Variasi Makanan Ikan Kuro (Eleutheronema tetradactylum) Terkait Perubahan Ukuran Panjang dan Musim di Pantai Mayangan, Jawa Barat

(1)

DI PANTAI MAYANGAN, JAWA BARAT

SAKINA SAKSI BOGARESTU

SKRIPSI

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

Variasi Makanan Ikan Kuro (Eleutheronema tetradactylum) Terkait Perubahan Ukuran Panjang dan Musim di Pantai Mayangan, Jawa Barat

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2012

Sakina Saksi Bogarestu C24080031


(3)

Sakina Saksi Bogarestu. C24080031. Variasi Makanan Ikan Kuro

(Eleutheronema tetradactylum) Terkait Perubahan Ukuran Panjang dan Musim

di Pantai Mayangan, Jawa Barat. Dibawah bimbingan Ridwan Affandi dan Charles P. H. Simanjuntak.

Perairan pantai Mayangan bervegetasi mangrove memiliki kekayaan sumber

daya perikanan yang tinggi, salah satu diantaranya adalah ikan kuro (Eleutheronema

tetradactylum). Ikan ini merupakan ikan ekonomis penting dan merupakan ikan karnivora yang hidup di perairan payau dan laut. Luas kawasan perairan mangrove Pantai Mayangan dari tahun ke tahun semakin berkurang. Hal ini akan berdampak terhadap penurunan populasi ikan dan perubahan komposisi makanan yang dimakannya. Bercermin dari fakta di atas maka perlu dilakukan studi untuk mengungkap peran ekologi trofik ikan kuro khususnya variasi makanan ikan kuro terkait perubahan ukuran panjang tubuh dan musim.

Pengambilan contoh ikan kuro dilakukan selama enam bulan dari Mei-Oktober 2011 di perairan Pantai Mayangan dengan interval waktu pengambilan contoh satu bulan satu kali. Ikan contoh ditangkap dengan menggunakan jaring insang (rampus) dengan ukuran mata jaring 31,75-50,80 mm di daerah muara sungai dan perairan pantai. Ikan yang tertangkap diawetkan dengan formalin 10% dan analisis biologi yang meliputi panjang bobot ikan, faktor kondisi, lebar bukaan mulut, indeks kepenuhan lambung, indeks hepatosomatik, dan variasi makanan dilakukan di Laboratorium Biologi Makro 1, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.

Selama penelitian tertangkap 147 ekor ikan kuro dan semuanya adalah ikan jantan. Kisaran panjang dan bobot ikan kuro yang tertangkap berkisar antara 142-254 mm dan 16,88-105,79 g. Ikan kuro dibagi menjadi sembilan kelompok panjang. Ikan contoh yang banyak tertangkap berada pada kelompok ukuran 207-219 mm. Pertumbuhan ikan kuro bersifat allometrik positif. Nilai faktor kondisi ikan kuro per bulan cenderung meningkat dari waktu ke waktu akan tetapi jika ditinjau berdasarkan ukuran panjangnya, nilai faktor kondisinya cenderung berfluktuasi.

Makanan ikan kuro yang ditemukan selama penelitian didominasi oleh

Penaeus sp. (76,37), udang yang tidak teridentifikasi (14,10) dan sisanya terdiri atas

kepiting, Loligo sp. dan Pisces. Berdasarkan bulan pengambilan contoh terlihat

bahwa pada Mei ditemukan tiga jenis makanan; namun memasuki bulan berikutnya jenis makanan mulai berubah dan bervariasi. Ditinjau dari kelompok ukuran terlihat bahwa ikan kuro mulai memakan ikan dan kepiting saat memasuki ukuran 181 mm. Hal ini berhubungan dengan perubahan lebar bukaan mulutnya. Semakin bertambah ukuran tubuh ikan maka lebar bukaan mulutnya akan semakin membesar dan jenis makanannya pun akan berubah sesuai ukuran bukaan mulutnya. Ditinjau dari nilai indeks kepenuhan lambung, ikan kuro cenderung lebih banyak makan di Mei pada ukuran panjang 142-154 mm; sedangkan ditinjau dari indeks hepatosomatiknya, ikan kuro lebih banyak menyimpan energinya di Juli pada ukuran 246-258 mm. Berdasarkan hasil analisis luas relung makanan menurut ukuran tubuh ikan ditemukan bahwa semakin besar ukuran ikan maka nilai luas relung semakin besar. Peluang terjadinya persaingan memperebutkan makanan antara kelompok ukuran


(4)

Tetradactylum) tergolong ikan karnivora dengan makanan utamanya adalah Crustacea. Jenis makanan ikan kuro yang teridentifikasi terdiri atas Crustacea (Crangon seplemspinosa, Euphausia sp., Penaeus sp., Squilla empusa, udang dan

kepiting yang tidak teridentifikasi), Cephalopoda (Loligo sp.), dan Pisces

(Leiognathus sp., Thryssa sp. dan ikan yang tidak teridentifikasi). Ikan kuro yang berukuran lebih besar memiliki luas jelajah yang lebih besar sehingga pilihan jenis makanannya lebih banyak dan bervariasi. Perbedaan musim berpengaruh terhadap komposisi jenis makananya. Crustacea selalu ditemukan setiap bulan pada semua kelompok ukuran panjang, Cephalopoda ditemukan pada Juni dan Juli (ukuran 168-219 mm) dan Pisces ditemukan pada Juli-Oktober (ukuran 181-232 mm). Nilai luas relung makanan ikan kuro tertinggi ditemukan pada Juni dan yang terendah diperoleh pada Mei. Berdasarkan kelompok ukuran panjangnya, terlihat bahwa semakin bertambah ukuran panjang ikan maka luas relung semakin tinggi dan tingkat persaingan antara kelompok ukuran ikan kuro pun cenderung tinggi.


(5)

DI PANTAI MAYANGAN, JAWA BARAT

SAKINA SAKSI BOGARESTU C24080031

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBER DAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012


(6)

Judul Penelitian : Variasi Makanan Ikan Kuro (Eleutheronema tetradactylum)

Terkait Perubahan Ukuran Panjang dan Musim di Pantai Mayangan, Jawa Barat

Nama : Sakina Saksi Bogarestu

NIM : C24080031

Program Studi : Manajemen Sumber daya Perairan

Menyetujui,

Tanggal ujian : 13 Agustus 2012

Pembimbing 2

Charles P. H. Simanjuntak, S.Pi, M.Si NIP. 19771004 200710 1 001 Pembimbing 1

Dr. Ir. H. Ridwan Affandi NIP. 19541105 198003 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Manajemen Sumber daya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP. 19660728 199103 1 002


(7)

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan

karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Variasi Makanan

Ikan Kuro (Eleutheronema tetradactylum) Terkait Perubahan Ukuran Panjang dan

Musim di Pantai Mayangan, Jawa Barat”. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil

penelitian yang telah dilakukan dari Mei-Oktober 2011 serta merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. H. Ridwan Affandi selaku dosen pembimbing pertama, Charles P. H. Simanjuntak, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing kedua, dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku Komisi Pendidikan Manajemen Sumber daya Perairan yang telah membantu dalam memberikan bimbingan, arahan, serta masukan dalam penyusunan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan baik.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari kekurangan. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun. Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, September 2012

Penulis


(8)

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Ir. H. Ridwan Affandi selaku dosen pembimbing pertama dan Charles P. H. Simanjuntak, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing kedua yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan saran selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Kepala Bagian Ekobiologi dan Konservasi Sumber daya Perairan (EKSP), Departemen Manajemen Sumber daya Perairan (MSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk ikut serta dalam penelitian Bagian EKSP tentang Ekologi Komunitas Ikan Pantai Mayangan 2011.

3. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M.Sc selaku dosen penguji dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku Komisi Pendidikan S1 MSP atas saran, nasehat dan perbaikan yang diberikan.

4. Seluruh staf Tata Usaha dan civitas Departemen MSP, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor atas bantuan, dukungan dan kesabarannya.

5. Keluarga besar yang tercinta : Ibu, Ayah, Aga, Adek Ligar, Non Safa, Uwa Heni,

Bi Entin, Mang Kiki, Teh Agit, Teh Dea, A alta, Be‟ Dini, Mang Asep, dan

seluruh keluarga besar Soekanda Natamiharja dan Djuana Toha atas doa, kasih sayang, semangat, dukungan, dan bantuan baik itu moril maupun materil.

6. Para nelayan di perairan Pantai Mayangan yang telah banyak membantu dalam melakukan penelitian ini sehingga dapat berjalan dengan lancar.

7. Teman-teman di rumah hijau, Indah, Ika, dan Dwi yang selalu memberi semangat, dukungan dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

8. Teman-teman tim Mayangan (Dea, Intan, Gita, Rina, Dina, Indah, Kanti, Vini, Putu, Iman, Fair, Adit), MSP 45, dan MSP 46 yang selama ini telah berjuang bersama dalam menyelesaikan skripsi ini serta Bang Zahid, Pak Ruslan, Bang Aris dan Bang Prawira atas bantuan dan sarannya.


(9)

Penulis dilahirkan di Palembang, pada tanggal 4 Februari 1990 dari pasangan Bapak Ir. Hendar Suhendar dan Ibu Restulina, SH. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Pendidikan formal ditempuh di SDN 249 Palembang (1996-2002), SMPN 19 Palembang (2002-2005) dan SMAN 3 Palembang (2005-2008). Pada tahun 2008 penulis lulus masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI di Departemen Manajemen Sumber daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis berkesempatan menjadi Asisten Mata Kuliah Planktonologi (2010/2011) dan Iktiologi (2011/2012) serta aktif sebagai Sekretaris Divisi Kewirausahaan Ikatan Keluarga Mahasiswa Sriwijaya (IKAMUSI) periode 2008/2009, Sekretaris Departemen Sosial dan Lingkungan BEM FPIK (2009/2010), dan Sekretaris Departemen Komunikasi dan Informasi BEM FPIK (2010/2011), serta merupakan anggota dari Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumber daya Perairan (HIMASPER). Penulis juga aktif mengikuti berbagai macam kepanitian dan seminar yang diselenggarakan di lingkungan Institut Pertanian Bogor.

Penulis melakukan penelitian yang berjudul “Variasi Makanan Ikan Kuro

(Eleutheronema tetradactylum) Terkait Perubahan Ukuran Panjang dan Musim

di Pantai Mayangan, Jawa Barat” sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan

studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.


