xii
Pada abad ke-19, pengaruh Eropa ke dunia Arab tampak semakin menguat. Hal ini ditunjukkan oleh kontrol atas negara-negara Arab,
pada mulanya secara ekonomi, kemudian inansial dan akhirnya secara
politik ketika Aljazair dan dan Tunisia diduduki Perancis dan Mesir diduduki Britania Raya. Wacana pemikiran liberal Arab kemudian
menjadi lebih jelas masuk dalam perbincangan pada masa-masa kemunduran dan ketika kebijakan-kebijakan dalam negeri yang
despotik muncul pada kekaisaran Utsmani masa Sultan Abdulhamid II dari 1876-1909. Pada saat yang sama, nasionalisme, baik secara
khusus atau Pan-Arab, bergabung dengan sejumlah ideologi dan menjadi kekuatan dominan di mana kalangan liberal juga ikut di
dalamnya. Mereka kemudian membentuk kelompok liberal-nasionalis “Nationalliberale” yang tuntutannya adalah kebebasan individu pada
tingkat domestik dan otonomi nasional pada tingkat internasional, keduanya adalah dua sisi mata uang yang sama.
Akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 juga menjadi saksi atas di ferensiasi ideologi politik. Apa yang sebelumnya hanya dikenal
dengan kelompok “modern” kini terpecah misalnya ke dalam kelompok liberal dan sosialis yang satu sama lain saling bersaing.
Cabang kedua liberalisme Arab atau Muslim, di luar pengaruh langsung Eropa, dapat ditemukan dalam teologi reformis. Di Mesir
hal ini diperjuangkan oleh Muhammad Abduh yang menuntut dibe- baskannya Islam dari dogma-dogma dan tradisi-tradisi anakronistik
dan mengusulkan pelembagaan kembali atas tradisi ijtihad terhadap teks-teks Islam. Ini kemudian menuntunnya untuk menemukan
sejumlah justiikasi dan panduan Islam bagi pemerintahan demokratis
“syura” = konsultasi dan “ijma’” = konsensus dan penegakan hukum sebagai prinsip kebebasan yang mesti ada di dalam kehidupan Islam
yang nyata.
xiii
Wacana nahdha mengalami kemunduran pada tahun-tahun 1930an menyusul kegagalan eksperimentasi liberal Mesir pada masa
perang dan bangkitnya sejumlah ideologi illiberal seperti sosialisme radikal, Islamisme dan fasisme di negara-negara Arab. Beberapa
intelektual yang awalnya liberal seperti Haykal di Mesir dan Kayyali di Mediterania Timur berbalik menjadi Islamis atau konservatif. Taha
Husayn mungkin adalah pemikir liberal asli terakhir pada periode ini.
4. Isi
Tujuan bab dalam buku ini menjelaskan tujuh prinsip yang paling penting dalam liberalisme di Eropa dan kemudian juga di dunia Arab.
Kebanyakan karena alasan sejarah, pembelaan terhadap kebebasan, penegakan hukum dan demokrasi jauh lebih kuat daripada liber-
alisme ekonomi yang kurang lebih tampak sebagai samping dari skema reformasi yang lebih luas. Ketujuh prinsip yang dibutuhkan
dalam liberalisme ini juga membedakan para pemikir liberal dari para pendung ideologi politik lain. Pada umumnya ulama-ulama Islam
tidak keberatan terhadap bentuk ekonomi pasar tapi tidak menganut sekularisme liberal. Pada sisi yang lain, kaum sosialis lebih gencar
menyuarakan sekularisme ketimbang dalam beberapa hal dengan kelompok liberal, tetapi tentu saja hak-hak kepemilikan liberal dan
ekonomi pasar bebas.
4.1. Kebebasan Individu Ahmad Luti Al-Sayyid 1873-1963 mengawali dengan dua artikel
yang terbit pada 1913 di majalahnya, Al-Jarida, corong partai liberal Umma di Mesir. Sangat jelas bahwa dia adalah satu di antara sedikit
pendukung liberalisme klasik yang menjadikan kebebesan sebagai titik pijak melawan kesemena-menaan negara dan masyarakat.
xiv
Kebebasan ia pahami seperti roti dan air atau sesuatu yang ti da k bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Dasar kebebasan
adalah kebebasan individu dari mana kebebasan-kebebasan lain seperti kebebasan berbicara, berorganisasi, berniaga dan seterusnya
berasal. Dia mempertahankan argumen melawan pemerintahan otokratik yang menolak hak individu ini tapi juga melawan kelom-
pok-kelompok oposisi lain yang ingin memanfaat kebebasan individu untuk memeroleh keuntungan dari masyarakat. Meski ia memper-
juangkan institusi-institusi demokrasi, kebebasan positif positive liberties
kurang penting baginya ketimbang kebebasan negatif, yaitu hak-hak individu untuk bebas dari koersi.
Salama Moussa 1887-1958, meskipun pada akhirnya ia me rupa kan pemikir sosialis, tulisannya tahun 1927 mencoba memper-
tahankan argumen kebebasan berpikir dan berbicara. Argumen yang ia kemukakan, dalam banyak hal, mengikuti John Stuart Mill yang tidak
hanya bicara tentang kebebasan sebagai hak-hak alamiah, tetapi juga sebagai alat untuk kemajuan, yakni melalui diskusi yang bebas.
4.2. Penegakan Hukum Rifa’a Rai’ al-Tahtawi 1801-1873, pelopor pendukung liberalisme
pada masa modern, bukunya tentang masa-masa hidupnya di Paris dimasukkan dalam satu bab. Dalam tulisan itu dia menerjemahkan
dan memberi komentar positif Konstitusi dan sistem politik Perancis. Dia menekankan fakta bahwa raja Perancis tidak memerintah secara
absolut, ia bisa dikoreksi dengan Konstitusi dan sistem politik. Dia menyebut sistem ini sebagai sistem yang baik, namun, seperti yang
diakui sendiri, dasarnya tidak dari Qur’an atau Sunnah. Secara langsung dia menghubungkan kemajuan dan modernitas masyarakat
Perancis dengan kebebasan. Dan dia menikmatinya dan mengusulkan keteladanan itu untuk Mesir. Barangkali memang dia tidak terlalu