3 Asas kekuatan mengikat;
4 Asas persamaan hak;
5 Asas keseimbangan;
6 Asas moral, asas ini ditemukan dalam Pasal 1339 KUH Perdata;
7 Asas kepatutan, asas ini ditemukan dalam Pasal 1339 KUH Perdata;
8 Asas kebiasaan, asas ini ditemukan dalam Pasal 1339 jo Pasal 1347 KUH
Perdata; dan 9
Asas keastian hukum.
C. Peraturan Hukum Kontrak Dagang Indonesia yang Berhubungan Dengan Kontrak Dagang Internasional
Berikut ini, peneliti paparkan berbagai peraturan hukum di Indonesia yang berhubungan dengan penyelesaian sengketa jika terjadi perselisihan mengenai
kontrak dagang Indonesia yang bersifat internasional. 1.
Peraturan Hukum Peninggalan Kolonial Peraturan hukum yang berkenaan dengan kontrak dagang Internasional bagi
negara Indonesia merujuk kepada Het Herziene Indonesich Reglement HIR, Rechtsreglement Buitengewesten
Rbg, Reglement op de Burgerlijke
Rechtsvordering Rv, dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata. Landasan hukum Indonesia berdasarkan hukum peninggalan Belanda yang
masih berlaku sekarang tentang arbitrase dalam Het Herziene Indonesich Reglement HIR, Rechtsreglement Buitengewesten Rbg, Rechtverordering Rv
36
36
M. Yahya Harahap., Arbitrase, Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hal. 1.
, dimana landasan hukum tersebut terdapat pada Pasal 317 HIR yang berbunyi, ”Jika orang
Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan yang mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang
berlaku bagi bangsa Eropa”.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pasal tersebut, maka peneliti memberikan batasan-batasannya bahwa:
1. Menyelesaikan sengketa melalui ”juru pisah” atau dikenal dengan lembaga
arbitrase; 2.
Arbitrase diberi fungsi dan kewenangan untuk menyelesaikannya dalam bentuk ”keputusan”; dan
3. Para pihak arbiter ”wajib” tunduk menurut peraturan hukum acara yang
berlaku bagi bangsa atau golongan Eropa. Landasan Rv terdapat dalam Reglement Hukum Acara Perdata Reglement op
de Burgerlijke Rechtsvordering disingkat dengan Rv. S 1847-52 jo 1849-63. hal tersebut dapat dibaca dalam kalimat, ”wajib menurut peraturan pengadilan perkara
yang berlaku bagi bangsa Eropa”. Penunjukan pada pasal-pasal Rv pada prinsipnya adalah untuk mengisi kekosongan hukum tentang aturan arbitrase, karena pada HIR
dan Rbg tidak membuat aturan lebih lanjut tentang arbitrase. Sebagai pedoman aturan umum arbitrase yang wajib ditaati golongan Bumiputra, Timur Asing, dan
Eropa yang diatur dalam buku ketiga Reglement Acara Perdata, terbagi atas lima bagian pokok yaitu:
37
1. Bagian Pertama Pasal 615-Pasal 623 mengenai, persetujuan arbitrase dan
pengangkatan arbitrator atau arbiter; 2.
Bagian Kedua Pasal 631-Pasal 640 mengenai, putusan arbitrase; 3.
Bagian Ketiga Pasal 631-Pasal 640 mengenai, upaya-upaya terhadap keputusan arbitrase; dan
4. Bagian Kelima Pasal 648-Pasal 651 mengenai, berakhirnya acara-acara
arbitrase. Reglemen Acara Perdata yang dibuat tahun 1849, mungkin sudah memenuhi
kebutuhan praktek pada jamannya. Namun belum dapat menjangkau permasalahan
37
Ibid, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
arbitrase untuk saat ini yang semakin komplek seperti arbitrase yang diputus di luar negeri, karena dalam Reglemen Acara Perdata belum mengatur tentang pengakuan
dan eksekusi putusan arbitrase asing. Padahal, maslaah putusan arbitrase asing pada saat sekarang merupakan kebutuhan yang tidak dapat dihindari terutama dalam era
globalisasi dan interdepensi kehidupan masyarakat Indonesia, baik dalam kegiatan penanaman modal asing maupun dalam lalulintas perdagangan dunia.