(10)

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan ... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi, Ciri Morfologis dan Daerah Penyebaran Ikan Kuro ... 5

2.2. Hubungan Panjang - Bobot dan Faktor Kondisi ... 7

2.3. Variasi Makanan dan Kebiasaan Makan ... 7

2.4. Luas Relung dan Tumpang Tindih Relung Makanan ... 9

3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 11

3.2. Alat dan Bahan ... 11

3.3. Metode Kerja ... 11

3.3.1. Penentuan stasiun pengambilan contoh ikan ... 12

3.3.2. Pengambilan contoh ikan ... 13

3.3.3. Analisis contoh ikan di laboratorium ... 13

3.4. Analisis Data ... 14

3.4.1. Hubungan panjang bobot ... 14

3.4.2. Faktor kondisi ... 14

3.4.3. Indeks kepenuhan lambung (ISC) ... 15

3.4.4. Indeks hepatosomatik (IHS) ... 15

3.4.5. Indeks bagian terbesar (IBT) ... 15

3.4.6. Luas relung dan tumpang tindih relung makanan ... 15

4. HASIL 4.1. Komposisi Hasil Tangkapan dan Sebaran Ukuran Panjang Ikan kuro ... 17

4.2. Hubungan Panjang Bobot ... 18

4.3. Faktor Kondisi Ikan Kuro ... 19

4.4. Perubahan Lebar Bukaan Mulut Ikan Kuro ... 20

4.5. Indeks Kepenuhan Lambung dan Indeks Hepatosomatik Ikan Kuro . 21 4.5.1. Indeks kepenuhan lambung (ISC) ... 21

4.5.2. Indeks hepatosomatik (IHS) ... 22

4.6. Variasi Makanan Ikan Kuro ... 24

4.6.1. Kebiasaan makanan ikan kuro ... 24

4.6.2. Variasi makanan ikan kuro berdasarkan bulan ... 24


(11)

4.7.2. Tumpang tindih relung makanan ... 28

5. PEMBAHASAN ... 29

6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 36

DAFTAR PUSTAKA ... 37

LAMPIRAN ... 41


(12)

Halaman

1. Posisi dan deskripsi stasiun penelitian ... 12

2. Jumlah, kisaran panjang total dan bobot ikan kuro selama penelitian .... 17

3. Hasil analisis hubungan panjang bobot ikan kuro ... 19

4. Kelompok makanan ikan kuro ... 24

5. Luas relung makanan ikan kuro berdasarkan bulan dan ukuran panjang ... 28 6. Tumpang tindih relung makanan ikan kuro berdasarkan ukuran

panjang ... 28


(13)

Halaman

1. Skema perumusan masalah sumber daya ikan kuro ... 3

2. Ikan kuro (Eleutheronema tetradactylum) ... 5

3. Siklus hidup ikan kuro (E. tetradactylum) ... 6

4. Peta lokasi penelitian ... 11

5. Tahap-tahap penelitian ... 12

6. Jumlah ikan kuro yang tertangkap berdasarkan kelompok ukuran panjang ... 18

7. Hubungan panjang dan bobot ikan kuro ... 18

8. Nilai faktor kondisi ikan kuro setiap bulan selama penelitian ... 19

9. Nilai faktor kondisi ikan kuro berdasarkan kelompok ukuran panjang .. 20

10. Nilai faktor ikan kuro berdasarkan bulan pada kelompok ukuran 207-219 mm ... 20

11. Perubahan lebar bukaan mulut ikan ... 21

12. Nilai indeks kepenuhan lambung (ISC) ikan kuro berdasarkan bulan dan kelompok ukuran panjang tubuh selama penelitian ... 22

13. Nilai indeks kepenuhan lambung (ISC) ikan kuro berdasarkan bulan pada kelompok ukuran 207-219 mm ... 22

14. Nilai indeks hepatosomatik (IHS) ikan kuro berdasarkan bulan dan kelompok ukuran panjang tubuh selama penelitian ... 23

15. Nilai indeks hepatosomatik (IHS) ikan kuro berdasarkan bulan pada kelompok ukuran 207-219 mm ... 23

16. Indeks bagian terbesar makanan ikan kuro selama penelitian ... 24

17. Indeks bagian terbesar makanan ikan kuro per bulan ... 25

18. Perubahan jenis makanan berdasarkan kelompok ukuran panjang... 27


(14)

Halaman 1. Alat dan bahan ... 42

2. Panjang total, panjang baku dan bobot ikan kuro per bulan ... 43

3. Hubungan panjang bobot ikan kuro ... 44

4. Nilai faktor kondisi ikan kuro berdasarkan (a) bulan; (b) kelompok ukuran panjang selama penelitian, dan (c) bulan pada kelompok

ukuran panjang yang sama (F (207-219 mm)) ... 45

5. Nilai indeks kepenuhan lambung (ISC) ikan kuro berdasarkan

(a) bulan dan kelompok ukuran panjang selama penelitian; (b) bulan

pada kelompok ukuran panjang yang sama(F (207-219 mm)) ... 46

6. Nilai hepatosomatik (HSI) ikan kuro berdasarkan (a) bulan dan kelompok ukuran panjang selama penelitian; (b) bulan pada

kelompok ukuran panjang yang sama (F (207-219 mm)) ... 47

7. Indeks bagian terbesar (IBT) makanan ikan kuro dari Mei 2011- Oktober 2011 ... 48 8. Indeks bagian terbesar (IBT) makanan ikan kuro menurut kelompok ukuran panjang ... 49

9. Contoh perhitungan tumpang tindih relung makanan ... 50

10. Rekapitulasi grafik panjang rata-rata, faktor kondisi, ISC, dan IHS pada selang kelas 207-219 mm ... 52 11. Data curah hujan ... 53 12. Foto jenis makanan yang ditemukan dalam lambung ikan kuro

(E. tetradactylum) ... 54


(15)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perairan Pantai Mayangan bervegetasi mangrove memiliki kekayaan sumber daya perikanan yang tinggi. Tingginya sumberdaya perikanan ini karena perairan di sekitar hutan mangrove merupakan habitat bagi berbagai biota untuk mencari makan, tempat mengasuh dan membesarkan anak-anak ikan, tempat bertelur dan memijah, serta tempat berlindung yang aman bagi berbagai ikan-ikan kecil dari predator (Irwanto 2008). Wajar jika pada tahun 2001 ditemukan kurang lebih 77 spesies ikan yang menghuni perairan Pantai Mayangan. Salah satu spesies ikan

penghuni perairan ini adalah ikan kuro (Eleutheronema tetradactylum) (Simanjuntak

et al. 2001). Ikan kuro merupakan ikan karnivora yang hidup di perairan payau dan laut, serta merupakan salah satu ikan ekonomis penting.

Luas kawasan mangrove di perairan Pantai Mayangan dari tahun ke tahun semakin berkurang. Pada tahun 2002, luas kawasan hutan mangrove Desa Mayangan sebesar 489,1 ha (Simanjuntak 2002), namun pada tahun 2007 luas kawasan mangrove ini hanya sekitar 190 ha (BRKP 2009). Perubahan luas kawasan hutan mangrove ini diakibatkan adanya alih fungsi lahan menjadi tambak dan penebangan liar oleh masyarakat sekitar. Kondisi ini akan menyebabkan ketersedian dan kelimpahan udang dan ikan-ikan kecil yang merupakan makanan utama ikan kuro semakin berkuran. Selain itu, ketersedian dan kelimpahan makanan di perairan pun dipengaruhi oleh perubahan musim. Perubahan ini secara tidak langsung akan menyebabkan bervariasinya makanan yang mengakibatkan perbedaan komposisi makanan yang berdampak terhadap populasi ikan kuro. Semakin berkurang sumber daya makanan ikan juga dapat berdampak pada perubahan jenis makanan yang dikonsumsi karena ikan mempunyai kemampuan yang elastis dalam

hal memilih jenis makanan (plasticity) (Lowe-McConnel 1987 dalam Rahardjo

2007) guna mempertahankan kehadirannya di habitatnya.

Kondisi perairan yang terganggu dan berubah-ubah seperti yang terjadi di perairan Pantai Mayangan berpengaruh terhadap pola makanan dan juga populasi ikan. Berdasarkan fenomena di atas, maka perlu dilakukan studi untuk mengungkap peran ekologi tropik ikan kuro yang berhubungan dengan variasi makanan terkait


(16)

perubahan ukuran sebagai informasi dasar dalam pengelolaan perikanan berbasis ekosistem di wilayah tersebut.

1.2. Perumusan Masalah

Masalah yang dapat dikemukakan adalah ikan kuro di Pantai Mayangan tidak mampu mempertahankan populasinya di perairan dan potensial mengalami penurunan. Kecenderungan penurunan populasi ikan ini ditenggarai karena (1) Eksploitasi ikan (intensitas penangkapan) yang tinggi dan terus menerus sehingga tidak cukup waktu untuk ikan tersebut melakukan pertumbuhan; (2) Berkurangnya luasan ekosistem mangrove dan pengaruh antropogenik yang mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan perairan dan memengaruhi jumlah populasi makanan alami ikan kuro (udang dan juwana ikan) baik secara spasial maupun temporal. Konsekuensi yang ditimbulkan adalah kemampuan pulih kembali ikan ini akan terhambat. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian untuk mengetahui ekologi tropik ikan kuro berkaitan dengan perubahan ukuran panjang tubuh ikan dan waktu. Untuk lebih jelasnya, kerangka pendekatan pemecahan masalah tersebut disajikan pada Gambar 1.


(17)

Gambar 1. Skema perumusan masalah sumber daya ikan kuro 3 Antropo- genik

-

Beban antropogenik ?

+

Distribusi spasial & temporal :

- Kualitas air - Udang, zooplankton, juwana ikan Hidrodinami- ka Mangrove

Hidromorfo-metrik Struktur populasi

kuro: larva, juvenil, remaja &

dewasa berkelanjutan Kemampuan pulih kembali Kualitas air

Sumber daya ikan kuro mantap berkelanjutan Struktur populasi

ikan kuro : - Larva - Juvenil - Dewasa Pertumbuhan populasi Udang, zooplankton, juwana ikan Intensitas penangkapan ? Manajemen penangkapan Ikan kuro (E.

tetradactylum)

+

Intensitas penangkapan Operasi penangkapan Teknologi penangkap-an

-


(18)

1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan variasi makanan ikan kuro terkait dengan perubahan ukuran panjang tubuh ikan dan musim melalui analisis isi lambung ikan tersebut.


(19)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi, Ciri Morfologis dan Daerah Penyebaran Ikan Kuro

Ikan kuro diklasifikasikan dalam filum Chordata, subfilum Vertebrata, superkelas Osteichthyes, kelas Actinopterygii, subkelas Neopterygii, infrakelas Teleostei, superordo Acanthopterygii, ordo Perciformes, subordo Percoidei, famili

Polynemidae, genus Eleutheronema, dan spesies Eleutheronema tetradactylum

(Shaw 1804) (www.fishbase.org) (Gambar 2).

(a) (b)

Gambar 2. Ikan kuro (Eleutheronema tetradactylum)

Sumber: (a) dokumentasi pribadi; (b) www.daff.qld.gov.au

Ikan kuro memiliki nama umum fourfinger threadfin dengan nama lokal yang

berbeda di setiap daerah. Di pantai timur Sumatera dikenal dengan nama ikan senangin dan di pantai utara Jawa dikenal dengan ikan kuro (Genisa 2001).

Ikan kuro memiliki tubuh yang memanjang dan agak pipih. Mata ditutupi oleh membran gelap. Bentuk mulut sangat besar dan tidak mempunyai bibir, kecuali

bibir bagian bawah yang terdapat pada sudut mulut (Weber & Beaufort 1922 dalam

Fahmi 2000). Sirip dada terdiri atas dua bagian, bagian atas dengan satu buah duri keras dan jari-jari sirip lemah berjumlah 17; sedangkan bagian bawah terdiri atas tiga atau empat buah sirip berfilamen dengan bagian paling atas memiliki filamen yang paling panjang hingga mencapai dasar sirip perut. Filamen ini berfungsi sebagai alat peraba yang memungkinkan ikan mencari makanan di air yang berlumpur (Motomura 2004).

Ikan kuro dicirikan dengan tubuh yang berwarna hijau keperakan di bagian dorsal dan bagian ventral berwarna putih kecoklatan. Sirip punggung dan ekor berwarna abu-abu dan sedikit gelap pada bagian pinggirnya. Sirip ventral dan anal berwarna orange; sedangkan sirip pektoral berfilamen berwarna putih (Motomura 2004).


