Pengakuan Terhadap Putusan Arbitrase Asing

sengketa arbitrase mereka di Indonesia, maka putusan arbitrase tersebut merupakan putusan arbitrase nasional. Dalam kaitan itu, perlu dibedakan antara pelaksanaan putusan arbitrase Nasional dengan arbitrase Internasional. Pelaksanaan arbitrase Nasional berdasarkan Keppres Nomor 34 Tahun 1981 tentang Ratifikasi Konvensi New York 1985, dan Perma Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Untuk Pelaksanaan arbitrase Internasional berdasarkan Konvensi New York 1985. Lahirnya Perma Nomor 1 Tahun 1990, ditujukan untuk mengantisipasi permasalahan pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Dikeluarkannya Perma ini, maka berakhir masa kekosongan hukum tentang pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. Jangkauan kekuatan Perma ini tidak hanya meliputi arbitrase asing yang telah ada sebelum Perma dikeluarkan, baik terhadap putusan yang belum pernah diajukan, maupun yang sudah pernah ditolak eksekusinya. Penolakan atau pernyataan eksekusi putusan arbitrase asing tidak dapat diterima atas alasan peraturan pelaksana belum ada seperti yang terjadi di masa sebelum Perma Nomor 1 Tahun 1990 berlaku.

F. Pengakuan Terhadap Putusan Arbitrase Asing

Masalah pengakuan tidak begitu mendalam terhadap yang diakibatkannya daripada pelaksanaan. Melaksanakan keputusan meminta lebih banyak, seperti tindakan-tindakan aktif dari instansi tertentu yang berkaitan dengan peradilan dan administrasi, terhadap pengakuan tidak diperlukan atau diharapkan tindakan yang demikian itu. Oleh karena itu, kiranya mudah dimengerti mengapa orang dapat dengan mudah sampai pada pengakuan keputusan yang diucapkan di luar negeri dari Universitas Sumatera Utara pada pelaksanaannya. Oleh karenanya, maka untuk istilah pelaksanaan enforcement harus dibedakan dengan istilah pengakuan recognition. 63 Putusan-putusan badan peradilan dan arbitrase suatu negara tidak dapat dilaksanakan di wilayah negara lain. Hal ini merupakan asas pengakuan terhadap unsur-unsur dalam HPI dan sudah lama dianut dalam berkontrak, dimana putusan Hakim suatu negara hanya dapat dilaksanakan di wilayah negaranya saja. 64 Negara Indonesia menganut ketentutan bahwa putusan Hakim asing tidak dapat diakui untuk dilaksanakan di wilayah Indonesia. 65 Putusan Hakim asing tidak dapat dianggap sama atau sederajat dengan putusan Hakim Indonesia sendiri yang dapat dilaksanakan di Indonesia sendiri. Ketentuan tersebut erat kaitannya dengan prinsip kedaualatan teritorial dimana berdasarkan asas ini putusan Hakim asing tidak dapat secara langsung dilaksanakan di wilayah negara lain atas ketentuannya sendiri. 66 Konvensi arbitrase Internasional utama yang erat kaitannya dengan pengakuan adalah The New York Convention on the Recognition and Enforcement of Arbitrase Awards of 1958 yakni Konvensi New York tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase tahun 1958. 67 63 Sudargo Gautama III, Op. cit, hal. 278. 64 Sudargo Gautama V, Op. cit, hal. 281. 65 Pasal 436 Reglement op de Rechtsvordering Rv walaupun sebenarnya ketentuan R.V. sudah tidak berlaku lagi di Indonesia, namun oleh karena Herziene Inland Reglement HIR yang mengatur hukum acara perdata bag golongan Bumiputra dan dan yang sekarang digunakan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak menyebutkan atau mengatur mengenai putusan asing ini,maka ketentuan Rv. tersebut kiranya dapat dijadikan pedoman. 66 Sudargo Gautama III, Op. cit, hal. 279. 67 Australia, Indonesia, Malaysia dan Singapura telah meratifikasi konvensi ini. Dimana bahwa dalam konvensi ini tidak berkenaan dengan peraturan pelaksanaan arbitrase internasional, tetapi mengatur masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional yang Universitas Sumatera Utara dibuat oleh berbagai badan arbitrase, baik domestik maupun internasional. Konvensi ini juga mengatur pelaksanaan kesepakatan-kesepakatan arbitrase. Dalam Pasal II Konvensi New York 1958, dinyatakan bahwa: 68 1. Setiap orang yang mengadakan perjanjian harus mengakui perjanjian tertulis dimana para pihak menyerahkan semua perselisihan yang telah atau akan timbul di antara mereka sehubungan dengan hubungan hukum yang telah ditentukan, baik yang bersifat kontraktual atau tidak, berkenaan dengan