Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Null and Void Perjanjian Kerja Sama No 2 Tahun 1991 antara Pemerintah kota Salatiga dengan PT. Matahari Mas Sejahtera T1 312009033 BAB II

(1)

14

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

Dalam Bab ini, sesuai dengan judulnya, Penulis mengemukakan suatu tinjauan atau analisis kepustakaan mengenai prinsip-prinsip dan kaedah hukum yang mengatur mengenai keadaan null and void. Termaktup dalam bagian ini hakikat asas batal demi hukum atau null and void menurut kepustakaan yang ada; syarat sahnya perjanjian; dan asas-asas dalam hukum perjanjian juga, menurut kepustakaan yang ada.

Menyusul uraian atau gambaran konsepsual tentang null and void itu, Penulis juga akan mengemukakan suatu arti penting dari tinjauan kepustakaan mengenai prinsip-prinsip dan kaedah-kaedah hukum yang mengatur mengenai null and void tersebut. Hal-hal tersebut itu Penulis kemukakan dalam Bab II ini dengan suatu tujuan, yaitu menjawab perumusan masalah penelitian dan penulisan karya tulis kesarjanaan ini yaitu Bagaimana asas null and void dalam Perjanjian Kerja Sama Pemerintah Kota Salatiga dengan PT. Matahari Mas Sejahtera Cabang Surakarta tentang Peningkatan dan Penataan (Renovasi) Pasar Lama, Pasar Berdikari, Pasar


(2)

15

Baru, dan Kompleks Pertokoan Morodadi Cs Menjadi Pasaraya dan Pusat Pertokoan Salatiga22?

2.1. Hakikat Batal Demi Hukum

Subekti berpendapat bahwa suatu perjanjian dalam hal ini suatu dokumen yang memuat hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak yang mengikatkan diri dengan dokumen itu tidak sah apabila suatu syarat obyektif, tidak terpenuhi. Dimaksudkan dengan suatu syarat objektif tersebut adalah hal tertentu atau causa yang halal. Seperti telah dikemukakan dalam Bab terdahulu, apabila suatu syarat obyektif tersebut tidak terpenuhi maka perjanjian menjadi batal demi hukum (null

and void).Dalam hal yang demikian, ada ahli yang menuruti begitu saja dikte hukum

(the dictate of the law) lalu menulis dalam kepustakaan bahwa secara yuridis dari

semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian. Tujuan para pihak menurut ahli itu, untuk meletakkan suatu perikatan yang mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu tentu pihak dalam perjanjian itu menuntut pihak yang lain di depan hakim, karena dasar hukumnya tidak ada. Hakim sekalipun apabila kepadanya dibawakan perjanjian itu untuk memeriksa dan menilai perjanjian tersebut diwajibkan

22

Mengenai rumusan masalah Penelitian dan Penulisan karya tulis ini, periksa Bab I Sub Judul 1.3 skripsi ini. Rumusan Masalah dalam Bab I skripsi ini, hal., 12. Dalam kaitan itu, Tujuan Penelitian juga dapat dilihat pada halaman yang sama dari skripsi ini, Supra.


(3)

16

karena jabatannya, menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau perikatan.23

Ada juga kepustakaan mengatakan kebatalan (null and void) atau pembatalan

(voidable) suatu perjanjian, menurut Pasal KUH Perdata. Pengertian kebatalan atau

pembatalan perjanjian menurut pihak-pihak yang mencoba memahami isi KUH Perdata itu adalah sebagai berikut:

Ada suatu pembatalan mutlak (absolute nietigheid), apabila suatu perjanjian harus dianggap batal, meskipun tidak diminta oleh suatu pihak. Dan perjanjian dianggap tidak ada sejak semula dan terhadap siapapun juga. Perspektif ini seolah-olah menorehkan suatu isyarat bahwa tanpa mengajukan ke pengadilan untuk membatalkan perjanjian tersebut; perjanjian itu secara otomatis batal atau tidak ada.

