“Komunikasi Antar Budaya Dan Agama Tentang Kerukunan Umat Beragama Golongan Sunni Dan Syiah”

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memporelah Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh:

MOHAMMAD MIQDAD

1112051000075

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1437 H/2016 M


(2)

(3)

(4)

(5)

i

Berbicara Sunni dan Syiah, kedua golongan besar dalam Islam ini seakan tidak berujung, dan selalu tidak lepas dengan konflik terkait dengan adanya beberapa perbedaan pemahaman antara keduanya perihal; Imamah (kepemimpinan), fiqih dan perayaan tradisi keislaman. Hal ini, yang kemudian menjadi pemicu terciptanya konflik didaerah-daerah, begitu pula di daerah Jambesari pada tahun 2006. Desa Jambesari merupakan salah satu desa yang terletak di kecamatan Jambesari Darus sholah. di Desa Jambesari, golongan Syiah secara terang-terangan berkelompok dan menyampaikan keyakinan keSyiah-annya, mereka hidup berkelompok akan tetapi tetap terbuka dengan kelompok lainnya, sehingga tercipta kehidupan yang rukun.

Berdasarkan konteks di atas, maka tujuan tulisan ini adalah untuk menjawab pertanyaan Bagaimana komunikasi antarbudaya dan agama (KAAB) golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari dalam membangun kerukunan? Sedangkan pertanyaan minornya adalah Mengapa golongan Sunni dan Syiah di Desa Jambesari berhasil membangun kerukunan?

Pada tahun 2006 dapat dikatakan bahwa tidak terjalin dengan baik komunikasi antarbudaya pada masyarakat golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari, sehingga terjadinya bentrokan antara pengikut kedua golongan tersebut. Namun, lambat laun masyarakat Jambesari pengikut kedua golongan tersebut semakin dewasa dalam memahami perbedaan.

Untuk meganalisis dan memahami komunikasi antarbudaya dan agama golongan Sunni dan Syiah, peneliti menggunakan teori Edward T.Hall yang menyatakan communication is culture and culture is communication dan teori dua puluh Andi Faisal Bakti, konservatif dan transformatif. Serta faktor-faktor yang mempengaruhi terjalinnya komunikasi antarbudaya menurut Alo Liliweri.

Adapun metodelogi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dan metode studi kasus. Studi kasus adalah metode riset yang menggunakan berbagai sumber data (sebanyak mungkin data) yang bisa digunakan untuk meneliti, menguraikan, dan menjelaskan secara komprehensif berbagai aspek individu, kelompok, suatu program, organisasi atau peristiwa secara sistematis.

Berhasilnya masyarakat golongan Sunni dan Syiah dalam menimalisir faktor-faktor yang menghambat komunikasi antarbudaya dan agama, yang hal ini terekam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jambesari, menjadikan masyarakat golongan Sunni dan Syiah desa Jambesari hidup dengan penuh kedamaian dan kerukunan.


(6)

ii

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, Puji dan Syukur yang sebesar-besarnya atas kehadirat Allah SWT yang tiada henti memberikan rahmat dan karunia kepada hamba-hamba-Nya. Serta Sholawat dan Salam semoga selalu Allah limpahkan kepada kekasih-Nya, penutup kenabian, Baginda Agung Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan parasahabatnya, yang telah menjadi suri tauladan untuk kita melangkah dalam jalan kebenaran.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena menyadari segala keterbatasan yang ada. Untuk itu demi sempurnanya skripsi ini, penulis sangat membutuhkan dukungan dan sumbangsih pikiran yang berupa kritik dan saran yang bersifat membangun.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua orang tua tercinta Ali Rahbini dan Siti Fadilah, yang telah tulus ikhlas memberikan kasih sayang, cinta, do’a, perhatian, dukungan moral dan materil yang telah diberikan selama ini. Terima kasih telah meluangkan segenap waktunya untuk mengasuh, mendidik, membimbing, dan mengiringi perjalanan hidup penulis dengan dibarengi alunan do’a yang tiada henti agar penulis sukses dalam menggapai cita-cita.


(7)

iii

ini, perkenankanlah saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi

(FDIKOM), Suparto, M. Ed, Ph.D selaku Wakil Dekan I Bidang Akademik, Dr. Hj. Roudhonah, M.Ag selaku Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum, serta Dr. Suhaimi, M.Si selaku Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan.

