Bab 5 Peristiwa
51 tak pernah kekurangan apa pun. Semua yang aku
mau, sekarang aku minta, esok pagi saat aku baru membuka mata, pasti aku telah mendapatkannya.
Aku cantik, setidaknya aku primadona desa. Aku juga sudah memiliki belahan hati yang telah kuyakini
adalah jodohku. Laki-laki tersebut bernama Awan. Itu yang dulu aku namai keberuntungan.
Aku menikmati semua anugerah Tuhan tersebut. Tapi, saat ini tidak demikian, aku berharap ada
bintang jatuh, berharap mitos tentangnya benar. Satu keinginan yang ingin aku minta adalah aku tak
ingin jadi diriku sekarang. Aku ingin menjadi Sekar, gadis desa anak Pak Kardi dan Ibu Karmi, buruh tani
yang tak lulus SD. Aku ingin seperti Mbak Gendis dan Mbak Elok.
Dunia tak lagi indah bagiku, meski langit sedang berpesta di atas sana. Hatiku terasa jauh lebih sakit
saat tadi sore, setelah bencana itu, aku pulang ke rumah orang tua kandungku. Aku menceritakan
semuanya, namun tak memperoleh pembelaan di sana. Di rumah orang tua yang telah melahirkanku.
“Kamu sudah dewasa, kamu sudah jadi wong pinter nduk, dan semua itu karena jasa Pak Ahmad,
bapak angkatmu. Jangan jadi anak durhaka Sekar, mintalah maaf kepadanya dan turuti apa yang beliau
minta.” Hatiku sakit mendengar kalimat itu, ringan keluar dari bibir ibu, wanita yang mengandung dan
melahirkanku. Meski tanpa melihat wajah beliau, aku tahu tak ada beban dari nada suaranya. Ah ibu,
apa benar tak ada lagi cintamu untukku? Langit masih bertabur bintang di atas sana, masih
menyiratkan keindahan alam awang-awang nun tak terjamah. Angin malam mulai membuatku
menggigil. Aku baru sadar, aku tidak sedang di rumah Pak Kepala Desa yang megah dan hangat.
Namun, aku sedang meringkuk di sudut balai desa tak berdinding, tanpa alas, dan tanpa teman.
Aku tak tau apakah bapak angkatku saat ini sedang sibuk mencariku atau hanya diam di
rumah menungguku pulang sendiri. Meminta maaf kepadanya, lalu dengan santun mengatakan bahwa
aku akan ikhlas menerima apa pun yang beliau mau.
Baru kali ini aku tahu betapa berharga sebuah kemerdekaan dan kebebasan menentukan pilihan
sendiri. Andai aku bisa, aku ingin kembali ke masa lalu, aku tak ingin mengenal seseorang yang pernah
aku anggap malaikat itu. Tak apalah aku hanya menjadi gadis desa yang bodoh, seperti yang lain,
hidup bersama Awan. Awan, mengingatnya kembali membuat dadaku
sesak. Aku bodoh, aku lemah, dan aku tak mampu melawan. Kuintip lagi langit yang tampak jelas dari
tempatku menyudut, tetap semarak meski sangat sepi. Pasti sudah lewat dini hari, kelengangan
meraja. Silau mentari menerpa wajahku, aku menyi-pitkan
mata karenanya. Hari sudah terang. Aku tersentak
Sumber: Ilustrasi Agus
Semua masih biasa saja sampai kemarin, namun sebuah kejadian tadi siang benar-benar menjungkir
balik duniaku. Seharusnya, siang ini menjadi saat paling indah dalam hidupku. Sebulan yang lalu,
Awan mengungkapkan niat untuk melamarku dan aku setuju. Aku telah merangkai jutaan angan
tentang masa depan kami, tentang rumah mungil yang hangat. Tentang bayi-bayi lucu yang kelak
menjadi calon profesor. Sebuah hal yang tak aku duga, ternyata, merusak
segalanya. Kedatangan Awan hari ini tak kunyana tak mendapatkan sambutan baik dari bapak angkatku.
Beliau menolak mentah-mentah niat Awan untuk meminangku. Bahkan, beliau bersumpah tidak akan
menyetujui hubungan kami sampai kapan pun. Aku tak pernah melihat bapak semarah itu, tidak sama
sekali sejak 11 tahun aku mengenal beliau. Tapi, hari ini malaikat itu berubah menjadi monster
paling menakutkan. Semua tak seperti kemarin lagi.
Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMAMA Kelas X
52 kaget saat menyadari ada seseorang di dekatku.
Bapak? Bagaimana bisa orang yang kuhujat semalaman itu tiba-tiba duduk di dekatku. Sebuah
sarung kotak-kotak warna hijau menyelimuti tubuhku.
Aku kenal betul benda itu, sarung yang sengaja aku beli untuk Bapak saat aku liburan ke Jogja dulu.
Bapak selalu mengenakannya. Air mataku meleleh melihat malaikat itu tertidur dalam posisi duduk.
Pastilah tulang-tulang tua tersebut memberinya rasa pegal dan sakit yang menyiksa. Tiba-tiba aku
merasa sangat berdosa kepadanya. Bapak, maafkan aku.
“Jangan menangis cah ayu,…jangan cengeng..” Rupanya, isak tangisku mengusik tidur beliau.
Tangan tuanya yang keriput mengusap air mata di pipiku. Aku makin tersedu.
“Bapak tahu kamu sangat marah sama Bapak karena kejadian kemarin….” Suara datar penuh wibawa itu
terdengar sangat halus. “Bapak tak akan melarangmu menikah dengan
siapa pun. Kamu bebas memilih, kamu telah dewasa, bahkan sebentar lagi kamu akan sah jadi
sarjana, yang pertama dan satu-satunya di desa ini. Tapi, jangan dengan anak bajingan itu, sampai mati
pun bapak tak rela..” Aku memilih diam, aku hanya terisak dan semakin terisak. Aku pasrah saja saat
bapak angkatku itu menuntunku pulang.
Seminggu sudah bencana itu berlalu, aku memilih patuh kepada Bapak. Sudah seminggu pula,
aku menghabiskan malam tanpa menutup mata. Berdiam diri di balkon kamarku sambil menatap
langit berharap dapat menemukan bintang jatuh. Malam ini, kupastikan tak ada bintang jatuh, hujan
sudah mengguyur bumi mulai sore tadi. Tapi, aku tetap seperti hari-hari sebelumnya.
“Nduk Sekar, dipanggil Bapak,” suara Mbok Jah terdengar dari balik pintu kamarku.
“Ya Mbok, terima kasih,” jawabku acuh tanpa membuka pintu
“Nduk, dipanggil Bapak,” Mbok jah mengulangi panggilannya.
“Iya..iya.., bentar” sambil membuka pintu kubentak wanita sepuh itu.
“Maaf Nduk, tapi Bapak sedang sakit. Beliau ingin bertemu dengan Nduk Sekar.”
“Sakit? Sakit apa? Sejak kapan Mbok? Sepertinya, kemarin-kemarin aku melihat Bapak sehat-sehat
saja?” aku menghujani pertanyaan kepada Mbok Jah sambil melangkah menuju kamar Bapak. Pintu
kamar itu terbuka sebagian, dari luar aku sudah dapat melihat wajah Bapak. Pucat dan lemah.
“Bapak kenapa?? Bapak….” aku menjerit histeris sambil memegangi tangan Bapak.
“Jangan menikah dengan anak Surya, Sekar. Berjanjilah pada Bapakmu ini,….berjanjilah,”
suara itu samar, hampir tak terdengar tapi sangat menghujam jantungku. Refleks aku mengangguk.
“Aku berjanji Bapak, aku berjanji,….”
Hari ini aku terpaku menatap gundukan tanah yang masih basah. Semerbak bau kembang terbawa
angin bersama debu dan daun kering. Di bawah sana, malaikat sekaligus monster itu terbaring untuk
selamanya meninggalkan janji yang sangat berat di pundakku.
Di seberang sana, aku melihat sosok yang sangat aku kenal. Awan terpaku di bawah pohon kamboja.
Seakan memintaku untuk mendekatinya. Aku ingin berlari ke arahnya menumpahkan kerinduanku.
Tapi, janji yang aku ucap semalam kepada jasad yang tertidur di bawah nisan ini merantai kakiku.
Aku memilih untuk meninggalkan tempat itu, tanpa menegur atau sekadar membalas tatapannya.
Nyawaku tak utuh lagi. Mungkin pergi bersama Bapak atau tinggal bersama Awan yang masih
terpaku di bawah pohon kamboja. Janji adalah utang. Kepada beliau, aku tak hanya utang janji,
tapi juga utang budi. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk segala sesuatu, meski untuk sebutir
Bab 5 Peristiwa