Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Emulsifier terhadap Kestabilan dan Sifat Reologi Emulsi Oil in Water Minyak Sawit Merah

(1)

SKRIPSI

PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI EMULSIFIER TERHADAP KESTABILAN DAN SIFAT REOLOGI EMULSI OIL IN WATER

MINYAK SAWIT MERAH

Oleh:

SITI KIPDIYAH

F24062648

2010

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


(2)

PENGARUH JENIS DAN KONSENTRASI EMULSIFIER TERHADAP KESTABILAN DAN SIFAT REOLOGI EMULSI OIL IN WATER

MINYAK SAWIT MERAH

Oleh :

SITI KIPDIYAH F24062648

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

The Effect of Emulsifier Types and Concentrations on Emulsion Stability and Rheology Property of Oil in Water Red Palm Oil Emulsion.

Siti Kipdiyah1), Dede R. Adawiyah1), Eko H. Purnomo1)

1)

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian-IPB

ABSTRACT

Oil in water (o/w) emulsion are a system where an oil is dispersed in an aqueous phase. Preliminary study was fractionation of red palm oil. This process was hold at 60°C for 10 minutes to obtain olein which used as raw material of oil in water emulsion. Futhermore, an optimal oil in water emulsion formulation was selected from the best water and oil ratio that was blended with several concentration of emulsifier. The ratio of water and oil were 6:4, 7:3, 7,5:2,5 and 8:2. This study used Carboxymethylcellulose (CMC), Arabic gum and Tween 80 as emulsifier in various concentrates. The result showed that Carboxymethylcellulose (CMC) at 0,55%, 0,60%, 0,65% and 0,70% (w/v) of concentration combined with 6:4 water and oil ratio was optimal o/w emulsions formulation. The optimal formulation were evaluated for emulsion stability (colour, carotene content and droplet size distribution) and rheology properties. The result of emulsion stability indicated that 0,65% and 0,70% (w/v) of CMC concentrations were stabilized. The rheology properties showed that all of optimal o/w emulsions formulation behaved as pseudoplastic (non-newtonian). This study indicated that viscosity of o/w emulsion was significantly affected by heat. However, the stirring on viscosity of o/w emulsions effect could be ignored. Based on stability and rheology evaluation, 0,65% (w/v) of CMC concentration was the best formulation for oil in water red palm oil emulsion.


(4)

i Siti Kipdiyah. F24062648. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Emulsifier terhadap Kestabilan dan Sifat Reologi Emulsi Oil in Water Minyak Sawit Merah. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, Msi dan Dr. Ir. Eko H. Purnomo, Msc.

RINGKASAN

Indonesia merupakan salah satu produsen terbesar minyak sawit. Minyak sawit memiliki kandungan β-karoten tinggi yang dapat dijadikan sebagai bahan baku berbagai produk olahan. Kandungan β-karoten banyak hilang selama proses pengolahan minyak sawit. Salah satu produk minyak sawit yang tetap mempertahankan kandungan β-karoten adalah minyak sawit merah. Berbagai penelitian terhadap pengolahan minyak sawit merah telah banyak dilakukan dan akan terus dikembangkan. Salah satunya adalah pembuatan emulsi minyak sawit merah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh jenis dan konsentrasi emulsifier terhadap kestabilan emulsi oil in water (o/w) dari minyak sawit merah. Selain itu, emulsi oil in water yang dihasilkan akan dipelajari sifat reologinya.

Penelitian pendahuluan yang dilakukan adalah fraksinasi minyak sawit merah hasil pemurnian atau dikenal dengan NDRPO (Neutralized Deudorized Red

Palm Oil) untuk menghasilkan fraksi olein. Fraksi olein yang diperoleh digunakan

sebagai bahan dasar pembuatan emulsi. Tahapan utama penelitian yaitu menentukan jenis dan konsentrasi emulsifier serta rasio air dan minyak berdasarkan tingkat kestabilannya yang paling tinggi. Jenis emulsifier yang digunakan antara lain Gum arab, Carboxymethylcellulose (CMC), dan Tween 80 dengan konsentrasi terendah 0,20% (b/v). Rasio air dan minyak yang diujikan yaitu 6 : 4, 7 : 3, 7,5 : 2,5 dan 8 : 2. Formula terbaik kemudian diuji kestabilan warnanya, total karoten serta diameter dan distribusi globula lemak. Selain itu juga dilakukan pengukuran sifat reologi dari formula terpilih emulsi oil in water minyak sawit merah.

Hasil yang diperoleh adalah Carboxymethylcellulose (CMC) sebagai jenis emulsifier terpilih. Formula terbaik yang diperoleh pada rasio air dan minyak 6 : 4 dan konsentrasi emulsifier CMC 0,55%, 0,60%, 0,65% dan 0,70% (b/v). Formula terbaik berdasarkan uji stabilitas emulsi terhadap semua parameter uji adalah


(5)

ii

emulsi pada konsentrasi emulsifier 0,65% dan 0,70% (b/v). Pengamatan visual terhadap stabilitas emulsi selama penyimpanan, menunjukkan bahwa kestabilan emulsi dengan konsentrasi emulsifier 0,55% dan 0,60% kestabilannya sampai 23 hari. Sedangkan pada formula emulsi dengan konsentrasi emulsifier 0,65% dan 0,70% selama 4 minggu penyimpanan emulsi yang dihasilkan masih stabil.

Sifat aliran dari semua formula terpilih emulsi oil in water yang diperoleh adalah Non Newtonian Pseudoplastik, dimana sifat pseudoplastik semakin berkurang dengan menurunnya konsentrasi emulsifier yang ditunjukkan oleh meningkatnya nilai indeks perilaku aliran (n). Pemanasan memiliki pengaruh terhadap viskositas dari semua formula emulsi terpilih. Semakin meningkat suhu pemanasan semakin menurun viskositasnya. Sedangkan berdasarkan energi aktivasi, semua tingkat konsentrasi emulsifier terpilih tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Lama pengadukan tidak berpengaruh terhadap kestabilan semua formula emulsi oil in water minyak sawit merah.

Berdasarkan dari semua parameter uji stabilitas dan sifat reologi, formula emulsi yang terpilih adalah formula dengan emulsifier CMC, pada rasio air dan minyak 6 : 4, dan konsentrasi emulsifier 0,65%.


(6)

iii RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tuban pada tanggal 02 September 1988. Penulis adalah anak terakhir dari 6 bersaudara dari pasangan H. Moch. Djupri dan Hj. Rd. Sri Suyatmi. Penulis mengawali pendidikan pada tahun 1992 di Tk Darma Wanita Lhokseumawe.

Kemudian melanjutkan pendidikan SD di SDN 1 Mulyoagung - Tuban (1994-2000). Penulis melanjutkan ke SLTPN 1 Tuban dan menyelesaikan pada tahun 2003. Penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 1 Bojonegoro dan menyelesaikan pada tahun 2006. Pada tahun yang sama, penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Setelah melalui Tingkat Persiapan Bersama, penulis berhasil masuk di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama di Universitas, penulis telah mengikuti banyak kegiatan. Penulis bergabung dengan himpunan di bidang ilmu dan teknologi pangan (Himitepa) di tingkat departement. Penulis pernah menjadi panelis duta lingkungan hidup “Campus Go Green” tahun 2008. Penulis mengikuti banyak seminar dan training, antara lain Seminar IFOODEX 2008, seminar manajemen pangan halal, HACCP, ISO 22000 : 2005, dan ISO 9001 : 2008. Terakhir Penulis mengikuti kegiatan pekan karya ilmiah pada tahun 2009.

Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pangan pada Fakultas Teknologi Pertanian, dengan judul “ Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Emulsifier terhadap Kestabilan dan Sifat Reologi Emulsi Oil in Water Minyak Sawit Merah “, dibawah bimbingan Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, Msi dan Dr. Ir. Eko H. Purnomo, Msc.


(7)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T karena berkat rahmat serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan judul “Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Emulsifier terhadap Kestabilan dan Sifat Reologi Emulsi Oil in Water Minyak Sawit Merah”. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada :

1. Ibu Dr. Ir. Dede R. Adawiyah, Msi dan Bapak Dr. Ir. Eko H. Purnomo, Msc selaku pembimbing, atas segala bimbingan, masukan dan nasihat yang diberikan kepada penulis.

2. Bapak Ir. Soenar Soekopitojo, Msi atas kesediaannya menjadi dosen penguji pada ujian akhir sarjana.

3. Kementerian Pendidikan Nasional yang telah membiayai penelitian ini melalui Hibah Kompetitif Penelitian Unggulan Strategi Nasional.

4. Ayah dan ibunda tercinta, serta kakak-kakak penulis, atas semua dukungan dan kasih sayang yang diberikan serta doanya selama ini.

5. R. Alfian Rahman, terima kasih atas kasih sayang, perhatian, dukungan dan kebersamaannya.

6. Sahabat seperjuangan : Yurina, Tsani, Dedi, Dyas, Mario, Mbak Irma,Kak Irene terima kasih atas semua bantuan tenaga dan semangat selama melakukan penelitian.

7. Sahabat dan teman-teman khususnya di ITP 43 : Ivani, Zatil, Eri, Della, Zakiyah, Helena, Febi, Ovi, Ami, Arini, Jesicca, Dzikri, Juli, Stefanus, Yogi, Victor, dan lainnya, terima kasih atas semangat dan kebersamaanya.

8. Teman-teman kosan Fricye : Devi, Habiba, Ida Yaru, Eka, Ibu Mayang, Ibu Nova, Ibu Eka, Lusi, Nure, dan lainya, atas bantuan, semangat, dan kebersamaannya.

9. Seluruh staff laboratorium dan TU ITP, terima kasih atas bimbingan dan bantuannya selama ini.


(8)

v 10. Semua pihak yang telah membantu penulis selama menempuh pendidikan di IPB, penelitian, dan penyusunan skripsi, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Tanpa keberadaan kalian semua, penulis tidak akan mungkin mencapai hal ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak sangat diharapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, September 2010

Siti Kipdiyah


(9)

vi DAFTAR ISI

Hal

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

A. Minyak Sawit ... 4

B. Minyak Sawit Merah ... 6

C. Karotenoid ... 8

D. Emulsi ... 10

E. Kestabilan Emulsi ... 13

F. Reologi Pangan ... 14

G. Perilaku Aliran Pangan ... 15

H. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sifat Reologi ... 18

III. METODOLOGI ... 21

A. Alat dan Bahan ... 21

B. Metode Penelitian ... 21

1. Fraksinasi Minyak Sawit Merah ... 21

2. Pemilihan Jenis Emulsifier ... 21

3. Pemilihan Rasio Air dan Minyak serta Optimasi Konsentrasi Emulsifier ... 23

4. Uji Stabilitas Emulsi ... 24

a. Pengamatan Warna ... 24

b. Uji Total Karoten ... 25

c. Penentuan Diameter dan Distribusi Globula Lemak ... 25

5. Pengukuran Sifat Reologi Emulsi ... 26

a. Penentuan Karakteristik Aliran ... 26

b. Penentuan Pangaruh Pemanasan ... 26


(10)

vii

6. Penentuan Formula Terbaik ... 27

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 28

1. Fraksinasi Minyak Sawit Merah ... 28

2. Jenis Emulsifier ... 28

3. Rasio Air dan Minyak serta Konsentrasi Emulsifier ... 32

4. Stabilitas emulsi ... 34

5. Sifat Reologi ... 51

6. Penentuan Formula Terbaik ... 59

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 62

A. Kesimpulan ... 62

B. Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 64


(11)

viii DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi asam lemak minyak sawit kasar dan titik cairnya ... 5

Tabel 2. Sifat fisik kimia minyak sawit kasar ... 6

Tabel 3. Kandungan karotenoid beberapa pangan nabati ... 7

Tabel 4. Perbandingan karakteristik minyak sawit merah ... 8

Tabel 5. Bahan Pangan sumber vitamin A ... 10

Tabel 6. Nilai beberapa komponen bahan pengemulsi ... 12

Tabel 7. Formula pemilihan rasio air : minyak serta konsentrasi emulsifier . 23

Tabel8. Hue dan daerah kisaran warna kromatis ... 25

Tabel 9. Hasil pengukuran stabilitas emulsi oil in water pada berbagai jenis emulsifier dan berbagai rasio air dan minyak ... 29