2. Drs. Masran, M.A selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam dan Fita Fathurokhmah, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.

3. Dr. A. Ilyas Ismail, MA Selaku dosen pembimbing yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skiripsi ini, ditengah-tengah kesibukannya beliau selalu menyempatkan diri untuk memberikan pemikirannya dan mengarahkan penulis dalam penyusunan skiripsi yang baik.

4. Umi Musyarofah, MA selaku Dosen Pembimbing Akademik.

5. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan pengalaman yang bermanfaat bagi penulis, selama penulis berada dibangku perkuliahan.

6. Segenap karyawan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan juga Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullaj Jakarta yang telah


(8)

iv

Komunikasi yang telah memberikan pelayanan terbaik kepada penulis perihal surat-menyurat.

8. Maltup Al-Hidayah, SH selaku Kepala Desa Jambesari. Bapak Qurdi selaku Sekretaris Desa Jambesari. Serta kepada Bapak H.Abdullah, Bapak Ahmad Rawi, Bapak Mukhlis, yang telah meluangkan waktunya dan bersedia menjadi narasumber dalam penelitian ini.

9. Kifliah Batul kakak pertama dan suaminya Imam Ghozali, mereka adalah orang tua penulis selama berada ditanah perantauan, kedua anaknya; Mahdi dan Mahda yang selalu menemani dan menghibur penulis. Serta keluarga kakak kedua, Siti Sofiah A.Noval dan Najmah, yang selalu mensupport penulis. Terimakasih atas

do’a dan nasihat-nasihat kalian.

10.Keluarga Besar Bani Soekarno, Bani Rafi’I, dan Bani Ami, Bani Rajidin.

11.Teman-teman KPI 2012 terkhusus teman-teman KPI C, kelompok KKN KATULISTIWA, LASKAR 14, PANDU AB, dan TOP yang selalu meberikan pelajaran mengenai arti petemanan, persaudaraan, atau bahkan percintaan. Semoga persaudaraan kita tetap terjalin.

12.Habib Husein Jakfar al-Hadar, Kak Husein bin Abu Thalib al-Mudor, kawan-kawan di Omah Jibriel; Bang Fadel BSA, Soivi, Khudori, Hasan M yang selalu menyadarkan penulis untuk menjadi manusia paripurna.


(9)

v

14.Ka Samsul, kaka senior yang telah bersedia meminjamkan buku-bukunya. Serta kawan-kawan seperjuangan Skiripsi, Sari Setianingrum, Dewi Mufarikah, Melqy A, Falahul Mualim Y, Rifqi M, Haris M yang selalu saling berbagi motivasi. 15.Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, namun tanpa

mengurangi rasa hormat, penulis ucapkan terimakasih.

Akhir kata dari penulis, semoga segala bentuk motivasi, dukungan dan do’a yang diberikan kepada penulis mendapatkan balasan yang berlimpah dan ridha dari Allah SWT. Amin.

Jakarta, 1 Agustus 2016


(10)

vi

KATA PENGANTAR ………..………ii

DAFTAR ISI ……….. vi

DAFTAR TABEL ..……… ix

DAFTAR GAMBAR ……….. ix

BAB I PENDAHULUAN ……… 1

A. Latar Belakang Masalah .………1

B. Batasan Dan Perumusan Masalah ……….. 6

C. Tujuan Penelitian ………... 6

D. Signifikansi Penelitian ………... 7

E. Metodologi Penelitian………. 7

F. Teknik Analisis Data ………13

G. Pedoman Penelitian………...15

H. Tinjauan Pustaka ……….. 15

I. Sistematika Penelitian ……….. 17

BAB II KAJIAN TEORI……….19

A. Teori Komunikasi Antarbudaya dan Agama……….19


(11)

vii

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi Komunikasi Antarbudaya…………. 31

