xviii
sebagai pemimpin agama di mana kompetensi keduniaannya diperoleh secara kebetulan belaka, tetapi tidak berhubungan dengan misi dan
kerasulannya. Argumen Abd Raziq adalah kombinasi menarik antara analisa keagamaan Islam dan ilmu politik dan ilsafat, ketika dia
meng hubung kan nya dengan John Locke dan Republik Plato.
4.6. Pendidikan Sulaiman al-Bustani 1865-1925 terkenal dengan ter jemah-
annya atas karya Homer Illiad dari bahasa Yunani ke bahasa Arab. Pada 1908, menyusul peristiwa dalam kekasisaran Utsmani ketika
Konstitusi dipulihkan kembali, dia menulis buku mengenai perband- ingan antara status quo sebelum dan status quo sesudah Konstitusi
dan kemudian mengambil posisi optimistik. Dalam bab mengenai pendidikan dengan sangat tajam dia mengkritik sekolah-sekolah negeri
Utsmani yang mengajarkan imitasi peniruan, bukan inovasi, dan pengabdian, bukan kesadaran diri. Tidak mengherankan kemudian
bahwa siapapun dapat beralih ke sekolah publik atau pesantren. Dia lebih jauh memasukkan pendidikan ke dalam arena politik, mengang-
gapnya sebagai prakondisi yang dibutuhkan bagi liberalisasi dan modernisasi masyarakat, seperti yang dilakukan oleh Al-Kawakibi
pada bab penegakan hukum. Rifa’a al-Tahtawi 1801-1873 muncul kembali dengan satu bab
pendek dari bukunya “al-Murshid al-Amini ” Sang Mursyid Terpercaya,
terbit pada tahun 1873, di mana ia menginginkan kesetaraan pendidikan antara laki-laki dan perempuan.
Taha Husayn 1889-1973, yang juga masuk dalam bab demokrasi, kini muncul dengan pendapat mengenai pendidikan politik yang
didasarkan pada kebebasan dan membandingkan antara apa yang berlaku di Mesir dengan kemajuan yang telah dicapai Eropa. Dia
menyebut tanah airnya tertinggal di belakang. Dalam kehidupan
xix
nyata, Taha Husayn, suatu kali menjadi menteri pendidikan Mesir era pra-Nasser, adalah penganjur gigih mengenai pendidikan yang setara
dan sekuler. Tapi dengan begitu ia seringkali berseberangan pendapat dengan para syekh al-Azhar, universitas Islam tertua, mengenai
kurikulum.
4.7. Hak-hak Perempuan
Hak-hak perempuan adalah bahasan yang paling penting bagi Qasim Amin 1863-1908. Dia menulis dua buku pada tahun 1899
dan 1900. Yang pertama, Tahrir al-Mar’a Pembebasan Perempuan,
adalah karya reformis yang cukup moderat yang berupaya meng- harmoniskan liberasi perempuan dengan dasar-dasar doktrin Islam.
Namun yang kedua adalah buku yang secara langsung melakukan serangan terhadap agama dan halangan-halangan sosial bagi
pembebasan perempuan. Dia menyebut semua itu sebagai “semi-per- budakan.” Dia menyerang hukum Islam dalam perkara kesaksian dan
hukum warisan keduanya menempatkan perempuan tidak setara dengan laki-laki dan bertanya kenapa hal ini tidak berlaku juga
untuk laki-laki bodoh. Dalam teks yang dimasukkan dalam buku ini,
dia juga menggunakan pendekatan utilitarian yang bertalian dengan pembebasan perempuan menuju masyarakat yang maju.
Artikel kedua dari Qasim Amin, diyakini ditulis bersama dengan Muhammad Abduh 1849-1905, pengarang memandang kewajiban
mengenakan jilbab dari perspektif agama dan tidak ditemukan landasan apapun dari Qur’an dan Sunnah yang mengharuskan
perempuan mengenakannya. Kemudian, larangan perempuan terlibat dalam kehidupan publik hampir tidak mungkin sesuai dengan
keinginan Tuhan ketika Dia menurunkan aturan-aturan-Nya. Mengutip hadits nabi dan ayat-ayat Qur’an, artikel ini memiliki
argumen yang sangat kuat melawan jilbab dari perspektif Islam.