Putusan hakim asing pada umumnya tidak dapat dilaksanakan di Indonesia, karena dalam hal tertentu ada putusan asing yang dapat dilaksanakan di Indonesia.
Pasal 346 Rv. menyebutkan, bahwa kecuali dalam hal-hal yang ditentukan oleh Pasal 724 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang KUHD dan undang-undang lain,
putusan-putusan Hakim asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Putusan asing di Indonesia hanya akan dihormati dan tidak akan
dilaksanakan. Sengketa yang diputus di luar negeri harus diperiksa ulang kembali dari poses awalnya. Putusan asing hanya sekedar suatu ”fakta”, berupa putusan yang
sifatnya tidak mengikuti hakim di Indonesia, karena Rv masih menjadi pedoman di Indonesia, dalam Pasal 436 Rv antara lain menyatakan bahwa ”...keputusan-
keputusan yang diberikan oleh badan-badan peradilan di luar negeri tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan di Indonesia.” Umumnya ketentuan putusan Hakim
asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Dikatakan pada umumnya, karena dalam hal tertentu ada putusan asing yang dapat dilaksanakan di Indonesia. Pasal 346
R.V. menyebutkan, bahwa kecuali dalam hal-hal yang ditentukan oleh Pasal 724 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang KUHD dan undang-undang lain, putusan-
putusan Hakim asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Jadi, putusan Hakim asing mengenai perhitungan umum terhadap kapal atau pemilik kargo yang diangkut
Universitas Sumatera Utara
oleh kapal yang bersangkutan dan berdomisili di Indonesia, berdasarkan ketentuan tersebut tidak dapat dilaksanakan di Indonesia.
Hukum Acara Perdata yang berlaku di Indonesia dan juga pengaturannya terdapat pada Het Herziene Indonesich Reglement HIR dan Rechtsreglement
Buitengewesten Rbg tidak terdapat ketentuan khusus mengenai kompetensi pengadilan yurisdiksi di Indonesia dalam mengadili perkara-perkara perdata yang
mengandung elemen asing. Pasal 118 ayat 1 HIR, tuntutan atau gugatan perdata diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat tergugat bertempat tinggal
woonplaats atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya, maka di tempat sebenarnya ia berada werkelijk verbliff.
Tergugat lebih dari satu orang dan mereka tidak tinggal dalam satu wilayah suatu Pengadilan Negeri, menurut Pasal 118 HIR, gugatan diajukan kepada
Pengadilan Negeri di tempat salah seorang bertempat tinggal. Yurisdiksi menurut Sudargo Gautama, merupakan ketentuan penting yang
ada hubungannya dengan perkara yang bersifat HPI terdapat dala Pasal 118 ayat 3 HIR.
38
Pasal 118 ayat 4 HIR, terdapat ketentuan yang menegaskan, bahwa jika terdapat pilihan domisili, maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri yang
Jika tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal dan juga tempat tinggal sebenarnya tidak dikenal, maka gugatan diajukan kepada pengadilan negeri
ditempat penggugat Forum Actoris. Kemudian apabila gugatan tersebut berkaitan dengan benda tidak bergerak benda tetap, gugatan diajukan kepada pengadilan
negeri dimana benda tetap itu terletak Forum Rei Sitae.
38
Sudargo Gautama III, Hukum Perdata Internasional Indonesia, Jilid III Bagian II Buku 8, Bandung: Alumni, 1979. hal. 210.
Universitas Sumatera Utara
telah dipilih tersebut Chice of Forum. Yurisprudensi Indonesia sering ditemukan perkara-perkara diamana tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang dikenal di
Indonesia, sehingga prosedur khusus telah dilakukan.
