15
Baru, dan Kompleks Pertokoan Morodadi Cs Menjadi Pasaraya dan Pusat Pertokoan Salatiga
22
?
2.1. Hakikat Batal Demi Hukum
Subekti berpendapat bahwa suatu perjanjian dalam hal ini suatu dokumen yang memuat hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak yang mengikatkan diri
dengan dokumen itu tidak sah apabila suatu syarat obyektif, tidak terpenuhi. Dimaksudkan dengan suatu syarat objektif tersebut adalah hal tertentu atau causa
yang halal. Seperti telah dikemukakan dalam Bab terdahulu, apabila suatu syarat obyektif tersebut tidak terpenuhi maka perjanjian menjadi batal demi hukum null
and void. Dalam hal yang demikian, ada ahli yang menuruti begitu saja dikte hukum
the dictate of the law lalu menulis dalam kepustakaan bahwa secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula perikatan antara orang-orang
yang bermaksud membuat perjanjian. Tujuan para pihak menurut ahli itu, untuk meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Tak
dapatlah pihak yang satu tentu pihak dalam perjanjian itu menuntut pihak yang lain di depan hakim, karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim sekalipun apabila kepadanya
dibawakan perjanjian itu untuk memeriksa dan menilai perjanjian tersebut diwajibkan
22
Mengenai rumusan masalah Penelitian dan Penulisan karya tulis ini, periksa Bab I Sub Judul 1.3 skripsi ini. Rumusan Masalah dalam Bab I skripsi ini, hal., 12. Dalam kaitan itu, Tujuan
Penelitian juga dapat dilihat pada halaman yang sama dari skripsi ini, Supra.
16
karena jabatannya, menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.
23
Ada juga kepustakaan mengatakan kebatalan null and void atau pembatalan voidable suatu perjanjian, menurut Pasal KUH Perdata. Pengertian kebatalan atau
pembatalan perjanjian menurut pihak-pihak yang mencoba memahami isi KUH Perdata itu adalah sebagai berikut:
Ada suatu pembatalan mutlak absolute nietigheid, apabila suatu perjanjian harus dianggap batal, meskipun tidak diminta oleh suatu pihak. Dan perjanjian
dianggap tidak ada sejak semula dan terhadap siapapun juga. Perspektif ini seolah- olah menorehkan suatu isyarat bahwa tanpa mengajukan ke pengadilan untuk
membatalkan perjanjian tersebut; perjanjian itu secara otomatis batal atau tidak ada. Melanjutkan pemahaman kebatalan null and void sebagaimana di
kemukakan di atas tersebut, kepustakaan juga menegaskan bahwa batal mutlak terjadi manakala suatu perjanjian, yang diadakan tanpa mengindahkan cara vorm yang
secara mutlak dikehendaki oleh undang-undang. Juga batal mutlak terjadi manakala suatu perjanjian, yang causanya bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban
umum open bare orde.
24
Dus, dalam keadaan batal mutlak atau null and void yang demikian itu pihak yang mengetahui hal itu tidak perlu repot-repot membawa hal itu
ke depan hakim untuk memperoleh deklarasi kebatalan atau batal demi hukum lagi.
23
Subekti., Hukum Perjanjian, Intermasa, 1979, Jakarta, hal., 22-23. Halaman yang sama juga telah Penulis kemukakan dala Bab I Skripsi ini, lihat hal., 3-4, Supra.
24
Kartini Muljadi Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, 2003, Jakarta, hal., 182. Lihat juga hal., 4 Bab I skripsi ini, Supra.
17
Apabila suatu perjanjian tidak mengikuti syarat formal yang ditetapkan oleh undang- undang dan causanya bertentangan dengan kesusilaan, maka otomatis perjanjian
tersebut bukanlah suatu perjanjian. Selain itu tentang pengertian batal demi hukum juga diberikan berdasar pada
alasan kebatalannya. Suatu perjanjian dikatakan batal demi hukum, tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya jika terjadi pelanggaran terhadap syarat obyektif dari
sahnya suatu perikatan. Keharusan akan adanya suatu hal tertentu yang menjadi obyek dalam perjanjian dirumuskan dalam Pasal 1332 sampai Pasal 1334
KUHPerdata diikuti dengan Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1336 KUHPerdata yang mengatur mengenai rumusan sebab yang halal, yaitu, sebab yang tidak dilarang oleh
undang-undang dan tidak berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Seperti telah dibahas sebelumnya, dengan tidak adanya suatu hal tertentu,
yang terwujud dalam kebendaan yang telah ditentukan, obyek dalam suatu perjanjian, maka jelas perjanjian tidak pernah ada. Karenanya, tidak pernah pula
terbit perikatan di antara para pihak mereka yang bermaksud membuat perjanjian tersebut. Perjanjian demikian adalah kosong adanya.