Tabel 10. Pengamatan visual terhadap stabilitas emulsi oil in water pada berbagai tingkat konsentrasi emulsifier selama 4 minggu penyimpanan ... 50

Tabel 11. Model pengaruh laju geser terhadap viskositas terukur emulsi oil in water minyak sawit merah ... 53

Tabel 12. Model efek pemanasan dari 25 °C sampai 90 °C terhadap viskositas terukur emulsi oil in water minyak sawit merah dengan laju geser 300 1/s ... 56

Tabel 13. Penentuan formula terbaik dari emulsi oil in water minyak sawit merah pada berbagai tingkat konsentrasi emulsifier ... 60


(12)

ix DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kelapa sawit ... 4

Gambar 2. Struktur β-karoten dan retinol (vitamin A) ... 9

Gambar 3. Diagram yang menggambarkan konsep dari emulsi ... 14

Gambar 4. Kurva Aliran Fluida Newtonian ... 15

Gambar 5. Kurva Aliran Fluida Bingham Plastik ... 16

Gambar 6. Kurva Aliran Fluida Thiksotropik ... 17

Gambar 7. Kurva Aliran Fluida Dilatan ... 17

Gambar 8. Kurva Aliran Fluida Thiksotropik ... 18

Gambar 9. Kurva Aliran Fluida Rheopektik ... 18

Gambar 10. Diagram alir pembuatan emulsi oil in water ... 22

Gambar 11. Contoh emulsi oil in water minyak sawit merah ... 31

Gambar 12. Emulsi dengan emulsifier CMC selama 3 hari penyimpanan .. 31

Gambar 13. Emulsi dengan emulsifier Tween 80 selama 3 hari penyimpanan ... 31

Gambar 14. Emulsi dengan emulsifier Gum arab selama 3 hari Penyimpanan ... 31

Gambar 15. Pengukuran stabilitas emulsi oil in water minyak sawit merah pada berbagai rasio minyak dan air serta pada berbagai tingkat konsentrasi emulsifier dengan emulsifier CMC ... 33

Gambar 16. Pengukuran stabilitas emulsi oil in water minyak sawit merah pada berbagai tingkat konsentrasi emulsifier dengan emulsifier CMC serta rasio air dan minyak 6 : 4 ... 34

Gambar 17. Kemasan selama uji stabilitas emulsi oil in water ... 35

Gambar 18. Hasil uji stabilitas emulsi oil in water minyak sawit merah terhadap nilai L pada berbagai konsentrasi emulsifier terpilih selama 4 minggu penyimpanan ... 36

Gambar 19. Hasil uji stabilitas emulsi oil in water minyak sawit merah terhadap nilai a pada berbagai ... 38


(13)

x Gambar 20. Hasil uji stabilitas emulsi oil in water minyak sawit merah

terhadap nilai b pada berbagai konsentrasi emulsifier terpilih

selama 4 minggu penyimpanan ... 39

Gambar 21. Hasil uji stabilitas emulsi oil in water minyak sawit merah terhadap nilai hue pada berbagai konsentrasi emulsifier terpilih selama 4 minggu penyimpanan ... 40

Gambar 22. Hasil uji stabilitas emulsi oil in water minyak sawit merah terhadap nilai ∆E pada berbagai konsentrasi emulsifier terpilih

selama 4 minggu penyimpanan ... 41

Gambar 23. Nilai total karoten emulsi oil in water minyak sawit merah

pada berbagai konsentrasi emulsifier yang berbeda yaitu (a) 0,55%, (b) 0,60%, (c) 0,65% dan (d) 0,70% (b/v) selama 4 minggu

penyimpanan ... 43

Gambar 24. Nilai k dari total karoten pada berbagai konsentrasi emulsifier yang berbeda dengan mengikuti reaksi orde ke nol ... 44

Gambar 25. Diameter globula lemak berbagai tingkat konsentrasi emulsifier jenis CMC selama 4 minggu penyimpanan ... 45

Gambar 26. Pengukuran distribusi globula lemak emulsi oil in water minyak sawit merah pada diameter 0,25 – 1,00 m berbagai konsentrasi emulsifier selama 4 minggu penyimpanan ... 46

Gambar 27. Nilai k dari globula lemak pada diameter 0,25 – 1,00 µm pada berbagai tingkat konsentrasi emulsifier yang mengikuti

reaksi orde nol ... 47

Gambar 28. Pengukuran distribusi globula lemak emulsi oil in water minyak sawit merah pada diameter 1,01 – 1,76 m berbagai konsentrasi emulsifier selama 4 minggu penyimpanan ... 47

Gambar 29. Pengukuran distribusi globula lemak emulsi oil in water minyak sawit merah pada diameter 1,77 – 2,52 m berbagai konsentrasi emulsifier selama 4 minggu penyimpanan ... 48


(14)

xi Gambar 30. Pengukuran distribusi globula lemak emulsi oil in water minyak

sawit merah pada diameter 2,53 – 3,82 m berbagai konsentrasi emulsifier selama 4 minggu penyimpanan ... 48

Gambar 31. Nilai k dari globula lemak pada diameter 2,53 – 3,28 µm pada berbagai tingkat konsentrasi emulsifier yang mengikuti

reaksi orde nol ... 49

Gambar 32. Pengaruh laju geser terhadap viskositas terukur gliserol 87%

pada shear rate 10-400 1/s, suhu 25°C dan waktu 25 menit ... 51

Gambar 33. Pengaruh laju geser terhadap viskositas terukur emulsi oil in water minyak sawit merah yang diukur pada laju geser 10-400 (1/s), suhu 25 °C selama 10 menit ... 52

Gambar 34. Pengaruh suhu terhadap viskositas terukur emulsi oil in water minyak sawit merah pada berbagai tingkat konsentrasi selama pemanasan dari suhu 298K sampai 363K ... 55

Gambar 35. Model hasil analisis pengaruh suhu terhadap viskositas terukur emulsi oil in water minyak sawit merah pada berbagai tingkat konsentrasi selama pemanasan dari suhu 298K sampai 363K ... 55

Gambar 36. Nilai energi aktivasi pada berbagai tingkat konsentrasi emulsifier terpilih emulsi oil in water minyak sawit merah ... 56

Gambar 37. Pengaruh lama pengadukan terhadap viskositas terukur emulsi oil in water minyak sawit merah pada berbagai tingkat


(15)

xii DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Foto alat dan bahan untuk pembentukan emulsi oil in water

minyak sawit merah ... 71

Lampiran 2. Contoh beberapa gambar globula lemak emulsi oil in water pada berbagai tingkat konsentrasi emulsifier selama 14 dan 29 hari penyimpanan ... 72

Lampiran 3. Pengukuran total karoten hasil fraksinasi minyak sawit merah (fraksi olein) ... 73

Lampiran 4. Hasil pengukuran stabilitas emulsi oil in water pada beberapa jenis emulsifier ... 74

Lampiran 5. Hasil pengamatan visual stabilitas emulsi ... 75

Lampiran 6. Hasil analisis keragaman kestabilan berbagai jenis emulsifier dan rasio air dan minyak emulsi oil in water minyak sawit

merah ... 76

Lampiran 7. Hasil uji lanjut Duncan kestabilan emulsi oil in water minyak sawit merah terhadap berbagai jenis emulsifier serta rasio air

dan minyak ... 77

Lampiran 8. Hasil pengukuran stabilitas emulsi oil in water beberapa rasio minyak dan air serta berbagai tingkat konsentrasi

emulsifier ... 78

Lampiran 9. Hasil analisis keragaman kestabilan emulsi oil in water minyak sawit merah terhadap berbagai rasio air dan minyak serta berbagai tingkat konsentrasi emulsifier ... 79

Lampiran 10. Hasil uji lanjut Duncan kestabilan emulsi oil in water minyak sawit merah terhadap berbagai rasio air dan minyak serta berbagai tingkat konsentrasi emulsifier ... 80

Lampiran 11. Hasil pengukuran stabilitas emulsi oil in water optimasi pada beberapa konsentrasi emulsifier selama 4 minggu


(16)

xiii Lampiran 12. Hasil pengukuran uji stabilitas pada warna emulsi

oil in water terhadap nilai L (kecerahan) selama 4

minggu penyimpanan ... 82

Lampiran 13. Hasil pengukuran uji stabilitas pada warna emulsi

oil in water terhadap nilai a selama 4 minggu penyimpanan 83

Lampiran 14. Hasil pengukuran uji stabilitas pada warna emulsi oil in water terhadap nilai b selama 4 minggu

penyimpanan ... 84

Lampiran 15. Hasil pengukuran uji stabilitas pada warna emulsi oil in water terhadap nilai hue (°h) selama 4 minggu

penyimpanan ... 85

Lampiran 16. Hasil pengukuran uji stabilitas pada warna emulsi oil in water terhadap nilai ∆E selama 4 minggu penyimpanan ... 86

Lampiran 17. Hasil pengukuran uji stabilitas emulsi oil in water terhadap total karoten selama 4 minggu penyimpanan ... 87

Lampiran 18. Hasil pengukuran nilai k terhadap total karoten emulsi oil in water minyak sawit merah pada konsentrasi 0,55% dan 0,60% 88

Lampiran 19. Hasil pengukuran nilai k terhadap total karoten emulsi oil in water minyak sawit merah pada konsentrasi 0,65% dan 0,70% 89

Lampiran 20. Hasil pengukuran uji stabilitas emulsi oil in water terhadap diameter globula lemak selama 4 minggu penyimpanan pada konsentrasi emulsifier 0,55% ... 90

Lampiran 21. Hasil pengukuran uji stabilitas emulsi oil in water terhadap diameter globula lemak selama 4 minggu penyimpanan pada konsentrasi emulsifier 0,60% ... 91

Lampiran 22. Hasil pengukuran uji stabilitas emulsi oil in water terhadap diameter globula lemak selama 4 minggu penyimpanan pada konsentrasi emulsifier 0,65% ... 92

Lampiran 23. Hasil pengukuran uji stabilitas emulsi oil in water terhadap diameter globula lemak selama 4 minggu penyimpanan pada konsentrasi emulsifier 0,70% ... 93


(17)

xiv Lampiran 24. Hasil pengukuran uji stabilitas emulsi oil in water

terhadap distribusi globula lemak selama 4 minggu

penyimpanan pada konsentrasi emulsifier 0,55% ... 94

Lampiran 25. Hasil pengukuran uji stabilitas emulsi oil in water terhadap distribusi globula lemak selama 4 minggu

penyimpanan pada konsentrasi emulsifier 0,60% ... 95

Lampiran 26. Hasil pengukuran uji stabilitas emulsi oil in water

terhadap distribusi globula lemak selama 4 minggu penyimpanan pada konsentrasi emulsifier 0,65% ... 96

Lampiran 27. Hasil pengukuran uji stabilitas emulsi oil in water

terhadap distribusi globula lemak selama 4 minggu penyimpanan pada konsentrasi emulsifier 0,70% ... 97

Lampiran 28. Hasil pengukuran nilai k terhadap globula lemak dengan diameter 0,25 – 1,00 µm emulsi oil in water minyak sawit merah pada konsentrasi 0,55% dan 0,60% (b/v) ... 98

Lampiran 29. Hasil pengukuran nilai k terhadap globula lemak dengan diameter 0,25 – 1,00 µm emulsi oil in water minyak sawit merah pada konsentrasi 0,65% dan 0,70% (b/v) ... 99

Lampiran 30. Hasil pengukuran nilai k terhadap globula lemak pada diameter 2,53– 3,82 µm emulsi oil in water minyak sawit merah pada

konsentrasi 0,55% dan 0,60% (b/v) ... 100

Lampiran 31. Hasil pengukuran nilai k terhadap globula lemak pada diameter 2,53– 3,82 µm emulsi oil in water minyak sawit merah pada konsentrasi 0,65% dan 0,70% (b/v) ... 101