39
Pengkajian di dalam ketentuan yang terdapat pada Pasal 6 sub 8 Reglement of de Burgerlijk Rechtsvorerdering Rv
40
mengenai Dagvaarding yang harus disampaikan kepada pihak tergugat kepada yang bertempat tinggal di luar Indonesia
sepanjang mereka tidak mempunyai tempat kediaman yang dikenal di Indonesia. Tuntutan diserahkan kepada pejabat kejaksaan kepada tempat pengadilan dimana
seharusnya perkara diajukan. Pejabat ini membubuhkan kata-kata gezien dan menandatanganinya serta menyerahkan salinan eksploit untuk yang bersangkutan
kepada pemerintah Indonesia untuk dikirim.
41
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata
Kontrak dagang Internasional mengandung elemen-elemen asing, maka dalam pelaksanaannya menimbulkan persoalan, hukum manakah yang berlaku atas
perjanjian atau kontrak tersebut. Prinsip hukum yang berlaku dalam kontrak yang mengandung unsur HPI tersebut adalah hukum yang dipilih sendiri oleh para pihak
pilihan hukum.jika pilihan hukum tersebut tidak ditemukan dalam kontrak yang bersangkutan, dapat digunakan bantuan titik-titik taut sekunder.
Asas kebebasan berkontrak menekankan kepada para pihak dalam suatu perjanjian atau kontrak, bebas menentukan bentuk dan isi perjanjian termasuk untuk
39
Ibid, hal. 211.
40
Ketentuan ini merupakan reglemen hukum acara perdata yang berlaku untuk golongan Eropa. Kemudian dengan dihapuskannya Raad van Justitie dan Hooggerechtshof, ketentuan ini sudah
tidak berlaku lagi. Namun apabila di dalam HIR atau Rbg tidak terdapat pengaturan tertentu mengenai hukum acara perdata, misalnya mengenai arbitrase, maka ketentuan RV dapat dijadikan sebagai
pedoman.
41
Ibid, hal. 211.
Universitas Sumatera Utara
menentukan pilihan hukum.
42
Kemudian apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak tadi berlaku sebagai undang-undang bagi mereka kedua belah pihak yang
berkontrak.
43
Pilihan hukum merupakan masalah sentral dalam HPI berbagai sistem hukum. Pilihan hukum ini telah diterima baik dikalangan akademisi maupun dalam
praktik di pengadilan. Yansen Derwanto Latif menyatakan bahwa pilihan hukum dihormati dengan beberapa alasan:
44
1. Pilihan hukum sebagaimana yang dimaksud para pihak dianggap sangat
memuaskan bagi mereka yang menganggap kebebasan akhir individu adalah dasar murni dari hukum. Prinsip ini berlaku di banyak negara. Hal ini
merupakan fakta yang menarik, karena hal itu terjadi tanpa ada perjanjian antara pengadilan di berbagai negara;
2. Pilihan hukum dalam kontrak internasional memberikan kepastian, yakni
memungkinkan para pihak dengan mudah menentukan hukum yang mengatur tentang kontrak tersebut;
3. Memberikan efisiensi, manfaat dan keuntungan. Pilihan hukum para pihak
dilaksanakan berdasarkan pertimbangan efisiensi.alasan tersebut memberikan keuntungan untuk menghindari hukum memaksa yang tidak efisien,
meningkatkan persaingan hukum, dan mengurangi ketidakpastian tentang hukum yang dipergunakan. Pemuatan pilihan hukum dalam hukum kontrak
adalah hanya satu cara dari pengurangan biaya. Suatu alternatif mungkin adalah suatu peraturan bersifat memaksa yang relatif sederhana, seperti
menentukan hukum tempat kontrak itu dibuat. Hal ini akan menghemat bagi para pihak dari biaya penentuan hukum yang berlaku, jika tidak terdapat
klausul pilihan hukum; dan
4. Pilihan hukum akan memberikan kepada negara insentif bersaing. Kebebasan
para pihak untuk memilih dan menentukan hukum yang berlaku bagi kontrak yang mereka buat, yang berarti tidak semata-mata hak mereka untuk
menggantikan atau memindahkan peraturan yang tidak pasti dan setiap sistem hukum.