Melanjutkan pemahaman kebatalan (null and void) sebagaimana di kemukakan di atas tersebut, kepustakaan juga menegaskan bahwa batal mutlak terjadi manakala suatu perjanjian, yang diadakan tanpa mengindahkan cara (vorm) yang secara mutlak dikehendaki oleh undang-undang. Juga batal mutlak terjadi manakala suatu perjanjian, yang causanya bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum (open bare orde).24 Dus, dalam keadaan batal mutlak atau null and void yang demikian itu pihak yang mengetahui hal itu tidak perlu repot-repot membawa hal itu ke depan hakim untuk memperoleh deklarasi kebatalan atau batal demi hukum lagi.

23

Subekti., Hukum Perjanjian, Intermasa, 1979, Jakarta, hal., 22-23. Halaman yang sama juga telah Penulis kemukakan dala Bab I Skripsi ini, lihat hal., 3-4, Supra.

24

Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo Persada, 2003, Jakarta, hal., 182. Lihat juga hal., 4 Bab I skripsi ini, Supra.


(4)

17

Apabila suatu perjanjian tidak mengikuti syarat formal yang ditetapkan oleh undang-undang dan causanya bertentangan dengan kesusilaan, maka otomatis perjanjian tersebut bukanlah suatu perjanjian.

Selain itu tentang pengertian batal demi hukum juga diberikan berdasar pada alasan kebatalannya. Suatu perjanjian dikatakan batal demi hukum, tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya jika terjadi pelanggaran terhadap syarat obyektif dari sahnya suatu perikatan. Keharusan akan adanya suatu hal tertentu yang menjadi obyek dalam perjanjian dirumuskan dalam Pasal 1332 sampai Pasal 1334 KUHPerdata diikuti dengan Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1336 KUHPerdata yang mengatur mengenai rumusan sebab yang halal, yaitu, sebab yang tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.

Seperti telah dibahas sebelumnya, dengan tidak adanya suatu hal tertentu, yang terwujud dalam kebendaan yang telah ditentukan, (obyek dalam suatu perjanjian), maka jelas perjanjian tidak pernah ada. Karenanya, tidak pernah pula terbit perikatan di antara para pihak (mereka yang bermaksud membuat perjanjian tersebut). Perjanjian demikian adalah kosong adanya.25

Selain itu hakikat tentang batal demi hukum dapat dikenali dengan melihat kriteria-kriteria di bawah ini seperti; perjanjian yang tergolong sebagai perjanjian formil. Dalam perjanjian yang termasuk kategori formil, tidak dipenuhinya ketentuan hukum tentang, misalnya bentuk atau format perjanjian, cara pembuatan perjanjian,

25

W. Prodjodikoro., 2011, Azas-Azas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2011 hal., 151.


(5)

18

ataupun cara pengesahan perjanjian, sebagaimana diwajibkan melalui peraturan perundang-undangan, berakibat perjanjian itu secara formil menjadi batal demi hukum. Perjanjian formil sebagai perjanjian yang tidak hanya didasarkan pada adanya kesepakatan para pihak, tetapi oleh undang-undang juga disyaratkan adanya formalitas tertentu yang harus dipenuhi agar perjanjian tersebut sah demi hukum.26 Pasal ini mengisyaratkan kepatuhan kepada perundang-undangan yang berlaku dalam suatu negara.

Menurut Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian harus ada suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Keduanya, yaitu suatu hal tertentu dan sebab yang halal sering disebut sebagai syarat objektif untuk sahnya perjanjian. Syarat objektif pertama, yaitu suatu hal tertentu diartikan oleh Mariam Darus Badrulzaman27 dan Herlien Budiono28 sebagai objek atau pokok perjanjian, atau apa yang menjadi hak dari kreditor dan kewajiban bagi debitor menurut Subekti29. Seseorang yang mencantumkan kata-kata bohong sebagai objek perjanjian dengan orang lain misalnya, sudah barang tentu bukan suatu perjanjian tetapi dusta karena itu, perjanjian seperti itu bukan perjanjian tetapi suatu perbuatan penipuan.

26

Herlien Budiono., Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang

Kenotariatan, Citra Aditya Bhakti, 2009, hal., 47- 48.

27

Mariam Darus Badrulzaman.,“Perikatan pada Umumnya”, dalam buku berjudul Kompilasi

Hukum Perikatan, Citra Aditya Bhakti, Bandung 2001, hal., 79-80.