1. Faktor Kognitif………... 31

2. Faktor gaya pribadi …...………. 32

3. Faktor-faktor Lain ………. 37

C. Konsep Kerukunan Umat Beragama ……..………. 38

D. Golongan Sunni dan Syiah ………...41

1. Definisi Sunni dan Syiah ………41

2. Pokok-pokok Ajaran Sunni dan Syiah ………42

BAB III GAMBARAN UMUM DESA JAMBESARI ………..45

A. Kondisi Geografis desa Jambesari ………45

B. Kondisi Demografis ………..47

C. Kehidupan Masyarakat Golongan Sunni dan Syiah di Desa Jambesari…52 BAB IV TEMUAN DAN HASIL ANALISIS………56

A. Komunikasi Antarbudaya dan Agama Masyarakat Golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari ………57

B. Analisis Komunikasi Antarbudaya dan Agama Golongan Sunni dan Syiah menurut teori Andi Faisal Bakti (teori duapuluh) ……….60


(12)

viii

2. Faktor Gaya Pribadi Golongan Sunni dan Syiah ………... 67

3. Faktor-faktor lain golongan Sunni dan Syiah ……… 80

D. Interpretasi Data ………... 85

BAB V PENUTUP ……… 88

A. Kesimpulan ……….. 88

B. Saran ……… 90

DAFTAR PUSTAKA ……… 91


(13)

ix

TABEL 3.1 ……….. 46

TABEL 3.2 ……….. 48

TABEL 3.3 ……….. 49

TABEL 3.4 ……….. 51

DAFTAR GAMBAR GAMBAR 3.1 ……… 44

GAMBAR 3.2……….. 50

GAMBAR 4.1……….. 61


(14)

1 A. Latar Belakang Masalah

Dalam kehidupan sosial, manusia tidak dapat dikatakan berinteraksi sosial kalau tidak berkomunikasi. Komunikasi merupakan hal yang sangat penting bagi manusia. apalagi bagi yang hidup dengan keragaman kebudayaan, menuntut manusia untuk memahami dan berinteraksi dengan budaya lain. Setiap sesuatu yang berkaitan dengan cara hidup manusia adalah budaya. Setiap manusia pun akan berusaha berada dalam tatanan budaya tersebut. Misalnya, cara berbicara, kebiasaan makan dan minum, bahasa sehari-hari dan kegiatan keagamaan tertentu. Hal tersebut merupakan hasil dari penyesuaian serta respon dari manusia, baik individu maupun sosial, terhadap pola-pola budaya yang dikenalnya. Mereka lahir dan dibesarkan dalam bentuk budayanya masing-masing.1

Semakin luas pergaulan dan pengetahuan tentang budaya lain, maka makin besar fungsi, peranan dan tanggung jawab sosial seseorang. Makin sering seseorang terlibat dalam proses komunikasi, maka akan berpegaruh terhadap tingkah lakunya, karena komunikasi pada dasarnya adalah proses penyampaian dan penerimaan lambang-lambang (pesan) yang mengadung

1

Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi


(15)

makna antara komunikator dan komunikannya dengan tujuan mewujudkan kesamaan makna dan kebersamaan. Artinya dengan adanya proses komunikasi yang baik maka akan meminimalisir terjadinya kesalahpahaman baik antar individu, etnik, kelompok atau antar seseorang yang berbeda latar belakang budayanya.

Beberapa tahun terakhir ini, di Indonesia seringkali terdengar konflik terkait dengan suku, agama dan ras (SARA); perusakan rumah ibadah pengikut Ahmadiyah, pembakaran rumah masyarakat Syiah di Sampang pada tahun 2012, konflik Tolikara pada tahun 2015, pelarangan perayaan Asyuro masyarakat Syiah di Bogor, pembakaran rumah ibadah di Singkil, Aceh dan lainnya. Alhasil, Peristiwa pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan sepanjang tahun 2014 dari hasil riset The Wahid Institute berjumlah 158 peristiwa dengan 187 tindakan. Dari jumlah tersebut, 80 peristiwa melibatkan 98 aktor negara; sementara 78 peristiwa melibatkan 89 aktor non-negara. Adapun jumlah korban dari peristiwa pelanggaran ini adalah anggota Syiah dengan 235 korban.2

Konflik internal dalam agama Islam, antara pengikut Sunni dan Syiah tak ada habisnya diperbincangkan oleh masyarakat. Sunni dan Syiah merupakan dua aliran besar dalam perkembangan teologi Islam. Sunni dan Syiah tidak berbeda pendapat perihal fundamen agama, melainkan perbedaan

