Dalam kontrak dagang internasional selalu terdapat kemungkinan bertemunya dua atau lebih sistem hukum yang berbeda. Tidak mungkin semua sistem hukum
tersebut diberlakukan. Di sini sangat diperlukan adanya pilihan hukum untuk diakui masalah kepastian hukumnya. Ketika negosiasi dilakukan, permasalahan pilihan
hukum ini harus ditempatkan sebagai prioritas utama. Pilihan hukum tersebut diikuti dengan pilihan yurisdiksi. Bagi pengusaha Indonesia sebaiknya pilihan hukum dan
pilihan yurisdiksi diarahkan kepada hukum Indonesia dan pengadilan dan arbitrase Indonesia.
G. Pelaksanaan Putusan Pengadilan atau Arbitrase Asing
Pihak asing dalam menentukan klausul pilihan yurisdiksi dan pilihan hukum umumnya lebih menghendaki pengadilan dan hukum di negara mereka sendiri. Jika
tidak, mereka bersedia menggunakan hukum Indonesia, tetapi pilihan yurisdiksinya mengacu kepada pengadilan atau arbitrase asing yang tidak harus mengacu kepada
pengadilan atau arbitrase di negara mereka, yang intinya tidak diadili di Indonesia. Kemudian, pilihan yirusdiksinya juga mengacu kepada pengadilan di negara
bagian New York. Terhadap keadaan semacam ini, akan menimbulkan persoalan sehubungan dengan bagaimana melaksanakan putusan pengadilan tersebut jika yang
kalah dalam pengadilan adalah pengusaha Indonesia. Padahal yang bersangkutan jelas berdomisili di Indonesia dan tidak memiliki harta benda di New York, apakah
putusan Hakim tersebut dapat dilaksanakan di Indonesia?, apakah putusan tersebut dapat langsung dilaksanakan tanpa harus mengadilinya lagi di Indonesia?, dan
apakah Hakim dari Indonesia terikat pada putusan Hakim dari negara asing tersebut?.
Universitas Sumatera Utara
Umumnya ketentuan putusan Hakim asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Dikatakan pada umumnya, karena dalam hal tertentu ada putusan asing
yang dapat dilaksanakan di Indonesia. Pasal 346 R.V. menyebutkan, bahwa kecuali dalam hal-hal yang ditentukan oleh Pasal 724 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
KUHD dan undang-undang lain, putusan-putusan Hakim asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Jadi, putusan Hakim asing mengenai perhitungan avarai
umum grosse avaraij terhadap oemilik kapal atau pemilik kargo yang diangkut oleh kapal yang bersangkutan dan berdomisili di Indonesia, berdasarkan ketentuan
tersebut tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Keputusan arbitrase pada umumnya dapat dilaksanakan di luar negeri. Hal ini
berlainan dengan keputusan di dalam pengadilan. Secara internasional, pengaturan pelaksanaan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing diatur dalam
Konvensi New York Tahun 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, yang mulai berlaku sejak tanggal 7 Juni 1959
Konvensi New York Tahun 1958 tersebut telah diratifikasi Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden Keppres Nomor 34 Tahun 1981.
Keppres ratifikasi tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia melalui Peraturan Mahkamah Agung Perma Nomor 1 Tahun
1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Tata cara pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase di luar negeri
kemudian diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Peraturan yang menjadi sumber hukum tata cara pemberian pelaksanaan putusan arbitrase asing terdiri atas Konvensi New York 1958 dan Perma Nomor 1
Universitas Sumatera Utara
Tahun 1990. Sedangkan peraturan yang menjadi sumber hukum pelaksanaan eksekusinya sendiri tetap berpedoman pada Pasal 436 R.V. dengan menerapkan
pasal-pasal tentang tata cara eksekusi yang diatur dalam Pasal 195-224 HIR.
75
Ciri putusan arbitase asing di dasarkan pada faktor wilayah atau teritorial. Setiap putusan yang dijatuhkan di luar teritorial Republik Indonesia dikualifikasikan
sebagai putusan arbitrase asing. Belakangan ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.
