Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMAMA Kelas X
48 Lalu ketentraman menyergap sekujur pori.
Perlahan menyelusup hingga sumsum dan jantung. Bagaimana bisa kujelaskan keindahannya. Sungguh
aneh, aku tak merasakan sebersit pun rasa takut di tempat seasing ini. Aku masih bergerak melayang-
layang. Tak ada ke siapa pun, maka kucoba bersuara, “Hei” Entah mengapa yang
terdengar hanya desau. Aku coba teriak. “Di mana aku berada?” Entah mengapa yang tertangkap
telinga hanya bisikan. Di sebuah kelok, pendarnya menguat. Masih
menentramkan. Dan, hatiku tercekat saat paras indah itu menghadang. Senyumnya begitu menawan.
Alhamdulillah, akhirnya, kujumpa makhluk lain di labirin ini. Manusiakah ia, atau bidadari surga?
Bidadari itu tersenyum. Binar matanya bagai kejora. Wajahnya begitu putih dan teduh. tercium wangi
seribu bunga ketika tangannya merengkuh badan gemetarku. “Siapa kau?”
Bibir nan serupa kelopak mawar itu bergerak. Namun tiada terdengar suara. Lalu kurasakan
bibirku bergerak mengikuti gerak bibirnya, “A-i- syah?”
Mataku menghangat. Bulir beningnya mengalir tak tertahankan.“Aisyah radhiallahu anha?”
Dia mengangguk. “Aiyah kekasih Baginda Mu- ham-mad? Istri Rasulullah?”Dia mengangguk lagi.
Masih tersenyum. Bulir bening dari mataku menetes perlahan saat ia lepaskan rengkuhannya. Lalu tangan
kanannya mengembang seperti mempersilakanku melanjutkan perjalanan. Aku kembali beringsut,
melayang sesenti demi sesenti tanpa sekejap pun kulepaskan pandang darinya. Bahagia bertalu-talu
menyesaki ruang hati. “Ibunda Aisyah…,” suaraku kembali hanya berupa lirih angin. Sampai akhirnya
senyum indah itu hilang ditelan kelokan. Pendar cahaya masih membimbingku. Masih
menentramkan. Lalu kurasakan lorong warna-warni lembut berakhir di sebuah ruangan yang dari dinding
ke dindingnya berjarak ribuan meter. Mungkinkah ini akhir dari labirin penuh cahaya?
Aku tiba di hadapan beberapa pintu raksasa yang juga berpendar cahaya. Dan aneh, semua berbisik,
“Bukalah… bukalah… bukalah….” Bulir-bulir bening kian deras mengalir. Lalu sebuah pintu
terbuka sebelum sempat tersentuh tangan. Lagi- lagi kekuatan asing menghisapku untuk perlahan
mendekat ke tengah pendar cahaya putih yang bergelinyaran dari segala penjuru. Ruang bagai
tak berbatas. Semua hanya cahaya. Cahaya-cahaya warna putih yang lembut dan bertumpuk-tumpuk.
Belulangku melemas bagai tersiram asam sulfat, ketika pendar-pendar cahaya itu perlahan kian
menampakkan bentuk. Melebihi perjumpaan dengan Ibunda Aisyah, kali ini dadaku begitu sesak oleh
kebahagiaan. Kebahagiaan yang bahkan menjalar mengikuti aliran darah dan terus mengalir tanpa
henti. Oh, sungguh sempurna keindahan ini. Mas Awan,
andai kau di sini. Subhanallah, Mas, di sini indah sekali. Terasa tubuhku bagai dipeluk jutaan bintang.
Aku merintih, “Allah, Engkaukah itu, Allah?” Air mataku tak tertahankan. Subhanallah. Maha Suci
Allah yang mengizinkanku mendapati perjalanan ini. Dan, semua cahaya yang memenuhi ruang
dan waktu bagai berebut memelukku.“Ya, Allah, ampuni aku. Ampuni aku,” rintihku tanpa henti.
Segenap khilaf dan kesalahan berkelebatan di pelupuk mataku yang basah. Cahaya-cahaya masih
bersiar-siur. Cahaya di atas segala rupa cahaya. “Ampuni seluruh dosaku, Ya Robb.” Kakiku lemas.