sesuatu hal yang dapat diselesaikan melalui arbitrase, kepada arbitrase; 2. Istilah kesepakatan tertulis memuat klausa arbitrase di dalam sebuah perjanjian atau sebuah kesepakatan arbitrase, yang ditandatangani oleh para pihak atau dimuat dalam exchange of letter atau telegram; 3. Pengadilan dari suatu negara yang membuat perjanjian, saat ini bertindak dengan para pihak telah membuat kesepakatan menurut pengertian pasal ini, atas permintaan dari salah satu pihak akan merujukkan para pihak kepada arbitrase, kecuali bila pengadilan tersebut menemukan bahwa kesepakatan tersebut batal demi hukum, tidak berlaku atau tidak mungkin dilaksanakan. Konvensi New York berfungsi untuk mendorong kerjasama antara negara- negara pembuat kontrak, dan menyeragamkan kebiasaan negara-negara tersebut dalam melaksanakan putusan arbitrase asing. Konvensi ini dianggap sebagai traktat Internasional yang paling penting sehubungan dengan arbitrase komersial Internasional, karena konvensi ini menawarkan kepastian dan efisiensi dalam pelaksanaan putusan-putusan arbitrase Internasional. Negara Indonesia telah meratifikasi Konvensi New York 1958 ini melalui Keppres Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Dalam ratifikasi tersebut, Indonesia meletakkan persyaratan yaitu; Pertama, Indonesia hanya akan melaksanakan putusan apabila putusan tersebut mengenai sengketa yang termasuk ke dlaam ruang lingkup hukum dagang. Kedua, Indonesia hanya akan melaksanakan ptusan arbitrase asing, apabila negara dimana 68 Maqdir Ismail., Loc. cit, hal. 17. terjemahan dalam bentuk bahasa Indonesia atas Pasal II Konvensi New York 1958. Universitas Sumatera Utara putusan arbitrase tersebut dibuat, juga adalah negara peserta Konvensi New York 1958. prinsip ini dikenal pula dengan istilah resiprositas. Ketiga, Indonesia hanya akan melaksanakan putusan arbitrase asing apabila putusan tersebut tidak melanggar ketertiban umum ditanah air. Sebaliknya apabila ternyata putusan tersebut melanggar ketertiban umum, maka putusan tersebut tidak akan diakui dan dilaksankan. Dalam Konvensi New York 1958, mengatur masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase di dalam wilayah para pihak yang membuat perjanjian. Putusan arbitrase asing adalah putusan arbitrase yang dibuat di luar yurisdiksi pihak yang membuat perjanjian, yang di wilayah merekalah putusan tersebut akan diakui dan dilaksanakan. 69 Berdasarkan pengertian arbitrase asing, menyiaratkan kewajiban yang luas bagi para pihak pembuat perjanjian terhadap Konvensi New York 1958. Kewajiban ini mengharuskan pihak pembuat perjanjian melaksanakan putusan arbitrase yang Konsep yang luas ini meliputi putusan arbitrase yang dibuat di luar negara dimana putusan itu akan dilaksanakan. Traktat ini juga dapat diperluas pada putusan- putusan yang dianggap sebagai putusan dalam negeri yang tunduk pada hukum dari negara tempat dimana dibuat pelaksanaan putusan tersebut. Dengan demikian putusan arbitrase asing adalah setiap putusan arbitrase yang pengaruhnya tidak didasarkan pada hukum domestik di tempat putusan tersebut akan diakui dan dilaksanakan. Menurut Pasal I Ayat 2 Konvensi New York 1958, istilah putusan arbitrase memuat bukan saja putusan yang dibuat oleh para arbiter yang ditunjuk untuk setiap kasus, namun juga putusan yang dibuat oleh badan-badan arbitrase permanen dimana para pihak telah menyerahkan kasus mereka. 69 Pasal I Konvensi New York 1958. Universitas Sumatera Utara ditetapkan menurut hukum suatu negara yang menolak untuk menerima Konvensi New York 1958. Konsekuensi ini tidak konsisten dengan pengertian resiproksitas timbal balik, yang menjadi dasar dari kebanyakan konvensi dan traktat internasional. Para pihak yang terikat dalam pembuatan kontrak atau perjanjian dalam konvensi ini diijinkan untuk mengumumkan bahwa pelaksanaan putusan hanya terbatas pada mereka yang melakukan hubungan komersial sebagaimana diakui di dalam hukum pihak yang membuat perjanjian atau kontrak tersebut. 