7
II. Konteks Epidemi
Kasus AIDS pertama kali ditemukan di Pulau Bali pada tahun 1987, dan pada waktu itu para ahli sudah mewanti-wanti akan munculnya epidemi HIVAIDS di Indonesia. Sebagai dasar
prediksi, mereka menunjuk pada faktor-faktor antara lain besarnya industri seks komersial, tingginya prevalensi infeksi menular seksual IMS, kemiskinan, dan mobilitas penduduk
yang tinggi Kaldor, 1999. Sampai 12 tahun kemudian 1999 ternyata belum ada peningkatan jumlah kasus yang signifikan sekalipun faktor-faktor tersebut ada. Sebagian
besar faktor-faktor yang diyakini sebagai pendorong justru menjadi penghalang bagi meluasnya epidemi. Kemiskinan justru mengurangi permintaan akan jasa komersial seks,
walaupun sementara juga menaikkan jumlah pekerja seks. Namun kenaikan ini menyebabkan perputaran pelanggan relatif turun. Menurut Departemen Kesehatan 2003
sekitar 40,000 pekerja seks perempuan menjalani test HIV setiap tahun antara tahun 1991 dan 1995 jumlah ini hampir seperlima total WPS di seluruh negeri prevalensi HIV tidak
pernah melebihi 0.03. Data ini membuktikan bahwa sekalipun mobilitas tinggi dan prevalensi IMS juga tinggi, kalau virus HIV itu sendiri tidak ada, meluasnya virus HIV tidak
akan terjadi. Situasi ini berubah drastis di akhir tahun 1990an ketika semakin banyak pengguna narkoba suntik penasun di kalangan anak muda di kota-kota besar. Tidak ada
kasus HIV yang tercatat di kalangan pengguna heroin suntik yang mengikuti program rehabilitasi yang diperiksa di Jakarta di tahun 1997. Empat tahun kemudian, satu dari dua
pengguna heroin suntik di Jakarta telah terinfeksi virus ini RSKO dan Yakita, 2002. Pemakai heroin suntik telah menjadi kantong penyebaran HIV di Indonesia dalam lima tahun
terakhir. Jadi bahan bakar pendorong untuk epidemi ini bukan karena besarnya industri seks dan tingginya prevalensi IMS, namun karena masuknya faktor penasun dalam jaringan
epidemi ini FHI, 2002. Persimpangan antara penggunaan narkoba suntik dan besarnya industri seks memerlukan
perhatia kita kare a hal i i telah e jadi se uah si ergi u tuk eluas ya epide i HIV di Indonesia. Survei Surveillans Perilaku SSP yang dilakukan pada kalangan pengguna narkoba
suntik penasun di tiga kota besar di Pulau Jawa tahun 2002 menunjukkan banyaknya penasun yang melakukan seks tanpa pelindung dengan bukan pengguna. Sebagai contoh,
antara 20-75 penasun di 2002 melaporkan seks tanpa pelindung dengan pekerja seks,
8 dan di tahun 2004, hampir satu dari sepuluh penasun juga melaporkan menjual seks. Hal
inilah yang sesungguhnya menjadi bahan bakar meningkatnya prevalensi HIV pada industri seks. Terbukti misalnya di kalangan pekerja seks lokalisasi di Surabaya, prevalensi HIV naik
tiga kali lipat menjadi 3,8 antara 2001 dan 2004, sementara di kalangan pekerja seks jalanan, prevalensi HIV melompat dari 4,4 menjadi 12,2 hanya dalam waktu dua tahun.
Di Jakarta, prevalensi HIV juga naik dari 1,1 di tahun 2000, menjadi 6,4 tiga tahun kemudian. Tanpa masuknya penasun ke dalam industri seks, laju kenaikkannya diperkirakan
tidak akan secepat itu. Sekalipun prevalensi HIV di kalangan pengguna narkoba suntik sudah melebihi 50,
berdasar estimasi Komisi Penanggulangan Aids Nasional KPA tahun 2006, laju pertumbuhan infeksi baru pada pengguna narkoba suntik mulai stagnan, sedangkan pada
kelompok lain pelanggan wanita pekerja seks, waria, wanita pekerja seks walaupun prevalensinya lebih rendah dari penasun, karena jumlah populasinya lebih banyak, jumlah
penderitanya lebih banyak. Dengan data ini KPA meyakini bahwa dalam dekade kedepan, penularan baru akan didominasi oleh penularan melalui jalur seksual yang menyumbangkan
hampir 70 dari penularan baru KPA 2007. Mengingat tren epidemi yang demikian, penelitian mengenai perilaku seks yang berisiko terhadap penularan HIV menjadi penting
u tuk e aha i perilaku epide i, agai a a e gupayaka pe a ggula ga ya g efektif, dan mengendalikan dampaknya terhadap sektor-sektor lainnya.