Aku ingin bersimpuh, namun tak jua kumampu melakukan apapun. Aku hanya terpaku seraya
merintih, memohon, menghiba. Lalu, di bawah tahta bercahaya itu, sesosok tegap dan rupawan perlahan
menampakkan diri. Sambil mengulurkan tangan, senyumnya menyongsongku. “Kau…,” suaraku
nyaris hilang. Wajah rupawan itu bagai membelaiku. Suaranya indah melebihi suara terindah yang pernah
kudengar. “Ya, ibundaku sayang.” Aku bergerak ingin meraih tangannya, namun tak terraih. “Aku
putramu yang belum sempat kau lahirkan ke dunia.” Tangisku pecah menjadi isakan hebat. Belum habis
takjubku, tiba-tiba kekuatan itu kurasakan tak lagi
Bab 5 Peristiwa
49 Inikah sebentuk kehidupan yang kutandai, sesuai
perkiraan dokter, seharusnya lahir enam bulan yang akan datang? Lalu, dunia serasa berguncang.
Setelah itu menyusul luruh gumpalan merah segar yang kelima, keenam, hingga entah yang keberapa.
Darah segar mengucur-ngucur di sela-sela paha. Mas Awan menangkap tubuhku yang lunglai, selebihnya
gelap. Selanjutnya, yang kuingat hanya perjalanan dalam labirin cahaya.
menghisap. Perlahan ia malah mendorongku keluar menuju pintu raksasa. “Ya Allah, jangan tinggalkan
aku.” Namun, cahaya itu kurasakan kian jauh. Wajah rupawan itu juga perlahan memudar di balik
lapisan-lapisan kabut. “Peluk aku, ya Allah. Jangan tinggalkan aku.”
Aku tersedu-sedu saat lorong bercahaya warna merah muda, biru, hijau, kuning lembut menyambutku
kembali. Kelokan demi kelokan membawa tangisku bagai gerimis pagi. Aku merasa tercerabut. Masih
melayang-layang. Bibirku hanya menyebut Allah dan Allah.
Diselimuti kabut, eternit putih serta dua lampu neon di kanan-kiri menyergap pandangan. Samar-samar
kulihat gorden hijau, juga tercium bau obat-obatan. Apakah benar itu suara sedu sedan? Kurasakan
kemudian genggaman erat di jemariku yang masih lemas. Dan, suara yang kukenal itu. “Alhamdulillah, ”
bisiknya. Tanganku perlahan dibimbing ke dadanya. Genggamannya makin erat. Masih samar, kudapati
wajah tirus yang begitu kukenal itu, Mas Awan, suamiku. “Semua sudah selesai, sayang. Kuretnya
sudah selesai,” bisiknya lagi. Kulihat ia berusaha sekuat tenaga menyembunyikan kesedihan. Namun,
sungguh kau pemain sandiwara yang buruk, Mas. Segalanya kemudian berkumpul menjadi potongan-
potongan peristiwa. Saat tepat tengah malam, saat gumpalan merah segar pertama jatuh di lantai kamar
mandi. Lalu gumpalan merah segar yang kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.
Dan, satu gumpal kecil seukuran jempol kaki kemudian begitu menyita perhatianku. Gumpal kecil
yang selanjutnya kuraih dengan tangan bergetar. Ia tampak menonjol, karena berwarna putih di
antara gumpalan-gumpalan segar merah darah. Ada sepasang mata berbentuk bintik di kanan dan kiri.
Sepasang bakal tangan dan sepasang bakal kaki, serta seutas tali pusar yang juga berwarna putih.
“Kamu mengigau menyebut Allah dan surga.” Kurasakan air mataku masih meleleh.
“Benarkah?” Berulangkali ia menyeka air di pipiku. Dan berulangkali pula air itu menganak sungai.
“Belum saatnya kamu berjumpa surga, Jeng,” kata- kata Mas Awan kudengar tercekat di tenggorokan.
“Ina dan Rayya masih butuh ibunya.” Ina dan Rayya? Aku masih menangis. Namun, kali ini
terbayang wajah kedua bidadari kecil itu. Ya, aku memang kehilangan sesuatu yang telah melekat
selama tiga bulan dalam rahimku. Tapi kau benar, Mas. Masih ada dua makhluk Allah yang hidup dan
sehat yang butuh tanggung jawabku. Masih nanar pandanganku menatap lelaki yang
tengah sibuk mengusapi air di sudut matanya itu. Mas Awan, suamiku, kau juga amanahku.