(20)

Ikan kuro tergolong ke dalam ikan hermafrodit protandri yang dicirikan pada saat ikan kuro kecil atau remaja berjenis kelamin jantan dan hidup di daerah payau; sedangkan saat dewasa ikan kuro berkelamin betina dan hidup di perairan laut (Motomura 2004). Siklus hidup ikan kuro tergolong panjang (Gambar 3). Ikan kuro akan mengalami perubahan jenis kelamin menjadi betina ketika ikan kuro memiliki panjang lebih dari 400 mm dan berumur sekitar dua tahun. Ikan kuro sendiri dapat mencapai ukuran 2000 mm, tetapi ukuran yang biasa ditemukan antara 450-500 mm (Department of Fisheries, Western Australia 2010).

Gambar 3. Siklus hidup ikan kuro (E. tetradactylum). (1-3) tahap perkembangan

telur; (4-11) tahap perkembangan larva; (12) ikan kuro remaja; (13) ikan kuro berumur dua tahun dan pada ukuran tersebut terjadi perubahan jenis

kelamin menjadi betina; (14) ikan kuro dewasa berumur ≥ empat tahun

dan berjenis kelamin betina.

Sumber : Kowtal 1965; Motomura 2004; Department of Fisheries, Western Australia 2010

Daerah penyebaran ikan kuro di dunia meliputi Indonesia, Bangladesh, Brunei Darussalam, Kamboja, Hong Kong, India, Korea, Iran, Kuwait, Malaysia, Myanmar, Oman, Pakistan, Papua, Philipina, Singapura, Sri Lanka, Taiwan, Thailand, Vietnam, dan Australia (www.fishbase.org). Sebaran ikan kuro di Indonesia meliputi perairan pantai Laut Jawa, Sumatera bagian timur, Kalimantan, Sulawesi Selatan, dan Arafuru. Ikan ini juga ditemukan di Teluk Benggal, Teluk Siam, Pantai Laut Cina Selatan, dan Queensland (Australia) (Genisa 1999).

1,48 mm 1,54 mm 1,75 mm

2 mm

2,5 mm

4,1 mm

5,9 mm 7,3 mm

± 250 mm 400 mm 1100 mm


(21)

2.2. Hubungan Panjang-Bobot dan Faktor Kondisi

Hubungan panjang bobot hampir mengikuti hukum kubik yaitu bobot ikan sebagai pangkat tiga dari panjangnya. Namun, hubungan yang terdapat pada ikan sebenarnya tidak demikian karena bentuk dan panjang ikan berbeda-beda. Hubungan panjang bobot dapat menduga pola pertumbuhan yang dialami oleh ikan tersebut apakah montok atau tidak (Effendie 1997). Hubungan panjang bobot ikan

kuro yang ditemukan di daerah Muara Sungai Musi (Djamali et al. 1988) dan di

Perairan Utara Australia (Ballagh et al. 2012) bersifat allometrik positif yang artinya

pertumbuhan bobotnya lebih cepat dibandingkan dengan pertumbuhan panjangnya. Faktor kondisi atau sering juga disebut sebagai faktor K adalah kondisi yang menunjukkan keadaan baik dari ikan dilihat dari segi kapasitas fisik untuk kelangsungan hidup dan reproduksi. Ditinjau dari sudut pandang komersial, faktor kondisi adalah kualitas dan kuantitas daging ikan yang tersedia untuk dapat dikonsumsi (Effendie 1997).

2.3. Variasi Makanan dan Kebiasaan Makan

Kebiasaan makanan adalah kualitas dan kuantitas makanan yang dimakan oleh ikan (Effendie 1997). Ketersedian makanan di alam seperti jumlah dan kualitas makanan yang tersedia, mudahnya makanan ditemukan, dan lama masa pengambilan makanan oleh ikan akan berpengaruh kepada besarnya populasi ikan di dalam suatu perairan. Kebiasaan makanan juga sering dikaitkan dengan bentuk tubuh tertentu dan morfologi fungsional dari tengkorak, rahang, dan saluran

pencernaan (Barrington et al. 1957 dalam Weatherley 1987).

Pada masa larva tingkat mortalitas ikan sangat tinggi karena sulitnya ikan untuk dapat menemukan makanan yang cocok dengan ukuran mulutnya sehingga terjadi kelaparan dan kehabisan tenaga yang berujung pada kematian ikan tersebut. Sebaliknya, bagi ikan yang telah menemukan makanan yang sesuai dengan bukaan mulutnya maka ikan itu akan bertahan hidup dan jika telah dewasa akan merubah makanannya, baik dalam ukuran maupun kualitasnya mengikuti pola kebiasaan makan induknya (Effendie 1997).

Berdasarkan kebiasaan makanannya, ikan dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu pemakan plankton (planktivora), pemakan tanaman (herbivora), pemakan dasar, pemakan detritus (detritivora), pemakan ikan (piscivora), dan pemakan


(22)

campuran. Namun, berdasarkan jumlah variasi makanannya, ikan dibagi menjadi

tiga kelompok yaitu euryphagic, stenophagic, dan monophagic. Euryphagic adalah

ikan yang memakan berbagai jenis makanan; Stenophagic adalah ikan yang

memakan sedikit jenis makanan; dan Monophagic adalah ikan yang hanya memakan

satu jenis makan saja (Effendie 1997). Persentase bagian terbesar makanan dalam urutan kebiasaan makanan ikan dibagi menjadi empat kategori yang terdiri atas makanan utama yaitu makanan yang biasanya dimakan dalam jumlah yang besar, makanan sekunder yaitu makanan yang sering ditemukan dalam saluran pencernaan ikan dalam jumlah yang sedikit, makanan insidental yaitu makanan yang terdapat pada saluran pencernaan dalam jumlah yang sangat sedikit, dan makanan pengganti yaitu makanan yang hanya dikonsumsi jika makanan utama tidak ada (Nikolsky

1963 dalam Simanjuntak 2002).

Jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh suatu jenis ikan biasanya bergantung kepada umur ikan, ketersediaan makanan dan waktu (Effendie 1979), sehingga walaupun ikan tersebut satu spesies,namun jika umurnya berbeda maka makanannya pun akan berbeda. Selain itu, perbedaan ketersedian dan kelimpahan organisme makanan akan bervariasi berdasarkan musim dan akhirnya akan mengakibatkan perbedaan komposisi makanan suatu jenis ikan antara musim yang

satu dengan musim yang lain (Rahadjo 2007 dalam Rahadjo et al. 2011).

Komposisi makanan jenis ikan berukuran kecil akan berbeda dengan ikan yang berukuran lebih besar. Beberapa penyebab perbedaan ini terkait dengan adanya perbedaan dalam lebar bukaan mulut dan juga perbedaan dalam kemampuan ikan

mendapatkan makanan (Rahardjo et al. 2011).

Ikan kuro pada umumnya adalah pemakan krustasea kecil dan juga ikan. Saat kecil ikan ini memakan plankton, namun seiring dengan bertambahnya ukuran tubuhnya, makanan ikan kuro pun berubah menjadi krustasea kecil dan ikan. Selain itu, ikan kuro juga termasuk ikan demersal yang hidup di dasar perairan yang dangkal dan berlumpur, di daerah pantai, dan terkadang masuk ke perairan tawar (Motomura 2004). Ikan kuro merupakan ikan yang aktif pada kondisi gelap atau pada malam hari (nokturnal) karena ikan ini memiliki ciri khusus yaitu memiliki sungut yang berfungsi untuk meraba makanan pada kondisi gelap.


(23)

Perubahan jenis makanan seiring dengan perubahan ukuran tubuh ikan

ditemukan pada beberapa jenis ikan diantaranya Deuterodon langei di Selatan Brazil

(Vitule et al. 2008), Agonostomus monticola dan Brycon behreae (Ribeiro & Urena

2009), Coris gaimard di Selatan Jepang (Shibuno et al. 1994), ikan baji-baji

(Grammoplites scaber) di perairan Pantai Mayangan, Subang, Jawa Barat

(Simanjuntak & Zahid 2009), dan Lophius americanus di Pantai Selatan Inggris

(Armstrong et al. 1996).

2.4. Luas Relung dan Tumpang Tindih Relung Makanan

Luas relung habitat atau makanan mencerminkan adanya selektivitas suatu jenis ikan antar spesies maupun antar individu dalam suatu spesies yang sama terhadap sumber daya makanan pada habitat tertentu (Krebs 1989). Ikan yang memiliki luas relung makanan kecil atau sempit menunjukkan bahwa ikan tersebut melakukan seleksi terhadap sumber daya yang tersedia di perairan. Luas relung akan tinggi jika suatu organisme memakan jenis makanan yang beragam dan masing-masing jenis berjumlah sama. Sebaliknya luas relung akan rendah jika suatu

organisme hanya memanfaatkan satu jenis makanan (Levins 1968 dalam Krebs

1989). Menurut Effendie (1997), ikan yang kecil memiliki luas relung yang kecil dan semakin besar ukurannya maka pola makannya juga akan berubah serta akan memiliki luas relung yang besar. Variasi makanan yang besar tidak menjamin akan memberikan kisaran luas relung yang besar karena nilai luas relung juga ditentukan oleh seberapa besar ikan tersebut dapat memanfaatkan sumber daya yang tersedia.

Tumpang tindih relung makanan adalah penggunaan bersama atas seluruh sumber daya makanan oleh dua spesies atau lebih (Colwell & Futuyama 1971). Nilai tumpang tindih relung makanan dapat terjadi bila ada kesamaan jenis makanan yang dimanfaatkan oleh dua atau lebih kelompok ikan. Kesamaan pemanfaatan makanan atau habitat mencerminkan adanya penggunaan bersama sumber daya habitat atau makanan yang ada oleh dua kelompok ukuran ikan atau lebih, interspesifik, atau intraspesifik (Krebs 1989). Bila nilai tumpang tindih yang diperoleh berkisar satu maka kedua kelompok yang dibandingkan mempunyai jenis makanan yang sama. Sebaliknya, bila nilai tumpang tindih yang diperoleh sama dengan nol maka tidak ada jenis makanan yang sama antara kedua kelompok yang dibandingkan. Besarnya nilai tumpang tindih relung makanan mengindikasikan


(24)

terjadinya kompetisi. Nilai tumpang tindih yang tinggi dapat diakibatkan oleh kelimpahan jenis organisme yang dominan di perairan (Colwell & Futuyama 1971).

Ikan karnivora di perairan sekitar mangrove (misalnya ikan giligan (Panna

microdon) (Rambe 2004) dan ikan lundu (Arius maculatus) (Fauziah 2004)) memiliki nilai luas relung makanan yang cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya ukuran tubuh; sedangkan jika dilihat dari tumpang tindih makannya, maka peluang terjadinya kompetisi antar kelompok ukuran dalam memanfaatkan makanan yang tersedia cukup tinggi.


(25)

3.

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan dalam dua tahap yaitu pengambilan contoh ikan dan analisis kebiasaan makanan. Pengambilan contoh dilakukan selama enam bulan dari Mei sampai Oktober 2011 dengan interval waktu pengambilan contoh satu bulan satu kali di perairan Pantai Mayangan, Kecamatan Legon Kulon, Kabupaten Subang, Jawa Barat (Gambar 4). Analisis kebiasaan makanan dilakukan di Laboratorium Biomakro 1, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 4. Peta lokasi penelitian

3.2. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang akan digunakan pada penelitian ini disajikan dalam lampiran 1.