70 Putusan asing di Indoensia hanya akan dihormati dan tidak akan dilaksanakan. Sengketa yang diputus di luar negeri harus diperiksa ulang kembali dari poses awalnya. Putusan asing hanya sekedar suatu ”fakta”, berupa putusan yang sifatnya tidak mengikuti hakim di Indonesia, karena Rv masih menjadi pedoman di Ketentuan putusan hakim asing pada umumnya tidak dapat dilaksanakan di Indonesia, karena dalam hal tertentu ada putusan asing yang dapat dilaksanakan di Indonesia. Pasal 346 R.V. menyebutkan, bahwa kecuali dalam hal-hal yang ditentukan oleh Pasal 724 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang KUHD dan undang-undang lain, putusan-putusan Hakim asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Jadi, putusan Hakim asing mengenai perhitungan umum terhadap kapal atau pemilik kargo yang diangkut oleh kapal yang bersangkutan dan berdomisili di Indonesia, berdasarkan ketentuan tersebut tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Akan tetapi keputusan arbitrase pada umumnya dapat dilaksanakan di luar negeri. 70 Teks asli menyatakan, ”saat menandatangai, mensahkan atau mnyetujia konvensi ini, atau memberitahukan perpanjangan di abwah Pasal X, negara manapun pada dasar pelaksanaan putusan yang mengeluarkan di wilayah negara pembuat perjanjian lainnya. Negara tersebut juga dapat menyaakan bahwa mereka akan menggunakan konvensi tersebut kepada perbedaan-perbedaan yang timbul dari hubungan-hubungan hukum, baik mngenai perjanjian maupun tidak, yang dianggap sebagai komersial di bawah hukum nasional dari negara yang mengeluarkan deklarasi tersebut”. Universitas Sumatera Utara Indonesia, dalam Pasal 436 Rv antara lain menyatakan bahwa ”...keputusan- keputusan yang diberikan oleh badan-badan peradilan di luar negeri tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan di Indonesia.” 71 71 Putusan asing di Indoensia hanya akan dihormati dan tidak akan dilaksanakan. Sengketa yang diputus di luar negeri harus diperiksa ulang kembali dari poses awalnya. Putusan asing hanya sekedar suatu ”fakta”, berupa putusan yang sifatnya tidak mengikuti hakim di Indonesia, karena Rv masih menjadi pedoman di Indonesia, dalam Pasal 436 Rv antara lain menyatakan bahwa ”...keputusan-keputusan yang diberikan oleh badan-badan peradilan di luar negeri tidak dapat dieksekusi atau dilaksanakan di Indonesia.” Kedaulatan hukum adalah harga yang sangat tinggi untuk dibayar. Belum lagi masalah formalitas putusan, sistem hukum yang diterapkan, serta proses putusan itu sendiri dibuat. Untuk putusan misalnya yang sederhana, putusan di Indonesia harus dimulai dengan kepala putusan yang berbunyi, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tidak adanya bunyi kepala putusan tersebut, maka akan membuat putusan tersebut menjadi tidak sah atau batal null and void. Kendala lain yang mengganjal adalah bahwa konvensi-konvensi yang ada akan mendapat resistensi dari negara-negara yang sednag berkembang. Masalahnya adalah menyangkut fakta bahwa negara-negara inilah yang kemungkinan akan lebih banyak dihadapkan pada masalah permohonan pengakuan putusan badan pengadilan asing. Masalah lain misalnya Indonesia belum atau tidak mau menjadi anggota the Hague Conference, dengan demikian prospek ke depan terhadap mengikatnya substansi aturan Konvensi Den Haag 2005, masih tetap tampak jauh dari harapan. Hal ini berlainan dengan keputusan di dalam pengadilan. Secara internasional, pengaturan pelaksanaan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing diatur dalam Konvensi New York Tahun 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, yang mulai berlaku sejak tanggal 7 Juni 1959. Universitas Sumatera Utara Dalam Pasal V Konvensi New York 1958, memuat alasan-alasan yang dapat diajukan oleh para pihak untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan suatu putusan arbitrase asing. Prinsipnya yaitu bahwa pihak yang mengajukan putusan arbitrase harus mengajukan dan membuktikan alasan-alasan penolakan tersebut. Pasal ini memuat 7 tujuh alasan penolakan pelaksanaan suatu putusan arbitrase yaitu: 1. Bahwa para pihak yang terkait dalam perjanjian tersebut ternyata menurut hukum nasionalnya tidak mampu atau menurut hukum yang mengatur perjanjian tersebut atau menurut hukum negara dimana putusan tersebut dibuat apabila tidak ada petunjuk hukum mana yang berlaku; 2. Pihak terhadap mana putusan diminta tidak diberikan pemberitahuan yang sepatutnya tentang penunjukan arbitrator atau persidangan arbitrase atau tidak dapat mempertahankan sengketa pembelaannya; 3. Putusan