Menurut Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990, yang dimaksud dengan putusan arbitrase asing adalah putusan yang dijatuhkan suatu
badan arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, ataupun putusan suatu badan arbitrase ataupun arbiter perorangan yang menurut
ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase asing yang berkakekuatan hukum tetap sesuai dengan Keppres Nomor 34 Tahun 1981.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menggunakan istilah arbitrase Internasional. Menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999,
putusan arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau
suatu putusan lembaga arbitrasearbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase Internasional.
76
Ciri putusan arbitrase asing di dasarkan pada faktor teritorial, tidak menguntungkan syarat perbedaan kewarganegaraan maupun perbedaan tata hukum,
meskipun para pihak yang terlibat di dalam putusan adalah orang-orang Indonesia
75
Ibid, hal. 437.
76
Ibid, hal. 438.
Universitas Sumatera Utara
dan sama-sama warga negara Indonesia, jika putusannya dijatuhkan di luar negeri, putusan tersebut dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase asing.
77
1. Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase
di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan
Putusan arbitrase internasional; Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 jo Pasal 3 Perma Nomor 1
Tahun 1990 dinyatakan bahwa putusan hanya diakui dan dapat dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
2. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas
pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan;
3. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya
dapat dilaksanakan di Indonesia terbbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum;
4. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah
memperoleh eksekuatur dari ketua pengadilan negeri Jakarta Pusat; dan 5.
Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam
sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari amhkamah agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kontrak dagang internasional selalu terdapat kemungkinan bertemunya dua atau lebih sistem hukum yang berbeda. Tidak mungkin semua sistem hukum tersebut
diberlakukan. Di sini sangat diperlukan adanya pilihan hukum. Ketika negosiasi dilakukan, permasalahan pilihan hukum ini harus ditempatkan sebagai prioritas
utama. Pilihan hukum tersebut diikuti dengan pilihan yurisdiksi. Bagi pengusaha Indonesia sebaiknya pilihan hukum dan pilihan yurisdiksi diarahkan kepada hukum
Indonesia dan pengadilan dan arbitrase Indonesia. Untuk lebih jeasnya, mengenai pengaturan tentang pengakuan dan
pelaksanaan putusan Arbitrase Asing di Indonesia, Undang-Undang Nomor 30
77
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Masalah, telah menggariskan ketentuan di dalam Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69.
Pasal 67 dinyatakan sebagai berikut: 1
Permohonan pelaksanaan Putusan arbitrase internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya
kepada panitra Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; 2
Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat1 harus disertai dengan:
a. lembar asli atau salinan otentik Putusan arbitrase internasional, sesuai
ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia;
b. lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan
arbitrase internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahas Indonesia; dan
c. keterangan dari perwakilan diplomatik Republik Indonesia di negara
tempat Putusan arbitrase internasional tersebut ditetapkan, yang menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara
bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan arbitrase internasional.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak dapat diajukan banding maupun kasasi,dan penolakan terhadap pengakuan dan pelaksanaan terhadap putusan
arbitrase asing dapat diajukan di tingkat kasasi, serta dengan pertimbangan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Untuk lebih jelasnya di dalam Pasal 68
dinyatakan sebagai berikut: 1
Terhadap putusan ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 huruf d yang mengakui dan melaksanakan Putusan
arbitrase internasional, tidak dapat diajukan banding atau kasasi; 2
Terhadap putusan ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 huruf d yang menolak untuk mengakui dan
melaksanakan suatu Putusan arbitrase internasional, dapat diajukan kasasi; 3
mahkamah agung mempertimbangkan serta memutuskan setiap kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat 2, dalam jangka waktu paling lama 90 hari
setelah permohonan kasasi tersebut diterima oleh mahkamah agung; dan 4
Terhadap putusan mahkamah agung sebagaiman dimaksud dalam pasal 66 huruf e, tidak dapat diajukan upaya perlawanan.
Universitas Sumatera Utara
Untuk pelaksanaan sita eksekusi, oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusata memerintahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang memiliki kewenangan relatif
di bidangnya. Dalam Pasal 69, telah disebutkan secara tegas sebagai berikut: 1
Setelah ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memberikan perintah eksekusi sebagaimana dimaksud dalam pasal 64, maka pelaksanaan selanjutnya
dilimpahkan kepada ketua Pengadilan Negeri yang secara relatif berwenang melaksanakannya;
2 Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang milik
termohon eksekusi; dan 3
Tata cara penyitaan serta pelaksanaan putusan megikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam hukum acara perdata.