42
Sutan Remy Sjahdeini., Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Hukum yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Jakarta: Institut Bankir Indonesia, 1993,
hal. 47.
43
Ridwan Khairandy II., Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004, hal. 29.
44
Yansen Derwanto Latif., Pilihaan Hukum dan Pilihan Forum dalam Kontrak Internasional, Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002, hal. 20-
21.
Universitas Sumatera Utara
Pilihan hukum para pihak didasarkan pada pertimbangan bahwa pada prinsipnya seluruh sistem hukum nasional adalah sama dan oleh karenanya dapat
saling dipindahkan. Dalam kontrak internasional, hukum private nasional akan diterapkan apabila tidak ada pilihan hukum kepada hukum nasional lainnya.
45
Pilihan hukum ini sudah umum. Kini orang sudah tidak meragukan lagi, bahwa para pihak
dalam membuat sebuah kontrak dapat menentukan sendiri hukum bagi kontrak yang mereka buat itu.
46
Pilihan hukum diperkenankan berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Kebebasan tidak berarti tidak ada batasnya. Kebebasan tersebut dibatasi oleh
ketentuan ketertiban umum. Hukum yang memaksa juga membatasi kebebasan para pihak dalam menentukan pilihan hukum. Pembatasan-pembatasan tersebut dientukan
oleh keadaan sosial ekonomi kehidupan modern, seperti perlindungan konsumen, pencegahan penyalahgunaan wewenang dari penguasa ekonomi serta menjaga iklim
persaingan yang adil dalam ekonomi pasar. Pihak-pihak dalam berkontrak, bebas untuk menentukan pilihan
hukum dengan mengingat beberapa pembatasan; Pertama, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, Kedua, pilihan hukum itu tidak mengenai hukum yang bersifat
memaksa.
47
Pilihan hukum harus secara tegas di dalam kontrak yang bersangkutan. Para pihak secara tegas dan jelas menentukan hukum mana yang merreka pilih. Hal
tersebut biasanya muncul dalam klausul governing law. Keabsahan suatu kontrak didasarkan pada hukum yang dipilih para pihak tersebut. Demikian juga apabila
terjadi perselisihan maupun pelaksanaan perjanjian, maka Hakim atau Arbiter yang
45
Ibid.
46
Sudargo Gautama III., Op. cit, hal. 169.
47
Ibid, hal. 24.
Universitas Sumatera Utara
mengadili perkara tersebut juga harus merujuk kepada hukum yang telah dipilih para pihak tersebut.
Permasalahan yang timbul adalah jika pilihan hukum itu tidak ada dalam menentukan hukum yang diberlakukan. Hakim atau Arbiter harus menggunakan teori
yang lazim dikenal di dalam HPI. Teori-teori tersebut antara lain sebagai berikut; 1. Lex Loci Contractus, 2. Mail Box Theory of Declaration, 3. Lex Loci Solutions,
4. The Proper Law of a Contract, 5. Theory Most Characteristic Connection. Penentuan tentang teori mana yang akan diberlakukan menimbulkan
permasalahan tersendiri. Penggunaan titik pertalian atas teori tersebut sangat beragam, tergantung pada titik pertalian mana yang dianut oleh masing-masing
kaidah HPI setiap negara. Kaidah HPI Indonesia yang terdapat dalam Pasal 18 AB menentukan, jika tidak ada pilihan hukum, maka hukum yang berlaku harus merujuk
kepada hukum negara dimana tempat diadakannya kontrak tersebut. Pilihan hukum merupakan cara yang terbaik untuk menentukan hukum yang
berlaku terhadap kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul dalam menentukan hukum yang akan diberlakukan dalam terjadinya sengketa bisnis yang mengandung unsur
HPI, dan untuk menghindari berbagai kesulitan yang mungkin timbul, serta untuk menghindari hukum yang tidak relevan dengan permasalahan yang dihadapi serta
menghindari hukum yang tidak dikehendaki oleh negara dimana trnasaksi tersebut dilakukan.
3. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif dan Penyelesaian
Sengketa APS Salah satu ketentuan yang merupakan sumber pokok dapat dilaksanakannya
arbitrase atau ketentuan hukum yang mengatur arbitrase atas perselisihan atau
Universitas Sumatera Utara
sengketa kontrak dagang Internasional, di Indonesia sebelumnya diberlakukan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang APS adalah ketentuan yang dalam
Pasal 337 Reglemen Indonesia yang diperbaharui Het Herziene Reglement, Staasblad; 44 HIR untuk Jawa dan Madura, atau Pasal 705 Reglemen Acara untuk
Daerah Luar Jawa dan Madura Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927;227 Rbg.
Kedua ketentuan dasar tersebut, dianggap menjadi sumber dari berlakunya ketentuan arbitrase yang diatur pratanya secara cukup lengkap dalam ketentuan Pasal
615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata atau Reglement op de Rechtsvordering Staatsblad 1847;52 bagi seluruh golongan penduduk Hindia
Belanda pada waktu itu. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang APS,
maka seluruh ketentuan tersebut di atas, yaitu Pasal 337 Reglemen Indonesia yang diperbaharui Het Herziene Reglement, Staasblad; 44 HIR, Pasal 705 Reglemen
Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927;227 Rbg, dan Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara
Perdata atau Reglement op de Rechtsvordering Staatsblad 1847;52, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pada Bab I Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang APS, menyatakan mengenai penyelesaian sengketa dimana para pihak telah memutus dari
sejak awal bahwa dalam kesepakatan perjanjian mereka apabila terjadi sengketa, maka akan diselesaikan dengan cara arbitrase. Klausula perjanjian arbitrase tersebut
menjadi bagian yang sah dari perikatan tersebut. Tetapi tidak tertutup kemungkinan bahwa penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase dapat dipilih sesudah terjadinya
Universitas Sumatera Utara
sengketa di belakangan. Hal penting lainnya adalah pengakuan akan eksistensi dari akan dibentuknya suatu lembaga alternatif penyelesaian sengketa selain dari lembaga
arbitrase yang sudah ada di Indonesia yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia BANI.
48
Berdasarkan pengamatan di atas, terlihat bahwa pengaturan Undang-Undang APS ini, masih terfokus pada penyelesaian sengketa non litigasi melalui arbitrase
tanpa menyinggung substansi pengaturan yang lebih jelas pada metode penyelesaian sengketa lain melalui Alternative Disputes Resolution ADR non litigasi.
Berdasarkan defenisi yang diberikan dalam Pasal 1 Angka 1 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang APS, dapat dipahami bahwa penyelesaian
perselisihan atau sengketa melalui pranata arbitrase memiliki ”kompetensi absolut” terhadap penyelesaian atau sengketa melalui pengadilan. Hal ini berarti, setiap
perjanjian yang telah mencantumkan klausula arbitrase tersebut atau yang telah timbul sebelum ditandatanganinya perjanjian arbitrase oleh para pihak.
Secara umum Undang-Undang mengenai APS mengatur tentang syarat arbitrase, hak ingkar, dan lain-lain. Pada Bab III mengatur mengenai acara yang
berlaku di hadapan Majelis Arbitrase, Bab V mengatur mengenai pendapat dan keputusan arbitrase, Bab VI mengatur mengenai putusan untuk arbitrase Nasional
maupun arbitrase Internasional, Bab VII mengatur mengenai pembatalan putusan arbitrase serta Bab VIII mengenai berakhirnya tugas arbiter, dan Bab IX mengenai
biaya arbitrase.
49
48
Ningrum Natasya Sirait., Hukum Kontrak Internasional, Bab Alternative Dispute Resolution, bahan Kuliah Program Pascasarjana Fakultas Hukum MHB UMA, 2004, hal. 21.
