Surat Kabar Pengakuan Berdasarkan Prinsip Teritorial

Universitas Sumatera Utara, Gelanggang Mahasiswa, Kampus USU, 1 April 2006. Soedarsono, Teguh., Kadiv Binkum Polri, dalam presentasi Makalah mengenai ”Sosialisasi Penanganan Perkara Melalui Proses Alternative Dispute Resolutions Sebagai Tindak Lanjut Dalam Mewujudkan Strategi Community Policing dan Kultur Polisi Sipil Dalam Proses Reformasi Polri”, Jakarta, Mabes Polri, Desember 2006. Tambunan, Fred B.G., ”Kekuatan Mengikat Perjanjiandan Batas-Batasnya”, Makalah, Jakarta: Juli 1998. Widjaja, Gunawan I., Aspek Hukum Dalam Kontrak Dagang Internasional, Jurnal Hukum Bisnis, Kajian Hukum Kontrak Dagang Internasional, Vol. 27 No. 4 Tahun 2008.

D. Surat Kabar

Lubis, Todung Mulya., ”Infrastruktur dan Kepastian Hukum”, Kompas: Selasa, 14 Juni 2005.

E. Internet

http:www.seputar-indonesia.comedisicetakopinikepastian-hukum-2html, diakses terakhir tanggal 25 September 2008. Universitas Sumatera Utara

