Pembiayaan Program HIVAIDS Kebijakan HIV dan AIDS

28 pengguna disamakan dengan pengedar narkoba; pemerasan, penindasan dan pelecehan pekerja seks ketika berhadapan dengan penegak hukum saat razia atau penyedia layananan, hak untuk memperoleh pengobatan, hak untuk mendapatkan jaminan sosial dan jaminan kesehatan, hak atas pendidikan bagi anak ODHA dan hak atas pekerjaan. Hal ini misalnya bisa dilihat dari studi Community Access to Treatment Services Study CATS in Indonesia tahun 2013 disebutkan hampir seperlima 18 dari ODHA responden yang pernah mengalami perlakuan tidak menyenangkan karena status HIV nya termasuk stigma dan diskriminasi. Selain itu, ODHA perempuan dua kali lebih mungkin untuk mengalami stigma dan diskriminasi. Pelaku dari stigma dan diskriminasi beragam juga bisa dari petugas kesehatan, seperti yang diungkapkan oleh CATS Survey. Yang mengejutkan, responden di Jakarta melaporkan, pelaku stigma dan diskriminasi 10 nya adalah petugas kesehatan yaitu dalam bentuk menolak memberikan pertolongan medis pada ODHA. Masih cukup banyak pertentangan nilai di masyarakat tingkat lokal, seperti yang ditemukan dalam ketentuan Perda. Kontradiksi dalam pengaturan tentang kondom, penyebutan pengakuan yang samar-samar mengenai lokasilokalisasi pelacuran dan tempat-tempat hiburan Cafe, Bar, Diskotik, Night Club hubungan seks pasangan pre maupun luar nikah, merupakan kendala utama dalam memberi makna terhadap efektif tidaknya penegakan ketentuan pidana dalam Perda tentang pencegahan dan penanggulangan HIV AIDS.