Lampiran 32. Spesifikasi dan range pengukuran sensor NV pada

Haake Viscometer ... 102

Lampiran 33. Hasil pengukuran pengaruh laju geser terhadap viskositas

terukur pada gliserol 87% ... 103

Lampiran 34. Hasil pengukuran pengaruh laju geser terhadap viskositas


(18)

xv Lampiran 35. Hasil perhitungan nilai SEM (Standard Error Mean) pengaruh

laju geser terhadap viskositas terukur pada berbagai tingkat konsentrasi ... 106

Lampiran 36. Hasil pengukuran pengaruh pemanasan dari suhu 25°C sampai suhu 90 °C terhadap viskositas terukur pada berbagai tingkat konsentrasi ... 108

Lampiran 37. Hasil perhitungan nilai SEM (Standard Error Mean) pengaruh pemanasan dari suhu 25°C sampai suhu 90 °C terhadap viskositas terukur pada berbagai tingkat konsentrasi ... 110

Lampiran 38. Hasil pengukuran pengaruh lama pengadukan terhadap viskositas terukur pada berbagai tingkat konsentrasi ... 112

Lampiran 39. Hasil perhitungan nilai SEM (Standard Error Mean) pengaruh lama pengadukan terhadap viskositas terukur pada berbagai tingkat konsentrasi emulsifier ... 113


(19)

I

. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebutuhan dunia terhadap konsumsi minyak dan lemak nabati terus mengalami peningkatan setiap tahun. Produksi minyak dan lemak nabati dunia pada tahun 2006/2007 telah mencapai 123 juta ton dan diprediksi akan meningkat menjadi 142 juta ton pada tahun 2010. Dari produksi ini sebesar 45,5 juta ton berasal dari minyak sawit dan sebesar 22,3 juta ton atau 46% berasal dari negara Indonesia. Pada tahun 2012 Indonesia diperkirakan akan menjadi produsen Crude Palm Oil (CPO) terbesar di dunia dengan total produksi 15 juta ton per tahun (Hariyadi et al.2003).

Indonesia memiliki berbagai kekayaan alam yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi berbagai bahan pangan fungsional. Kelapa sawit merupakan tanaman yang dapat tumbuh baik di daerah beriklim tropis dengan curah hujan 2000 mm/tahun dan kisaran suhu 22-32 oC. Minyak sawit memiliki kandungan gizi yang lebih lengkap dibandingkan dengan minyak zaitun dan VCO (Virgin Coconut Oil). Selain mengandung pro-vitamin A yaitu alfa dan beta karoten, minyak sawit mengandung berbagai jenis mineral yang terdiri atas riboflavin, fosfor, potassium, kalsium, magnesium, mangan, niasin, retinal dan likopen. Menurut standar WHO (World Health Organization), konsumsi per kapita minyak dan lemak pangan minimal 12 kg per tahun dan kebutuhan konsumsi Indonesia adalah sebesar 13 kg per tahun di tahun 2006 dan meningkat sebesar 1% setiap tahunnya (Goei, 2008). Peningkatan konsumsi dan produksi ini perlu didukung oleh pengolahan minyak sawit untuk menghasilkan komoditas sawit yang beraneka ragam, termasuk diantaranya adalah sebagai minyak makan. Minyak sawit merah (RPO atau Red Palm Oil) merupakan hasil dari proses pemurnian minyak sawit kasar. Warna merah-jingga yang dimilikinya berasal dari kandungan α- dan β- karotennya yang tinggi, sekitar 0,08% (b/b) dari minyak sawit kasar (CPO). Beta-karoten telah lama diketahui berfungsi sebagai provitamin A. Kandungan α- dan β-karoten dalam minyak sawit kasar (CPO) sebesar 500-1500 ppm adalah yang tertinggi dibandingkan sumber lainnya. Sawit juga merupakan sumber yang kaya akan tokoferol dan tokotrienol (700-1000


(20)

2 ppm) (Choo, Gho dan Ong 1985). Permintaan akan produk-produk nutrifikan pangan saat ini semakin berkembang. Menurut Zeba et al., (2006) hal ini mendorong untuk melakukan kajian penggunaan minyak sawit merah sebagai nutrifikan pangan dalam sajian makan siang bagi anak-anak usia sekolah dan memberikan respon positif dalam mengatasi defisiensi vitamin A.

Sebagai bahan baku utama minyak makan, minyak sawit memiliki banyak keunggulan diantara bahan baku lainnya. Keunggulan utama dari minyak sawit adalah kandungan mikronutriennya yang tinggi sehingga memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi healthy oil, yang diproses dan dikendalikan sedemikian rupa sehingga kandungan nutrisi yang ada didalamnya dapat dimanfaatkan untuk kesehatan.

Salah satu masalah gizi utama yang diderita anak balita adalah kekurangan vitamin A. Data menyebutkan, separuh balita di Indonesia terancam kekurangan vitamin A. Untuk penanggulangannya, dua kali setahun kepada anak balita diberikan kapsul vitamin A dosis tinggi. Pada awal penerapan program, kapsul disuplai dari UNICEF, namun sejak 1997 bantuan itu dihentikan. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan vitamin A yang dirasakan perlu dilakukan upaya diversifikasi produk olahan yang diharapkan dapat membantu memenuhi kebutuhan ini (Widarta, 2010). Berbagai penelitian dibidang pangan saat ini telah mengupayakan berbagai teknik untuk mengembangkan dan mengoptimalkan kandungan karoten dari minyak sawit. Salah satunya adalah teknik pembuatan emulsi minyak sawit merah yang telah banyak dikaji. Hasilnya diharapkan dapat digunakan sebagai suplemen provitamin A yang aman dan bermanfaat bagi kesehatan. Penelitian awal tentang emulsi minyak sawit merah dimulai tahun 1996 oleh Saputra. Kemudian beberapa penelitian lanjutan terus dikembangkan. Akan tetapi hasil yang diperoleh berdasarkan uji penerimaan dari emulsi memiliki tingkat kesukaan terhadap produk relatif kurang terutama rasa (mouthfeel).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh jenis dan konsentrasi emulsifier terhadap kestabilan emulsi oil in water (o/w) dari minyak sawit merah. Selain itu, emulsi oil in water yang dihasilkan masih akan dipelajari sifat reologinya. Perlunya mempelajari kestabilan emulsi, karena penelitian ini merupakan modifikasi formula dari penelitian sebelumya. Dimana penelitian


(21)

3 sebelumnya relatif kurang dalam mengkaji kestabilan emulsi yang dihasilkan. Salah satu dasar utama dalam membuat suatu formula emulsi adalah kestabilan dari produk yang akan dihasilkan. Oleh karena itu mempelajari kestabilan merupakan salah satu hal yang penting untuk diperhatikan. Mempelajari sifat reologi juga merupakan salah satu hal penting, hal ini terkait dengan viskositas dari emulsi. Viskositas emulsi merupakan faktor yang mempengaruhi kestabilan emulsi. Selain itu sifat reologi yang dipelajari dapat menjadi dasar dalam mendesain peralatan dan kemasan untuk keperluan pengolahan dalam industri pangan.

B. Tujuan

1. Menetukan jenis dan konsentrasi emulsifier yang sesuai untuk emulsi oil in water dari minyak sawit merah.

2. Menentukan rasio air dan minyak yang paling stabil dalam pembentukkan emulsi oil in water.

3. Mempelajari kestabilan dan sifat reologi formula emulsi oil in water terpilih dari minyak sawit merah.


(22)

A. Minyak Sawit

Tananam kela Gambar 1, merupakan Palmae. Nama genus minyak, sedangkan gui seorang bernama Jacqui Selatan pada tahun 1973

Kelapa sawit 20% biji (endokarp da minyak yang berbeda dengan minyak inti (mesokarp) sawit di (Ketaren, 2005).

Perbedaan ant pigmen karotenoid Komposisi karotenoid

γ-, karoten dan xant karotenoid. Perbedaan sawit terdapat asam le minyak sawit kasar t Pada suhu di atas 60°C bersifat cair pada suhu

II. TINJAUAN PUSTAKA

kelapa sawit (Elaeis guineensis. Jacq) sepert kan tanaman monokotil (berkeping satu) yang nus Elaeis berasal dari bahasa Yunani Elaion

guieensis berasal dari kata guines, yaitu nama cquin menemukan tanaman sawit pertama kali di hun 1973 (Hartley, 1977).

Gambar1. Kelapa sawit

it terdiri dari 80% bagian perikrap (epikarp dan p dan endosperm). Dari kelapa sawit, dapat dipe da sifatnya, yaitu minyak dari inti (endosperm nti atau PKO (Palm Kernel Oil) dan min

disebut minyak sawit kasar atau CPO (Cr

ntara minyak sawit kasar dan minyak inti sawi d pada minyak sawit sehingga berwarna noid yang terdeteksi pada minyak sawit kasar te

xantofil, sedangkan minyak inti sawit tida aan lain adalah kandungan asam lemaknya. Pa

lemak kaproat, asam kaprilat dan asam laurat, s r tidak terdapat ketiga asam lemak tersebut (M 60°C minyak sawit kasar mencair, sebaliknya m

uhu kamar. Perbedaan sifat ini disebabkan oleh

erti terlihat pada g termasuk famili laion yang berarti ma tempat dimana ali di pantai Afrika

dan mesokarp) dan diperoleh dua jenis perm) sawit disebut inyak dari sabut Crude Palm Oil)

wit adalah adanya na kuning merah. terdiri dari α-, β-, idak mengandung . Pada minyak inti at, sedangkan pada (Murdiati, 1992). minyak inti sawit eh perbedaan jenis


(23)

5 dan jumlah rantai asam lemak yang membentuk trigliserida dalam kedua minyak tersebut (Anonim, 2010).

Minyak sawit kasar memiliki dua komponen asam lemak yang terbesar yaitu asam palmitat dan asam oleat. Komposisi asam lemak minyak sawit kasar secara lengakap disajikan pada Tabel 1. Pada tabel tersebut terlihat kandungan asam palmitat merupakan asam lemak jenuh rantai panjang yang memiliki titik cair (melting point) yang tinggi yaitu 64°C, sehingga pada suhu ruang minyak sawit kasar berbentuk semi padat (Belitz dan Grosh, 1999). Kandungan asam palmitat yang tinggi ini membuat minyak sawit kasar lebih tahan terhadap oksidasi (ketengikan) dibanding minyak jenis lain. Asam oleat merupakan asam lemak tidak jenuh rantai panjang dengan rantai C18 dan memiliki satu ikatan rangkap. Titik cair asam oleat lebih rendah dibanding asam palmitat yaitu 14°C (Ketaren, 2005).

Tabel1. Komposisi asam lemak minyak sawit kasar dan titik cairnya Jenis asam lemak Komposisi (%) Titik Cair (°C)

Asam Kaprat (C 10:0) 1 – 3 31,5

Asam Laurat (C 12:0) 0 - 1 44

Asam Miristat (C 14:0) 0,9 – 1,5 58

Asam Palmitat (C 16:0) 39,2 – 45,8 64

Asam Stearat (C 18:0) 3,7 – 5,1 70

Asam Oleat (C 18:1) 37,4 – 44,1 14

Asam Linoleat (C 18:2) 8,7 – 12,5 -11

Asam Linolenat (C 18:3) 0 – 0,6 -9

Sumber : Ketaren (2005)

Selain mengandung asam–asam lemak, minyak sawit kasar juga mengandung lebih kurang 1% komponen minor yang terdiri dari karotenoid, tokoferol, sterol, fosfolipid, glikolipid dan gugus hidrokarbon alifatik, dan elemen sisa lainnya. Diantara komponen-komponen minor tersebut, kandungan karotenoid dan tokoferol yang tinggi merupakan keunggulan minyak sawit kasar dibandingkan minyak nabati lainnya. Kandungan karotenoid di dalam sawit berkisar antara 500-700 g/g dan tokoferol dan tokotrienol berkisar antara 600-1000 g/g (Choo, 1994).