3.3. Metode Kerja

Metode kerja yang dilakukan pada penelitian ini meliputi penentuan stasiun pengambilan contoh, penangkapan dan pengawetan contoh ikan, analisis ikan contoh di laboratorium dan analisis data (Gambar 5).

Peta Stasiun Pengambilan

Contoh

Keterangan Stasiun pengambilan contoh St 1

St 2


(26)

Gambar 5. Tahap-tahap penelitian

3.3.1. Penentuan stasiun pengambilan contoh ikan

Penentuan stasiun pengambilan contoh ikan dilakukan secara purposive yakni

berdasarkan daerah penangkapan ikan kuro oleh nelayan. Lokasi pertama ke arah laut dan lokasi kedua ke arah mangrove. Deskripsi dan posisi stasiun penelitian

yang ditentukan berdasarkan GPS (Global Positioning System) ditunjukkan pada

Tabel 1.

Tabel 1. Posisi dan deskripsi stasiun penelitian

Stasiun Posisi Koordinat Dekripsi Stasiun

Lintang Selatan Bujur Timur

1 6⁰12„16,9“ 107⁰46„30,8“

Terletak di daerah muara Sungai Cigadung Satu, masih di daerah pesisir, namun lebih mendekati ke arah laut

2 6⁰13„27,5“ 107⁰45„07,9“

Terletak di daerah mangrove sekitar Segara Menyan yang mendapatkan pengaruh dari Sungai Terusan

Pengukuran panjang dan

bobot tubuh ikan Faktor Kondisi

Pola pertumbuhan Hubungan panjang bobot

Ikan contoh hasil tangkapan

Pengamatan dan pengukuran organ ikan

Pembedahan ikan

Lambung ikan Hati ikan

Mulut ikan Pengukuran bobot hati Pengukuran bobot isi lambung Analisis isi lambung Penentuan lebar bukaan mulut (LBM)

Lbm : PT Komposisi makanan & variasi jenis

makanan

Luas relung & tumpang tindih relung makanan

ISC IHS

Kategori ikan berdasarkan makanan Makanan utama Tingkat


(27)

3.3.2. Pengambilan contoh ikan

Contoh ikan diambil dengan menggunakan alat tangkap jaring rampus dengan ukuran mata jaring 31,75-50,80 mm. Ikan yang tertangkap diawetkan dalam larutan formalin 10% dan dibawa ke Laboratorium Biomakro 1, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB untuk dianalisis lebih lanjut.

3.3.3. Analisis contoh ikan di laboratorium

Pengukuran panjang total ikan dimulai dari ujung kepala yang terdepan (biasanya ujung rahang terdepan) sampai ujung sirip ekor paling belakang dengan menggunakan penggaris (ketelitian 0,05 mm). Pengukuran lebar bukaan mulut dilakukan dengan cara membuka mulut ikan selebar-lebarnya kemudian diukur lebarnya. Pengukuran bobot total dilakukan dengan cara menimbang seluruh tubuh ikan contoh dengan menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g dan 0,0001 g.

Pengukuran bobot dan volume makanan dalam lambung dilakukan dengan cara ikan dibedah terlebih dahulu. Pembedahan dimulai dengan menggunting dari anus ke arah dorsal sampai LL (gurat sisi) kemudian ke arah anterior sampai belakang kepala lalu kearah bawah hingga ke dasar perut sampai isi perut ikan terlihat. Pengukuran isi lambung dilakukan dengan cara mengeluarkan seluruh isi lambung, kemudian ditimbang dengan menggunakan timbangan digital. Pengukuran volume isi lambung dilakukan dengan cara memisahkan terlebih dahulu isi lambung berdasarkan jenis makanannya pada cawan petri, kemudian volume masing-masing jenis makanan tersebut diukur dengan menggunakan gelas ukur 10 ml dan 25 ml. Identifikasi jenis makanan ikan kuro dilakukan dengan cara mengamati dan menentukan jenis makanan secara langsung dengan bantuan buku

guide to identification of marine and estuarine invertebrates (Gosner 1971) untuk invertebrata serta buku taksonomi dan kunci identifikasi ikan (Saanin 1984) untuk ikan. Pengukuran bobot hati dilakukan dengan cara hati ikan dipisahkan dari organ pencernaan lainnya kemudian ditimbang bobotnya dengan menggunakan timbangan digital.


(28)

3.4. Analisis Data

3.4.1. Hubungan panjang bobot

Hubungan antara panjang bobot dilakukan untuk mengetahui pola pertumbuhan ikan yang ada di alam. Rumus yang digunakan untuk mengetahui pola

pertumbuhan ikan mengacu kepada Hile (1936) dalam Effendie (1979),yaitu:

W = a Lb

Keterangan: W = Bobot (g)

L = Panjang (mm)

a dan b = Konstanta

Rumus tersebut digunakan untuk mendapatkan nilai b yang nantinya digunakan untuk menentukan pola pertumbuhan ikan tersebut. Berdasarkan persamaan di atas, bila b = 3 maka bentuk pertumbuhan ikan tersebut adalah isometrik yang artinya pertambahan panjang dan bobot seimbang; b < 3 maka bentuk pertumbuhan ikan tersebut allometrik negatif yang artinya pertumbuhan panjang ikan lebih cepat daripada pertumbuhan bobot; b > 3 maka pola pertumbuhan ikan tersebut allometrik positif yang artinya pertumbuhan bobot lebih cepat

dibandingkan dengan pertumbuhan panjang (Ricker 1975 dalam Effendie 1979).

3.4.2. Faktor kondisi

Perhitungan faktor kondisi (K) ikan bergantung dengan nilai b. Jika nilai b≠3,

maka analisis faktor kondisi ikan mengikuti persamaan sebagai berikut (Effendie 1979).

Jika b = 3, maka analisis faktor kondisi ikan mengikuti persamaan sebagai berikut.

Keterangan: K = Faktor kondisi relatif setiap ikan

W = Bobot ikan (g)

L = Panjang total ikan (mm)


(29)

3.4.3. Indeks kepenuhan lambung (ISC)

Indeks kepenuhan lambung dapat dihitung dengan persamaan menurut Spatura

dan Gophen (1982) dalam Fitrinawati (2004), yaitu:

Keterangan: SCW = Bobot isi lambung (g)

BW = Bobot total ikan (g)

ISC = Indeks kepenuhan lambung

3.4.4. Indeks hepatosomatik (IHS)

Indeks hepatosomatik (IHS) didefinisikan sebagai rasio bobot hati dengan bobot badan. IHS memberikan indikasi mengenai status cadangan energi dalam tubuh ikan. Dalam lingkungan yang buruk, biasanya ikan memiliki hati yang lebih kecil karena sedikit energi yang disimpan dalam hati (www.epd.gov.hk). Indeks hepasomatik dapat dihitung dengan rumus yang dikemukakan Htun-hun (1978)

dalam Kingdom & Allison (2011) yaitu:

3.4.5. Indeks bagian terbesar (IBT)

Indeks bagian terbesar (IBT) dihitung dengan menggunakan rumus gabungan antara metode volumetrik dengan frekuensi kejadian (Natarajan& Jhingran 1961), yaitu:

Keterangan : = Persentase volume satu macam makanan

= Persentase frekuensi kejadian satu macam makanan

IBT = Indeks bagian terbesar

3.4.6. Luas relung dan tumpang tindih relung makanan

Luas relung masing-masing spesies ikan dihitung dengan menggunakan


(30)

Keterangan: = Luas relung kelompok ke-i

= Proporsi dari kelompok ke-i yang berhubungan dengan sumber daya makanan ke-j

n = Jumlah jenis makanan yang dimanfaatkan oleh spesies

m = Jumlah sumber daya makanan

Luas relung dibakukan dalam skala 0-1 menurut persamaan Hulbert (1978)

dalam Krebs (1989), yaitu:

Keterangan: = Luas relung yang dibakukan

B = Luas relung Levins

n = Jumlah status sumber daya yang tersedia (semua)

Standarisasi luas relung ini menghasilkan nilai relung yang berkisar antara 0-1. Tumpang tindih relung makanan antar spesies atau kelompok ukuran dapat dihitung

dengan persamaan Pianka (1973) dalam Krebs (1989), yaitu:

Keterangan: = Tumpang tindih relung antara spesies atau kelompok ukuran k

dan spesies atau kelompok ukuran j

= Proporsi sumber daya ke i dari total sumber daya yang diinginkan oleh spesies atau kelompok ukuran ke j

= Proporsi sumber daya ke i dari total sumber daya yang diinginkan oleh spesies atau kelompok ukuran ke k

Nilai tumpang tindih relung makanan yang mendekati angka satu menunjukkan adanya kompetisi yang tinggi antara dua spesies atau dua kelompok ukuran yang dianalisis.


(31)

4.

HASIL

4.1. Komposisi Hasil Tangkapan dan Sebaran Ukuran Panjang Ikan Kuro

Jumlah ikan contoh yang tertangkap selama penelitian berjumlah 147 ekor dan semua contoh ikan tersebut berjenis kelamin jantan. Kisaran panjang dan bobot ikan yang tertangkap adalah 142-254 mm dan 16,88-105,79 g (Tabel 2). Panjang rata-rata ikan kuro adalah 202,4 mm. Kisaran panjang ikan yang paling dominan tertangkap adalah pada ukuran 207-219 mm (Gambar 6).

Tabel 2. Jumlah, kisaran panjang total dan bobot ikan kuro selama penelitian

Bulan Jantan

n L (mm) L rata-rata (mm) W (g)

Mei 25 142-218 184,1 16,88-66,72

Juni 32 178-254 210,7 37,15-95,51

Juli 27 148-225 194,9 20,11-76,27

Agustus 21 189-234 214,3 47,82-91,69

September 17 160-228 205,7 37,75-96,56

Oktober 25 187-232 205,0 45,56-105,79

Total 147 142-254 16,88-105,79

Rata-rata 202,4

Keterangan: n = jumlah (ekor); L = panjang total; W = bobot

Ikan contoh dikelompokan menjadi sembilan kelompok ukuran panjang yaitu kelompok A (142-154 mm); B (155-167 mm); C (168-180 mm); D (181-193 mm); E (194-206 mm); F (207-219 mm); G (220-232 mm); H (233-245 mm); dan kelompok I (246-258 mm). Ikan contoh yang banyak tertangkap adalah kelompok ukuran F sebanyak 38 ekor; sedangkan ikan contoh yang sedikit tertangkap adalah kelompok ukuran I sebanyak satu ekor (Gambar 6).


(32)

Keterangan : A (142-154 mm); B (155-167 mm); C (168-180 mm); D (181-193 mm); E (194-206 mm); F (207-219 mm); G (220-232 mm); H (233-245 mm); I (246-258 mm)

Gambar 6. Jumlah ikan kuro yang tertangkap berdasarkan kelompok ukuran panjang

4.2. Hubungan Panjang Bobot

Model persamaan hubungan panjang total (L) dan bobot (W) ikan kuro adalah

W = 6,32 x 10-6 L3,019 dengan nilai koefisien determinasi (R2) dan koefisien korelasi

(r) masing-masing sebesar 0,9054 dan 0,9513 (Gambar 7). Hal ini menunjukkan bahwa model persamaan yang dibangun mampu menjelaskan data hubungan panjang bobot ikan kuro sebesar 90,54% atau dengan kata lain model persamaan ini dapat diterima karena mendekati kondisi yang sebenarnya.