G. Pembiayaan Program HIVAIDS

Dalam Strategi Nasional penanggulanggan HIV dan AIDS 2010 -2014 disebutkan bahwa ada empat fokus area program yang memerlukan pendanaan yakni 1 pencegahan 57, 2 perawatan, dukungan dan pengobatan 28, 3 mitigasi dampak 2, dan 4 pengembangan lingkungan yang kondusif 13, di mana di dalamnya adalah pendanaan operasional kelembagaan KPA. Kegiatan program difokuskan pada program yang efektif dan dilaksanakan di 137 kabupaten dan kota, dimana lebih dari 80 populasi kunci berada. Selain itu dibutuhkan juga pendanaan untuk prasarana pencegahan, perawatan dan pengobatan, yang meliputi outlet kondom, layanan VCT, layanan IMS, layanan CST, layanan PMTCT, layanan alat suntik steril, dan layanan PTRM. Sumber dana yang dominan sampai saat ini bersumber dari sumber lain yang tidak mengikat, yakni dari Mitra Pembangunan Internasional. Oleh karena itu pendanaan masih 29 menjadi masalah di Indonesia, walaupun tren pendanaan baik dari APBN, APBDP dan APBD Kota dan Kabupaten meningkat tetapi ketergantungan dari bantuan dana hibah luar negeri juga masih dominan. Misalnya hal ini bisa dilihat pada struktur pembiayaan program harm reduction yang menunjukkan bahwa secara keseluruhan pembiayaan HR bersumber dari: a. bilateral funding 2009: 1,194 juta USD; 2010: 1,437 juta USD b. multilateral funding 2009: 193 juta USD; 2010: 228 juta USD c. APBN and APBD 2009: 173 juta USD; 2010: 68.7 juta USD. Secara rutin KPAN melakukan analisis tentang pembiayaan HIV dan AIDS berdasarkan sumber-sumber pendanaan baik yang berasal dari kolaborasi dengan Mitra Pembangunan Internasional, dana APBN dan APBD. Pada tahun 2011, pendanaan dari Mitra Pembangunan International, mayoritas 31,07 dari dana multinasional GF, Australia 18,99 , Amerika Serikat 18,70, Inggris 18,23, Badan PBB 10,21 dan sumber dari negara lain 2,80. Hal yang menarik adalah sekalipun ketergantungan akan pendanaan luar negeri masih ti ggi, a u pe eri tah telah e yiapka ke ijaka u tuk exit strategy , salah satu contohnya adalah Keputusan Dirjen P2PL selaku pimpinan Principal Recipient hibah GFATM No. HK.03.05DI.45322012 tentang Pedoman Exit Strategi dana hibah GF-ATM. Meski sudah ada regulasi seperti ini tampaknya upaya untuk merealisasikan exit strategy ini masih belum bisa diwujudkan hingga tahun ini karena adanya sumber dana bagi penanggulangan HIV dan AIDS pada tahun 2014 mengalami penurunan yang signifikan khususnya dalam pengadaan obat ARV yang selama ini seluruhnya ditanggung oleh APBN. Terkait dengan dana operasional lembaga, maka KPAN, KPAP, dan KPA KotaKab, sebagai lembaga -lembaga koordinasi yang sifatnya ad hoc dan bukan SKPD maka operasionalnya memerlukan sumber dan mekanisme tertentu. Mayoritas pendanaan untuk kesekretariatan KPAN, KPAP dan KPAD berasal dari dana pihak lain yang tidak lain mengikat termasuk yang bersumber dari Mitra Pembangunan Internasional. Mobilisasi sumber daya finansial dikoordinasikan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Dana yang berasal dari sektor pemerintah dan bantuan mitra internasional digunakan untuk mendanai penyelenggaraan upaya penanggulangan mulai dari tingkat pusat sampai daerah. Mobilisasi dana dari sektor pemerintah mengikuti mekanisme 30 penggunaan anggaran pemerintah. Sedangkan mobilisasi dana dari mitra internasional baik bilateral maupun multilateral, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional menyiapkan proposal untuk pengajuan bantuan kepada mitra internasional multilateral. Penentuan program yang akan didanai oleh mitra internasional bilateral disepakati kedua belah pihak dalam pertemuan konsultatif dan tetap mengacu pada dokumen ini. Bantuan finansial lainnya dihimpun dalam satu sistem manajemen keuangan oleh Komisi Penanggulangan AIDS Nasional yaitu Dana Kemitraan AIDS Indonesia DKAI. Penggunaan dana yang dihimpun ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab Komisi Penanggulangan AIDS Nasional dan pengelolaannya dilakukan oleh Sekretariat Komisi Penanggulangan AIDS Nasional atau lembaga lain yang ditunjuk. Di tingkat daerah, dana yang diperoleh dari masyarakat sipil seperti dari pihak swasta sebagai perwujudan CSR dihimpun oleh KPA di daerah bersangkutan dan digunakan untuk penyelenggaraan program yang tertuang dalam rencana aksi daerah. Pada tingkat daerah, ada 19 Provinsi dan 73 Kabupaten yang menganggarkan dana untuk penanggulangan AIDS pada tahun 2006. Pada tahun 2010 meningkat menjadi 33 Provinsi dan 166 Kabupatenkota KPAN 2011. Namun biasanya rencana pendanaan masih jauh dari kebutuhan program. Dalam hal upaya meningkatkan proporsi pendanaan lokal sehingga perlahan mengimbangi bantuan internasional, Permendagri yang dikeluarkan sejak 2007 tersebut dianggap pemerintah daerah kurang berkekuatan hukum agar daerah mengupayakan pendanaan lokal. Berbagai permasalahan atau kesenjangan pendanaan seringkali menjadi pertanyaan umum dalam penanggulangan HIV dan AIDS, terutama yang menyangkut; Apa dasar hukum Penganggaran Program AIDS di tingkat daerah? Bagaimana dengan memastikan bahwa program AIDS ada di dalam APBD jika sudah ada Perda AIDS? Apakah KPA bisa mencukupi kegiatannya jika hanya memperoleh bantuan hibah yang berisfat tidak berkelanjutan? Apakah pembiayaan APBD bisa digunakan untuk membiayai gaji staff KPA yang bukan pegawai negeri secara rutin? Apakah OMSOBM bisa mengakses dana APBD? dan seterusnya. 31

V. Integrasi Kebijakan dan Program HIV dan AIDS Dalam