Pelaksanaan putusan arbitrase asing di Australia dilaksanakan berdasarkan undang-undang federal dan neara bagian. Pasal 8 International Arbitration Act 1974
mengatur mengenai pengakuan dan penyelenggaraan sebuah putusan asing. Pasal 8 Ayat 2 menyatakan bahwa, “putusan arbitrasi asing dapat dilaksanakan di dalam
wilayah hukum pengadilan negera bagian atau wialayah sebagaimana bila putusan dibuat di negara bagian atau wilayah tersebut menurut hukum yang berlaku”.
78
Di Indonesia putusan Arbitrase asing hanya dapat dilaksanakan melalui perintah yang diberikan berdasarkan peraturan konvensi yang berlaku, misalnya
Konvensi Jenewa 1927 atau Konvensi New York 1958, yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan putusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981, tetapi
Sebuah putusan asing adalah putusan yang dibuat menurut kesepakatan arbitrase di sebuah negara selain Australia, dan yang mengikuti hasil Konvensi New York 1958.
mengikuti Pasal 8 Ayat 1 sebagai suatu dasar hukum penting menyatakan bahwa penyelenggara putusan asing di semua negara bagian di Australia kecuali
Queensland dilakukan berdasarkan peraturan Mahkamah Agung.
78
Maqdir Ismail, Op. cit, hal. 99.
Universitas Sumatera Utara
karena ratifikasi tidak selalu disertai dengan penjelasan yang detil mengenai prosedur pelaksanaannya, maka pelaksanaan putusan sering kali tidak mudah, termasuk
pelaksanaan putusan atas dasar kesepakatan bilateral dan Convention for the Settlement Investment Disputes 1965.
Karena itu masalah utama bagi Indonesia saat ini adalah tidak adanya peraturan mengenai prosedur pelaksanaan putusan arbitrase yang didapatkan melalui
pengadilan Indonesia, sehingga putusan arbitrase asing tidak dapat dilaksanakan secara langsung di Indonesia.
79
Sementara itu, menurut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentan Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa, putusan arbitrase Internasional dapat
dilaksanakan di Indonesia apabila putusan arbitrase itu dijatuhkan oleh arbiter atau Majelis Arbitrase di siatu negara yang terikat secara bilateral maupun multilateral
terhadap pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase Internasional. Putusan inipun Pada tahun 1990, Mahkamah Agung Republik
Indonesia mengeluarkan Peraturan Nomor 1 Tahun 1999 tentang Kompetensi Pengadilan Arbitrase, yang intinya menegaskan bahwa Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat diberi kuasa sebagai badan yang berwenang manangani pelaksanaan putusan arbitrase Ayat 1. Sementara pada Ayat 2 disebutkan bahwa setiap putusan arbitrase
memiliki status final dan mengikat. Sedangkan Ayat 3 satu demi satu mengatur mengenai persyaratan prosedur penyelenggaraan yaitu dinyatakan bahwa putusan
arbitrase asing hanya dapat dilaksanakan di Indonesia bila putusan tersebut tidak bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia.
79
Syarat-syarat suatu putusan arbitrase asing dapat dilaksanakan di Indonesia bila memenuhi ketentuan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian
Masalah, antara lain; putusan arbitrase itu dijatuhkan oleh arbiter atau Majelis Arbitrase di suatu negara yang terikat oleh perjanjian dengan Indonesia secara bilateral atau multilateral tentang
pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase Internasional.
Universitas Sumatera Utara
hanya terbatas pada putusan yang masuk dalam lingkup hukum perdagangan. Putusan ini juga dapat dilaksanakan setelah mendapat eksekuatur dari Ketua
Pengadilan Negeri. Akan tetapi bila putusan itu menyangkut negara Republik Indonesia, maka putusan itu baru dapat dilaksanakan setelah mendapat eksekuatur
dari Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang melaksanakan putusan arbitrase asing tidak dapat diajukan
banding ataupun kasasi, hanya saja putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menolaklah yang dapat diajukan kasasi.
80
H. Penolakan Terhadap Putusan Pengadilan Arbitrase Asing