Gambar 7. Hubungan panjang dan bobot ikan kuro

Berdasarkan pengujian nilai b dengan uji t diperoleh nilai b ikan kuro berbeda

nyata dengan nilai 3 (Thitung> Ttabel). Hal ini mengindikasikan bahwa pola

pertumbuhan ikan kuro di Pantai Mayangan bersifat allometrik positif (b>3), yaitu pertambahan bobot lebih cepat dibandingkan pertambahan panjangnya (Tabel 3).

0 5 10 15 20 25 30 35 40

A B C D E F G H I

J um la h ik a n (ek o r)

Kelompok ukuran panjang (mm)

W = 6,32 x 10-6L3,019

R2= 0,9054

r = 0,9513

0 20 40 60 80 100 120 140

0 100 200 300

B o bo t (g ) Panjang (mm)


(33)

Tabel 3. Hasil analisis hubungan panjang bobot ikan kuro

Paramater Jantan

Contoh ikan, n 147

Kisaran L (mm) 142-254

a (intersep) 6,3 x 10-6

b (slope) 3,0196

R2 (koefisien determinasi) 0,905

r (koefisien korelasi) 0,9513

Uji b sama dengan 3, thitung 101,3949

Ttabel, taraf kepercayaan 95% db 146 = 1,97

4.3. Faktor Kondisi Ikan Kuro

Nilai faktor kondisi ikan kuro per bulan selama penelitian berkisar antara 0,8157-1,4088 dengan nilai rata-rata dan simpangan baku adalah 1,0146 dan 0,0918. Nilai faktor kondisi tertinggi terjadi pada Oktober sebesar 1,0842 dan yang terendah terjadi pada Juni yaitu sebesar 0,9408 (Lampiran 4). Gambar 8 menunjukkan bahwa nilai faktor kondisi ikan kuro pada Juni dengan Oktober, dan Juli dengan Oktober tidak berbeda nyata (p>0,05); sedangkan pada Mei, Agustus, dan September menunjukkan bahwa nilai faktor kondisi ikan kuro berbeda nyata.

Gambar 8. Nilai faktor kondisi ikan kuro setiap bulan selama penelitian Nilai faktor kondisi ikan kuro berdasarkan kelompok ukurannya cukup berfluktuasi. Nilai faktor kondisi ikan kuro selama penelitian berkisar antara 0,8157-1,4088 dengan nilai rata-rata dan simpangan baku adalah 0,9732 dan 0,0978. Nilai faktor kondisi tertinggi terjadi pada kelompok ukuran panjang 181-193 mm sebesar 1,0441 dan yang terendah terjadi pada kelompok ukuran panjang 246-258 mm yaitu sebesar 0,8157 (Lampiran 4). Gambar 9 menunjukkan bahwa nilai faktor


(34)

kondisi ikan kuro berdasarkan kelompok ukuran panjangnya memiliki kondisi yang berbeda nyata per kelompok ukurannya.

Gambar 9. Nilai faktor kondisi ikan kuro berdasarkan kelompok ukuran

panjang

Berdasarkan nilai faktor kondisi ikan kuro setiap bulan pada kelompok ukuran yang sama yaitu pada kelompok ukuran F (207-219 mm) didapatkan bahwa nilai faktor kondisi cenderung meningkat pada Juli (0,9248), Agustus (1,0235) dan September (1,602) (Lampiran 4). Gambar 10 menunjukkan bahwa nilai faktor kondisi ikan kuro per bulannya pada kelompok ukuran panjang 207-209 mm memiliki faktor kondisi yang berbeda nyata setiap bulannya.

Gambar 10. Nilai faktor kondisi ikan kuro berdasarkan bulan pada kelompok ukuran 207-219 mm

4.4. Perubahan Lebar Bukaan Mulut Ikan Kuro

Semakin bertambahnya ukuran tubuh ikan maka lebar bukaan mulutnya akan semakin membesar dan jenis makanannya pun akan berubah. Perubahan lebar


(35)

bukaan mulut ikan seiring dengan pertambahan ukuran panjang tubuh disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11. Perubahan lebar bukaan mulut ikan

Pada ukuran 142-154 mm ikan kuro sudah bisa memakan udang (tinggi 11 mm) karena tinggi udang tersebut sesuai dengan lebar bukaan mulut ikan kuro dengan rasio 57,89%. Pada ukuran 168-180 mm, ikan kuro mulai memakan cumi-cumi karena tinggi cumi-cumi-cumi-cumi tersebut sesuai dengan lebar bukaan mulutnya yaitu sebesar 15 mm yakni dengan rasio 68,18% dari lebar bukan mulut ikan. Pada ukuran tubuh yang lebih besar (panjang ikan lebih dari 181 mm) ikan kuro mulai memakan ikan-ikan kecil. Namun pada setiap ukuran tubuh ikan ditemukan bahwa jenis ikan yang dimakan berbeda-beda. Pada selang kelas 181-193 mm, ikan yang dimakan adalah ikan bilis karena tinggi ikan bilis ini sesuai dengan lebar bukaan mulutnya yaitu sekitar 18 mm dengan rasio 72% dari lebar bukaan mulut ikan kuro. Selanjutnya pada ukuran tubuh yang lebih besar, ikan kuro dapat memakan ikan yang lebih besar yaitu ikan pepetek (tinggi tubuh 20 mm) dengan rasio 58,82% dari lebar bukaan mulut ikan kuro.

4.5. Indeks Kepenuhan Lambung dan Indeks Hepatosomatik Ikan Kuro 4.5.1. Indeks kepenuhan lambung (ISC)

Nilai rata-rata indeks kepenuhan lambung (ISC) ikan kuro selama penelitian sebesar 1,6187. Nilai ISC ikan kuro per bulan mengalami fluktuasi. Nilai ISC tertinggi terjadi pada Mei yaitu 2,7712 dan terendah pada Agustus yaitu 0,7663. Ditinjau dari kelompok ukuran panjang tubuhnya, nilai rata-rata indeks kepenuhan

15,0 17,0 19,0 21,0 23,0 25,0 27,0 29,0 31,0 33,0 35,0

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

L B M ( m m )

Kelompok ukuran panjang (mm)

15 mm

18 mm

20 mm

142-154 155-167 168-180 181-193 194-206 207-219 220-232 233-245 246-258


(36)

lambung ikan kuro adalah sebesar 2,0733. Nilai ISC ditinjau dari kelompok ukurannya juga mengalami fluktuasi. Nilai ISC tertinggi terjadi pada kelompok ukuran A (142-154 mm) yaitu 5,2217 dan yang terendah terjadi pada kelompok

Gambar 12. Nilai indeks kepenuhan lambung (ISC) ikan kuro berdasarkan bulan dan kelompok ukuran panjang tubuh selama penelitian

Keterangan : A (142-154 mm); B (155-167 mm); C (168-180 mm); D (181-193 mm); E (194-206 mm); F (207-219 mm); G (220-232 mm); H (233-245 mm); I (246-258 mm)

Berdasarkan indeks kepenuhan lambung (ISC) setiap bulan pada kelompok ukuran yang sama yaitu pada kelompok ukuran F (207-219 mm) didapatkan bahwa nilai ISC cenderung tinggi padaJuni (1,8799), Juli (1,6017), dan Agustus (1,7222). Nilai ISC yang rendah terjadi pada Mei (0,1736), September (0,7018), dan Oktober (0,3778) (Gambar 13 dan Lampiran 5).

Gambar 13. Nilai indeks kepenuhan lambung (ISC) ikan kuro berdasarkan bulan pada kelompok ukuran 207-219 mm

4.5.2. Indeks hepatosomatik (IHS)

Nilai rata-rata indeks hepatosomatik (IHS) ikan kuro selama penelitian adalah sebesar 0,7611. Nilai IHS tertinggi terjadi pada Juli yaitu 0,8431 dan yang terendah terjadi pada September yaitu 0,6106. Ditinjau dari kelompok ukuran panjangnya, nilai rata-rata IHS selama penelitian adalah 0,8225. Nilai IHS tertinggi terjadi pada

0,0000 0,5000 1,0000 1,5000 2,0000

Mei Juni Juli Agustus September Oktober

ISC Bulan 0,0000 1,0000 2,0000 3,0000 4,0000 5,0000 6,0000

Mei Jun Jul Ags Sep Okt

ISC Bulan 0,0000 1,0000 2,0000 3,0000 4,0000 5,0000 6,0000

A B C D E F G H I

ISC

Kelompok ukuran panjang (mm) n = 93

n = 21

6 5 4 3 2 1 0 6 5 4 3 2 1 0 2 1,5 1 0,5 0


(37)

kelompok ukuran C (168-180 mm) yaitu 0,9090 dan yang terendah terjadi pada kelompok ukuran I (246-258) mm yaitu 0,2785 (Gambar 14 dan Lampiran 6).

Ditinjau dari indeks hepatosomatik (IHS) setiap bulan pada kelompok ukuran yang sama yaitu pada kelompok ukuran F (207-219 mm) didapatkan bahwa nilai IHS tertinggi pada Juli sebesar 0,8586. Nilai IHS terendah terjadi pada September yaitu sebesar 0,4834 (Gambar 15 dan Lampiran 6).

Gambar 14. Nilai indeks hepatosomatik (IHS) ikan kuro berdasarkan bulan dan kelompok ukuran panjang tubuh selama penelitian

Keterangan : A (142-154 mm); B (155-167 mm); C (168-180 mm); D (181-193 mm); E (194-206 mm); F (207-219 mm); G (220-232 mm); H (233-245 mm); I (246-258 mm)

Gambar 15. Nilai indeks hepatosomatik (IHS) ikan kuro berdasarkan bulan pada kelompok ukuran 207-219 mm

0,0000 0,2000 0,4000 0,6000 0,8000 1,0000

Mei Juni Juli Agustus September Oktober

IH S Bulan 0,0000 0,2000 0,4000 0,6000 0,8000 1,0000

Mei Jun Jul Ags Sep Okt

IH S Bulan 0,0000 0,2000 0,4000 0,6000 0,8000 1,0000

A B C D E F G H I

IH

S

Kelompok ukuran panjang (mm)

n = 38

1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 1,0 0,8 0,6 0,4 0,2 0


(38)

4.6. Variasi Makanan Ikan Kuro 4.6.1. Kebiasaan makanan ikan kuro

Jenis makanan ikan kuro yang ditemukan selama penelitian terdiri atas tiga kelompok yaitu Crustacea, Cephalopoda, dan Pisces. Jenis makanan yang paling banyak ditemukan berasal dari kelompok Crustacea (Tabel 4).

Tabel 4. Kelompok makanan ikan kuro

Kelompok Jenis makanan

Crustacea Crangon seplemspinosa, Euphausia sp., Penaeus sp., Squilla

empusa, udang dan kepiting yang tidak teridentifikasi Cephalopoda Loligo sp.

Pisces Leiognathus sp., Thryssa sp. dan ikan yang tidak teridentifikasi

Komposisi makanan ikan kuro selama penelitian didominasi oleh Penaeus sp.

yaitu sebesar 76,37, udang yang tidak teridentifikasi sebesar 14,10 dan sisanya

terdiri atas kepiting, Loligo sp. dan Pisces (Gambar 16).