25
Selain itu hakikat tentang batal demi hukum dapat dikenali dengan melihat kriteria-kriteria di bawah ini seperti; perjanjian yang tergolong sebagai perjanjian
formil. Dalam perjanjian yang termasuk kategori formil, tidak dipenuhinya ketentuan hukum tentang, misalnya bentuk atau format perjanjian, cara pembuatan perjanjian,
25
W. Prodjodikoro., 2011, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2011 hal., 151.
18
ataupun cara pengesahan perjanjian, sebagaimana diwajibkan melalui peraturan perundang-undangan, berakibat perjanjian itu secara formil menjadi batal demi
hukum. Perjanjian formil sebagai perjanjian yang tidak hanya didasarkan pada adanya kesepakatan para pihak, tetapi oleh undang-undang juga disyaratkan adanya
formalitas tertentu yang harus dipenuhi agar perjanjian tersebut sah demi hukum.
26
Pasal ini mengisyaratkan kepatuhan kepada perundang-undangan yang berlaku dalam suatu negara.
Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian harus ada suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Keduanya, yaitu suatu hal tertentu dan
sebab yang halal sering disebut sebagai syarat objektif untuk sahnya perjanjian. Syarat objektif pertama, yaitu suatu hal tertentu diartikan oleh Mariam Darus
Badrulzaman
27
dan Herlien Budiono
28
sebagai objek atau pokok perjanjian, atau apa yang menjadi hak dari kreditor dan kewajiban bagi debitor menurut Subekti
29
. Seseorang yang mencantumkan kata-kata bohong sebagai objek perjanjian dengan
orang lain misalnya, sudah barang tentu bukan suatu perjanjian tetapi dusta karena itu, perjanjian seperti itu bukan perjanjian tetapi suatu perbuatan penipuan.
26
Herlien Budiono., Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bhakti, 2009, hal., 47- 48.
27
Mariam Darus Badrulzaman.,“Perikatan pada Umumnya”, dalam buku berjudul Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bhakti, Bandung 2001, hal., 79-80.
28
Herlien Budiono Elly Erawati, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, PT. Gramedia, Jakarta, 2010, hal., 8.
29
Subekti., Hukum Perjanjian, Intermasa, Cetakan V, Jakarta, 1978, hal., 19.
19
Batal demi hukum juga dapat dikenali dengan melihat perjanjian yang dilakukan oleh orang atau pihak yang menurut undang-undang dinyatakan tidak
berwenang. Ketentuan dalam undang-undang tertentu yang menyatakan bahwa orang atau pihak tertentu tidak berwenang, merupakan aturan hukum yang bersifat
memaksa sehingga tidak bisa disimpangi.
30
Kriteria selanjutnya adalah mengenai syarat batal dalam sebuah perjanjian. Dimana suatu peristiwa atau fakta tertentu yang belum tentu akan terjadi di masa
depan, namun para pihak dalam perjanjian itu sepakat bahwa bila peristiwa atau fakta tersebut benar terjadi maka perjanjian tersebut menjadi batal. Perjanjian dengan
syarat batal yang menjadi batal demi hukum karena syarat batal tersebut terpenuhi, menimbulkan akibat kembalinya keadaan pada kondisi semula pada saat timbulnya
perikatan itu atau dengan kata lain, perjanjian yang batal demi hukum seperti itu berlaku surut hingga ke titik awal perjanjian itu dibuat. Dalam Bab terdahulu, Penulis
katakan bahwa hal seperti ini disebut dengan void ab initio. Void artinya batal atau tidak ada, sedangkan ab initio artinya kembali ke keadaan sejak sebelum suatu
perbuatan yang batal demi hukum itu dilakukan. Pasal 1265 KUH Perdata mengatur hal ini dengan menyebut bahwa:
“suatu syarat batal adalah yang bila dipenuhi akan menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali
pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menunda pemenuhan perikatan; ia
30
Herlien Budiono Elly Erawati, Op.Cit hal., 13.
20
hanya mewajibkan kreditur mengembalikan apa yang telah diterimanya, bila yang dimaksudkan terjadi”.