(24)

6 Sifat fisika dan kimia minyak sawit kasar meliputi warna, bau/flavor, kelarutan, bobot jenis, indeks bias, titik cair, bilangan iod, bilangan penyabunan (Ketaren, 2005). Nilai beberapa sifat fisika dan kimia minyak sawit kasar dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Sifat fisik kimia minyak sawit kasar

Sifat fisika kimia Nilai

• Bobot jenis (40°C) 0,921 – 0,925

• Indeks bias 1,453 – 1,485

• Titik cair (°C)

(tergantung komponen asam lemak)

25 – 50

• Bilangan Iod 44 -58

• Bilangan penyabunan 195 - 205

Sumber : Winarno (1999)

B. Minyak Sawit Merah (MSM)

Pengolahan (pemurnian) lebih lanjut terhadap minyak sawit kasar diperlukan untuk menghasilkan minyak atau lemak yang bermutu tinggi sesuai dengan kegunaannya. Proses pemurnian minyak terdiri dari beberapa tahap yaitu pemisahan gum (degumming), netralisasi, pemucatan (bleaching), dan deodorisasi (Allen, 1997).

Minyak sawit merah pada penelitian ini dihasilkan dari pemurnian minyak sawit kasar melalui proses degumming, netralisasi, doedorisasi, dan fraksinasi. Proses bleaching tidak dilakukan karena bleaching earth (tanah pemucat) yang digunakan pada proses bleaching dapat menyerap karotenoid (Ariana et al.,1996).

MSM diproses secara minimal sehingga secara alami mengandung tokoferol, tokotrienol dan karotenoid yang memberikan warna merah pada minyak. MSM mengadung 15-300 kali retinol ekuivalen dibandingkan dengan wortel, sayuran daun, dan tomat (Canfield et al., 2001). Menurut Choo et al. (1993), minyak sawit merah fraksi olein memiliki kandungan karotenoid sebesar 680-760 ppm dan minyak sawit merah fraksi stearin memiliki kandungan karotenoid sebesar 380-540 ppm. Kandungan karotenoid beberapa pangan nabati dapat dilihat pada Tabel 3.


(25)

7

Tabel 3. Kandungan karotenoid beberapa pangan nabati

Jenis tanaman Kandungan karotenoid RE/100gr

Minyak sawit merah 30.000

Wortel 2.000

Daun sayur-sayuran 685

Aprikot 250

Tomat 100

Pisang 30

Air jeruk 8

Sumber : (Choo et al., 1994)

MSM tidak dianjurkan digunakan sebagai minyak goreng, karena karotenoid yang terkandung didalamnya rusak pada suhu tinggi. Minyak ini lebih dianjurkan sebagai minyak makan dalam menumis sayur daging dan bumbu. MSM juga baik digunakan sebagai bahan fortifikan makanan untuk produk pangan berbasis minyak/lemak, seperti margarin dan selai kacang (Andarwulan et al., 2003). Menurut Olson (1991) dianjurkan untuk diberikannya 7 ml MSM untuk nutrisi anak-anak prasekolah. Hasil penelitian terhadap anak-anak sekolah di India yang mengkonsumsi makanan kaya β-karoten dari MSM, ternyata terjadi peningkatan retinol dalam hati dan serum darah. Suplementasi β-karoten MSM pada makanan ibu menyusui mampu meningkatan serum retinol pada bayi. Ibu yang makanannya rendah vitamin A, maka bayinya beresiko kekurangan vitamin A. MSM sangat efektif digunakan sebagai sumber energi dan mengurangi resiko kanker jantung (Britton dan Forambi, 1999).

MSM mengalami penurunan mutu selama penyimpanan. Cahaya, oksigen, kelembaban dan panas adalah faktor lingkungan yang dapat berpengaruh buruk terhadap mutu minyak sawit selama pengolahan dan penyimpanan. Cahaya dapat berperan sebagai pemicu awal terjadinya reaksi yang menyebabkan kerusakan minyak (Leo, 1983). Oksigen dapat menyebabkan senyawa hidroperoksida, suatu komponen yang berperan dalam ketengikan minyak (Jatmika et al., 1996). Kelembaban berperan dalam timbulnya ketengikan hidrolitik pada minyak,


(26)

8 sedangkan panas terutama berperan dalam peningkatan laju reaksi oksidasi dan hidrolisis yang menyebabkan penurunan mutu pada minyak (Jatmika et al., 1996).

Penyimpanan MSM pada ruangan gelap bersuhu sekitar 5°C memiliki keunggulan dalam hal meminimumkan peningkatan kadar peroksida dan meminimumkan penurunan kadar β-karoten. Kemasan botol gelap umumnya lebih mampu meminimumkan pembentukkan peroksida dan meminimumkan penurunan kadar karoten. Kadar karoten MSM yang disimpan di ruang gelap, bersuhu rendah, dan ruang yang tidak terkena sinar matahari langsung relatif tidak berubah (Jatmika dan Guritno, 1997). Perbandingan karateristrik minyak sawit merah yang dihasilkan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) (1997), Sirajjudin (2003), dan Mas’ud (2007) dapat dilihat pda Tabel 4.

Tabel 4. Perbandingan karakteristik MSM PPKS (1997), Sirajjudin (2003), dan Mas’ud (2007)

Parameter PPKS

(1997)

Sirajjudin (2003)

Mas’ud (2007)

Asam Lemk Bebas (%) 0,11 0,02 0,17

Kadar Air (%, b/b) 0,02 0,01 0,07

Bil. Iod (g I2/100gr MSM) 6,1 0,86 5,9

Bil. Penyabunan (mgKOH/g MSM 198 197 193,8

Total Karoten (ppm) 500 650 492

C. Karotenoid

Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, jingga, merah jingga serta larut dalam minyak/lipida (Winarno, 1991). Pigmen ini banyak ditemukan pada minyak sayur, misalnya minyak kedelai, minyak jagung, minyak biji matahari, dan minyak sawit kasar. Pigmen karotenoid mempunyai struktur alifatik atau alisiklik yang pada umumnya disusun oleh delapan unit isoprena, dimana kedua gugus metil yang dekat pada molekul pusat terletak pada posisi C1 dan C6, sedangkan gugus metil lainnya terletak pada posisi C1 dan C5 serta diantaranya terdapat ikatan ganda terkonjugasi. Semua senyawa karotenoid mengandung sekurang-kurangnya empat gugus metil dan selalu terdapat ikatan ganda terkonjugasi diantara gugus metil tersebut. Adanya ikatan ganda


(27)

9

terkonjugasi dalam ikatan karotenoid menandakan adanya gugus kromofora yang menyebabkan terbentuknya warna pada karotenoid. Semakin banyak ikatan ganda terkonjugasi, maka makin pekat warna pada karotenoid tersebut yang mengarah ke warna merah (Fisher, 2009).

Berdasarkan unsur-unsur penyusunnya, Klaui dan Bauernfreind (1981) membagi karotenoid menjadi dua golongan utama yaitu (1) golongan karoten yang terdiri dari unsur-unsur atom C dan H. Termasuk golongan ini adalah α-, β-, dan γ- karoten; (2) golongan xantofil yang merupakan turunan teroksigenasi dari hidrokarbon yang terdiri dari unsur-unsur atom C, H, dan OH. Termasuk dalam golongan ini adalah lutein, violasantin, kriptosantin, neosantin, dan zeasantin.

Karotenoid termasuk senyawa lipid yang dapat larut dalam senyawa lipid lainnya, sehingga disebut lipofilik, dan pelarut lemak seperti aseton, alkohol, dietil eter, dan kloroform. Karoten larut dalam pelarut non polar seperti eter dan heksan, sedangkan xantofil larut sempurna dalam pelarut polar seperti alkohol. Karotenoid ini tidak tersabunkan dan umumnya berbentuk padat pada suhu ruang (Gross, 1991).

Beta–karoten

Gambar 2. Struktur β-karoten dan retinol (vitamin A) ( Tannenbaum et al., 1985) Tidak semua karotenoid memiliki aktivitas vitamin A. Karotenoid yang memiliki aktivitas vitamin A harus memiliki paling sedikit satu cincin β-ionon pada rantai polienanya. Beta-karoten memiliki dua buah cincin β-ionon dan menghasilkan dua molekul vitamin A. Komponen lain seperti α-karoten dimana setengah dari strukturnya identik dengan β-karoten hanya menghasilkan satu molekul vitamin A. Struktur β-karoten dan retinol (vitamin A) dapat dilihat pada


(28)

10 Gambar 2. Beta-karoten mempunyai 100% aktivitas vitamin A, α-karoten hanya memiliki 50-54% aktivitas vitamin A, γ-karoten hanya 40-50% aktivitas vitamin A. Bentuk isomer dari karoten juga mempengaruhi aktivitas vitamin dimana dilaporkan bahwa bentuk trans memiliki aktivitas vitamin A yang lebih tinggi daripada bentuk cis (Klaui dan Bauernfreind, 1981).

Sebagian besar sumber vitamin A adalah karoten yang banyak terdapat dalam bahan-bahan seperti pada sayuran hijau, buah-buahan berwarna kuning dan merah serta minyak sawit kasar (Winarno, 1991). Berbagai bahan pangan sumber karotenoid (vitamin A) yang dibagi dalam tiga kelompok yaitu kandungan vitamin A tinggi, sedang, dan rendah disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Bahan pangan sumber vitamin A Kandungan Tinggi (RE > 20.000

µg/100 g)

Sedang (RE 1.000 – 20.000 µg/100 g)

Rendah

(RE < 1.000 µg/100 g) Minyak sawit kasar Hati kambing / domba Roti

Minyak ikan Hati ayam Daging babi, sapi

Ubi Jalar Kentang

Wortel Ikan

Bayam Sumber : Winarno (1991)

Klaui dan Bauernfreind (1981) melaporkan bahwa absorbsi karoten bervariasi tergantung pada jumlah yang dikonsumsi, sumber karoten, dan antar individu. Efisiensi penyerapan akan lebih tinggi jika jumlah karoten yang dikonsumsi sedikit, dan penyerapan karoten yang terdapat pada minyak atau lemak jauh lebih baik dibandingkan dengan karoten yang terdapat pada sayuran.

Faktor utama yang mempengaruhi karoten selama pengolahan pangan dan penyimpanan adalah oksidasi oleh oksigen udara dan perubahan struktur oleh panas. Karotenoid memiliki ikatan ganda sehingga sensitif terhadap oksidasi. Oksidasi karoten dipercepat dengan adanya cahaya, logam, panas, peroksida, dan bahan pengoksidasi lainnya. Panas akan mendekomposisi karoten dan mengakibatkan perubahan stereoisomer. Pemanasan sampai dengan suhu 60 ºC tidak mengakibatkan dekomposisi karoten tetapi dapat terjadi perubahan


(29)

11 stereoisomer. Perubahan stereoisomer mempengaruhi nilai vitamin A dari karoten, dimana isomer cis mempunyai nilai vitamin A yang lebih rendah daripada isomer trans-nya. Secara alami karoten dalam bahan pangan terdapat dalam bentuk all trans karoten. Isomerisasi juga dapat berlangsung pada suhu kamar, namun reaksi berjalan sangat lambat dan pengaruhnya terhadap potensi viatmin A relatif kecil (Klaui dan Bauernfreind, 1981 ).

D. Emulsi

Emulsi merupakan sistem heterogen yang terdiri atas dua fase cairan yang tidak tercampur tetapi cairan yang satu terdispersi dengan baik dalam cairan yang lain dalam bentuk butiran (droplet/globula) dengan diameter biasanya lebih dari 0,01 m atau antara 0,01–50 m. Fase yang berbentuk butiran disebut fase terdispersi atau fase internal atau disebut juga fase diskontinyu, sedangkan fase cairan tempat butiran terdispersi disebut fase pendispersi atau fase eksternal atau fase kontinyu (Nawar, 1985).