28

Herlien Budiono Elly Erawati, Penjelasan Hukum Tentang Kebatalan Perjanjian, PT. Gramedia, Jakarta, 2010, hal., 8.

29


(6)

19

Batal demi hukum juga dapat dikenali dengan melihat perjanjian yang dilakukan oleh orang atau pihak yang menurut undang-undang dinyatakan tidak berwenang. Ketentuan dalam undang-undang tertentu yang menyatakan bahwa orang atau pihak tertentu tidak berwenang, merupakan aturan hukum yang bersifat memaksa sehingga tidak bisa disimpangi.30

Kriteria selanjutnya adalah mengenai syarat batal dalam sebuah perjanjian. Dimana suatu peristiwa atau fakta tertentu yang belum tentu akan terjadi di masa depan, namun para pihak dalam perjanjian itu sepakat bahwa bila peristiwa atau fakta tersebut benar terjadi maka perjanjian tersebut menjadi batal. Perjanjian dengan syarat batal yang menjadi batal demi hukum karena syarat batal tersebut terpenuhi, menimbulkan akibat kembalinya keadaan pada kondisi semula pada saat timbulnya perikatan itu atau dengan kata lain, perjanjian yang batal demi hukum seperti itu berlaku surut hingga ke titik awal perjanjian itu dibuat. Dalam Bab terdahulu, Penulis katakan bahwa hal seperti ini disebut dengan void ab initio. Void artinya batal atau tidak ada, sedangkan ab initio artinya kembali ke keadaan sejak sebelum suatu perbuatan yang batal demi hukum itu dilakukan.

Pasal 1265 KUH Perdata mengatur hal ini dengan menyebut bahwa:

suatu syarat batal adalah yang bila dipenuhi akan

menghapuskan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menunda pemenuhan perikatan; ia

30


(7)

20

hanya mewajibkan kreditur mengembalikan apa yang telah

diterimanya, bila yang dimaksudkan terjadi”.31

I.G. Rai Widjaya mengatakan apabila unsur syarat objektif ada yang tidak terpenuhi (suatu hal tertentu atau suatu sebab yang legal), akibat hukumnya adalah batal demi hukum (disebut null and void atau nietig verklaard). Batal demi hukum artinya, sejak awal tidak pernah lahir suatu perjanjian sehingga tidak pernah ada perikatan. Karena tidak pernah lahir perjanjian, maka perjanjian adalah tidak ada akibat hukum apapun, sehingga, tidak ada dasar hukum yang dapat dijadikan alas hak untuk melakukan gugatan atau penuntutan.32 Seseorang yang sudah tahu bahwa tidak ada hak bagi orang itu untuk mengajukan gugatan atas dasar perjanjian kemudian nekat membawa gugatan tersebut ke depan hakim adalah mungkin mengalami gangguan jiwa.

Selanjutnya, batal demi hukum atau batal dengan sendirinya (otomatis) adalah apabila terdapat kontrak yang tidak memenuhi syarat obyek tertentu atau tidak mempunyai causa atau causanya tidak diperbolehkan (Pasal 1320 KUH Perdata angka (3) dan (4) jis. 1335, 1337, 1339 KUH Pedata), berakibat, kontrak tersebut batal demi hukum (nietig). Dengan demikian makna pembatalan lebih mengarah pada proses pembentukan kontrak (penutupan kontrak). Akibat hukum pada pembatalan

31

Ibid hal., 13-14.

32

I.G.Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak “Contract Drafting dan Praktik” Kesaint Blanc, Bekasi Timur hal., 54.


(8)

21

kontrak adalah “pengembalian pada posisi semula, sebagaimana halnya sebelum penutupan kontrak”,33restorasi.

Konsepsi null and void ini juga dirumuskan dalam kepustakaan selain kepustakaan-kepustakaan yang telah dikemukakan di atas dengan kata-kata yang sama persis dan juga struktur analisis yang sama juga. Misalnya, seperti diketahui ada 2 (dua) persyaratan yang menentukan sahnya suatu perjanjian (Pasal 1320 KUH Perdata), persyaratan tersebut adalah: Persyaratan subyektif, yaitu kesepakatan dan kecakapan; Persyaratan obyektif, yaitu suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Apabila persayaratan tersebut di atas tidak terpenuhi maka akibatnya ialah bahwa dengan tidak dipenuhinya persyaratan subyektif (kesepakatan dan kecakapan) maka perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak melalui pengadilan, sedangkan apabila yang tidak tepenuhi syarat objektif (suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal) maka perjanjian batal demi hukum.