49
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Melihat pada substansi Bab VI tentang putusan arbitrase Internasional yang secara substansial sesuai prediksi banyak sengketa dagang Internasional ADR dalam
upaya penyelesaian sengketa, perincian lebih jelas untuk pembahasan arbitrase Internasional terkandung pada bagian kedua Pasal 65 sampai dengan Pasal 69.
50
Namun tentunya permasalahan dalam arbitrase Internasional tidak terlepas dari proses adanya sengketa dan pembatalan putusan, hal ini juga diatur pada Bab VII
perihal pembatalan putusan arbitrase, dari Pasal 70 sampai dengan Pasal 72.
51
4. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Convention on
the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award Konvensi New York 1958
Peraturan lain yang menjadi kekuatan hukum dalam arbitrase asing atas sengketa kontrak dagang internasional di Indonesia adalah Keputusan Presiden
Keppres Nomor 34 Tahun 1981. Dimana dalam Keppres ini Pemerintah Indonesia
telah mengesahkan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign
Arbitral Award Konvensi New York 1958. Prinsip-prinsip pokok yang terkandung dalam isi Keppres Nomor 34 Tahun 1981 tersebut adalah:
52
1 Pengakuan atau recognition atas putusan arbitrase asing, putusan arbitrase
asing dengan sendirinya memiliki daya self execution di negara Indonesia; dan
2 Namun demikian, sifat self execution yang terkandung dalam putusan
arbitrase asing didasarkan atas asas ”resiprositas” atau ”reciprocity”, yang berarti penerapan pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase
50
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Alternatif dan Penyelesaian Sengketa, Pasal 65 sampai dengan Pasal 69, menjelaskan tentang wewenang penanganan masalah pengakuan
dan pelaksanaan putusan arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, diamana putusan yang diakui serta dapat dilaksanakan di Indonesia adalah yang memenuhi persyaratan yang
telah ditentukan dalam Pasal 66 Undang-Undang APS, juga mengatur mengenai permohonan pelaksanaan putusan, penolakan putusan, dan eksekusi putusan.
51
Ibid, Pasal 70 sampai dengan Pasal 72, menjelaskan proses pembatalan putusan arbitrase meliputi; pengajuan permohonan pembatalan, jangka waktu permohonan pembatalan 30 hari,
penetapan permohonan pembatalan oleh Pengadilan Negri Jakarta Pusat, dan pertimbangan permohonan banding oleh Mahkamah Agung.
52
M. Yahya Harahap., Ibid, hal. 18-19.
Universitas Sumatera Utara
asing dalam suatu negara yang bersangkutan telah lebih dahulu mengikat hubungan bilateral dan multilateral.
Keppres Nomor 34 Tahun 1968 bertujuan untuk memasukkan Konvensi New York 1958 ke dalam tata hukum intern Indonesia, dengan adanya Konvensi New
York 1958 tersebut, diharapkan setiap warga negara supaya dapat mengakui dan melaksanakan setiap putusan yang dijatuhkan di luar negeri.
Jika dihubungkan dengan masalah pengakuan dan eksekusi putusan arbitrase asing terdapat perbedaan antara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 dengan
Keppres Nomor 34 Tahun 1981, jika dilihat dari segi jangkauannya. Pada Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1968, yang diatur di dalamnya, baru meliputi putusan
arbitrase yang dijatuhkan ICSID, sepanjang mengenai perselisihan yang menyangkut PMA atau joint venture. Lain halnya dengan Keppres Nomor 34 Tahun 1981, yaitu
pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing, pada prinsipnya meliputi segala putusan arbitrase yang dijatuhkan di luar wilayah hukum negara
Republik Indonesia, artinya kesediaan negara Indonesia mengakui dan mengeksekusi putusan arbitrase asing.