2

The Wahid Institute, Laporan tahunan kebebasan beragama/berkeyakinan dan intoleransi (Jakarta; The Wahid Institute, 2014)


(16)

diantara mereka terjadi dalam memahami hukum-hukum yang bersifat partikular (al-a]hkam al-Far’iyyah), karena perbedaan cara pandang mereka, khususnya dalam mengambil istinbat dari al-Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas yang digunakan oleh kalangan Sunni dan akal yang digunakan oleh Syiah Imamiyah. Karena itu perbedaan mereka dalam hal-hal yang bersifat parsial merupakan rahmat, berkah, potensi, dan keluasan.3 Perbedaan ini, yang kemudian dijadikan alasan bagi kaum intoleran untuk menyesatkan dan membolehkan perusakan seperti yang terjadi di desa Karanggayam, Omben Sampang 2012 silam.

Jika di daerah lain gesekan antara pengikut Sunni dan Syiah masih sering terjadi. Di Jambesari, desa yang berjarak 12 kilometer ke arah selatan dari Kota Bondowoso, Jawa Timur ini masyarakat golongan Syiah hidup bekelompok dan secara terang-terangan menyatakan keyakinan keSyiah-annya hidup berdampingan dengan masyarakat golongan Sunni penuh dengan keharmonisan. Memang tak dapat dipungkiri, sebelumnya di desa ini Sunni dan Syiah juga pernah terjadi konflik, yakni pada tahun 2006 perusakan rumah dan mobil pengikut Syiah yang sedang menggelar pengajian. Di tahun selanjutnya, 2007 kembali terjadi perseteruan, yakni pembakaran rumah salah seorang tokoh Syiah. Tak hanya itu, dalam prilaku keseharian pun masyarakat Syiah yang minoritas sering mendapat perlakuan yang berbeda. Misalkan,

3Mustofa Rafi’I, Islam Kita: Titik Temu Sunni-Syiah (


(17)

masyarakat Syiah yang notabane bekerja sebagai buruh tani dan kuli bangunan, tidak dipercaya lagi sehingga jarang dipekerjakan. Dalam acara keIslamanpun seperti, akad nikah, selametan sunatan, perayaan maulid Nabi, dan tradisi lainnya, masyarakat Syiah tidak diundang karena sudah dianggap sesat atau bahkan kafir yakni bukan bagian dari Islam. Namun, saat ini di lingkungan ini masyarakat Sunni dan Syiah, kembali hidup rukun dengan mengedepankan persamaan dan tidak mempermasalahkan perbedaan.

Pada dasarnya banyak kesamaan antara Ahlus Sunnah Wal Jamaah

atau (NU) sebutan lain dari Sunni dengan Syi’ah. “NU itu Syi’ah minus Imamah. Syiah itu NU plus Imamah.” Demikian pernyataan populer

Almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Selain itu Gus Dur juga

pernah menyatakan bahwa NU adalah “Syi’ah Kultural”. Agus Sunyoto

mengungkapkan maksud dari pernyataan Gus Dur bahwa NU adalah “Syiah kultural” dari kacamata kebudayaan. Maksudnya, tradisi keIslaman yang dijalankan orang NU memiliki kesamaan secara kultural dengan yang dijalankan orang-orang Syiah, meskipun kedua juga memiliki perbedaan.4

Daniel dan Mahdi sebagaimana yang dikutip oleh Larry A.Samovar dkk, juga menjelaskan walaupun Sunni dan shiite (Syiah) memiliki perbedaan sejak tahun 632, namun Sunni dan shiite (Syiah) memiliki banyak kesamaan. Dalam tulisannya Daniel dan Mahdi menjelaskan,

4

Purkon Hidayat, Jalan Tasawuf Kebangsaan Gus Dur diakses pada tanggal 12 januari 2016 dari http://www.gusdurian.net/id


(18)

“Mereka menggunakan kitab suci yang sama qur’an,

memercayai pandangan yang sama mengenai Tuhan, menghormati

Nabi yang sama, melakukan shalat yang sama, berdo’a kearah yang sama kepada Tuhan yang sama, berpuasa dalam jumlah hari yang

sama, dan lain.”5 Mereka juga berbagi “etnis, bahasa, makanan, dan

pakaian yang sama.”6

Prof. Dr.Syekh Ahmad Muhammad Ahmad ath-thayyeb pun mengatakan dalam pesannya saat melakukan kunjungan ke Indonesia; Hentikan Konflik Sunni-Syiah kalian bersaudara. Grand Syekh Al-Azhar mengatakan bahwa;