Mengenai batal demi hukum atau batal dengan sendirinya (batal secara otomatis) adalah apabila persyaratan obyektif (suatu hal tetentu dan suatu sebab yang halal) tidak dipenuhi. Ini berarti bahwa perjanjian tersebut seolah-olah tidak pernah ada, atau sejak semula secara yuridis tidak pernah ada perikatan. Ini berarti pula bahwa salah satu pihak tidak mempunyai alasan/dasar melakukan tuntutan hukum terhadap pihak yang lain, karena tidak ada unsur hukumnya. Sehubungan dengan hal

33

Agus Yudha Hernoko., Hukum Perjanjian”Asas Proporsionalitas dalam Kontrak


(9)

22

tersebut maka Hakim karena jabatannya diwajibkan menyatakan bahwa tidak pernah ada perjanjian atau perikatan.34

Selanjutnya penjelasan yang sama mengenai konsep batal demi hukum ini juga dapat dikemukakan dalam kepustakaan lain, dalam hal ini terjadi apabila syarat objektif dari suatu perjanjian tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tesebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum, adalah gagal. Dengan demikian, tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. Dalam bahasa Inggris dikatakan bahwa yang demikian itu null and void.35

Demikian juga batal demi hukum ini dijelaskan alasan kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang. Pada umumnya ketentuan-ketentuan yang sehubungan dengan kebatalan ini menyangkut persetujuan-persetujuan obligator. Misalnya persetujuan dengan causa yang tidak halal atau persetujuan jual-beli atau hibah antara suami isteri adalah batal demi hukum.

Undang-undang menentukan bahwa perbuatan hukum adalah batal demi hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang menyangkut perbuatan hukum,

34

Soeroso R, Perjanjian dibawah Tangan “Pedoman Praktis Pembuatan dan Aplikasi

Hukum” Sinar Grafika, Jakarta, hal., 24-25.

35

H.R Daeng Naja., Contract Drafting “Seri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis”, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal., 16.


(10)

23

ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada umumnya adalah untuk melindungi ketertiban masyarakat.36

2.2. Syarat Sahnya Perjanjian

KUH Perdata mengatur sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal.37

Selanjutnya, tentang syarat sahnya perjanjian tersebut di atas dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan: kata sepakat (toesteming/izin) kedua belah pihak adalah konsensus para pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 Ayat (1) KUH Perdata, persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Ditambahkan bahwa yang sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain, tetapi menurut hukum harus dibuktikan ada dalam pernyataan tersebut, tertuang dalam dokumen atau terlihat dari perbuatan.

Terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, terlihat dari adanya: bahasa yang sempurna dan tertulis; bahasa yang sempurna secara lisan; bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Hal ini mengingat dalam kenyataan seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi

36

R. Setiawan., Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1977, hal., 122.

37


(11)

24

dimengerti oleh pihak lawan; bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima oleh pihak lawan. Pada dasarnya, cara yang paling digunakan oleh para pihak, yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan tertulis. Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna dikala timbul sengketa dikemudian hari,38 meskipun, menurut Penulis, perjanjian yang dipandang lisanpun sebetulnya merupakan suatu perjanjian tertulis bagi para jurist.

Sedangkan penjelasan mengenai kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan wenang39 untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Orang yang cakap/wenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa. Ukuran kedewasaan ada yang telah berumur 21 tahun dan/atau sudah kawin. Orang yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum: (1) anak di bawah umur

(minderjarigheid), (2) orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan (3) istri (Pasal

1330 KUH Pedata). Akan tetapi, dalam perkembangannya istri dapat melakukan

38

H. Salim., H. Abdullah, & Wiwiek Wahyuningsih, Perancangan Kontrak & Memorandum

of Understanding (MoU), Sinar Grafika, 2007, Jakarta, hal., 9-10.

