xvii
4.5. Sekularisme Farah  Antun  1874-1922,  seorang  pengungsi  dari  Lebanon  di
Mesir, adalah orang Arab liberal pertama yang secara eksplisit meng- usul kan pemisahan agama dan politik. Berbeda dengan pe mikir liberal
yang lain, reformis Islam Muhammad Abduh, dia mengemukakan lima dasar  untuk  menjustiikasi  konsep  pemisahan  tersebut.  Pertama,
kebebasan  berpikir  yang  telah  dibelenggu  oleh  agama.  Kedua,
keseteraan seluruh warga negara. Praktik diskriminasi antara kaum kaum  beriman  dan  tidak  beriman  dalam  agama,  bagi  Antun,  tidak
sesuai dengan masyarakat yang adil dan modern. Ketiga, agama dan politik memiliki wilayah kerja yang berbeda, yang pertama fokus pada
kehidupan  setelah  mati  atau  akhirat  dan  yang  kedua  mengurusi urusan duniawi dan keseharian. Keempat, kemunduran sosial yang
terus  menerus  terjadi  karena  ketergantungan  kepada  sesuatu  atau seseorang di luar dirinya. Di sini Antun menjabarkan sejumlah sub-
argumen  antara  lain  menyangkut  proteksi  agama  dari  pencemaran yang dilakukan karena urusan politik keseharian.
Dasar kelima Antun kurang lebih sama dengan yang di kemudian hari  ditulis  oleh  John  Rawls  mengenai  ketidakcocokan  masyarakat
terbuka dengan resep “doktrin komprehensif” seperti agama. Sejauh ini, dasar tersebut berhubungan dengan yang kedua mengenai kesetaraan
seluruh warga negara. Sebuah agama tertentu dan kemudian doktrin komprehensif tidak bisa mengambil suatu kebijakan bagi rakyatnya
tanpa pertimbangan keyakinan atau ketidakyakinan agama mereka. Ali Abd al-Raziq 1888-1962 tahun 1925 menerbitkan buku yang
menggemparkan mengenai Islam dan dasar-dasar pemerintahan. Dia menolak kebutuhan Islam terhadap khalifah dan selanjutnya secara
religius  memanifestasikan  otoritas  politik.  Dia  menyatakan  bahwa semua  yang  disebut  otoritas  pada  kenyataannya  selalu  berdiri  di
atas pedang dan kekuasaan. Dia menggambarkan nabi Muhammad
xviii
sebagai pemimpin agama di mana kompetensi keduniaannya diperoleh secara kebetulan belaka, tetapi tidak berhubungan dengan misi dan
kerasulannya. Argumen Abd Raziq adalah kombinasi menarik antara analisa  keagamaan  Islam  dan  ilmu  politik  dan  ilsafat,  ketika  dia
meng hubung kan nya dengan John Locke dan Republik Plato.
4.6. Pendidikan Sulaiman  al-Bustani  1865-1925  terkenal  dengan  ter jemah-
annya atas karya Homer Illiad dari bahasa Yunani ke bahasa Arab. Pada  1908,  menyusul  peristiwa  dalam  kekasisaran  Utsmani  ketika
Konstitusi dipulihkan kembali, dia menulis buku mengenai perband- ingan antara status quo sebelum dan status quo sesudah Konstitusi
dan  kemudian  mengambil  posisi  optimistik.  Dalam  bab  mengenai pendidikan dengan sangat tajam dia mengkritik sekolah-sekolah negeri
Utsmani  yang  mengajarkan  imitasi  peniruan,  bukan  inovasi,  dan pengabdian,  bukan  kesadaran  diri.  Tidak  mengherankan  kemudian
bahwa siapapun dapat beralih ke sekolah publik atau pesantren. Dia lebih jauh memasukkan pendidikan ke dalam arena politik, mengang-
gapnya  sebagai  prakondisi  yang  dibutuhkan  bagi  liberalisasi  dan modernisasi  masyarakat,  seperti  yang  dilakukan  oleh  Al-Kawakibi
pada bab penegakan hukum. Rifa’a al-Tahtawi 1801-1873 muncul kembali dengan satu bab
pendek dari bukunya “al-Murshid al-Amini ” Sang Mursyid Terpercaya,
terbit  pada  tahun  1873,  di  mana  ia  menginginkan  kesetaraan pendidikan antara laki-laki dan perempuan.
Taha Husayn 1889-1973, yang juga masuk dalam bab demokrasi, kini  muncul  dengan  pendapat  mengenai  pendidikan  politik  yang
didasarkan  pada  kebebasan  dan  membandingkan  antara  apa  yang berlaku  di  Mesir  dengan  kemajuan  yang  telah  dicapai  Eropa.  Dia
menyebut  tanah  airnya  tertinggal  di  belakang.  Dalam  kehidupan