Sejak tanggal diberlakukannya Keppres Nomor 34 Tahun 1981 tersebut, negara Indonesia telah mengikat diri dengan kewajiban hukum, untuk mengakui dan
mematuhi pelaksanaan eksekusi atas setiap putusan arbitrase asing. Namun pada kenyataannya, pengakuan dan kewajiban hukum tersebut, tidak terlepas
penerapannya dari asas ”resiprositas” yakni asas timbal balik antara negara yang bersangkutan dengan Indonesia. Dengan penjelasan bahwa kesediaan negara
Indonesia mengakui dan mengeksekusi putsan arbitrase asing, harus berlaku timbal
Universitas Sumatera Utara
balik dengan pengakuan dan kerelaan negara lain mengeksekusi putusan arbitrase yang diminta oleh pihak Indonesia.
Sikap pengakuan dan kerelaan pihak Indonesia di sisi lain, Indonesia mengeksekusi putusan arbitrase asing atas permintaan yang datang dari suatu negara
lain, harus didasari dengan asas ikatan bilateral dan multilateral, dan tidak dapat dipaksakan secara unilateral. Sekurang-kurangnya antara negara yang meminta
pengakuan dan mengeksekusi putusan, sudah lebih dahulu memiliki ikatan perjanjian dengan Indonesia, baik secara bilateral maupun multilateral. Pihak Indonesia dalam
hal ini, tidak terikat untuk mengakui dan mengeksekusi putusan arbitrase asing , jika pihak negara lain meminta tidak terikat secara bilateral atau multilateral dengan
Pemerintah Republik Indonesia. 5.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi Putusan Arbitrase Asing
Landasan lainnya yang melengkapi peraturan tentang arbitrase atas sengketa kontrak dagang internasional di Indonesia adalah Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Eksekusi Putusan Arbitrase Asing disingkat dengan Perma Nomor 1 Tahun 1990, yang mulai diberlakukan
pada tanggal 1 Maret 1990. Perma Nomor 1 Tahun 1999 merupakan jawaban terhadap Tata Cara
Pelaksanaan Eksekusi Putusan Arbitrase Asing. Sebab secara nyata, meskipun Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968
telah mensahkan dan bergabung dalam ICSID, kenyataannya eksekusi putusan arbitrase asing masih tetap mengalami kegagalan. Begitu juga dengan
dikeluarkannya Keppres Nomor 34 Tahun 1981, pemerintah Republik Indonesia
Universitas Sumatera Utara
telah mengesahkan dan bergabung ke dalam Konvensi New York 1958. Pengesahan untuk bergabung ke Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign
Arbitral Award, secara de facto dan yuridis telah menempatkan Indonesia sebagai negara yang terikat dan patuh serta rela mengikuti dan melaksanakan eksekusi setiap
putusan arbitrase asing. Namun pada kenyataannya, setiap putusan arbitrase asing masih selalu kandas di depan pengadilan. Berbagai keluhan disampaikan dan
ditujukan kepada pengadilan, akan tetapi tetap saja tidak mengubah sikap, dan tetap menolak pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing tersebut.
Motivasi lahirnya Perma Nomor 1 Tahun 1990, ditujukan untuk mengantisipasi permasalahan pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase
asing. Dikeluarkannya Perma ini, maka berakhir masa kekosongan hukum tentang pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Jangkauan kekuatan Perma ini tidak
hanya meliputi arbitrase asing yang telah ada sebelum Perma dikeluarkan, baik terhadap putusan yang belum pernah diajukan, maupun yang sudah pernah ditolak
eksekusinya. Penolakan atau pernyataan eksekusi putusan arbitrase asing tidak dapat diterima atas alasan peraturan pelaksana belum ada seperti yang terjadi di masa
sebelum Perma Nomor 1 Tahun 1990 berlaku. Perlu diperhatikan bahwa di antara persyaratan yang harus semestinya
diperhatikan dalam pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing ialah bahwa putusan arbitrase asing ini tidak boleh bertentangan dengan apa yang dinamakan
Universitas Sumatera Utara
dengan ketertiban umum di Negara Indonesia.
53
Dalam ketentuan termuat di dalam Pasal 3 Ayat 3 Perma Nomor 1 Tahun 1990.