Gambar 16. Indeks bagian terbesar makanan ikan kuro selama penelitian

4.6.2. Variasi makanan ikan kuro berdasarkan bulan

Ditinjau dari waktu pengambilan contoh setiap bulan, terlihat bahwa terjadi perubahan jenis makanan ikan kuro. Berdasarkan Gambar 17 terlihat bahwa pada Mei, variasi jenis makanan ikan kuro tidak terlalu banyak, hanya ditemukan tiga

jenis makanan dari kelompok Crustacea (Penaeus sp. 46,44; udang yang tidak

teridentifikasi 52,92; kepiting yang tidak teridentifikasi 0,65) dan termasuk ke dalam kategori makanan non ikan. Pada Juni dan Juli, variasi jenis makanan ikan sudah

Crangon seplemspinosa (0,03) Euphausia sp. (0,02) Penaeussp. (76,37) Kepiting yang tidak teridentifikasi (6,92) Squilla empusa (1,20) Udang yang tidak teridentifikasi (14,10) Leiognathus sp.

(0,06)

Trhyssasp.

(0,38) Ikan yang tidak teridentifikasi

(0,14)

Loligo sp. (0,79)


(39)

mulai berubah dengan ditemukannya Loligo sp., namun kelompok Crustacea dari kategori non ikan masih mendominasi. Pada Juli, Agustus, September dan Oktober variasi makanannya jauh lebih beragam karena sudah mulai ditemukan beberapa jenis ikan-ikan kecil.

Variasi jenis makanan yang paling tinggi ditemukan pada Juni dengan tujuh

jenis makanan yaitu kepiting yang tidak teridentifikasi (50,51), Penaeus sp. (34,46),

Squilla empusa (10,10), Loligo sp. (2,84), udang yang tidak teridentifikasi (1,81),

Crangon seplemspinosa (0,21), dan ikan yang tidak teridentifikasi (0,07). Variasi jenis makanan yang paling sedikit ditemukan pada Mei, September, dan Oktober.

Gambar 17. Indeks bagian terbesar makanan ikan kuro per bulan

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% IB T 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100% IB T Crangon seplemspinosa Euphausia Leiognathus Loligo Penaeus Squilla empusa Tryhssa

Ikan yang tidak teridentifikasi Kepiting yang tidak teridentifikasi Udang yang tidak teridentifikasi

sp. 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Mei Jun Jul Ags Sep Okt

IB T Bulan sp. sp. sp. sp.


(40)

4.6.3. Variasi makanan ikan kuro berdasarkan ukuran panjang

Keragaman jenis makanan ikan akan berbeda seiring bertambahnya ukuran panjang tubuh. Pada Gambar 18 terlihat bahwa kelompok Crustacea selalu

ditemukan di setiap kelompok ukuran ikan, Loligo sp. mulai ditemukan pada

kelompok ukuran C (168 mm) dan Pisces pada kelompok ukuran D (181 mm). Pada

kelompok ukuran kecil A-C (142-180 mm) hanya ditemukan Penaeussp., udang

yang tidak teridentifikasi dan Loligo sp.. Memasuki ukuran D (181 mm), jenis

makanan yang dimakan semakin bervariasi. Crustacea yang dimakan tidak hanya

Penaeus sp., dan udang yang tidak teridentifikasi saja, namun ditemukan juga

Euphausia sp., Squilla empusa, Crangon seplemspinosa, dan kepiting. Pada ukuran tersebut, cumi-cumi dan ikan berukuran kecil sudah ditemukan. Ikan bilis (Thryssa sp.) ditemukan pada kelompok ukuran panjang D (181-193 mm),

sedangkan ikan pepetek (Leiognathus sp.) ditemukan pada kelas ukuran yang lebih

besar yaitu pada kelompok ukuran panjang G (220-232 mm).

Variasi jenis makanan yang paling tinggi ditemukan pada kelompok ukuran panjang D-G (181-232 mm) dengan jumlah jenis makanan sebanyak 10 jenis yang

terdiri atas Crustacea (Crangon seplemspinosa, Euphausia sp., Penaeus sp.,

Squilla empusa, udang yang tidak teridentifikasi, dan kepiting yang tidak

teridentifikasi), Cephalopoda (Loligo sp.), dan Pisces (Leiognathussp., Thryssa sp.,

dan ikan yang tidak teridentifikasi). Variasi jenis makanan yang paling rendah ditemukan pada kelompok ukuran panjang A-C (142-180 mm) dengan tiga jenis


(41)

Crangon seplemspinosa

Euphausia sp.

Leiognathus sp.

Loligo sp.

Penaeus sp.

Squilla empusa

Thryssa sp.

Ikan yang tidak

teridentifikasi

Kepiting yang tidak

teridentifikasi

Udang yang tidak

teridentifikasi

Cephalopoda

Crustacea

Pisces

Ikan

Non ikan

A B C D E F G H I

Gambar 18. Perubahan jenis makanan berdasarkan kelompok ukuran panjang

Keterangan : A (142-154 mm); B (155-167 mm); C (168-180 mm); D (181-193 mm); E (194-206 mm); F (207-219 mm); G (220-232 mm); H (233-245 mm); I (246-258 mm)

4.7. Luas Relung dan Tumpang Tindih Relung Makanan Ikan Kuro 4.7.1. Luas relung makanan

Selama penelitian, nilai luas relung makanan ikan kuro per bulan mengalami fluktuasi. Nilai luas relung makanan tertinggi ditemukan pada Juni yaitu 4,4508 dengan nilai standarisasi sebesar 0,3834; sedangkan nilai luas relung makanan terendah diperoleh pada Mei sebesar 1,9911 dengan nilai standarisasi 0,1101.

Berdasarkan kelompok ukuran panjangnya, terlihat bahwa semakin panjang tubuh ikan maka luas relung makanannya pun semakin meningkat. Nilai luas relung makanan tertinggi ditemukan pada kelompok ukuran panjang 207-219 mm yaitu sebesar 5,0579; sedangkan nilai luas relung makanan terendah ditemukan pada kelompok ukuran 233-245 mm yaitu 1,0000 (Tabel 5).


(42)

Tabel 5. Luas relung makanan ikan kuro berdasarkan bulan dan ukuran panjang

Bulan Luas

relung Standarisasi

Kelompok ukuran panjang (mm)

Luas

relung Standarisasi

Mei 1,9911 0,1101 142-154 1,8705 0,0967

Juni 4,4508 0,3834 155-167 1,9570 0,1063

Juli 3,2816 0,2535 168-180 1,9641 0,1071

Agustus 2,3592 0,1510 181-193 3,0535 0,2282

September 2,0246 0,1138 194-206 4,3804 0,3756

Oktober 2,9933 0,2215 207-219 5,0579 0,4509

220-232 3,8255 0,3139

233-245 1,0000 0,0000

246-258 2,7391 0,1932

4.7.2. Tumpang tindih relung makanan

Secara umum tumpang tindih relung makanan ikan kuro di perairan Pantai Mayangan cukup tinggi. Tumpang tindih relung makanan tertinggi terjadi antara kelompok ukuran B dan D yaitu 0,9811; sedangkan tumpang tindih relung makanan terkecil terjadi antara 3 kelompok ukuran yaitu antara A , B, dan C dengan H sebesar 0 (Tabel 6). Tumpang tindih relung makanan yang besar yang terjadi antara kelompok ukuran B dan D mengindikasikan bahwa jenis makanan yang dikonsumsi relatif sama; sebaliknya tumpang tindih relung makanan yang bernilai 0 mengindikasikan bahwa jenis makanan yang dikonsumsi tidak sama.

Tabel 6. Tumpang tindih relung makanan ikan kuro berdasarkan ukuran panjang

SK A B C D E F G H I

A 1 0,9193 0,4008 0,8825 0,5098 0,5194 0,4843 0,0000 0,9190

B 1 0,6388 0,9811 0,6949 0,6915 0,7069 0,0000 0,8494

C 1 0,6501 0,8429 0,8002 0,6510 0,0000 0,3761

D 1 0,7639 0,7712 0,7918 0,1315 0,8678

E 1 0,9339 0,7270 0,2344 0,5674

F 1 0,7213 0,3275 0,6126

G 1 0,1387 0,5073

H 1 0,3941

I 1

Keterangan : A (142-154 mm); B (155-167 mm); C (168-180 mm); D (181-193 mm); E (194-206 mm); F (207-219 mm); G (220-232 mm); H (233-245 mm); I (246-258 mm); SK = Selang kelas


(43)

5.

PEMBAHASAN

Semua ikan kuro yang ditemukan selama penelitian berjenis kelamin jantan dengan ukuran panjang yang relatif kecil. Fenomena ini dapat dipahami karena wilayah penangkapan ikan merupakan habitat ikan kuro saat berjenis kelamin jantan dan berukuran kecil. Fakta ini diperkuat oleh Motomura (2004) yang menyatakan bahwa ikan kuro merupakan ikan hermafrodit protandri yang artinya saat ikan kuro kecil atau remaja berjenis kelamin jantan dan hidup di daerah payau; sedangkan saat

dewasa ikan kuro berkelamin betina dan hidup di perairan laut. Department of

Fisheries, Western Australia (2010) membagi kelompok umur ikan kuro berdasarkan panjang yaitu umur satu tahun memiliki panjang sekitar 245 mm, dua tahun memiliki panjang 400 mm, dan umur tiga tahun memiliki panjang sekitar 635 mm. Lebih lanjut dikemukakan bahwa ikan kuro sendiri mengalami perubahan jenis kelamin menjadi betina ketika ikan kuro memiliki panjang lebih dari 400 mm dan berumur sekitar dua tahun.

Ikan kuro yang tertangkap di perairan Pantai Mayangan relatif lebih kecil (142-254 mm) dibandingkan dengan ikan kuro yang tertangkap di daerah muara

Sungai Musi, Sumatera Selatan yang berukuran 113-380 mm (Djamali et al. 1988)

dan di daerah perairan Utara Australia yang berukuran 203-815 mm (Ballagh et al.

2011). Umur ikan kuro yang tertangkap di perairan Pantai Mayangan pun relatif lebih muda jika dibandingkan dengan ikan kuro yang tertangkap di kedua wilayah tersebut di atas.

Ikan kuro jantan di perairan Pantai Mayangan mengalami pertumbuhan allometrik positif yaitu pertambahan bobot lebih cepat daripada pertambahan panjangnya karena memiliki nilai b > 3 yaitu sebesar 3,0196. Nilai b yang didapat pada ikan kuro di perairan Pantai Mayangan tidak jauh berbeda dengan nilai b yang pada ikan kuro di daerah muara Sungai Musi Sumatera Selatan dan di perairan Utara

Australia yaitu masing-masing sebesar 3,0832 (Djamali et al. 1988) dan 3,009

(Ballagh et al. 2011). Hal ini menunjukkan bahwa ikan kuro yang berada di

perairan Pantai Mayangan, muara Sungai Musi Sumatera Selatan, dan di perairan Utara Australia bersifat allometrik positif.


(44)

Kondisi baik tidaknya ikan dapat dilihat dari nilai faktor kondisi (Effendie 1997). Nilai faktor kondisi ikan kuro di perairan Pantai Mayangan secara umum berfluktuasi setiap bulan. Nilai faktor kondisi ikan kuro pada Juni dengan Oktober, dan Juli dengan Oktober tidak berbeda nyata; sedangkan pada Mei, Agustus, dan September menunjukkan perbedaan yang nyata. Perbedaan ini dapat disebabkan karena pada Juni, Juli, dan Oktober jenis makanan yang ditemukan lebih banyak dan relatif sama jenisnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa faktor kondisi dapat dipengaruhi oleh ketersedian makanan dan kemampuan ikan untuk mempertahankan diri (Royce 1973). Faktor kondisi ikan kuro berdasarkan kelompok ukuran panjang berfluktuasi dan cenderung meningkat seiring dengan pertambahan ukuran panjang. Diduga hal ini terjadi karena perubahan jenis makanan yang dikonsumsi dan umur (Effendie 1979).