Dalam pangan kedua fase tersebut berupa minyak dan air, bila minyak sebagai fase terdispersi dan air sebagai fase pendispersi maka emulsi yang terbentuk disebut tipe emulsi minyak dalam air (m/a) atau oil in water (o/w). Sebaliknya, bila fase air sebagai fase terdispersi dan minyak sebagai fase pendispersi disebut tipe emulsi air dalam minyak (a/m) atau water in oil (w/o). Di dalam proses pembuatan emulsi biasanya ditambahkan bahan ketiga atau campuran dua atau lebih bahan kimia untuk menstabilkan emulsi. Bahan tersebut tergolong ke dalam bahan pengemulsi (emulsifier) dan penstabil (stabilizer).

Penambahan bahan pengemulsi bertujuan menurunkan tegangan permukaan antara kedua fase (tegangan interfasial) sehingga mempermudah terbentuknya emulsi, sedangkan penambahan bahan penstabil bertujuan meningkatkan viskositas fase kontinu agar emulsi yang terbentuk menjadi stabil (Muchtadi, 1990).

Emulsi merupakan sistem yang tidak stabil. Oleh karena itu dibutuhkan dua hal untuk membentuk emulsi stabil, yaitu penggunaan alat mekanis untuk mendispersikan sistem dan penambahan bahan penstabil/pengemulsi untuk mempertahankan sistem tetap terdispersi (Bergenstahl dan Claesson, 1990).


(30)

12 Menurut Narsimhan (1992), emulsi dibentuk oleh pemberian energi mekanik untuk mencampur dua fase cairan yang tidak saling tercampur sehingga satu cairan terdispersi dalam butiran yang baik. Energi mekanik awalnya mengganggu interfasial yang membentuk butiran besar, kemudian merusaknya menjadi butiran–butiran lebih kecil.

Tabel 6 . Nilai beberapa komponen bahan pengemulsi

Komponen Nilai HLB

1. Asam oleat 2. Sorbitol tristearat 3. Stearil monogliserida 4. Sorbitol monostearat 5. Sorbitol monolaurat 6. Gelatin

7. Gum Arab

8. Polioksietilen sorbitol stearat 9. Metilselulosa (CMC)

10. Polioksietilen sorbitol stearat

11. Polioksietilen sorbitol monooleat (tween 80) 12. Sodium oleat

13. Potasium oelat

1.0 2,1 3,1 4,7 8,6 9,8 10,0 10,5 10,5 14,9 15,0 18,0 20,0 Sumber : Belitz dan Grosch (1987)

Peralatan yang umum digunakaan untuk pembuatan emulsi (emuslifikasi) adalah mixer dan homogenizer. Pemilihan peralatan tersebut biasanya tergantung pada penggunaan emulsinya (Muchtadi, 1990). Selain peralatan, pemilihan jenis penstabil sangat penting dalam pembentukkan emulsi. Cowles (1998) memberikan cara-cara pemilihan bahan pengemulsi : (1) tentukan apakah sistem emulsi bertipe o/w atau w/o dengan tujuan untuk memilih jenis pengemulsi berdasarkan nilai HLB (hidrophilic-liphopilic balance). Secara umum jika tipe emulsi w/o dibutuhkan pengemulsi dengan nilai HLB < 7 dan jika berbentuk emulsi o/w butuh pengemulsi dengan nilai HLB lebih besar dari 7; (2) tentukan apakah sistem emulsi mempunyai pH < 4 atau kadar sodium lebih besar dari 2-3 (%), sebab bila kondisinya demikian penggunaan pengemulsi yang bersifat


(31)

13 amfortir tidak bermanfaat; dan (3) pertimbangkan penggunaan kombinasi dua atau lebih pengemulsi bila penggunaan satu emulsi tidak berhasil dengan baik . Tabel 6 menunjukkan nilai HLB beberapa bahan pengemulsi.

Pengaruh bahan pengemulsi terhadap pembentukkan emulsi adalah menurunkan jumlah energi yang dibutuhkan untuk emulsifikasi dengan cara menurunkan tegangan interfasial. Tegangan interfasial tersebut tidak berada dalam nilai kesetimbangan dan akan bergantung pada laju adsorpsi bahan pengemulsi (Narsimhan, 1992). Menurut Noerono (1990), jika terdapat pengemulsi yang cukup maka molekul pengemulsi akan teradsorpsi pada setiap batas antar permukaan globula–globula yang terbentuk dan membentuk lapisan film yang utuh, dengan demikian memberikan perlindungan yang cukup kepada globula– globula.

E. Kestabilan Emulsi

Kestabilan emulsi pangan merupakan fenomena yang kompleks karena melibatkan berbagai sistem yang luas. Emulsi dari dua fase cairan secara termodinamika tidak bersifat stabil. Pengertian emulsi stabil secara termodinamika adalah bahwa emulsi secara spontan terbentuk kembali setelah dilakukan pemisahan dengan sentrifugasi atau alat lain. Dengan demikian pengertian emulsi stabil mengacu pada proses pemisahan yang berjalan lambat sedemikian sehingga proses tersebut tidak teramati pada selang waktu tertentu yang diinginkan, biasanya 2–3 tahun (Friberg et al., 1990 ). Pada Gambar 3 dapat dilihat beberapa konsep yang menggambarkan sebuah emulsi dari sebelum terbentuk hingga terjadinya ketidakstabilan emulsi.

Selama suatu emulsi disimpan, dapat terjadi perubahan-perubahan fisik di dalam butiran-butiran terdispersinya yang berakibat pada penurunan mutu. Perubahan stabilitas suatu emulsi dapat terjadi melalui proses kriming, flokulasi dan koalesen (Mucthadi, 1990).

Kriming adalah pemisahan yang terjadi karena gerakan globula-globula ke atas/ke bawah. Kriming terjadi karena gaya gravitasi terhadap fase-fase yang berbeda densitasnya (Nawar, 1985).


(32)

Flokulasi mer pemutusan film anta Terjadinya flokulasi a

Koalesen merupa lebih besar. Pada taha jumlah dan ukuran globu

Gambar 3. Diagram y

Faktor-faktor (1982) adalah : (1) perbedaan densitas ant emulsi, dan ekspos suhu meliputi ukuran globul muatan fase terdispe antarmuka (interfasial

F. Reologi Pangan

Menurut Hel mempelajari sifat ali

erupakan agregasi dari droplet. Pada flokula ntar permukaan sehingga jumlah dan ukuran

i akan mempercepat laju creaming (Nawar, 1985) erupakan penggabungan globula-globula menja tahap ini terjadi pemutusan film antar perm n globula berubah (Nawar, 1985).

m yang menggambarkan konsep dari emulsi (W

or yang mempengaruhi kestabilan emulsi menur 1) faktor-faktor yang tidak dapat dikontrol antar fase, kohesi fase internal (terdispersi), p suhu yang ekstrim, dan (2) faktor-faktor yang

lobula fase internal, viskositas fase kontinu persi, distribusi ukuran globula fase internal ial) antara kedua fase.

eldman dan Singh (2001), reologi adal aliran suatu bahan dan perubahn bentuk flui

Keterangan :

A : Proses sebelum emuls B : Fase II dalam proses e C : Emulsi yang tidak sta D : Emulsi yang stabil

14 kulasi tidak terjadi ran globula tetap. , 1985).

njadi globula yang rmukaan sehingga

(Winiati, 2007)

enurut Glicksman rol yang meliputi ), persentase solid ng dapat dikontrol inu (pendispersi), nal, dan tegangan

alah ilmu yang fluida, sedangkan ulsi (fase I) es emulsi


(33)

15 menurut Ferguson dan Kemblowski (1991), reologi merupakan ilmu yang mempelajari hampir semua aspek yang mempengaruhi perubahan bentuk dan aliran bahan sebagai akibat dari adanya tekanan luar.

Sifat reologi adalah sifat fisik produk pangan yang berkaitan dengan deformasi bentuk akibat adanya gaya mekanik atau aliran. Sifat fisik yang termasuk sifat reologi antara lain keketalan, kelengketan, elastisitas, platisitas, kelenturan, kekenyalan, dan sebagainya. Sifat-sifat ini sangat penting kaitannya dengan mutu produk pangan berbentuk cair, kental, gel, dan plastis. Sifat-sifat reologi ini umumnya dapat diukur secara mekanik maupun organoleptik. Menurut Toledo (1991), karateristik jenis aliran fluida sangat penting, tidak hanya dalam pengolahan dan transportasi bahan pangan di industri pangan.

Berdasarkan perilaku alirannya, fluida dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu Newtonian dan Non Newtonian. Fluida Non Newtonian dibagi menjadi beberapa jenis yaitu Bingham Plastik, Pseudoplastik, Dilatan, Thiksotropik, dan Rheopektik.

G. Perilaku Aliran Fluida 1. Aliran Newtonian

Aliran Newtonian merupakan aliran yang memiliki kekentalan ideal (Kleinert, 1976). Aliran Newtonian menunjukkan perbandingan yang proporsional antara shear rate dan shear stress, seperti dapat dilihat pada Gambar 4.

Shear Stress

Shear Rate

Viskositas

Shear Rate

Gambar 4. Kurva Aliran Fluida Newtonian (Kleinert, 1976)

2. Aliran Non Newtonian

Pada aliran non Newtonian, kekentalannya dipengaruhi oleh laju geser dan umumnya dipengaruhi oleh parameter waktu. Aliran non Newtonian umumnya


(34)

16 dimiliki oleh sistem: (1) campuran atau cairan bahan polimer yang memiliki berat molekul tinggi; (2) suspensi padatan dalam bahan cair, terutama bila padatan tersebut cenderung memuai, larut satu-persatu atau bercampur dengan fase cairan (Glicksman, 1969).

Menurut Tatterson di dalam Sailah (1994), fluida non Newtonian diklasifikasikan lagi menjadi lima berdasarkan sifat aliran fluida yaitu Bingham plastik, pseudoplastik (shear thinning), dilatan (shear thickening), thiksotropik, dan rheopektik. Kelima sifat aliran fluida tersebut akan dijelaskan di bawah ini.

a. Bingham Plastik

Fluida Bingham plastik membutuhkan shear stress (gaya geser) sebesar ”yield point” sebelum mulai mengalir. Ketika terjadi aliran, sifat aliran fluida Bingham plastik menjadi bersifat Newtonian. Pada fluida Bingham plastik, hubungan antara shear rate (laju geser) dan shear stress (gaya geser) berupa garis lurus seperti dapat dilihat pada Gambar 5. Viskositas pada fluida Bingham plastik cenderung konstan dengan meningkatnya laju geser.

Fluida lain yang mempunyai sifat aliran yang mirip dengan fluida Bingham plastik adalah fluida Casson. Fluida ini mempunyai sifat yang relatif serupa dengan fluida pseudoplastik dan dapat dikatakan merupakan fluida antara Bingham plastik dan pseudoplastik (Glicksman, 1969).

Shear Stress

Shear Rate

Viskositas

Shear Rate

Gambar 5. Kurva Aliran Fluida Bingham Plastik (Kleinert, 1976)

b. Pseudoplastik

Aliran pseudoplastik merupakan suatu aliran yang menunjukkan terjadinya penurunan kekentalan karena adanya kenaikan shear rate (Gambar 6). Oleh karena itu, aliran ini dikatakan shear thinning. Contoh bahan pangan yang


(35)

17 mempunyai aliran pseudoplastik antara lain konsentrat jus, pure, saus dan sebagainya.

Shear Stress

Shear Rate

Viskositas

Shear Rate

Gambar 6. Kurva Aliran Fluida Pseudoplastik (Kleinert, 1976)

Pada fluida non Newtonian terdapat nilai koefisien kekentalan atau indeks konsistensi (K) dengan satuan Pa.sn, sedangkan indeks perilaku aliran (n) merupakan suatu nilai yang mendeskripsikan jenis aliran fluida dan tidak memiliki satuan. Untuk fluida pseudoplastik, n akan bernilai lebih kecil dari satu. Pada fluida dilatan, n akan bernilai lebih besar dari satu, dan jika n bernilai satu maka fluida tersebut adalah fluida Newtonian. Bahan pangan yang bersifat pseudoplastik memiliki nilai indeks konsistensi lebih besar dari nol (Rha, 1978).

c. Dilatan

Menurut Kleinert (1976), aliran dilatan merupakan suatu aliran yang terjadi jika shear stress meningkat secara linear dengan adanya kenaikan shear rate, dan sering mencapai titik dimana cairan berubah menjadi padatan. Bila suspensi menunjukkan kenaikan viskositas yang besar karena adanya peningkatan shear stress, maka bahan tersebut tergolong fluida dilatan (Kleinert, 1976). Perilaku aliran dilatan digambarkan pada Gambar 7.