“Syiah beragam, namun mereka adalah saudara, mereka tetap

Muslim, kita tidak bisa serta-merta menghakimi mereka keluar Islam hanya karena satu perkara. Memang tedapat sikap berlebihan, tidak di

semua Syiah dan tidak semua ulama mereka demikian…..”7

Dua aliran kepercayaan dalam Islam ini, dalam kajian komunikasi antarbudaya, dikenal dengan subkultur. Menurut porter dan Samovar subkultur, yaitu komunitas yang menjadi pembeda dengan subkultur lainnya. Dalam kebudayaan masyarakat yang ada dalam lingkungan tempat tumbuh berkembangnya komunitas tersebut ataupun ditempat lain. Adapun yang menjadi pembeda pada komunitas subbudaya adalah ras, etnik, regional, e konomi, dan bahkan perilaku sosial yang menjadikan ciri tersendiri bagi komunitas tersebut.8

5

Samovar L.A, Richard E.P, Edwin R.Mc Daniel, Komunikasi Lintas Budaya (Jakarta: Salemba Humanika. 2010), h.149.

6

Samovar L.A, Richard E.P, Edwin R.Mc Daniel, Komunikasi Lintas Budaya h.149.

7

m.republika.co.id/berita/dunia-Islam/Islam-nusantara diakses pada tanggal, 25 Maret 2016.

8

Deddy Mulyana dan jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi


(19)

Berdasarkan pada latar belakang di atas, penulis memberi judul:

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DAN AGAMA TENTANG

KERUKUNAN UMAT BERAGAMA GOLONGAN SUNNI DAN SYIAH (Studi Kasus Masyarakat Desa Jambesari Kabupaten Bondowoso Jawa Timur)

B. Batasan Dan Perumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Adapun batasan masalah pada penelitian ini adalah komunikasi yang dilakukan oleh golongan Sunni dan Syiah terkait menjalin kerukunan beragama khususnya di desa jambesari. Komunikasi yang difokuskan kepada komunikasi antarbudaya dan agamanya.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, disusunlah rumusan masalah, yaitu:

1. Bagaimana komunikasi antarbudaya dan agama golongan Sunni dan Syiah di Desa Jambesari dalam membangun kerukunan?

2. Mengapa golongan Sunni dan Syiah di Desa Jambesari berhasil membangun kerukunan?


(20)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

A.Untuk mengetahui bagaimana komunikasi antar budaya dan agama golongan Sunni dan Syiah tentang kerukunan di Desa Jambesari. B. Untuk mengetahui mengapa golongan Sunni dan Syiah di desa

Jambesari berhasil membangun kerukunan.

D. Signifikansi Penelitian

Dilihat dari tujuan penelitian tersebut maka manfaat dari penelitian ini dapat dilihat dari segi akademis dan praktis.

1. Manfaat akademis

Peneliti berharap penelitia ini memberikan konstribusi teoritis, dan dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam penelitian selanjutnya dalam studi komunikasi antarbudaya dan agama, serta memberikan konstribusi pada aspek kebudayaan itu sendiri.

2. Manfaat Praktis

Peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan informasi kepada masyarakat tentang komunikasi antarbudaya dan agama masyarakat Sunni dan Syiah di Desa Jambesari dalam membangun kerukunan.


(21)

E. Metodologi Penelitian

1. Paradigma Penelitian

Paradigma adalah suatu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata.9 Pada penelitian ini paradigma yang digunakan adalah

konstruktivisme. Realitas yang ada merupakan hasil konstruksi dari kemampun berfikir seseorang. Dalam paradigma ini, perlu adanya interaksi antara peneliti yang diteliti, agar mampu merekonstruksi realitas yang diteliti melalui metode kualitatif.10 Untuk itu peneliti akan melakukan penelitian terhadap golongan Sunni dan Syiah agar mampu merekonstruksi realitas yang ada.