39


(12)

25

perbuatan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU Nomor 1 tahun 1974 Jo. SEMA No. 3 tahun 1963, namun harus memeroleh pengetahuan suaminya.40

Mengenai adanya objek perjanjian (onderwerp van de overeenkomst), dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitur dan apa yang menjadi hak kreditor. Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif. Prestasi terdiri atas: (1) memberikan sesuatu, (2) berbuat sesuatu, (3) tidak berbuat sesuatu (Pasal 1234 KUH Perdata).41

Perihal adanya kausa yang halal (geoorloofde oorzaak) dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian oorzaak (kausa yang halal). Di dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan kausa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Hoge Raad sejak tahun 1927 mengartikan oorzaak sebagai sesuatu yang menjadi tujuan para pihak.

Syarat yang pertama dan kedua yang pemahaman konseptualnya telah dikemukakan di atas disebut syarat subyektif, karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Adapun syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif,

40

Cantologi.

41

Ibid, hal., 10. Sebetulnya, ada literatur yang jauh lebih rinci dari kepustakaan di atas. Lihat; Jeferson Kameo. Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.


(13)

26

karena menyangkut objek perjanjian, yang disepakati para pihak sebagai subyek perjanjian.

Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya, salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan pejanjian yang disepakatinya. Akan tetapi, apabila para pihak tidak ada yang keberatan, maka perjanjian itu tetap dianggap sah meskipun pada suatu waktu dapat dibatalkan. Apabila syarat ketiga dan keempat tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum, artinya, dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada.42

2.3. Asas-asas dalam Hukum Perjanjian

Kaitan dengan pembahasan tentang definisi batal demi hukum berikut ini Penulis menguraikan sedikit asas-asas hukum perjanjian.

Asas perjanjian yang pertama, yaitu asas konsensualisme. Asas ini dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 Ayat (1) KUH Perdata. Dalam Pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak seperti telah Penulis uraikan di atas. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuain antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Hal

42


(14)

27 ini telah Penulis kemukakan di atas, menjadi obyek perjanjian dan apabila tidak ada maka perjanjian null and void.

Asas konsensualisme diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman di mana kedua hukum positif di negara-negara tersebut juga belajar dari Kontrak sebagai nama ilmu hukum. Di dalam hukum Germani tidak dikenal asas konsensualisme, tetapi yang dikenal adalah perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (kontan dalam hukum Adat). Sedangkan yang disebut perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta autentik maupun akta dibawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus

verbis literis dan contractus innomat. Artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila

memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsesualisme yang dikenal dalam KUH Perdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian. Dalam kaitannya dengan asas batal demi hukum, apabila para pihak bersepakat bahwa perjanjian yang mereka buat itu tidak terpenuhi formalitasnya maka kedua belah pihak dengan demikian sejak semula bersepakat bila tidak ada perjanjian di antara mereka.

Asas berikut yakni asas iktikad baik, dapat disimpulkan dari Pasal 1338 Ayat (3) KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Asas itikad baik merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak.


(15)

28 Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan

iktikad baik mutlak. Pada iktikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah

laku yang nyata dari subyek. Pada iktikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif. Dalam kaitan dengan asas batal demi hukum, apabila para pihak, baik dengan tingkah laku mereka, misalnya menulis kata-kata di atas suatu dokumen bahwa menurut akal sehat kedua belah pihak itu perjanjian mereka harus memeroleh assent dari suatu otoritas, dan menetapkan bahwa apabila assent itu tidak ada perjanjian mereka batal demi hukum, maka perjanjian mereka itu beriktikad baik apabila sejak semula memang tidak ada perjanjian bagi mereka

Asas selanjutnya asas kepribadian, merupakan asas yang menetukan bahwa seseorang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Dalam Pasal 1315 KUH Perdata dinyatakan: “ Pada umumnya seorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”.

Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Dalam Pasal 1340 KUH Perdata juga dinyatakan: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya”. Ini berarti perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.


(16)

29

Namun, ketentuan itu ada pengecualiannya, sebagaimana yang diintrodusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata, bahwa: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu”.

Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.