Bandar Lampung, Januari 2008.
Sumber: Republika, Minggu, 09 Maret 2008 Sumber: Ilustrasi Agus
Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMAMA Kelas X
50 Tidak sedikit cerpen yang mengangkat tema
kehidupan sehari-hari sebagai ide pembuat cerpen. Oleh karena itu, pesan yang terkandung dalam
cerpen tidak jauh dari kehidupan sehari-hari. Bacalah cerpen “Menunggu Saat Bintang Jatuh”
Dapatkah Anda mengaitkan unsur intrinsik cerpen tersebut dengan kehidupan sehari-hari?
LANGIT indah bertabur temaram bintang malam ini. Sang dewi malam dengan anggun menebar
senyumnya yang merekah. Seperti bibir bidadari surga. Lama rasanya aku melupakan atap dunia
itu. Aku terlalu sibuk berada di bumi hingga tak sempat menengok langit. Bintang, benda langit itu
berkerlap-kerlip seakan menggodaku. Bagai tangan malaikat yang melambai agar aku menghampirinya.
Ia mengingatkanku pada mitos bintang jatuh. Kata orang, bintang jatuh dapat mengabulkan
permintaan manusia. Benarkah? Jika iya, aku rela menunggu benda langit itu tertarik gravitasi bumi,
meski harus menantinya tiap malam, hanya untuk satu permintaan. Ah, kenapa pula aku jadi seperti
bocah. Mana mungkin benda langit yang tak mampu melawan takdir untuk dirinya sendiri tersebut
mampu mengabulkan keinginan makhuk lain? Seandainya bintang jatuh mampu mengabulkan
keinginan, pasti dia akan meminta sendiri kepada Tuhan agar kontraknya di atap dunia diperpanjang.
Buktinya, ia memilih menuruti kehendak alam.
Menunggu Saat Bintang Jatuh Emi Teja K.D.
Sayang, saat ini, aku yang sedang sentimentil merasa bintang yang menggoda itu seakan seperti
pantulan cermin atas diriku sendiri. Awalnya begitu indah, tinggi di awang-awang namun tak terjamah,
jauh, dan jika Tuhan menghendakinya jatuh, ia tak mampu melawan.
Aku terlahir sebagai bocah desa biasa, anak buruh tani. Kedua orang tuaku tak lulus SD, begitu juga
kedua kakak perempuanku. Mereka menikah di usia yang masih sangat belia, menjadi ibu rumah
tangga, mengurusi anak, suami, dan dapur. Status yang menurutku benar-benar rendah dan aku
tak mau seperti mereka. Adalah Pak Ahmad, kepala desaku yang menjadi kepanjangan tangan Tuhan
mengubah seluruh duniaku. Beliau mengangkatku menjadi anak asuhnya sejak aku SD karena terkesan
dengan prestasi belajarku saat aku menjadi juara 1 lomba cerdas cermat sekecamatan.
Sejak saat itu, beliau menanggung semua biaya pendidikan, termasuk semua keperluanku. Aku
Latihan 1
1. Bentuklah kelompok diskusi beranggotakan 5 siswa
2. Diskusikan hal-hal berikut ini a. Analisislah unsur-unsur cerita pendek,
seperti tema, tokoh, watak tokoh, alur, latar, amanat, sudut pandang, dan gaya
bahasa dalam cerpen “Labirin Cahaya” b. Temukan nilai-nilai yang ada dalam
cerpen dan kutiplah kalimat cerpen yang mendukung nilai-nilai yang Anda
temukan 3. Bacakan hasil diskusi Anda di depan teman-
teman Anda
B. Mengaitkan Cerita Pendek dengan kehidupan Sehari-hari
Tujuan Pembelajaran
Pada subbab ini, Anda akan menganalisis keterkaitan unsur intrinsik suatu cerpen dengan kehidupan sehari-hari.
Setelah mempelajari subbab ini, Anda diharapkan dapat mengaitkan isi cerpen dengan kehidupan sehari-hari.
Bab 5 Peristiwa