Shear Stress

Shear Rate

Viskositas

Shear Rate


(36)

18 d. Thiksotropik

Menurut Kleinert (1976) aliran thiksotropik merupakan suatu aliran yang menunjukkan penurunan kekentalan (viskositas) suatu bahan sebagai fungsi dari waktu, dan struktur akan kembali ke kondisi awal setelah beberapa saat. Ciri aliran thiksotropik yaitu kekentalan akan menurun dengan meningkatnya waktu aliran, seperti ditunjukkan pada Gambar 8.

Viskositas

Waktu

Gambar 8. Kurva Aliran Fluida Thiksotropik (Kleinert, 1976) e. Rheopektik

Aliran rheopektik merupakan suatu aliran yang menunjukkan kenaikan kekentalan (viskositas) pada shear stress konstan. Aliran rheopektik ini merupakan kebalikan dari aliran thiksotropik dimana kekentalan akan meningkat dengan meningkatnya waktu aliran, seperti terlihat pada Gambar 9.

Viskositas

Waktu

Gambar 9. Kurva Aliran Fluida Rheopektik (Kleinert, 1976)

H. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sifat Reologi

1. Shear Rate (Laju Geser)

Shear rate adalah panambahan kecepatan yang terjadi pada suatu lapisan cairan yang melewati lapisan lain dengan jarak tertentu. Kekentalan dari fluida pseudoplastik mengalami penurunan dengan adanya kenaikan shear rate,


(37)

19 sedangkan kekentalan pada fluida dilatan mengalami peningkatan pada nilai shear rate yang lebih tinggi. Kekentalan antara shear rate dan shear stress pada titik tertentu sebagai apparent viscosity (viskositas terukur) (Rha, 1978).

Menurut Balmaceda et al., (1973), persamaan umum Power Law merupakan suatu model yang tepat untuk menggambarkan perilaku aliran hidrokoloid. Adapun bentuk persamaan Power Law yang menggambarkan hubungan antara shear rate dan shear stress adalah :

τ = K γn

Sedangkan bentuk persamaan Power Law yang menggambarkan hubungan antara viskositas terukur dan shear stress adalah :

app = K γn-1

dimana τ adalah shear stress, K adalah indeks konsistensi, γ adalah shear rate, app adalah viskositas terukur dan n adalah indeks perilaku aliran.

2. Waktu

Waktu yang dimaksud yaitu lamanya pengadukkan yang dilakukan terhadap sampel yang dianalisis. Suatu fluida disebut thiksotropik jika terjadi penurunan kekentalan dengan bertambahnya waktu, sedangkan jika terjadi peningkatan keketalan dengan bertambahnya waktu, maka fluida tersebut dikenal dengan fluida rheopektik (Rha, 1975). Menurut Balmaceda et al., (1973), rasio kekentalan pada hidrokoloid meningkat dengan bertambahnya waktu pengadukan. Pada fluida thiksotropik, viskositas akan mengalami penurunan sejalan dengan lamanya waktu pengadukan karena pecahnya struktur produk. Pada beberapa produk, strukturnya akan kembali seperti semula jika pengadukan dihentikan. Namun pada beberapa produk strukturnya tidak bisa kembali lagi (Holdsworth, 1993).

Pada fluida rheopektik, terjadi pengembangan bertahap dari struktur fluida sejalan dengan lamanya pengadukan sehingga viskositasnya mengalami peningkatan (Holdsworth, 1993). Rosidah (1990) di dalam Santoso (1993) menyatakan hubungan antara viskositas terukur konsentrat nangka dan waktu, dengan model matematik sebagai berikut :

app = bta


(38)

20

3. Suhu

Pengaruh suhu terhadap parameter rheologi dapat dinyatakan dengan persamaan Arhennius, yaitu :

K = A e-Ea/RT , atau ln K = ln A – (Ea/RT)

dimana K adalah indeks konsistensi dalam satuan Pa.s, A adalah suatu konstanta, Ea adalah energi aktivasi dalam satuan kkal/mol, dan T adalah suhu dalam satuan K dengan nilai R adalah 0,00199 kkal/J.mol.

Energi aktivasi menunjukkan kemudahan suatu fluida untuk mulai mengalir. Menurut Rao (1982), nilai K untuk bahan pangan non Newtonian dapat diganti dengan viskositas terukur ( app)seperti yang tercantum di bawah ini :

ln app = ln A – (Ea/RT)

Menurut Saravacos (1967) di dalam Holilah (1998), suhu yang lebih tinggi akan menyebabkan menurunnya nilai indeks konsistensi (K), tetapi nilai indeks perilaku aliran (n) cenderung tetap. Persamaan lain yang dapat digunakan untuk menggambarkan pengaruh suhu terhadap indeks konsistensi dan viskositas terukur adalah persamaan Power Law, yaitu :

K = ATB , atau app = ATB ;

dimana K adalah indeks konsistensi dalam satuan Pa.s, T adalah suhu dalam satuan K, sedangkan A dan B adalah konstanta.


(39)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. ALAT DAN BAHAN

Bahan pembentuk emulsi yang digunakan adalah Neutralized Deudorized Red Palm Oil (NDRPO), air minum dalam kemasan, dan emulsifier. Jenis emulsifier yang digunakan adalah Gum arab, Tween 80, dan Carboxymethylcellulose (CMC). Bahan yang digunakan untuk analisis adalah heksana, MgCO3, aquades, dan aseton.

Peralatan yang digunakan adalah homogenizer Armfield L4R, viscometer Haake-Rotovisco RV20, spektrofotometer Spectronic 20D+, kromameter Minolta GR 200/210, fotomikroskop polarisasi Olympus PM-10ADS, vortex, timbangan, kertas saring dan alat-alat gelas.

B. METODE

1. Fraksinasi Minyak Sawit Merah

Tujuan dari tahap ini adalah untuk memperoleh fraksi olein dari NDRPO yang akan digunakan sebagai bahan baku emulsi. Metode yang dilakukan meliputi pemanasan minyak pada suhu ±50 °C selama 15 menit. Minyak kemudian diendapkan selama 1 malam pada suhu ruang (27 - 30°C) selanjutnya dilakukan penyaringan untuk memperoleh fraksi olein. Fraksi olein yang diperoleh kemudian diukur kadar total karoten.

2. Pemilihan Jenis Emulsifier

Tujuan penelitian tahap ini adalah memilih jenis emulsifier yang tepat untuk emulsi oil in water. Emulsifier yang digunakan adalah Gum arab, Carboxymethylcellulose (CMC) dan Tween 80. Rasio air dan minyak yang digunakan adalah 6 : 4, 7 : 3, 7,5 : 2,5, 8 : 2, karena emulsi yang diharapkan adalah oil in water (o/w). Konsentrasi emulsifier yang digunakan adalah 0,2% (b/v). Pemilihan konsentrasi emulsifier tersebut berdasarkan formula penelitian dari Saputra (2006), hal ini dikarenakan penelitian yang telah dilakukan menggunakan jenis emulsifier yang sama. Pengukuran stabilitasnya dilakukan selama beberapa hari penyimpanan sampai hari penyimpanan yang telah terjadi pemisahan dari salah satu emulsi yang dihasilkan.


(40)

22

Pada tahap ini akan dipilih jenis emulsifier yang paling stabil. Emulsifier yang terpilih akan digunakan untuk tahapan penelitian selanjutnya. Pemilihan jenis emulsifier berdasarkan % kestabilan emulsi yang paling tinggi. Diagram pembuatan emulsi dapat dilihat pada Gambar 10.

Penentuan persen stabilitas emulsi (Montesqrit, 2007) dirumuskan sebagai berikut: Pengukuran stabilitas emulsi : % ( . .

. X 100 % )

Emulsifier Air (Sebagian)

Diaduk (2 menit)

Minyak sawit merah

(penambahan secara perlahan-lahan sambil diaduk menggunakan pengaduk)

Emulsi Primer

Diaduk-aduk (2 menit)

Penambahan air (secara perlahan-lahan)

Homogenizer ± 10 menit (v=1425 rpm)

Emulsi oil in water


(41)

23 3. Pemilihan Rasio Air dan Minyak serta Optimasi Konsentrasi Emulsifier

a. Pemilihan rasio air dan minyak

Tujuan dari tahap ini adalah memilih rasio air dan minyak yang tepat untuk formulasi emulsi oil in water minyak sawit merah. Rasio yang dipilih diharapkan dapat membentuk emulsi yang stabil. Tahap ini merupakan lanjutan dari tahapan sebelumnya. Pemilihan rasio air dan minyak dilakukan dengan menggunakan jenis emulsifier terpilih pada tahap sebelumnya. Pengujiannya dilakukan pada berbagai tingkat konsentrasi emulsifier selama beberapa hari penyimpanan sampai hari penyimpanan dimana telah terjadi pemisahan pada salah emulsi yang dihasilkan. Formula yang diujikan dapat dilihat pada Tabel 7, sedangkan pengukuran stabilitas emulsi seperti pada tahapan sebelumnya.

Tabel 7. Formula pemilihan rasio air : minyak serta konsentrasi emulsifier

Emulsifier terpilih

Air : Minyak Konsentrasi emulsifier (b/v)

6 : 4 7 : 3 7,5 : 2,5

8 : 2

0,20 % - 0,45% (Dengan selang 0,05)

Rasio air dan minyak dipilih berdasarkan pada stabilitas emulsi yang paling tinggi diantara rasio yang diujikan. Pada tahapan ini juga dipilih konsentrasi emulsifier yang menghasilkan emulsi oil in water dengan stabilitas tertinggi. Namun, konsentrasi emulsifier yang terpilih pada tahap ini masih akan dioptimasi pada tahap selanjutnya.

b. Optimasi konsentrasi emulsifier

Tujuan penelitian pada tahap ini adalah untuk memilih konsentrasi dari emulsifier terpilih yang paling tinggi kestabilannya (volume yang memisah paling kecil). Pengujian pada tahap ini mengacu pada tahapan sebelumnya. Konsentrasi emulsifier yang terpilih pada tahap sebelumnya akan dioptimasi pada tahap ini.

Pengujiannya dilakukan dengan menggunakan jenis emulsifier serta rasio air dan minyak yang terpilih pada tahap sebelumnya. Penentuan konsentrasi emulsifier yang dianggap paling optimum berdasarkan stabilitas emulsi yang paling tinggi selama 7 hari penyimpanan.


(42)

24 4. Uji Stabilitas Emulsi

Tujuan dari tahap ini adalah untuk mengetahui kestabilan formula emulsi yang telah dipilih pada tahap sebelumnya sebagai emulsi oil in water yang paling stabil. Pengukurannya dilakukan selama 4 minggu penyimpanan pada suhu ruang. Analisis yang dilakukan meliputi :

a. Pengamatan Warna Metode Chromameter (Hutching, 1999)

Pengukuran warna dilakukan dengan Minolta Chroma Meters CR-130. Prinsip dari Minolta Chroma Meters adalah pengukuran perbedaan warna melalui pantulan cahaya oleh permukaan sampel. Chromameter adalah suatu instrument untuk analisis warna secara testimulus untuk mengukur warna yang dipantulkan suatu permukaan. Data pengukuran yang diperoleh dapat berupa nilai absolut maupun nilai selisih dengan warna standar.

Sistem warna Hunter Lab memiliki tiga atribut yaitu L, a, dan b. Nilai L menunjukkan kecerahan sampel, memiliki skala dari 0 sampai 100 dimana 0 menyatakan sampel sangat gelap dan 100 menyatakan sampel sangat cerah. Nilai a menunjukkan derajat merah atau hijau sampel. Nilai a positif menunjukkan warna merah dan a negatif menunjukkan warna hijau. Nilai a memiliki skala dari –80 sampai 100.