BAB III PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN

ATAU ARBITRASE ASING DI INDONESIA

E. Pengakuan Berdasarkan Prinsip Teritorial

Pengakuan recognition harus dibedakan dengan pelaksanaan enforcement. Menurut Sudargo Gautama 56 Putusan-putusan badan peradilan suatu negara tidak dapat dilaksanakan di wilayah negara lain. Hal ini merupakan asas dalam Hukum Perdata Internasional HPI dan sudah lama dianut dalam berkontrak, dimana putusan Hakim suatu negara hanya dapat dilaksanakan di wilayah negaranya saja. pengakuan tidak begitu mendalam akibatnya dari pada pelaksanaan. Melaksanakan keputusan meminta lebih banyak, seperti tindakan- tindakan aktif dari instansi tertentu yang berkaitan dengan peradilan dan administrasi, terhadap pengakuan tidak diperlukan atau diharapkan tindakan yang demikian itu. Oleh karena itu, kiranya mudah dimengerti mengapa orang dapat dengan mudah sampai pada pengakuan keputusan yang diucapkan di luar negeri dari pada pelaksanaannya. 57 Negara Indonesia menganut ketentutan bahwa putusan Hakim asing tidak dapat dilaksanakan di wilayah Indonesia. 58 56 Sudargo Gautama III, Loc. cit, hal. 278. 57 Sudargo Gautama V, Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional, Bandung: Alumni, 1985, hal. 281. 58 Lihat, Pasal 436 Reglement op de Rechtsvordering Rv walaupun sebenarnya ketentuan R.V. sudah tidak berlaku lagi di Indonesia, namun oleh karena Herziene Indonesich Reglement HIR yang mengatur hukum acara perdata bagi golongan Bumiputra dan yang sekarang digunakan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak menyebutkan atau mengatur mengenai putusan asing ini,maka ketentuan R.V. tersebut kiranya dapat dijadikan pedoman. Putusan Hakim asing tidak dapat dianggap sama dan sederajat dengan putusan Hakim Indonesia sendiri yang dapat dilaksanakan di Indonesia sendiri. Ketentuan tersebut erat kaitannya dengan Universitas Sumatera Utara principle of territorial soveregnty prinsip kedaualatan teritorial dimana berdasarkan asas ini putusan Hakim asing tidak dapat secara langsung dilaksanakan di wilayah negara lain atas ketentuannya sendiri. 59 Jika menggunakan penafsiran argumentum a contrario Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tidak merumuskan pengertian arbitrase nasional, justru disebutkan adalah pengertian putusan arbitrase internasional. Dalam Pasal 1 Angka 9 disebutkan; ”Putusan arbitrase internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbitrase perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase internasional”. 60 dapat dirumuskan pengertian putusan arbitrase nasional sebagai putusan yang dijatuhkan di wilayah hukum Republik Indonesia berdasarkan ketentuan hukum Republik Indonesia. Dari rumusan tersebut, jelas bahwa untuk menentukan apakah putusan arbitrase merupakan putusan arbitrase nasional atau internasional digunakan prinsip kewilayahan atau kedaulatan teritorial. 61 Oleh karena itu, sepanjang putusan arbitrase dilakukan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, putusan tersebut dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase internasional atau asing. Jadi, ciri putusan arbitrase asing yang didasarkan pada faktor teritorial tidak mensyaratkan perbedaan kewarganegaraan dan perbedaan tata 59 Sudargo Gautama III, Ibid, hal. 279. 60 Sudikno Mertokusumo., Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Edisi Ke-4, Yogyakarta: Liberty, 1999, hal. 165-167. Argumentum a contrario berdasarkan pada postulat Aristoteles bahwa, ”peristiwa yang tidak sama tidak diperlakukan sama”. Artinya,pengertian tertentu yaitu arbitrase nasional tidak secara khusus diatur oleh undang-undang, tetapi justru diatur adalah kebalikan dari pengertian tersebut yaitu arbitrase internasional. Dalam situasi demikian, untuk pengertian yang tidak secara khusus diatur dalam undang-undang tersebut berlaku sebaliknya. 61 Gatot Sumartono., Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2006, hal. 69. Universitas Sumatera Utara hukum. Meskipun para pihak yang terlibat dalam sengketa adalah warga negara Indonesia, jika putusan arbitrase atas sengketa mereka dijatuhkan di luar wilayah hukum Indonesia, maka secara otomatis putusan tersebut dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase asing. Di sini jelas karena faktor teritorial mengungguli faktor kewarganegaraan dan faktor tata hukum. Prinsip teritorial di atas juga dianut oleh Konvensi New York 1958 hal ini terdapat pada Pasal 1 Ayat 1 konvensi tersebut. 62 Ketentuan tersebut menyangkut putusan yang dilakukan di dalam negeri dengan menggunakan hukum asing. Artinya, jika para pihak menggunakan hukum asing sebagai dasar bagi penyelesaian sengketa mereka, maka, walaupun putusan arbitrase tersebut dijatuhkan di wilayah Republik Indonesia, putusan arbitrase tersebut tetap merupakan putusan arbitrase Internasional bagi Indonesia. Sebaliknya, walaupun para pihak yang bersengketa bukan warga negara Indonesia, tetapi mempergunakan hukum Indonesia sebagai hukum substantif bagi penyelesaian Dalam ketentuan ini lebih menegaskan prinsip kewilayahan, bahkan tidak melihat lagi perbedaan mengenai status kewarganegaraan para pihak dan juga hukum yang digunakan. Jadi. Jadi, putusan arbitrase dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase asing atau Internasional jika diputuskan di luar wilayah negara yang diminta pengakuan recognition dan eksekusi enforcement. Di samping itu, Pasal 1 Ayat 1 Konvesi New York 1958 juga menyatakan bahwa ruang lingkup konvensi berlaku atas putusan-putusan arbitrase yang tidak dianggap sebagai putusan-putusan domestik di negara di mana pengakuan dan pelaksanaan arbitrase tersebut dimohonkan. 62 Ibid. Universitas Sumatera Utara sengketa arbitrase mereka di Indonesia, maka putusan arbitrase tersebut merupakan putusan arbitrase nasional. Dalam kaitan itu, perlu dibedakan antara pelaksanaan putusan arbitrase Nasional dengan arbitrase Internasional. Pelaksanaan arbitrase Nasional berdasarkan Keppres Nomor 34 Tahun 1981 tentang Ratifikasi Konvensi New York 1985, dan Perma Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Untuk Pelaksanaan arbitrase Internasional berdasarkan Konvensi New York 1985. Lahirnya Perma Nomor 1 Tahun 1990, ditujukan untuk mengantisipasi permasalahan pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Dikeluarkannya Perma ini, maka berakhir masa kekosongan hukum tentang pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Jangkauan kekuatan Perma ini tidak hanya meliputi arbitrase asing yang telah ada sebelum Perma dikeluarkan, baik terhadap putusan yang belum pernah diajukan, maupun yang sudah pernah ditolak eksekusinya. Penolakan atau pernyataan eksekusi putusan arbitrase asing tidak dapat diterima atas alasan peraturan pelaksana belum ada seperti yang terjadi di masa sebelum Perma Nomor 1 Tahun 1990 berlaku.

F. Pengakuan Terhadap Putusan Arbitrase Asing