Jika dibandingkan kedua pasal itu maka dalam Pasal 1317 KUH Pedata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata untuk kepentingan: dirinya sendiri, ahli warisnya, dan orang-orang yang memperoleh hak dari padanya. Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUH Perdata, ruang lingkupnya luas.43

Ketentuan Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata, mengatur tentang asas kebebasan berkontrak yaitu “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: (1) membuat atau tidak membuat sesuatu; (2) mengadakan perjanjian dengan siapapun; (3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan,

43

Salim H.S, Hukum Kontrak “Teori & Teknik Penyusunan Kontrak”, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal., 10, 12. Lihat juga pada buku tulisan H.R. Daeng Naja, Contract DraftingSeri


(17)

30

dan persyaratannya; (4) menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. Dalam kaitan null and void, kebebasan (freedom of contract) tidak ada, maka mutlak, perjanjian itu batal demi hukum.

Akhirnya mengenai asas pacta sunt servanda disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt

sevanda menggariskan bahwa Hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi

kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.

Asas pacta sunt servanda pada mulanya dikenal di dalam hukum Gereja. Di dalam hukum Gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian apabila ada kesepakatan kedua belah pihak dan dikuatkan dengan sumpah. Ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangannya asas pacta sunt servanda diberi arti pactum, yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Adapun nudus

pactum sudah cukup dengan sepakat saja,44 dan apabila tidak ada pactum maka null.

44


(18)

31

2.4. Arti Penting Tinjauan Kepustakaan

Setelah Penulis menjelaskan tentang hakikat dari null and void serta syarat sahnya perjanjian berserta asas-asas dalam hukum perjanjian yang ada kaitannya dengan null and void, semua itu tidak lebih adalah untuk mengetahui tentang arti pentingnya suatu tinjauan pustaka ini. Rumusan masalah yang penulis kemukakan pada Bab I dapat terjawab dengan bertitik tolak dari pentingnya tinjauan pustaka ini. Selain itu juga arti penting tinjauan pustaka ini sebagai acuan atau referensi agar memahami bagaimana asas batal demi hukum dalam perjanjian kerja sama antara Pemerintah Kota Salatiga dengan PT. Matahari Mas Sejahtera satuan analisis yang digambarkan dan dianalisis dalam Bab III.

Dari uraian tinjauan kepustakaan sebagaimana telah dikemukakan di atas, arti penting dari asas batal demi hukum adalah suatu kontrak secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian.

Selain itu juga asas batal demi hukum dalam suatu perjanjian juga di anggap batal, meskipun tidak di minta oleh suatu pihak. Kemudian suatu perjanjian batal demi hukum apabila terjadi pelanggaran terhadap syarat obyektif dari sahnya suatu perikatan.

Berikutnya juga suatu perjanjian harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian yaitu kata sepakat, kecakapan para pihak, suatu hal tertentu, sebab yang halal. Sepakat artinya terjadi pesesuaian pernyataan kehendak, terlihat dari bahasa


(19)

32 yang sempurna dan tertulis yang dapat di terima pihak lawan. Kecakapan artinya kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Kemudian suatu hal tertentu atau mengenai adanya obyek perjanjian adalah prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban antara para pihak. Selanjutnya kausa yang halal atau sebab yang halal adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Selain asas batal demi hukum dan syarat sahnya suatu perjanjian dalam membuat perjanjian di perlukan juga asas-asas dalam hukum perjanjian. Asas konsesualisme atau yang biasa di sebut dengan kesepakatan seperti yang terdapat dalam Pasal 1320 Ayat (1) KUH Perdata. Selanjutnya asas itikad baik yaitu perjanjian harus di laksanakan dengan iktikad baik berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Dan yang berikut adalah asas kepribadian menentukan bahwa seseorang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Asas kebebasan berkontrak ini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, mengadakan perjanjian dengan siapapun, menetukan isi perjanjian, pelaksanaan, persyaratan, dan menentukan bentuk perjanjian tertulis atau lisan. Terakhir asas pacta

sunt servanda dapat di simpulkan dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata

“perjanjian yang di buat secara sah berlaku sebagai undang-undang.