2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan sifat penelitian deskriptif. Menurut Whitney (1960) dikutip oleh Nazir, metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat.11 Penelitian deskriptif mempelajari masalah-masalah masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan,

9

Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,2010) cet ke-7. h.9.

10

Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, (Teori, Paradigma, dan Discourse Teknologi

Komunikasi di Masyarakat), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), h.238.

11


(22)

serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.12

Jenis metode penelitian kualitatif yang digunakan adalah studi kasus

(case study). Menurut John W. Creswell, studi kasus merupakan strategi penelitian, dimana peneliti menyelidiki secara cermat suatu program, peristiwa, aktivitas, proses atau sekelompok individu.13 Kasus-kasus dibatasi oleh waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan.14 Dilihat dari objek penelitiannya, jenis studi kasus yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumental tunggal (single instrumental case study). Yakni penelitian studi kasus yang dilakukan dengan menggunakan kasus untuk suatu isu atau perhatian. Peneliti memperhatikan dan mengkaji suatu isu yang menarik perhatiannya, dan menggunakan sebuah kasus sebagai sarana (instrument) untuk menggambarkannya secara terperinci. Dalam

hal ini, yakni “konflik antara masyarakat golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari pada tahun 2006, sebagai instrument untuk menggambarkan secara terperinci komunikasi antarbudaya dan agama

12

Moh Nazir, Metode Penelitian h.55

13

John W. Creswell, Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, (Bandung: Pustaka Pelajar, 2008), h.19.

14


(23)

golongan Sunni dan Syiah dalam membangun kerukunan antar umat

beragama”.

Maka pada penelitian ini peneliti mengamati dan berhubungan dengan golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari melalui teknik pengumpulan data wawancara, dokumentasi, dan observasi langsung pada aktifitas komunikasi antarbudaya dan agama golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari dalam membangun kerukunan.

3. Subjek dan Objek Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi Subjek penelitian adalah Golongan Sunni dan golongan Syiah di Desa Jambesari yang menjadi sumber bagi peneliti untuk memperoleh keterangan dalam data. Sedangkan objek penelitiannya adalah bagaimana komunikasi antarbudaya dan agama golongan Sunni dan Syiah tentang kerukunan di Desa Jambesari.

4. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di desa Jambesari, Kecamatan Jambesari Darus Solah, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Adapun waktu penelitian yakni sejak diturunkannya surat ijin melaksanakan penelitian tanggal 27 April-21Juni 2016.

a. Pada tanggal 7 Mei 2016 pukul 09.00 WIB, peneliti melakukan wawancara dengan Qurdi, selaku Sekretaris desa yang bertempat di kantor balai desa Jambesari.


(24)

b. Pada tanggal 10 Mei 2016 pukul 10.00 WIB peneliti melakukan wawancara dengan H.Abdullah selaku tokoh masyarakat golongan Sunni di desa Jambesari.

c. Pada tanggal 13 Mei 2016 pukul 10.00 WIB peneliti melakukan wawancara dengan Ahmad Rowi, selaku tokoh masyarakat Syiah desa Jambesari, bertempat dikediamannya di RT 07 RW 012 desa Jambesari.

d. Pada tanggal 13 Mei 2016 pukul 13.00 WIB peneliti melakukan wawancara dengan Mukhlis, selaku salah seorang tokoh masyarakat Syiah di kediamannya yang bertempat di RT 07 RW 012 desa Jambesari.

e. Pada tanggal 15 Mei 2016 pukul 13.00 WIB peneliti melakukan wawancara dengan Abdur Rahim, salah seorang golongan Sunni yang bekerja sebagai buruh tani.

5. Sumber Data

Untuk memperoleh data-data yang lengkap dan akurat, disini peneliti menggunakan data primer dan data sekunder.

a. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari narasumber berupa hasil temuan penelitian observasi serta wawancara dengan masyarakat Syiah dan Sunni di desa Jambesari.

b. Data sekunder diperoleh dari sumber-sumber tertulis yang terdapat dalam buku, jurnal, kutipan-kutipan, dokumenatasi atau arsip-arsip


(25)

dan literatur lainnya yang berkaitan dengan penelitian mengenai

komunikasi antarbudaya, masyarakat syi’ah dan Sunni.

6. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini, peneliti menggunakan tiga tehnik dalam pengumpulan data, yaitu:

a. Observasi

Observasi yaitu dasar semua ilmu pengetahuan, karena ilmuan hanya dapat bekerja berdasarkan data atau fakta mengetahui dunia kenyataan yang diperoleh melalui observasi. Marshall mengatakan bahwa melalui observasi, peneliti belajar tentang perilaku, dan makna dari perilaku tersebut.15 Dalam hal ini peneliti mengamati langsung proses komunikasi antarbudaya dan agama golongan Sunni dan Syiah.

b. Interview (wawancara) mendalam

Untuk memperoleh data yang diperlukan, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan metode wawancara, suatu teknik yang dianggap tepat dalam mendapatkan informasi. Karena itu, peneliti melakukan wawancara bebas terpimpin (semi structured interview), yaitu wawancara dengan menggunakan interview guide atau pedoman wawancara yang

15


(26)

dibuat berupa daftar pertanyaan.16 Wawancara dilakukan secara bebas, tetapi menggunakan pedoman wawancara yang baik dan benar agar pertanyaan terstruktur dan terarah.

Dalam hal ini peneliti telah melakukan tanyajawab/wawancara kepada beberapa golongan Sunni dan Syiah di Desa Jambesari. Wawancara ini bertujuan untuk menggali keterangan lebih mendalam seputar kerukunan golongan Sunni dan Syiah di desa tersebut. Adapun Narasumber pada penelitian ini adalah; Bapak Qurdi selaku Sekretaris desa Jambesari, Bapak H.Abdullah selaku tokoh masyarakat golongan Sunni, Bapak Abdur Rahim selaku masyarakat golongan Sunni. Bapak Ahmad Rawi selaku tokoh masyarakat golongan Syiah, dan Bapak Mukhlis selaku tokoh masyarakat golongan Syiah.

c. Dokumentasi

Studi dokumen merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam penelitian kualitatif.17 Menurut Burhan Bungin, metode dokumenter adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodelogi penelitian

16

Denzin, Norman K, Lincoln, Yonna S, Handbook of Qualitative Research, Dariyanto dkk (edisi terjemahan Indonesia), (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2009).

17


(27)

sosial. Pada intinya, metode dokumenter adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data historis. 18

F. Teknik Analisis Data

Pada penelitian studi kasus kualitatif teknik analisis datanya adalah

Description, Themes, Assertions19 sebagai berikut: a) Description

Sejak kehadirannya pada tahun 2006 di desa Jambesari, paham Syiah tidak diterima dengan baik oleh masyarakat setempat. Hal ini, diduga karena paham Syiah memiliki ajaran yang berbeda dengan ajaran yang dipahami masyarakat setempat, khususnya ajaran dari para sesepuh desa Jambesari. Beragam isu negatif yang ditujukan kepada masyarakat golongan Syiah, mulai dari cara shalat berbeda, bisa tukar menukar istri, al-Qur’annya berbeda, dan semacamnya. Sehingga terjadinya bentrokan antara pengikut kedua golongan tersebut. Namun, lambat laun masyarakat Jambesari pengikut kedua golongan tersebut semakin dewasa dalam memahami perbedaan.

b) Themes

Jika di daerah lain gesekan antara pengikut Sunni dan Syiah masih sering terjadi. Di Jambesari, desa yang berjarak 12 kilometer ke

18

Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif: Komunikas, Ekonomi, kebijakan Publik, dan

Ilmu sosial Lainnya (Jakarta: kencana Prenada Media group,2005) Cet ke-1, h.121

19

Michael Quinn Patton, How to Use Qualitative Methods in Evaluation (London: SAGE Publications, 1991), hlm. 23


(28)

arah selatan dari Kota Bondowoso, Jawa Timur ini nampak harmonis. Memang tak dapat dipungkiri, sebelumnya di desa ini golongan Sunni dan Syiah juga pernah terjadi konflik, yakni pada tahun 2006. Namun, saat ini di lingkungan ini masyarakat Sunni dan Syiah, kembali hidup rukun.

c) Assertions

Dalam bermasyarakat dengan beragam aliran kepercayaan, perlu adanya saling mengedepankan persamaan dan tidak mempermasalahkan perbedaan. Sebab perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang tak perlu dipermasalahkan.