Nilai b menunjukkan derajat kuning atau biru. Nilai b positif menunjukkan warna kuning dan b negatif menunjukkan warna biru. Nilai b memiliki skala dari negatif 70 sampai 70. Pengukuran juga dilakukan terhadap nilai hue (°h) dan ∆E. Nilai hue menggambarkan kisaran warna kromatis yang dapat dilihat pada Tabel 8. Nilai ∆E menggambarkan perubahan warna yang terjadi secara keseluruhan. Sebelum digunakan cromameter harus dilakukan kalibrasi. Kalibrasi menggunakan plat putih dengan nilai Y= 92,98, x = 0,3178, dan y = 0,3338.

hue = tan-1(b/a)


(43)

25

Tabel 8 . Nilai hue dan daerah kisaran warna kromatis Nilai hue Daerah kisaran warna

342° - 18 ° Merah - Ungu

18° - 54° Merah

54° - 90° Kuning – Merah

90° - 126° Kuning

126° - 162° Kuning – Hijau

162° - 198° Hijau

198° - 234° Biru – Hijau

234° - 270° Biru

270° - 306° Biru – Ungu

306° - 342° Ungu

b. Total Karotenoid, Metode Spektrometri (Modifikasi PORIM, 2005) Pengukuran kadar karoten dilakukan berdasarkan metode spektrometri. Sebanyak 0,1 gr sampel dilarutkan dengan heksan 10 ml dalam tabung reaksi. Emulsi divortek selama ±10 menit kemudian didiamkan dalam ruang gelap selama ±3 hari. Setiap harinya divortek kembali selama ±10 menit hingga emulsi larut sempurna dalam heksan. Setelah itu larutan dimasukkan dalam labu takar 25 ml sampai tanda tera, kemudian dikocok hingga benar-benar homogen.

Absorbansi diukur dengan spektrofotometri pada panjang gelombang 446 nm. Kadar karoten dihitung dengan menggunakan rumus :

Total karoten (mg/kg) =

Keterangan :

W : bobot sampel yang dianalisis (g)

c). Penentuan Diameter dan Distribusi Globula Lemak (Cola dan Stauffer, 1987; de Cindio dan Cacace, 1995).

Pengukuran globula lemak diukur dengan menggunakan fotomikroskop dengan pembesaran 200 kali. Diameter globula dinyatakan sebagai diameter rata-rata atau Diameter mean (Dm) dengan rumus sebagai berikut (Orr,1983) :


(44)

26 Dimana : D = diameter globula ( m)

N= jumlah globula

Selain dilakukan perhitungan diameter rata-rata (Dm) dengan cara mengklasifikasikan data diameter, juga dibuat histogram distribusi ukuran diameter globula lemak emulsi oil in water minyak sawit merah pada diameter tertentu.

d). Pengamatan Stabilitas Emulsi secara Visual

Dilakukan pengamatan terhadap stabilitas dari formula emulsi terpilih pada setiap minggu selama 4 minggu penyimpanan emulsi oil in water. Pengamatan ini bertujuan untuk mengetahui kestabilan emulsi terbaik atau mengetahui sampai berapa hari penyimpanan terjadinya pemisahan minyak pada emulsi oil in water minyak sawit merah.

5. Pengukuran Sifat Reologi Emulsi

Pengukuran sifat reologi dilakukan menggunakan Haake rotovisco RV 20 Rot 2.4.3 dengan sensor sistem NV (Lampiran 28) tahapan pengukuran meliputi sebagai berikut :

a. Penentuan karakteristik gliserol 87%

Gliserol 87% sebanyak 9 ml larutan dimasukkan kedalam sensor NV dan dikenakan laju geser 30 – 300 1/s, suhu 25°C selama 10 menit.

b. Penentuan karakteristik aliran

Formula emulsi oil in water terpilih masing-masing 9 ml larutan dimasukkan kedalam rotor dan dikenakan laju geser 10-300 1/s pada suhu 25 °C selama 10 menit dan diukur viskositasnya secara kontinu.

c. Penentuan pengaruh pemanasan

Formula emulsi oil in water diukur pada laju geser 300 1/s, selama 90 menit dan pemanasan dari suhu 25 °C sampai suhu 90 °C.

d. Penentuan lama pengadukan

Pengukuran lama pengadukan pada formula emulsi oil in water terpilih dilakukan pada laju geser 300 1/s selama 30 menit pada suhu 25°C.


(45)

27 6. Penentuan Formula Terbaik

Penentuan formula terbaik dilakukan dengan merangking masing-masing formula terhadap beberapa parameter yang diujikan. Kemudian setiap parameter yang diujikan dilakukan pembobotan (nilai) berdasarkan faktor atau tingkatan yang paling berpengaruh atau penting dalam menentukan formula emulsi terbaik. Formula terbaik dipilih berdasarkan nilai tertinggi yang diperoleh dari beberapa formula yang diujikan.


(46)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Fraksinasi Minyak Sawit Merah

Penelitian pendahuluan dilakukan proses fraksinasi Neutralized Deodorized Red Palm Oil (NDRPO) sebagai bahan baku dalam pembuatan emulsi. Fraksinasi yang dilakukan merupakan tahap akhir dalam proses pemurnian minyak sawit merah. Tahap pemurnian sebelumnya sudah dilakukan antara lain proses degumming, deasidifikasi, dan deodorisasi. Proses degumming dilakukan dengan memanaskan CPO hingga suhu 80°C selama 15 menit. Kemudian ditambahkan larutan asam fosfat 85%. Minyak yang dihasilkan bersih dari lendir serta kotoran-kotoran yang sebelumnya terdapat pada CPO (Widarta, 2008). Sedangkan deasidifikasi dilakukan pada suhu 61 ± 2°C, lama proses 26 menit, dengan konsentrasi NaOH 16°Be dan excess 17.5 % dari NaOH yang dibutuhkan. Pada Kondisi tersebut diperoleh produk NRPO (Neutralized Red Palm Oil) dengan reduksi kadar asam lemak bebas 96.35%, recovery karoten sebesar 87.30% dan rendemen 90.16% (Widarta, 2008). Deodorisasi dilakukan pada suhu 140°C selama 1 jam. Kondisi tersebut mampu mempertahankan karoten hampir 70% (375.33 mg/kg) serta mampu mereduksi odor dengan baik (Riyadi, 2009).

Metode fraksinasi yang dilakukan pada penelitian ini meliputi pemanasan minyak pada suhu ± 50°C selama 15 menit. Kemudian dilakukan pengendapan minyak selama 1 malam pada suhu ruang (27-30°). Selanjutnya dilakukan penyaringan untuk memperoleh fraksi olein dari minyak sawit merah. Fraksi olein yang diperoleh (seperti terlihat pada Lampiran 1) digunakan sebagai bahan baku utama dalam pembuatan emulsi oil in water minyak sawit merah. Analisis yang dilakukan terhadap minyak sawit merah hasil fraksinasi tersebut adalah kadar total karoten. Dari data pengukuran seperti yang disajikan pada Lampiran 3, total karoten minyak sawit merah rata-rata yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan emulsi oil in water yaitu sebesar 147,7809 ppm.

2. Pemilihan Jenis Emulsifier

Tujuan penelitian pada tahap ini adalah menentukan jenis emulsifier yang sesuai untuk formula emulsi oil in water (o/w). Pada penelitian sebelumnya


(47)

29 emulsi yang pernah diteliti adalah emulsi water in oil (w/o). Emulsifier yang digunakan yaitu Gum arab, CMC dan Tween 80 yang diujikan pada rasio air dan minyak 6 : 4, 7 : 3, 7,5 : 2,5, dan 8:2 serta konsentrasi emulsifier yang digunakan adalah 0,2% (b/v). Pemilihan rasio air dan minyak yang diujikan tersebut karena emulsi yang diharapkan adalah emulsi oil in water, sehingga perbandingan volume air lebih banyak daripada minyak. Sedangkan penggunaan konsentrasi emulsifier 0,2% (b/v) berdasarkan penelitian sebelumnya dari Saputra (2006).

Pada penelitian ini dilakukan pembuatan emulsi secara tidak lengkap (emulsi primer). Emulsi primer yang dimaksud adalah emulsi tanpa bahan-bahan tambahan seperti pemanis, pengkelat, antioksidan, antimikroba, dan flavor. Produk emulsi oil in water minyak sawit merah dapat dilihat pada Gambar 11.

Tabel 9. Stabilitas emulsi oil in water minyak sawit merah setelah 3 hari penyimpanan pada berbagai jenis emulsifier berbeda sebagai fungsi dari rasio air dan minyak

Jenis emulsifier Rasio air : minyak

Stabilitas (%)

Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3

Gum arab 6 : 4 60,73 49,71 47,66

7 : 3 45,16 39,97 34,85

7,5 : 2,5 40,66 37,05 32,95

8 : 2 38,58 33,51 30,43

CMC 6 : 4 80,62 70,71 66,27

7 : 3 70,76 64,20 57,05

7,5 : 2,5 63,30 55,84 51,61

8 : 2 60,74 52,46 50,34

Tween 80 6 : 4 64,72 53,81 49,09

7 : 3 59,11 48,25 40,87

7,5 : 2,5 50,09 44,66 38,47

8 : 2 46,90 40,79 35,75

Data stabilitas emulsi oil in water minyak sawit merah dari berbagai jenis emulsifier dapat dilihat pada Tabel 9 dan Lampiran 4, data yang disajikan merupakan nilai rata-rata dari 3 kali ulangan. Tabel 9 menunjukkan bahwa CMC menghasilkan stabilitas emulsi yang paling tinggi. Sedangkan Gum arab


(48)

30 menghasilkan kestabilan emulsi yang paling rendah diantara jenis emulsifier lainnya. Stabilitas emulsi dari jenis emulsifier Tween 80 lebih tinggi daripada Gum arab, akan tetapi stabilitasnya lebih rendah dari jenis emulsifier CMC. Kegagalan menggunakan Gum arab karena emulsifier Gum arab lebih cocok untuk pembuatan emulsi air dalam minyak (Chanamai and McClements, 2001). Selain itu, Gum arab sesuai untuk produk pangan dengan pH 3-5, sedangkan emulsi oil in water memiliki pH netral (Narshimhan, 1992).

Berdasarkan Tabel 9, disimpulkan bahwa hanya satu jenis emulsifier yang sesuai untuk emulsi oil in water yaitu jenis emulsifier CMC. Emulsifier CMC dengan konsentrasi 0,2% (b/v) menunjukkan stabilitas emulsi yang paling tinggi selama 3 hari penyimpanan pada semua rasio air dan minyak yang diujicobakan.

Data pengamatan visual terhadap stabilitas emulsi oil in water dapat dilihat pada Lampiran 5. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa secara visual emulsifier CMC menghasilkan emulsi yang paling stabil diantara emulsi yang lain. Warna emulsi yang dihasilkan kuning terang pada hari pertama sampai hari ketiga penyimpanan (Gambar 12). Selain itu juga terjadi pemisahan air pada bagian bawah emulsi, akan tetapi tidak terjadi pemisahan minyak. Hal ini berbeda dengan emulsifier Gum arab, selain pemisahan air juga terjadi pemisahan minyak pada bagian atas emulsi yang berwarna orange setelah tiga hari penyimpanan. Pemisahan minyak pada emulsi dapat dilihat pada Gambar 14. Sedangkan pada emulsifier Tween 80, seperti halnya pada CMC terjadi pemisahan air pada bagian bawah emulsi dan warna emulsi kuning terang selama 3 hari penyimpanan. Akan tetapi pemisahan air yang terjadi relatif lebih besar dibandingkan dengan CMC seperti terlihat pada Gambar 12 dan 13.

Kerusakan emulsi yang terjadi selama penyimpanan yaitu berupa creaming (terbentuk dua lapisan emulsi yang disebabkan kecenderungan partikel-partikel fase terdispersi terkumpul dilapisan atas atau bawah emulsi (Chanamai and McClements, 2001).