Arti penting selanjutnya apabila orang telah mempunyai pemahaman bahwa suatu perjanjian dilihat dari batal demi hukum adalah sejak semula perjanjian itu harus dianggap tidak pernah ada, maka orang itu haruslah mematuhi hal tersebut. Tidak boleh lagi ada tindakan orang-orang tersebut untuk melaksanakan perjanjian


(20)

33 yang batal demi hukum tersebut. Tetapi bagaimana hal itu di dalam kenyataannya? Berikut pada Bab III Penulis akan menggambarkan suatu perjanjian yaitu Perjanjian No. 2 yang ada yang mengandung null and void tersebut, berikut analisisnya.


(1)

28 Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan

iktikad baik mutlak. Pada iktikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subyek. Pada iktikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif. Dalam kaitan dengan asas batal demi hukum, apabila para pihak, baik dengan tingkah laku mereka, misalnya menulis kata-kata di atas suatu dokumen bahwa menurut akal sehat kedua belah pihak itu perjanjian mereka harus memeroleh assent dari suatu otoritas, dan menetapkan bahwa apabila assent itu tidak ada perjanjian mereka batal demi hukum, maka perjanjian mereka itu beriktikad baik apabila sejak semula memang tidak ada perjanjian bagi mereka

Asas selanjutnya asas kepribadian, merupakan asas yang menetukan bahwa seseorang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH Perdata. Dalam Pasal 1315 KUH Perdata dinyatakan: “ Pada umumnya seorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri”.

Inti ketentuan ini bahwa seseorang yang mengadakan perjanjian hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Dalam Pasal 1340 KUH Perdata juga dinyatakan: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya”. Ini berarti perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.


(2)

29

Namun, ketentuan itu ada pengecualiannya, sebagaimana yang diintrodusir dalam Pasal 1317 KUH Perdata, bahwa: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu”.

Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian untuk kepentingan pihak ketiga dengan suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak dari padanya.

Jika dibandingkan kedua pasal itu maka dalam Pasal 1317 KUH Pedata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUH Perdata untuk kepentingan: dirinya sendiri, ahli warisnya, dan orang-orang yang memperoleh hak dari padanya. Pasal 1317 KUH Perdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUH Perdata, ruang lingkupnya luas.43

Ketentuan Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata, mengatur tentang asas kebebasan berkontrak yaitu “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”. Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: (1) membuat atau tidak membuat sesuatu; (2) mengadakan perjanjian dengan siapapun; (3) menentukan isi perjanjian, pelaksanaan,

43

Salim H.S, Hukum Kontrak “Teori & Teknik Penyusunan Kontrak”, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal., 10, 12. Lihat juga pada buku tulisan H.R. Daeng Naja, Contract DraftingSeri Keterampilan Merancang Kontrak Bisnis”, PT. Citra Aditya Bakti, 2006, hal., 8-13.


(3)

30

dan persyaratannya; (4) menentukan bentuknya perjanjian, yaitu tertulis atau lisan. Dalam kaitan null and void, kebebasan (freedom of contract) tidak ada, maka mutlak, perjanjian itu batal demi hukum.

Akhirnya mengenai asas pacta sunt servanda disebut juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt sevanda menggariskan bahwa Hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata: “Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.

Asas pacta sunt servanda pada mulanya dikenal di dalam hukum Gereja. Di dalam hukum Gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian apabila ada kesepakatan kedua belah pihak dan dikuatkan dengan sumpah. Ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangannya asas pacta sunt servanda diberi arti pactum, yang berarti sepakat tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Adapun nudus pactum sudah cukup dengan sepakat saja,44 dan apabila tidak ada pactum maka null.

44


(4)

31

2.4. Arti Penting Tinjauan Kepustakaan

Setelah Penulis menjelaskan tentang hakikat dari null and void serta syarat sahnya perjanjian berserta asas-asas dalam hukum perjanjian yang ada kaitannya dengan null and void, semua itu tidak lebih adalah untuk mengetahui tentang arti pentingnya suatu tinjauan pustaka ini. Rumusan masalah yang penulis kemukakan pada Bab I dapat terjawab dengan bertitik tolak dari pentingnya tinjauan pustaka ini. Selain itu juga arti penting tinjauan pustaka ini sebagai acuan atau referensi agar memahami bagaimana asas batal demi hukum dalam perjanjian kerja sama antara Pemerintah Kota Salatiga dengan PT. Matahari Mas Sejahtera satuan analisis yang digambarkan dan dianalisis dalam Bab III.