Jenis makanan ikan kuro yang ditemukan selama penelitian terdiri atas tiga kelompok yaitu Crustacea, Cephalopoda, dan Pisces. Jenis makanan yang paling banyak ditemukan berasal dari kelompok Crustacea. Besarnya dominasi Crustacea yang dikonsumsi oleh ikan kuro menunjukkan bahwa ikan ini tergolong dalam kelompok ikan karnivora dengan makanan utamanya adalah Crustacea (Motomura

2004; Djamali et al. 1988; Simanjuntak 2002).

Ditinjau dari waktu pengambilan contoh setiap bulan terjadi perubahan jenis makanan ikan kuro, akan tetapi makanan utama ikan kuro yaitu Crustacea tidak mengalami perubahan, hanya spektrum komposisi makanan yang dikonsumsinya yang berubah. Pada dua bulan pertama yaitu Mei dan Juni (musim peralihan), jenis makanan ikan kuro didominasi oleh Crustacea dan Cephalopoda yang termasuk dalam kategori makanan non ikan. Pada Juli-Oktober (musim kemarau), jenis makanan ikan kuro mulai bervariasi dengan ditemukannya ikan-ikan kecil seperti

Leiognathus sp. dan Trhyssa sp.. Tingginya curah hujan pada musim peralihan (Mei-Juni) diduga dapat menyebabkan kekeruhan air di perairan Pantai Mayangan meningkat sehingga sumber daya makanan ikan kuro tidak terlalu bervariasi. Kondisi seperti ini dapat diakibatkan karena adanya perbedaan ketersedian makanan

pada musim yang berbeda (Saikia et al. 2012). Selain itu, diperkirakan pada

Mei-Juni, ikan kuro lebih aktif mencari makan di daerah mangrove karena tingginya dominasi udang; selanjutnya memasuki Juli, ikan kuro sudah mulai beruaya ke arah


(45)

pesisir karena ikan-ikan kecil seperti Leiognathus sp. dan Trhyssa sp. sudah ditemukan di dalam lambung ikan kuro.

Fenomena yang sama juga ditemukan di Danau Chilka, Pantai Timur India

oleh Malhotra (1953) dalam Kagwade (1970) bahwa antara November-Mei

makanan yang ditemukan didalam lambung ikan kuro umumnya berasal dari daerah estuari seperti Crustacea; sedangkan ikan mulai ditemukan di dalam lambung ikan kuro sekitar Juli-Oktober. Kondisi seperti ini sesuai dengan pernyataan Rahadjo

(2007) dalam Rahadjo et al. (2011) bahwa terjadinya perubahan jenis makanan ikan

kuro seiring dengan perubahan waktu dapat disebabkan oleh faktor musim dan ketersedian makanan di perairan. Perubahan jenis makanan seiring dengan

perubahan waktu juga terjadi pada ikan baji-baji (Grammoplites scaber)

(Simanjuntak & Zahid 2009); Lophius americanus (Armstrong et al. 1996);

Deuterodon langei (Vitule et al. 2008); Agonostomus monticola (Mugilidae) dan

Brycon behreae (Characidae) (Ribeiro & Urena 2009).

Perubahan jenis makanan ikan kuro juga dapat dilihat dari pertambahan ukuran panjang tubuh ikan tersebut. Ikan kuro yang berukuran kecil cenderung memakan udang-udangan. Memasuki ukuran yang lebih panjang, makanan yang dimakan oleh ikan kuro semakin bervariasi dengan ditemukannya udang, kepiting,

cumi-cumi, dan ikan-ikan kecil seperti Leiognathus sp., Trhyssa sp., serta ikan-ikan

yang tidak teridentifikasi. Perubahan seperti ini juga terjadi pada ikan kuro di Teluk

Mannar (Chacko 1949 dalam Kagwade 1970) dan di daerah Pantai Calicut

(Venkataraman 1960 dalam Kagwade 1970).

Penaeus sp. ditemukan di dalam lambung ikan kuro pada ukuran sekitar

120-180 mm (Chacko 1949 dalam Kagwade 1970); sedangkan udang dan ikan

ditemukan di dalam lambung ikan kuro pada ukuran sekitar 100-285 mm

(Venkataraman 1960 dalam Kagwade 1970). Peristiwa ini memperlihatkan bahwa

ikan yang lebih besar biasanya memakan mangsa yang bergerak lebih cepat

(misalnya ikan pepetek (Leiognathus sp.)); sedangkan ikan yang lebih kecil

cenderung mencari makanan yang mudah ditangkap (Elliott & Hemingway 2002) serta seiring bertambahnya ukuran tubuh ikan kuro maka variasi makanananya pun mengalami perubahan. Ikan kuro pada ukuran sekitar 245 mm umumnya


(46)

mengkonsumsi jenis makananyang lebih besar yakni kepiting dan ikan (Department of Fisheries, Western Australia, 2010)

Perubahan jenis makanan yang dimakan oleh ikan akan berhubungan erat dengan lebar bukaan mulutnya karena jika ukuran makanan tidak sesuai dengan lebar bukaan mulutnya maka akan terjadi kelaparan dan kehabisan tenaga yang mengakibatkan kematian (Effendie 1997). Semakin bertambahnya ukuran tubuh ikan maka lebar bukaan mulutnya akan semakin membesar. Hal ini juga terlihat pada jenis makanannya, dimana ikan akan memakan satu jenis makanan jika ukuran atau tinggi makanan ikan tersebut sesuai dengan lebar bukaan mulutnya. Pada penelitian ini, ikan kuro telah berhasil menemukan makanan yang cocok dengan lebar bukaan mulutnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendie (1997) bahwa setelah bertambah besar, ikan akan merubah makanan baik dalam ukuran maupun kualitasnya sesuai dengan ukuran mulutnya.

Keaktifan ikan makan dapat dilihat dari nilai indeks kepenuhan lambung (ISC). Secara umum nilai ISC ikan kuro yang didapat mengalami fluktuasi dan cenderung menurun. Pada penelitian ini, ikan kuro cenderung lebih banyak makan pada Mei, terlihat dari nilai ISC yang cukup tinggi dan terendah terjadi pada Agustus. Rendahnya nilai ISC pada Agustus karena pada bulan tersebut ukuran tubuh ikan kuro cenderung lebih panjang serta dalam masa persiapan pematangan gonadnya (Saikia 2012). Pendapat ini dipertegas Kagwade (1970) yang menyatakan bahwa pada Juli-September, ikan kuro akan memasuki musim pemijahan. Ditinjau dari kelompok ukuran panjang tubuhnya, ikan yang lebih aktif mencari makan adalah ikan pada kelompok ukuran A (142-154 mm) dan yang terendah terjadi pada kelompok ukuran H (233-245 mm). Ikan dengan kelompok ukuran kecil cenderung lebih banyak makan diduga guna memenuhi kebutuhannya untuk proses pertumbuhan. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Affandi & Tang (2004) bahwa ikan muda yang sedang tumbuh membutuhkan energi per satuan bobot badannya lebih banyak dibandingkan ikan dewasa sehingga aktivitas makan ikan akan lebih tinggi.

Nilai indeks hepatosomatik (IHS) berkaitan dengan hati sebagai tempat

cadangan energi dan aktivitas metabolik (Pyle et al. 2005 dalam Lenhardt et al.


(47)

September. Perubahan IHS ini dapat terlihat dari aktivitas makan ikan kuro pada bulan sebelumnya karena hati merupakan organ yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan lemak dan glikogen sebagai cadangan energi yang dibutuhkan oleh ikan (Affandi & Tang 2004). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa cadangan energi yang dimiliki ikan kuro pada Juli lebih tinggi dibandingkan bulan yang lainnya. Lebih lanjut pada Juli jenis makanan yang dimakan jauh lebih beragam sehingga gizi dan energi yang diperoleh oleh ikan jauh lebih banyak. Tingginya nilai IHS pada Juli juga bisa disebabkan karena pada bulan tersebut rata-rata ukuran panjang ikan kuro yang ditemukan lebih kecil dibandingkan dengan bulan yang lain yang mengindikasikan bahwa pada bulan tersebut energi yang besar disimpan sebagai energi untuk pembentukan gonad (Rajaguru 1992).

Ditinjau dari kelompok ukuran panjangnya, nilai IHS tertinggi terjadi pada kelompok ukuran panjang 168-180 mm dan terendah pada kelompok ukuran panjang 246-258 mm. Nilai IHS yang paling rendah ditemukan pada kelompok ukuran panjang 246-258 mm karena hanya ditemukan satu ekor ikan saja sehingga tidak terlalu terlihat perubahannya. Hal ini dapat dilihat juga dari makanannya,

karena saat Penaeus sp. mendominasi jenis makanan ikan kuro maka nilai IHS ikan

kuro cenderung tinggi.

Jika melihat aktivitas makan ikan kuro pada ukuran panjang yang sama yaitu pada kelompok ukuran F (207-219 mm) terlihat bahwa aktivitas makan tersebut dipengaruhi oleh panjang tubuhnya dan akan berpengaruh pada nilai faktor kondisi dan indeks hepatosomatik (IHS) serta dapat menggambarkan kondisi lingkungan di perairan tersebut (Lampiran 10). Saat ikan kuro berukuran lebih panjang maka aktivitas makan ikan cenderung menurun; sebaliknya pada saat ukuran panjang ikan kuro lebih kecil maka aktivitas makan cenderung meningkat. Faktor kondisi dan IHS ikan kuro akan cenderung menurun seiring bertambahnya ukuran panjang tubuhnya. Hal ini membuktikan bahwa ikan kuro yang lebih kecil membutuhkan energi yang lebih besar untuk pertumbuhannya (Affandi & Tang 2004). Selain itu, rendahnya nilai faktor kondisi dan ISC pada Mei, Juni, dan Oktober dapat dipengaruhi oleh curah hujan cukup tinggi yang mengakibatkan kekeruhan meningkat sehingga sumber daya makanan yang tersedia tidak terlalu banyak karena kekeruhan merupakan faktor lingkungan yang dapat memengaruhi aktivitas makan


(48)

ikan (Wijeyaratne & Costa 1990). Hal ini diperkuat oleh pernyataan Elliott & Hemingway (2002) bahwa buruknya kondisi ikan dapat disebabkan oleh pemijahan, kondisi sumber daya makanan yang buruk, perubahan musim serta adanya kegiatan antropogenik. Pernyataan tersebut juga sesuai dengan yang dikemukakan oleh

Wibisana (2000) dalam Sulistiono et al. (2001) bahwa perubahan lingkungan dan

ketersedian makanan merupakan faktor eksternal yang dapat memengaruhi aktivitas ikan dalam mencari makan selain dari faktor internal fisiologis ikan kuro. Ketersediaan makanan di perairan sendiri dipengaruhi oleh faktor abiotik seperti suhu, cahaya, nutrien dan ruang.

Nilai luas relung makanan ikan kuro per bulan selama penelitian mengalami fluktuasi. Nilai luas relung makanan tertinggi ditemukan pada Juni; sedangkan nilai luas relung makanan terendah diperoleh pada Mei. Tingginya nilai luas relung makanan ikan kuro pada Juni karena jenis makanan yang ditemukan pada bulan tersebut jauh lebih banyak dibandingkan dengan bulan lainnya; sebaliknya pada bulan Mei jenis makanan yang ditemukan cenderung lebih sedikit. Berdasarkan kelompok ukuran panjangnya, terlihat bahwa semakin bertambah ukuran panjang ikan maka luas relung akan semakin tinggi yang ditandai dengan semakin bervariasinya jenis makanan ikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Effendie (1997) yang menyatakan bahwa ikan yang berukuran kecil memiliki luas relung yang lebih sempit dan ikan yang berukuran lebih besar cenderung merubah pola makanannya dan memiliki luas relung yang lebih besar. Namun pada kelompok ukuran panjang 233-258 mm nilai luas relung tergolong kecil yang mengindikasikan bahwa tidak terlalu banyak jenis makanan yang dimakan atau dengan kata lain terjadi selektivitas jenis makanan.

