Penyediaan Obat dan Perlengkapan Medik

25

E. Penyediaan Obat dan Perlengkapan Medik

Pengelolaan logistik program penanggulangan HIV dan AIDS meliputi perencanaan, pengadaan, penyimpanan, distribusi, penggunaan, dan pengawasan obat dan perlengkapan medik untuk pencegahan, diagnostik dan terapi. Pengelola logistik ini dalam sistem kesehatan dilakukan kementerian kesehatan di tingkat pusat dan dinas kesehatan di tingkat sub-nasional. Sistem manajemen logistik yang handal diharapkan bisa menjamin bahwa logistik untuk pelaksanaan program ini harus sampai kepada penerima tepat waktu, cukup dan dengan kualitas yang terjaga. Penyediaan obat dan perlengkapan medik untuk pencegahan dan terapi HIV dan AIDS selama ini masih bergantung terutama dari bantuan luar negeri, kecuali ARV dan beberapa reagen. Pengadaan kebutuhan tersebut sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah pusat atau melalui mitra pembangunan internasioanl. Secara umum kebijakan terkait sediaan farmasi diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 721998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan Lembaran Negara Tahun 1998 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara 3781 yang menyebabkan pengadaan metadon dan ARV masih terpusat. Pengadaan material pencegahan dan penanggulangan HIV dan AIDS harusnya mengikuti kebijakan ini. Kondom selain alat pencegahan HIV dan AIDS juga berfungsi sebagai alat kontrasepsi, sehingga menjadi pertanyaan apakah pengadaan kondom dan pelicin dalam pengadaan alat kesehatan sudah termasuk dalam pengadaan alat kontrasepsi kondom atau ada pengadaan khusus untuk pencegahan HIV. Sebagai contoh, pada tahun 2012 Kemenkes melakukan pengadaan Alat Kontrasepsi Kondom Tahun Anggaran 2012 dengan pagu Rp 25.231.735.000. Ini perlu dipertanyakan karena pengadaan kondom dan alat suntik didanai oleh bantuan dana luar negeri dan dilakukan secara terpusat oleh KPAN dan kemudian didistribusikan langsung ke KPAD, OMS atau Puskesmas. Di tingkat lapangan ketersedian alat dan cara pendistribusiannya sampai pada pengguna sering menimbulkan problem tersendiri, terutama pendistribusian jarum suntik. Walaupun ada kebijakan di tingkat nasional tentang pengaturan dan pendistribusian jarum suntik sebagai alat pencegahan, namun di tingkat lapangan masih mengalami permasalahan tersendiri, antara lain; masalah pendistribusian oleh di LSM atau di Puskesmas. Saat ini penasun didorong untuk mengambil sendiri jarum suntik steril di puskesmas. Ketersediaan 26 jarum steril di beberapa puskesmas yang ditunjuk harusnya mudah diakses penasun. Pada awal program petugas lapangan aktif mempromosikan dan membagikan jarum suntik steril. Pendistribusian kondom sering mendapat resistensi dari masyarakat umum. Upaya penyediaan outlet kondom sudah dilakukan sebagai pilot projek di beberapa tempat di Indonesia. Kebijakan sentralisasi pengadaan ARV, kondom dan jarum suntik yang masih terpusat telah menimbulkan beberapa akibat yang merugikan bagi penerima manfaat khususnya terjadinya stock-out di beberapa daerah. Khusus untuk pengadaan jarum suntik telah menimbulkan ketidakefisienan karena adanya variasi tentang preferensi jenis jarum suntik yang digunakan oleh penasun di berbagai daerah sehingga seringkali jarum yang sudah terbeli tidak bisa diakses. Dari sisi pemanfaatan, distribusi alat suntik steril dan kondom oleh petugas puskesmas atau dilakukan di dalam puskesmas memang menjadi lebih kondusif karena sangat jarang ditentang oleh masyarakat, tokoh agama dan penegak hukum. Namun jaminan ketersediaan alat suntik di beberapa puskesmas masih kurang, dan masih ada mind-set banyak pasien yang hanya mendatangi puskesmas karena membutuhkan pengobatan, bukan untuk mencegah penyakit.

F. Partisipasi Masyarakat