Urgensi Vonis Rehabilitasi Terhadap Korban Napza di Indonesia”,

2008, available from : URL : http://gendovara.com/urgensi-vonis-rehabilitasi-terhadap-korban-napza-di-indonesia/htm, diakses tanggal 27 Nopember 2015.


(4)

dijelaskan gejala yang khas, yang berulang kali kambuh (relaps) danberlangsung progresif, artinya makin memburuk jika tidak ditolong dan dirawat dengan baik.

Agar ketergantungan terhadap narkotika tersebut dapat disembuhkan, maka perlu dilakukan terapi dan rehabilitasi. Tujuan terapi dan rehabilitasi merupakan suatu rangkaian proses pelayanan yang diberikan kepada pecandu untuk melepaskannya dari ketergantungan pada narkotika, sampai ia dapat menikmati kehidupan bebas tanpa narkotika.

Adapun tahap-tahap dalam rehabilitasi :

1. Tahap rehabilitasi medis (detoksifikasi)

Tahap ini pecandu diperiksa seluruh kesehatannya baik fisik dan mental oleh dokter terlatih. Dokterlah yang memutuskan apakah pecandu perlu diberikan obat tertentu untuk mengurangi gejala putus

zat (sakau) yang ia derita. Pemberian obat tergantung dari jenis

narkoba dan berat ringannya gejala putus zat.Dalam hal ini dokter butuh kepekaan, pengalaman, dan keahlian guna mendeteksi gejala kecanduan narkotika tersebut.

2. Tahap rehabilitasi nonmedis

Tahap ini pecandu ikut dalam program rehabilitasi.Di Indonesia sudah dibangun tempat-tempat rehabilitasi, sebagai contoh di bawah BNN adalah tempat rehabilitasi di daerah Lido (Kampus Unitra), Baddoka (Makassar), dan Samarinda. Di tempat rehabilitasi ini, pecandu menjalani berbagai program diantaranya program therapeutic


(5)

communities (TC), 12 steps (dua belas langkah), pendekatan keagamaan, dan lain-lain.

3. Tahap bina lanjut (after care)

Tahap ini pecandu narkotika diberikan kegiatan sesuai dengan minat dan bakat untuk mengisi kegiatan sehari-hari, pecandu dapat kembali ke sekolah atau tempat kerja namun tetap berada dibawah

pengawasan.2820

2.2.4 Komponen Dalam Pelaksanaan Rehabilitasi

Adapun komponen penting dalam pelaksanaan rehabilitasi narkotika agar penyalahguna narkotika dapat pulih dan kembali ke masyarakat, sebagai berikut :

1. Asesmen yaitu menilai masalah dengan mengumpulkan informasi

untuk menetapkan diagnosis dan modalitas terapi yang paling sesuai baginya.

2. Rencana terapi yaitu didasarkan pada asesmen dan kebutuhan

klien dan meliputi masalah, fisik, psikologis, sosial, spiritual, keluarga dan pekerjaan.

3. Program detoksifikasi yaitu tahap pemulihan untuk melepaskan

pasien dari efek langsung narkotika yang disalahgunakan dan mengelola gejala putus asa karena dihentikannya pemakaian narkotika. Detoksifikasi dapat dilakukan dengan obat atau tanpa obat (alami).

4. Rehabilitasi sebagai tahap kedua dalam pemulihan, meliputi aspek

fisik, psikologis, sosial, spiritual, dan pendidikan.

5. Konseling baik individu maupun kelompok sebagai teknik untuk

membantu pecandu memahami diri, membujuk, memberi saran dan keyakinan sehingga ia melihat permasalahannya secara lebih realistik dan motivasinya agar terampil menghadapi masalah.

6. Pencegahan kambuhan sebagai strategi untuk mendorong pecandu

berhenti memakai narkotika, membantu mengenal dan mengelola situasi berisiko tinggi.

7. Keterlibatan keluarga.

28Lina Haryati, 2011, Tahap-Tahap Pemulihan Pecandu narkotika”, avaiable from : URL :

http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2012/08/24/514/tahap-tahap-pemulihan-pecandu-narkoba.htm, diakses tanggal 27 Nopember 2015.


(6)

8. Sepulang dari perawatan, pecandu harus tetap memperoleh perawatan lanjut yang sangat penting dalam pemulihannya, meliputi :

a. Konseling, memotivasi dan meningkatkan ketrampilan

menangkal narkotika, membantu pemulihan hubungan antar sesama, dan meningkatkan kemampuannya agar berfungsi normal di masyarakat.

b. Kelompok pendukung, melengkapi program terapi secara

profesional.

c. Rumah pendampingan, sebagai tempat antara yang

menyediakan program pendampingan bagi pecandu yang sedang pulih di masyarakat.

d. Latihan vokasional, agar pecandu yang sedang pulih dapat

bekerja dan berfungsi normal.

e. Pekerjaan, sesuai minat, ketrampilan, dan kesempatan.29

21