Dari uraian tinjauan kepustakaan sebagaimana telah dikemukakan di atas, arti penting dari asas batal demi hukum adalah suatu kontrak secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian.

Selain itu juga asas batal demi hukum dalam suatu perjanjian juga di anggap batal, meskipun tidak di minta oleh suatu pihak. Kemudian suatu perjanjian batal demi hukum apabila terjadi pelanggaran terhadap syarat obyektif dari sahnya suatu perikatan.

Berikutnya juga suatu perjanjian harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian yaitu kata sepakat, kecakapan para pihak, suatu hal tertentu, sebab yang halal. Sepakat artinya terjadi pesesuaian pernyataan kehendak, terlihat dari bahasa


(5)

32 yang sempurna dan tertulis yang dapat di terima pihak lawan. Kecakapan artinya kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Kemudian suatu hal tertentu atau mengenai adanya obyek perjanjian adalah prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban antara para pihak. Selanjutnya kausa yang halal atau sebab yang halal adalah tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Selain asas batal demi hukum dan syarat sahnya suatu perjanjian dalam membuat perjanjian di perlukan juga asas-asas dalam hukum perjanjian. Asas konsesualisme atau yang biasa di sebut dengan kesepakatan seperti yang terdapat dalam Pasal 1320 Ayat (1) KUH Perdata. Selanjutnya asas itikad baik yaitu perjanjian harus di laksanakan dengan iktikad baik berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Dan yang berikut adalah asas kepribadian menentukan bahwa seseorang akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Asas kebebasan berkontrak ini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, mengadakan perjanjian dengan siapapun, menetukan isi perjanjian, pelaksanaan, persyaratan, dan menentukan bentuk perjanjian tertulis atau lisan. Terakhir asas pacta sunt servanda dapat di simpulkan dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata “perjanjian yang di buat secara sah berlaku sebagai undang-undang.

Arti penting selanjutnya apabila orang telah mempunyai pemahaman bahwa suatu perjanjian dilihat dari batal demi hukum adalah sejak semula perjanjian itu harus dianggap tidak pernah ada, maka orang itu haruslah mematuhi hal tersebut. Tidak boleh lagi ada tindakan orang-orang tersebut untuk melaksanakan perjanjian


(6)

33 yang batal demi hukum tersebut. Tetapi bagaimana hal itu di dalam kenyataannya? Berikut pada Bab III Penulis akan menggambarkan suatu perjanjian yaitu Perjanjian No. 2 yang ada yang mengandung null and void tersebut, berikut analisisnya.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pola Komunikasi Forum Jurnalis Salatiga dengan Pemerintah Kota Salatiga T1 362009602 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pola Komunikasi Forum Jurnalis Salatiga dengan Pemerintah Kota Salatiga T1 362009602 BAB II

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Pemerintah Kota Salatiga dalam Mewujudkan Kota Layak Anak T1 312009038 BAB II

0 0 61

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Null and Void Perjanjian Kerja Sama No 2 Tahun 1991 antara Pemerintah kota Salatiga dengan PT. Matahari Mas Sejahtera T1 312009033 BAB I

0 0 13

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Null and Void Perjanjian Kerja Sama No 2 Tahun 1991 antara Pemerintah kota Salatiga dengan PT. Matahari Mas Sejahtera T1 312009033 BAB IV

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Null and Void Perjanjian Kerja Sama No 2 Tahun 1991 antara Pemerintah kota Salatiga dengan PT. Matahari Mas Sejahtera

0 1 15

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Null and Void Perjanjian Kerja Sama No 2 Tahun 1991 antara Pemerintah kota Salatiga dengan PT. Matahari Mas Sejahtera

0 0 73

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Lingkungan Kerja dengan Kinerja Karyawan Bagian Produksi PT. Patria Prima Jaya Tugu Salatiga T1 BAB II

0 0 12

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Mas dan Mbak Duta Wisata dalam Mempromosikan Kota Salatiga T1 BAB II

0 1 34

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kebijakan Pemerintah Kota Salatiga terhadap Keberadaan Pasar Tiban di Jalan Lingkar Salatiga T1 BAB II

1 5 60