54
6. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
Pada bagian konsideran huruf d Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional ini salah satu pertimbangan diundangkannya
undang-undang ini bahwa pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara-negara lain, organisasi
internasional, dan subjek hukum internasional lain adalan suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara pada bidang-bidang tertentu, dan oleh
sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional harus dilakukan dengan dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan instrumen peraturan
perundang-undangan yang jelas pula. Pada Pasal 1 angka 1 disebutkan dalam undang-undang tersebut yang
dimaksud dengan perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta
menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Sementara dalam pejelasan undang-undang tersebut lebih lengkap disebutkan
mengenai bentuk-bentuk perjanjian Internasional yaitu setiap perjanjian di bidang hukum publik, diatur oleh hukum Internasional, dan dibuat oleh Pemerintah dengan
negara, organisasi Internasional, atau subjek hukum internasional lain.
53
Sudargo Gautama IV., Hukum Dagang Arbitrase Internasional, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991, hal. 7.
54
PERMA Nomor 1 Tahun 1990, Pasal 3 Ayat 3 yaitu ”Putusan-putusan arbitrase asing tersebut dalam Ayat 1 di atas hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan-putusan
yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum”.
Universitas Sumatera Utara
Pada umumnya bentuk dan nama perjanjian menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional tersebut menunjukkan bahwa materi
yang diatur oleh perjanjian tersebut memiliki bobot kerja sama yang berbeda tingkatannya. Namun demikian, secara hukum, perbedaan tersebut tidak mengurangi
hak dan kewajiban para pihak yang tertuang di dalam suatu perjanjian internasional. Penggunaan suatu bentuk dan nama tertentu bagi perjanjian internasional, pada
dasarnya menunjukkan keinginan dan maksud para pihak terkait serta dampak politiknya bagi para pihak tersebut.
Dalam Pasal 15 ayat 2 ditentukan mengenai mulai berlakunya perjanjian Internasional yaitu, ”Suatu perjanjian internasional mulai berlaku dan mengikat para
pihak setelah memenuhi ketentuan sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian tersebut.”
Kemudian dalam Pasal 18 diatur mengenai berakhirnya Perjanjian internasional berakhir apabila:
a. Terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam
perjanjian; b.
Tujuan perjanjian tersebut telah tercapai; c.
Terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian; d.
Salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian; e.
Dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama; f.
Muncul norma-norma baru dalam hukum internasional; g.
Objek perjanjian hilang; h.
Terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional. Pasal 19 ditentukan pula bahwa perjanjian internasional yang berakhir
sebelum waktunya berdasarkan kesepakatan para pihak, tidak mempengaruhi penyelesaian setiap pengaturan yang menjadi bagian perjanjian dan belum
dilaksanakan secara penuh pada saat berakhirnya perjanjian tersebut. Tetapi dalam Pasal 20 dinyatakan bahwa perjanjian internasional tidak berakhir karena suksesi
Universitas Sumatera Utara
negara, tetapi tetap berlaku selama negara pengganti menyatakan terikat pada perjanjian tersebut.
Menurut Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional tersebut mengenai pengesahan perjanjian internasional dilakuka n
dengan sesuai dengan undang-undang ini apabila berkenaan dengan: a.
Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b.
Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c.
Kedaulatan atau hak berdaulat negara; d.
Hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e.
Pembentukan kaidah hukum baru; f.
Pinjaman danatau hibah luar negeri. Berdasarkan kajian terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional tersebut, mengenai subjek perjanjian Internasional menurut undang-undang ini lebih cenderung adalah negara Republik Indonesia sebagai subjek
bukan privat karena pasal-pasal di dalamnya banyak mengatur tentang negara sebagai subjek hukum perjanjian internasional. sedangkan objek perjanjian
internasional sesuai dengan Pasal 10 sebagaimana telah disebutkan di atas, yang mengenai kontrak dagang Internasional secara khusus tidak ada disebutkan hanya
saja jika ditelaah lebih lanjut dalam Pasal 10 itu terdapat penyebutan daam huruf f
tentang pinjaman danatau hibah luar negeri.
D. Peraturan Hukum yang Otonom di Indonesia