Mekanisme ketidakstabilan dari emulsi yang dapat diamati antara lain adalah ringing dan oiling-off (Trubiano, 1998). Ringing adalah terjadi pembentukan cincin yang berwarna keputihan disekitar leher wadah, sementara oiling-off adalah pembentukan minyak yang mengkilap dan licin diatas produk.


(1)

108 Lampiran 36. Hasil pengukuran pengaruh pemanasan dari suhu 25°C sampai suhu 90 °C terhadap viskositas terukur pada berbagai tingkat konsentrasi

Suhu (°C) Viskositas (Pa.S)

0,55% 0,60% 0,65% 0,70%

24.8000 0.1577 0.1847 0.2057 0.2217

25.7667 0.1547 0.1827 0.2067 0.2233

26.8667 0.1500 0.1797 0.2023 0.2187

27.9667 0.1477 0.1760 0.1993 0.2163

29.0667 0.1447 0.1707 0.1947 0.2127

30.1000 0.1387 0.1677 0.1887 0.2067

31.2333 0.1367 0.1623 0.1867 0.2017

32.2667 0.1337 0.1590 0.1787 0.1967

33.4000 0.1307 0.1527 0.1767 0.1937

34.5000 0.1240 0.1513 0.1720 0.1877

35.6333 0.1227 0.1437 0.1673 0.1817

36.7000 0.1177 0.1417 0.1630 0.1773

37.8333 0.1150 0.1390 0.1600 0.1730

38.9000 0.1113 0.1360 0.1537 0.1663

39.9667 0.1063 0.1317 0.1527 0.1630

41.0667 0.1060 0.1297 0.1463 0.1597

42.1667 0.1063 0.1230 0.1433 0.1513

43.2000 0.1023 0.1220 0.1360 0.1540

44.3667 0.0990 0.1170 0.1360 0.1467

45.4333 0.0947 0.1160 0.1317 0.1433

46.5667 0.0937 0.1100 0.1270 0.1373

47.6333 0.0907 0.1097 0.1257 0.1353

48.7333 0.0880 0.1040 0.1203 0.1327

49.8333 0.0823 0.1053 0.1163 0.1260

51.0000 0.0840 0.0983 0.1137 0.1260

52.1333 0.0783 0.0947 0.1077 0.1177

53.0667 0.0763 0.0907 0.1077 0.1200

54.2000 0.0733 0.0913 0.1010 0.1170

55.3000 0.0747 0.0897 0.0990 0.1090

56.4000 0.0703 0.0853 0.0937 0.1060

57.5333 0.0690 0.0820 0.0927 0.1020

58.5667 0.0697 0.0820 0.0870 0.1003

59.6333 0.0633 0.0780 0.0843 0.0953

60.8000 0.0647 0.0760 0.0813 0.0983

61.9000 0.0607 0.0770 0.0823 0.0943

62.9667 0.0593 0.0720 0.0793 0.0857

64.0667 0.0567 0.0690 0.0757 0.0863


(2)

109

66.2000 0.0530 0.0630 0.0693 0.0803

67.3333 0.0553 0.0650 0.0653 0.0770

68.3000 0.0523 0.0583 0.0657 0.0713

69.5000 0.0533 0.0603 0.0637 0.0723

70.5000 0.0507 0.0573 0.0647 0.0677

71.5000 0.0480 0.0530 0.0587 0.0660

72.5333 0.0463 0.0507 0.0557 0.0657

73.4667 0.0453 0.0560 0.0540 0.0610

74.3667 0.0447 0.0483 0.0577 0.0603

75.3667 0.0393 0.0523 0.0553 0.0573

76.3333 0.0410 0.0503 0.0553 0.0587

77.1000 0.0390 0.0487 0.0527 0.0543

77.9667 0.0407 0.0407 0.0513 0.0530

78.7667 0.0393 0.0447 0.0473 0.0553

79.5333 0.0380 0.0450 0.0497 0.0523

80.3000 0.0390 0.0430 0.0447 0.0487

80.9667 0.0357 0.0430 0.0437 0.0523

81.7667 0.0363 0.0437 0.0443 0.0517

82.4000 0.0363 0.0413 0.0413 0.0517

83.1333 0.0350 0.0403 0.0447 0.0513

83.8000 0.0327 0.0390 0.0400 0.0483


(3)

110 Lampiran 37. Hasil perhitungan nilai SEM (Standard Error Mean) pengaruh pemanasan dari suhu 25°C sampai suhu 90 °C terhadap viskositas terukur pada berbagai tingkat konsentrasi

Suhu (°C) Nilai SEM

0,55% 0,60% 0,65% 0,70%

24.8000 0.0017 0.0077 0.0022 0.0085

25.7667 0.0003 0.0069 0.0043 0.0073

26.8667 0.0026 0.0081 0.0039 0.0084

27.9667 0.0027 0.0090 0.0056 0.0069

29.0667 0.0017 0.0080 0.0037 0.0081

30.1000 0.0034 0.0099 0.0054 0.0092

31.2333 0.0028 0.0107 0.0052 0.0078

32.2667 0.0023 0.0105 0.0041 0.0075

33.4000 0.0015 0.0109 0.0050 0.0079

34.5000 0.0030 0.0102 0.0049 0.0081

35.6333 0.0009 0.0105 0.0047 0.0088

36.7000 0.0044 0.0098 0.0040 0.0055

37.8333 0.0017 0.0092 0.0044 0.0079

38.9000 0.0032 0.0100 0.0055 0.0052

39.9667 0.0003 0.0104 0.0041 0.0060

41.0667 0.0012 0.0085 0.0037 0.0071

42.1667 0.0012 0.0110 0.0048 0.0042

43.2000 0.0023 0.0090 0.0040 0.0062

44.3667 0.0021 0.0115 0.0021 0.0034

45.4333 0.0035 0.0070 0.0043 0.0047

46.5667 0.0023 0.0095 0.0023 0.0043

47.6333 0.0023 0.0094 0.0038 0.0072

48.7333 0.0015 0.0101 0.0015 0.0058

49.8333 0.0023 0.0067 0.0022 0.0045

51.0000 0.0021 0.0102 0.0034 0.0050

52.1333 0.0009 0.0058 0.0055 0.0038

53.0667 0.0023 0.0090 0.0028 0.0040

54.2000 0.0019 0.0072 0.0038 0.0045

55.3000 0.0035 0.0064 0.0017 0.0023

56.4000 0.0019 0.0062 0.0035 0.0049

57.5333 0.0042 0.0045 0.0030 0.0023

58.5667 0.0020 0.0036 0.0025 0.0018

59.6333 0.0023 0.0066 0.0022 0.0026

60.8000 0.0023 0.0015 0.0012 0.0023

61.9000 0.0037 0.0045 0.0013 0.0029

62.9667 0.0032 0.0021 0.0023 0.0027


(4)

111

65.1667 0.0020 0.0059 0.0025 0.0015

66.2000 0.0010 0.0050 0.0018 0.0018

67.3333 0.0037 0.0040 0.0027 0.0017

68.3000 0.0037 0.0032 0.0028 0.0027

69.5000 0.0033 0.0033 0.0056 0.0023

70.5000 0.0037 0.0020 0.0038 0.0030

71.5000 0.0045 0.0026 0.0003 0.0010

72.5333 0.0018 0.0045 0.0018 0.0043

73.4667 0.0043 0.0025 0.0000 0.0035

74.3667 0.0003 0.0015 0.0013 0.0027

75.3667 0.0029 0.0035 0.0019 0.0024

76.3333 0.0036 0.0017 0.0009 0.0044

77.1000 0.0031 0.0053 0.0022 0.0068

77.9667 0.0030 0.0027 0.0023 0.0026

78.7667 0.0041 0.0017 0.0027 0.0056

79.5333 0.0053 0.0020 0.0009 0.0041

80.3000 0.0055 0.0025 0.0018 0.0052

80.9667 0.0058 0.0047 0.0047 0.0055

81.7667 0.0015 0.0015 0.0035 0.0057

82.4000 0.0046 0.0047 0.0037 0.0027

83.1333 0.0010 0.0052 0.0023 0.0020

83.8000 0.0028 0.0035 0.0015 0.0057


(5)

112 Lampiran 38. Hasil pengukuran pengaruh lama pengadukan terhadap viskositas

terukur pada berbagai tingkat konsentrasi

Waktu (menit) Viskositas (Pa.S)

0.55% 0.60% 0.65% 0.70%

0.0000 0.1343 0.1723 0.1907 0.2200

1.0300 0.1340 0.1833 0.1953 0.2313

2.0600 0.1347 0.1833 0.1967 0.2317

3.1000 0.1353 0.1877 0.1977 0.2330

4.1300 0.1323 0.1847 0.1963 0.2327

5.1600 0.1357 0.1870 0.1993 0.2327

6.2000 0.1320 0.1853 0.1960 0.2330

7.2300 0.1347 0.1880 0.1983 0.2317

8.2700 0.1310 0.1843 0.1980 0.2317

9.3000 0.1323 0.1853 0.1977 0.2313

10.3400 0.1317 0.1837 0.1923 0.2317

11.3700 0.1307 0.1867 0.1960 0.2293

12.4000 0.1290 0.1837 0.1940 0.2297

13.4400 0.1307 0.1853 0.1947 0.2290

14.4700 0.1280 0.1817 0.1907 0.2307

15.5100 0.1287 0.1833 0.1947 0.2293

16.5400 0.1260 0.1813 0.1903 0.2270

17.5800 0.1293 0.1837 0.1913 0.2293

18.6200 0.1280 0.1823 0.1910 0.2270

19.6600 0.1263 0.1813 0.1897 0.2250

20.6900 0.1233 0.1827 0.1907 0.2273

21.7200 0.1253 0.1807 0.1873 0.2250

22.7600 0.1247 0.1793 0.1883 0.2263

23.7900 0.1213 0.1780 0.1900 0.2227

24.8300 0.1227 0.1783 0.1883 0.2247

25.8600 0.1237 0.1790 0.1857 0.2257

26.9000 0.1193 0.1800 0.1860 0.2270

27.9300 0.1200 0.1797 0.1880 0.2267

28.9600 0.1223 0.1787 0.1847 0.2230


(6)

113 Lampiran 39. Hasil perhitungan nilai SEM (Standard Error Mean) pengaruh lama pengadukan terhadap viskositas terukur pada berbagai tingkat konsentrasi

Waktu (menit) Nilai SEM

0.55% 0.60% 0.65% 0.70%

0.0000 0.0142 0.0076 0.0076 0.0108

1.0300 0.0148 0.0027 0.0027 0.0038

2.0600 0.0137 0.0026 0.0026 0.0058

3.1000 0.0162 0.0041 0.0041 0.0040

4.1300 0.0142 0.0028 0.0028 0.0064

5.1600 0.0146 0.0036 0.0036 0.0061

6.2000 0.0142 0.0027 0.0027 0.0061

7.2300 0.0142 0.0042 0.0042 0.0066

8.2700 0.0136 0.0026 0.0026 0.0058

9.3000 0.0136 0.0027 0.0027 0.0067

10.3400 0.0147 0.0023 0.0023 0.0055

11.3700 0.0112 0.0038 0.0038 0.0075

12.4000 0.0154 0.0035 0.0035 0.0058

13.4400 0.0127 0.0037 0.0037 0.0062

14.4700 0.0133 0.0028 0.0028 0.0064

15.5100 0.0130 0.0047 0.0047 0.0061

16.5400 0.0136 0.0043 0.0043 0.0064

17.5800 0.0115 0.0054 0.0054 0.0066

18.6200 0.0130 0.0022 0.0022 0.0061

19.6600 0.0128 0.0024 0.0024 0.0075

20.6900 0.0111 0.0035 0.0035 0.0075

21.7200 0.0143 0.0032 0.0032 0.0081

22.7600 0.0107 0.0037 0.0037 0.0059

23.7900 0.0128 0.0031 0.0031 0.0062

24.8300 0.0122 0.0048 0.0048 0.0064

25.8600 0.0126 0.0036 0.0036 0.0061

26.9000 0.0107 0.0045 0.0045 0.0075

27.9300 0.0127 0.0026 0.0026 0.0064

28.9600 0.0113 0.0024 0.0024 0.0070