yang dikeluarkan tidak menyangkut hal-hal yang diserahkan untuk diputuskan oleh arbitrase, atau putusan tersebut mengandung hal-hal yang berada di luar dari hal-hal yang seharusnya diputuskan oleh badan arbitrase; dan 4. Komposisi arbitrator atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan persetujuan para pihak atau tidak sesuai dengan hukum nasional tempat arbitrase berlangsung, atau putusan tersebut belum mengikat terhadap para pihak atau dikesampingkan atau ditangguhkan oleh pejabat yang berwenang di negara dimana putusan dibuat. Konvensi New York Tahun 1958 tersebut telah diratifikasi Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden Keppres Nomor 34 Tahun 1981. Keppres ratifikasi tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung Universitas Sumatera Utara Republik Indonesia melalui Peraturan Mahkamah Agung Perma Nomor 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Tata cara pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase di luar negeri kemudian diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Peraturan yang menjadi sumber hukum tata cara pemberian exequatur putusan arbitrase asing terdiri atas Konvensi New York 1958 dan Perma Nomor 1 Tahun 1990. peraturan yang menjadi sumber hukum pelaksanaan eksekusinya sendiri tetap berpedoman pada Pasal 436 R.V. dengan menerapkan pasal-pasal tentang tata cara eksekusi yang diatur dalam Pasal 195-224 HIR. 72 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menggunakan istilah arbitrase Internasional. Menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, putusan arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau suatu putusan lembaga arbitrasearbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase Internasional. Belakangan ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Menurut Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1990, yang dimaksud dengan putusan arbitrase asing adalah putusan yang dijatuhkan suatu badan arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, ataupun putusan suatu badan arbitrase ataupun arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase asing yang berkakekuatan hukum tetap sesuai dengan Keppres Nomor 34 Tahun 1981. 72 M. Yahya Harahap, Op. cit, hal. 437. Universitas Sumatera Utara Ciri putusan arbitase asing di dasarkan pada faktor wilayah atau teritorial. Setiap putusan yang dijatuhkan di luar teritorial Republik Indonesia dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase asing. 73 Hal ini, tidak menguntungkan syarat perbedaan kewarganegaraan maupun perbedaan tata hukum, meskipun para pihak yang terlibat di dalam putusan adalah orang-orang Indonesia dan sama-sama warga negara Indonesia, jika putusannya dijatuhkan di luar negeri, putusan tersebut dikualifikasikan sebagai putusan arbitrase asing. 74 1. Putusan itu dijatuhkan oleh badan arbitase atau arbiter perorangan di suatu negara yang dengan negara Indonesia ataupun bersama-sama negara Indonesia terikat dalam suatu konvensi internasional perihal pengakuan serta pelaksanaan putusan arbitrase asing. Pelaksanaanna didasarkan atas asas timbal balik resiprositas; Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 jo Pasal 3 Perma Nomor 1 Tahun 1990 dinyatakan bahwa putusan hanya diakui dan dapat dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 2. Putusan-putusan arbitrase asing tersebut di atas hanyalah terbatas pada putusan-putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum dagang; 3. Putusan-putusan arbitrase asing tersebut di atas hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. 73 Ibid, hal. 438. 74 Ibid. Universitas Sumatera Utara Dalam kontrak dagang internasional selalu terdapat kemungkinan bertemunya dua atau lebih sistem hukum yang berbeda. Tidak mungkin semua sistem hukum tersebut diberlakukan. Di sini sangat diperlukan adanya pilihan hukum untuk diakui masalah kepastian hukumnya. Ketika negosiasi dilakukan, permasalahan pilihan hukum ini harus ditempatkan sebagai prioritas utama. Pilihan hukum tersebut diikuti dengan pilihan yurisdiksi. Bagi pengusaha Indonesia sebaiknya pilihan hukum dan pilihan yurisdiksi diarahkan kepada hukum Indonesia dan pengadilan dan arbitrase Indonesia.

G. Pelaksanaan Putusan Pengadilan atau Arbitrase Asing