31
I.G. Rai Widjaya mengatakan apabila unsur syarat objektif ada yang tidak terpenuhi suatu hal tertentu atau suatu sebab yang legal, akibat hukumnya adalah
batal demi hukum disebut null and void atau nietig verklaard. Batal demi hukum artinya, sejak awal tidak pernah lahir suatu perjanjian sehingga tidak pernah ada
perikatan. Karena tidak pernah lahir perjanjian, maka perjanjian adalah tidak ada akibat hukum apapun, sehingga, tidak ada dasar hukum yang dapat dijadikan alas hak
untuk melakukan gugatan atau penuntutan.
32
Seseorang yang sudah tahu bahwa tidak ada hak bagi orang itu untuk mengajukan gugatan atas dasar perjanjian kemudian
nekat membawa gugatan tersebut ke depan hakim adalah mungkin mengalami gangguan jiwa.
Selanjutnya, batal demi hukum atau batal dengan sendirinya otomatis adalah apabila terdapat kontrak yang tidak memenuhi syarat obyek tertentu atau tidak
mempunyai causa atau causanya tidak diperbolehkan Pasal 1320 KUH Perdata angka 3 dan 4 jis. 1335, 1337, 1339 KUH Pedata, berakibat, kontrak tersebut
batal demi hukum nietig. Dengan demikian makna pembatalan lebih mengarah pada proses pembentukan kontrak penutupan kontrak. Akibat hukum pada pembatalan
31
Ibid hal., 13-14.
32
I.G.Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak “Contract Drafting dan Praktik” Kesaint Blanc, Bekasi Timur hal., 54.
21
kontrak adalah “pengembalian pada posisi semula, sebagaimana halnya sebelum penutupan kontrak”,
33
restorasi. Konsepsi
null and void ini juga dirumuskan dalam kepustakaan selain kepustakaan-kepustakaan yang telah dikemukakan di atas dengan kata-kata yang
sama persis dan juga struktur analisis yang sama juga. Misalnya, seperti diketahui ada 2 dua persyaratan yang menentukan sahnya suatu perjanjian Pasal 1320 KUH
Perdata, persyaratan tersebut adalah: Persyaratan subyektif, yaitu kesepakatan dan kecakapan; Persyaratan obyektif, yaitu suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal.
Apabila persayaratan tersebut di atas tidak terpenuhi maka akibatnya ialah bahwa dengan tidak dipenuhinya persyaratan subyektif kesepakatan dan kecakapan maka
perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak melalui pengadilan, sedangkan apabila yang tidak tepenuhi syarat objektif suatu hal tertentu dan suatu sebab yang
halal maka perjanjian batal demi hukum. Mengenai batal demi hukum atau batal dengan sendirinya batal secara
otomatis adalah apabila persyaratan obyektif suatu hal tetentu dan suatu sebab yang halal tidak dipenuhi. Ini berarti bahwa perjanjian tersebut seolah-olah tidak pernah
ada, atau sejak semula secara yuridis tidak pernah ada perikatan. Ini berarti pula bahwa salah satu pihak tidak mempunyai alasandasar melakukan tuntutan hukum
terhadap pihak yang lain, karena tidak ada unsur hukumnya. Sehubungan dengan hal
33
Agus Yudha Hernoko., Hukum Perjanjian”Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komesial” Laksbang Mediatama, Yogyakarta,
2008
,
hal., 264.
22
tersebut maka Hakim karena jabatannya diwajibkan menyatakan bahwa tidak pernah ada perjanjian atau perikatan.
34
Selanjutnya penjelasan yang sama mengenai konsep batal demi hukum ini juga dapat dikemukakan dalam kepustakaan lain, dalam hal ini terjadi apabila syarat
objektif dari suatu perjanjian tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada
suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tesebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum, adalah gagal. Dengan demikian, tidak ada dasar
untuk saling menuntut di depan hakim. Dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa yang demikian itu null and void.
35
Demikian juga batal demi hukum ini dijelaskan alasan kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang. Pada umumnya ketentuan-ketentuan yang sehubungan
dengan kebatalan ini menyangkut persetujuan-persetujuan obligator. Misalnya persetujuan dengan causa yang tidak halal atau persetujuan jual-beli atau hibah antara
suami isteri adalah batal demi hukum. Undang-undang menentukan bahwa perbuatan hukum adalah batal demi
hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut perbuatan hukum,
34
Soeroso R, Perjanjian dibawah Tangan “Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi Hukum” Sinar Grafika, Jakarta, hal., 24-25.
35
H.R Daeng Naja., Contract Drafting “Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis”, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal., 16.
23
ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada umumnya adalah untuk melindungi ketertiban masyarakat.
36
2.2. Syarat Sahnya Perjanjian