Interaksi antara waria transvestites penjaja seks dan pelanggannya layak mendapat perhatian kita juga. Sebagian besar pelanggan waria yang melakukan anal seks dengan waria
menggangap dirinya adalah heteroseksual, dan banyak dari mereka juga menjadi pelanggan pekerja seks perempuan. Karena tingginya prevalensi HIV pada waria penjaja seks yang
hampir 25 di sebagian besar kota-kota di Indonesia, laki-laki pelanggan menjadi je
ata a tara HIV di kala ga waria dan ke kalangan pekerja seks perempuan, bahkan ke masyarakat umum istrinya. Disamping itu, meningkatnya industri seks di kalangan pria
yang menjual seks ke pria di beberapa kota juga perlu diperhatikan karena separuh dari pekerja seks laki-laki menganggap dirinya heteroseksual dan mempunyai pasangan seks
perempuan FHI, 2002. Jaringan seksual yang saling terkait merupakan jalan tol bagi virus HIV untuk sampai kepada masyarakat umum menjadi lebih mudah dan lebih cepat seperti
digambarkan oleh Pandu Riono 2004. Studi tentang waria n=272 dan laki-laki seks
9 dengan laki-laki n=275 yang dilakukan Depkes dan FHI pada tahun 2002 di Jakarta juga
memberi gambaran betapa jaringan seksual diantara kelompok berisiko sangatlah rumit. Laki-laki penjaja seks yang pelanggannya adalah laki-laki homoseksual gay, ternyata juga
membeli seks dari wanita penjaja seks. Epidemi HIV berkembang di Papua dengan cara yang berbeda, dimana pengguna narkoba
suntik sangat jarang di sana. Studi antropologi tentang seksualitas orang Papua oleh Leslie Butt 2002 menggambarkan bahwa jaringan seksual di Papua sangat unik dibanding
provinsi lainnya, yaitu meliputi seks sebelum nikah premarital dan praktek seks antar generasi. Perilaku-perilaku ini menghasilkan pola penularan yang berbeda dan HIV
menyebar terutama melalui jaringan seksual ke dalam populasi umum. Survei surveilans perilaku dan biologi yang dilakukan Depkes dan BPS pada tahun 2006 menunjukkan bahwa
epidemi di Papua sudah mencapai populasi umum generalized epidemy, dimana sedikitnya 2.4 populasi dewasa 15-49 tahun sudah terinfeksi HIV.
Perjalanan epidemi HIVAIDS di Indonesia dan kaitannya dengan perubahan kemasyarakatan dapat dilihat sebagai berikut: epidemi yang masih terkonsentrasi pada
kelompok tertentu pengguna narkoba suntik dan pekerja seks misalnya telah menemukan lingkungan pendukungnya structural conditioning yaitu meluasnya jaringan penularan
sehingga mulai mengancam populasi yang lebih luas.
Struktur populasi berisiko dan struktur sosial kemudian merespon perkembangan structural interaction dan hasilnya adalah suatu struktur dan tugas baru emergent structure and task
yang mungkin tetap dalam struktur lama atau menuntut perubahan atau perluasan struktural structural elaboration. Sebagai contoh, jaringan seksual pengguna narkoba suntik yang
terinfeksi, sebagian besar dari mereka adalah aktif secara seksual, merupakan katalisator yang kuat untuk meluasnya virus ke dalam kelompok yang lain, yaitu pasangan seksualnya, baik
pekerja seks maupun ibu rumah tangga. Demikian juga dengan tingkat dukungan layanan lembaga-lembaga di seputar industri seks di Indonesia ikut menentukan juga luasnya penularan
melalui jalur seksual.
4
Singkatnya, disamping karakteristik individu, faktor-faktor di luar individu juga menjadi faktor penentu bagi meluasnya penularan HIVAIDS.
4
Antara lain sifat industri seks yang eksploitatif, lemahnya posisi tawar wanita penjaja seks terhadap pelanggan dan majikannya, stigma, layanan kesehatan dll.
10
11
III. Evolusi Kebijakan HIV dan AIDS di Indonesia