Secara umum tumpang tindih relung makanan yang dialami oleh ikan kuro di perairan Pantai Mayangan cukup tinggi. Tumpang tindih relung makanan yang terjadi antara kelompok ukuran B dan D mengindikasikan bahwa jenis makanan yang dikonsumsi relatif sama sehingga memungkinkan terjadi persaingan yang besar antara kedua kelompok ukuran tersebut. Sebaliknya, tumpang tindih yang bernilai 0 mengindikasikan bahwa jenis makanan yang dikonsumsi tidak sama sehingga kemungkinan terjadinya persaingan cenderung lebih kecil antara kedua kelompok


(49)

ukuran tersebut. Nilai tumpang tindih relung makanan yang tinggi bisa terjadi jika terjadi kelangkaan makanan di perairan (Colwell & Futuyama 1971).

Tingginya persaingan makanan tidak saja terjadi pada sesama ikan kuro atau intraspesies, melainkan juga terjadi dengan jenis ikan lainnya atau interspesies. Ikan yang memakan udang di perairan Pantai Mayangan tidak hanya ikan kuro, namun

beberapa jenis ikan lainnya seperti ikan tetet (Johnius belangerii) (Simanjuntak &

Rahardjo 2001), ikan rejung (Sillago sihama) (Fitrinawati 2004), ikan lundu

(Arius maculatus) (Fauziah 2004), ikan giligan (Panna microdon) (Rambe 2004),

ikan balak (Saurida tumbil) (Rahardjo et al. 2009), ikan tiga waja (Otolithes ruber)

(Rahardjo 2007), ikan blama (Otolithoides brunneus), ikan kerong-kerong

(Therapon jarbua), dan ikan gerot-gerot (Pomadasys hasta) (Simanjuntak 2002). Melihat banyaknya ikan yang memanfaatkan sumber daya udang, maka jelas jika luas kawasan mangrove yang merupakan habitat udang semakin berkurang maka sumber daya udang pun akan menurun dan tingkat persaingan antara ikan akan semakin tinggi. Jika hal ini terus terjadi maka dikhawatirkan populasi ikan kuro (stadia juwana dan remaja) di perairan Pantai Mayangan akan semakin terancam.


(50)

6.

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Simpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah:

1. Ikan kuro (E. Tetradactylum) di Pantai Mayangan tergolong ikan karnivora

dengan makanan utamanya adalah Crustacea. Jenis makanan ikan kuro yang

teridentifikasi terdiri atas Crustacea (Crangon seplemspinosa, Euphausia sp.,

Penaeus sp., Squilla empusa, udang dan kepiting yang tidak teridentifikasi),

Cephalopoda (Loligo sp.), dan Pisces (Leiognathus sp., Thryssa sp. dan ikan

yang tidak teridentifikasi);

2. Variasi makanan ikan kuro terkait dengan pertambahan ukuran terjadi di pantai

Mayangan. Ikan kuro berukuran kecil umumnya mengkonsumi udang sementara ikan yang berukuran lebih besar dengan luas jelajah yang lebih luas memiliki jenis makanan yang bervariasi (udang, cumi dan ikan);

3. Komposisi makanan ikan kuro di Pantai Mayangan bervariasi terkait musim.

Pada musim penghujan ikan kuro hanya mengkonsumsi makanan yang berasal dari kelompok non ikan (Crustacea dan Chepalopoda), musim kemarau mengkonsumsi Crustacea, Cephalopoda dan ikan; sedangkan pada musim peralihan ikan kuro mengkonsumsi Crustacea dan ikan.

4. Nilai luas relung makanan ikan kuro tertinggi ditemukan pada Juni dan yang

terendah diperoleh pada Mei; sementara luas relung makanan ikan kuro semakin meningkat seiring dengan pertambahan ukuran panjang dan potensi persaingan makanan antara kelompok ukuran ikan kuro pun cenderung tinggi.

6.2. Saran

Perlu dilakukan studi lanjut untuk mengungkap jenis makanan ikan kuro jantan serta jenis makanan dari semua kelompok ukuran ikan kuro secara spasial supaya memberikan informasi ekologi trofik yang komprehensif.


(1)

Lampiran 10. Rekapitulasi grafik panjang rata-rata, faktor kondisi, ISC, dan IHS pada selang kelas 207-219 mm

211,0 212,0 213,0 214,0 215,0 216,0 217,0 L ra ta -ra ta ( m m ) 0,8000 1,0000 1,2000 1,4000 F a k to r k o nd is i 0,0000 0,5000 1,0000 1,5000 2,0000 ISC 0,0000 0,2000 0,4000 0,6000 0,8000 1,0000

Mei Jun Jul Ags Sep Okt

IH

S


(2)

53

Lampiran 11. Data curah hujan

Musim Bulan Curah hujan (mm) Jumlah hari hujan

Musim Penghujan Desember 222 18

Januari 317 11

Februari 93 9

Musim Peralihan I Maret 91 12

April 71 8

Mei 58 5

Musim Kemarau Juni 29 2

Juli 5 1

Agustus 0 0

Musim Peralihan II September 0 0

Oktober 63 3


(3)

Lampiran 12. Foto jenis makanan yang ditemukan dalam lambung ikan kuro

(E. tetradactylum)

Pisces

(a) Ikan bilis (Thryssa sp.) (b) Ikan pepetek (Leiognathus sp.)

(c) Potongan tulang ikan (d) Ikan yang tidak teridentifikasi

(e) Cumi-cumi (Loligo sp.)


(4)

55

(f) Udang ronggeng

(Squilla empusa)

(g) Euphausia sp.

(h) Penaeus sp. (i) Crangon seplemspinosa

(j) Potongan udang Lampiran 12. (lanjutan)


(5)

Sakina Saksi Bogarestu. C24080031. Variasi Makanan Ikan Kuro

(Eleutheronema tetradactylum) Terkait Perubahan Ukuran Panjang dan Musim

di Pantai Mayangan, Jawa Barat. Dibawah bimbingan Ridwan Affandi dan Charles P. H. Simanjuntak.

Perairan pantai Mayangan bervegetasi mangrove memiliki kekayaan sumber daya perikanan yang tinggi, salah satu diantaranya adalah ikan kuro (Eleutheronema

tetradactylum). Ikan ini merupakan ikan ekonomis penting dan merupakan ikan

karnivora yang hidup di perairan payau dan laut. Luas kawasan perairan mangrove Pantai Mayangan dari tahun ke tahun semakin berkurang. Hal ini akan berdampak terhadap penurunan populasi ikan dan perubahan komposisi makanan yang dimakannya. Bercermin dari fakta di atas maka perlu dilakukan studi untuk mengungkap peran ekologi trofik ikan kuro khususnya variasi makanan ikan kuro terkait perubahan ukuran panjang tubuh dan musim.

Pengambilan contoh ikan kuro dilakukan selama enam bulan dari Mei-Oktober 2011 di perairan Pantai Mayangan dengan interval waktu pengambilan contoh satu bulan satu kali. Ikan contoh ditangkap dengan menggunakan jaring insang (rampus) dengan ukuran mata jaring 31,75-50,80 mm di daerah muara sungai dan perairan pantai. Ikan yang tertangkap diawetkan dengan formalin 10% dan analisis biologi yang meliputi panjang bobot ikan, faktor kondisi, lebar bukaan mulut, indeks kepenuhan lambung, indeks hepatosomatik, dan variasi makanan dilakukan di Laboratorium Biologi Makro 1, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB.

Selama penelitian tertangkap 147 ekor ikan kuro dan semuanya adalah ikan jantan. Kisaran panjang dan bobot ikan kuro yang tertangkap berkisar antara 142-254 mm dan 16,88-105,79 g. Ikan kuro dibagi menjadi sembilan kelompok panjang. Ikan contoh yang banyak tertangkap berada pada kelompok ukuran 207-219 mm. Pertumbuhan ikan kuro bersifat allometrik positif. Nilai faktor kondisi ikan kuro per bulan cenderung meningkat dari waktu ke waktu akan tetapi jika ditinjau berdasarkan ukuran panjangnya, nilai faktor kondisinya cenderung berfluktuasi.

Makanan ikan kuro yang ditemukan selama penelitian didominasi oleh

Penaeus sp. (76,37), udang yang tidak teridentifikasi (14,10) dan sisanya terdiri atas

kepiting, Loligo sp. dan Pisces. Berdasarkan bulan pengambilan contoh terlihat bahwa pada Mei ditemukan tiga jenis makanan; namun memasuki bulan berikutnya jenis makanan mulai berubah dan bervariasi. Ditinjau dari kelompok ukuran terlihat bahwa ikan kuro mulai memakan ikan dan kepiting saat memasuki ukuran 181 mm. Hal ini berhubungan dengan perubahan lebar bukaan mulutnya. Semakin bertambah ukuran tubuh ikan maka lebar bukaan mulutnya akan semakin membesar dan jenis makanannya pun akan berubah sesuai ukuran bukaan mulutnya. Ditinjau dari nilai indeks kepenuhan lambung, ikan kuro cenderung lebih banyak makan di Mei pada ukuran panjang 142-154 mm; sedangkan ditinjau dari indeks hepatosomatiknya, ikan kuro lebih banyak menyimpan energinya di Juli pada ukuran 246-258 mm. Berdasarkan hasil analisis luas relung makanan menurut ukuran tubuh ikan ditemukan bahwa semakin besar ukuran ikan maka nilai luas relung semakin besar. Peluang terjadinya persaingan memperebutkan makanan antara kelompok ukuran


(6)

panjang cukup tinggi, terlihat dari tingginya nilai tumpang tindih relung makanannya.

Kesimpulan yang dapat dirumuskan dari penelitian ini adalah ikan kuro (E.

Tetradactylum) tergolong ikan karnivora dengan makanan utamanya adalah

Crustacea. Jenis makanan ikan kuro yang teridentifikasi terdiri atas Crustacea

(Crangon seplemspinosa, Euphausia sp., Penaeus sp., Squilla empusa, udang dan

kepiting yang tidak teridentifikasi), Cephalopoda (Loligo sp.), dan Pisces

(Leiognathus sp., Thryssa sp. dan ikan yang tidak teridentifikasi). Ikan kuro yang

berukuran lebih besar memiliki luas jelajah yang lebih besar sehingga pilihan jenis makanannya lebih banyak dan bervariasi. Perbedaan musim berpengaruh terhadap komposisi jenis makananya. Crustacea selalu ditemukan setiap bulan pada semua kelompok ukuran panjang, Cephalopoda ditemukan pada Juni dan Juli (ukuran 168-219 mm) dan Pisces ditemukan pada Juli-Oktober (ukuran 181-232 mm). Nilai luas relung makanan ikan kuro tertinggi ditemukan pada Juni dan yang terendah diperoleh pada Mei. Berdasarkan kelompok ukuran panjangnya, terlihat bahwa semakin bertambah ukuran panjang ikan maka luas relung semakin tinggi dan tingkat persaingan antara kelompok ukuran ikan kuro pun cenderung tinggi.