xi
dari Mediterania Timur. Yang lain, seperti Farah Antun, berasal dari Lebanon tapi kemudian pindah ke Mesir yang pada waktu itu sedang
menerbitkan lebih banyak buku-buku hukum liberal dan audiens yang lebih besar daripada Suriah.
Yang ketiga dan mungkin dimensi yang paling penting tentu saja adalah isi. Naskah yang merangkum keseluruhan debat pemikiran
liberal dan semua topiknya telah dimasukkan. Pada buku ini dibagi ke dalam tujuh bab.
3. Konteks Kesejarahan
Pada ekspedisi Perancis 1798, yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte, untuk pertama kalinya di masa modern, tentara Eropa mengin-
jakkan kaki di jantung dunia Arab dan Islam. Berbeda dengan upaya orang-orang Eropa sebelumnya, pasukan Perancis kali ini membawa
gagasan-gagasan revolusi Perancis untuk disebarluaskan di Mesir. Kendati bukan hanya karena alasan itu, kehadiran Perancis di Mesir
adalah untuk menanamkan pengaruhnya dan menjadi titik masuk bagi para intelektual Arab dan Muslim untuk bertanya “apa yang salah?”
Dampaknya selanjutnya adalah bahwa penguasa-penguasa Turki Usmani, Tunisia dan Mesir kemudian mengirim misi ke Eropa untuk
mempelajari teknologi dan ilmu pengetahuan modern. Meski misi ini tidak serta merta menerjunkan mereka ke dalam sains modern namun
mereka mulai membaca Voltaire, Montesquieu dan Rousseau ketika mereka di Perancis. Akibatnya, ketika mereka kembali ke negeri mereka
masing-masing mereka mempengaruhi kehidupan politik lokal dan membangun pusat-pusat studi yang dari situ muncul generasi baru
pemikir-pemikir liberal. Dalam kasus Mesir, Tahtawi mengawalinya pada tahun 1834. Tidak lama setelah itu, dia mendirikan “Sekolah
Bahasa” yang dari sana sejumlah karya terjemahan yang sangat penting kemudian mengisi toko-toko buku di Mesir.
xii
Pada abad ke-19, pengaruh Eropa ke dunia Arab tampak semakin menguat. Hal ini ditunjukkan oleh kontrol atas negara-negara Arab,
pada mulanya secara ekonomi, kemudian inansial dan akhirnya secara
politik ketika Aljazair dan dan Tunisia diduduki Perancis dan Mesir diduduki Britania Raya. Wacana pemikiran liberal Arab kemudian
menjadi lebih jelas masuk dalam perbincangan pada masa-masa kemunduran dan ketika kebijakan-kebijakan dalam negeri yang
despotik muncul pada kekaisaran Utsmani masa Sultan Abdulhamid II dari 1876-1909. Pada saat yang sama, nasionalisme, baik secara
khusus atau Pan-Arab, bergabung dengan sejumlah ideologi dan menjadi kekuatan dominan di mana kalangan liberal juga ikut di
dalamnya. Mereka kemudian membentuk kelompok liberal-nasionalis “Nationalliberale” yang tuntutannya adalah kebebasan individu pada
tingkat domestik dan otonomi nasional pada tingkat internasional, keduanya adalah dua sisi mata uang yang sama.
Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 juga menjadi saksi atas di ferensiasi ideologi politik. Apa yang sebelumnya hanya dikenal
dengan kelompok “modern” kini terpecah misalnya ke dalam kelompok liberal dan sosialis yang satu sama lain saling bersaing.
Cabang kedua liberalisme Arab atau Muslim, di luar pengaruh langsung Eropa, dapat ditemukan dalam teologi reformis. Di Mesir
hal ini diperjuangkan oleh Muhammad Abduh yang menuntut dibe- baskannya Islam dari dogma-dogma dan tradisi-tradisi anakronistik
dan mengusulkan pelembagaan kembali atas tradisi ijtihad terhadap teks-teks Islam. Ini kemudian menuntunnya untuk menemukan
sejumlah justiikasi dan panduan Islam bagi pemerintahan demokratis
“syura” = konsultasi dan “ijma’” = konsensus dan penegakan hukum sebagai prinsip kebebasan yang mesti ada di dalam kehidupan Islam
yang nyata.