G. Pedoman Penelitian

Pedoman penelitian ini adalah buku Pedoman Penelitian Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) karangan Hamid Nasuhi dkk, yang diterbitkan oleh CeQDA UIN Jakarta 2015.

H. Tinjauan Pustaka

Dalam menentukan judul ini peneliti sudah melakukan tinjauan terhadap skripsi atau penelitian terdahulu. Harus diakui bahwa kajian mengenai Sunni dan Syiah telah banyak dilakukan oleh berbagai pihak. Berdasarkan pengamatan langsung peneliti di perpustakaan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengenai skripsi ataupun tesis yang


(29)

membahas tentang Sunni dan Syiah. Peneliti meninjau pada skiripsi atau penelitian yang sudah ada, yang berkaitan dengan judul yang dianalisis peneliti seperti;

Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Syukri, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam tahun 2013, dengan judul “Komunikasi Antarbudaya (Studi pada Pola Komunikasi Masyarakat Suku Betawi dengan Madura dikeluarahan Condet Batu Ampar)”. Penelitian tersebut menekankan pola lain dari komuikasi antarbudaya masyarakat suku Betawi dengan Suku Madura, dalam konteks keagamaan. Serta, lebih banyak mengunakan pola komunikasi antarpribadi dan kelompok. Adapun perbedaanya dengan penelitian ini adalah terletak pada subjek penelitiannya. Yang menjadi subjek penelitian dalam penelitian Ahmad adalah warga suku Betawi dan Madura di kelurahan Condet Batu Ampar. Sedangkan Subjek pada penelitian ini adalah golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari. Namun objek penelitian dari keduanya yaitu sama-sama membahas tentang kajian komunikasi antarbudaya.

Penelitian lain yang dilakukan Ita Anastianah, dengan judul “Elite & Konflik Komunal Keagamaan (Studi kasus Konflik Sunni-Syiah Sampang”. Penelitian tersebut mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konflik komunal Sunni dan Syiah di desa Karang Gayam, Sampang. Adapun perbedaanya dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah terletak pada objek penelitian. Yang menjadi objek penelitian dalam penelitian Ita


(30)

adalah konflik komunal antara Sunni dan Syiah yang terjadi di Sampang, Madura. Sedangkan objek penelitian penulis adalah komunikasi antarbudaya golongan Sunni dan Syiah. Namun subjek penelitian keduanya sama-sama golongan Sunni dan Syiah, meskipun lokasi penelitiannya berbeda.

Serta penelitian yang di lakukan oleh Siti Asiyah, Mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam tahun 2013 dengan judul “Pola Komunikasi Antar Umat Beragama (Studi Komunikasi Antarbudaya Tionghoa dengan Muslim Pribumi di RW 04 Kelurahan Mekarsari Tangerang). Penelitian tersebut menemukan pola komunikasi dalam proses akulturasi, asimilasi, dan enkulturasi antara masyarakat Tionghoa dengan Muslim Pribumi di RW 04 kelurahan Mekarsari Tangerang. Adapun perbedaanya dengan penelitian ini adalah terletak pada subjek penelitian. Yang menjadi subjek penelitian dalam penelitian Siti Asiyah adalah warga Tionghoa dengan Muslim pribumi di RW 04 kelurahan Mekarsari Tangerang. Sedangkan Subjek penelitian penulis adalah golongan Sunni dan Syiah di desa Jambesari. Namun objek penelitian dari keduanya yaitu sama-sama membahas dari segi kajian komunikasi antarbudaya.

I. Sistematika Penelitian

Untuk mengetahui gambaran yang jelas tentang hal-hal yang diuraikan dalam penelitian ini, maka penulis membagi sistematika penyusunan ke dalam


(31)

Lima bab. Dimana masing-masing bab dibagi ke dalam sub-sub dengan penulisan sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Terdiri dari latar belakang masalah, batasan masalah dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : KAJIAN TEORI

Terdiri dari teori komunikasi antarbudaya dan agama, hakikat agama dalam komunikasi antarbudaya, agama sebagai kelompok etnik, teori duapuluh andi faisal bakti, komunikasi antarbudaya yang efektif, konsep kerukunan umat beragama, serta konsep golongan Sunni dan Syiah.

BAB III : GAMBARAN UMUM

Adalah gambaran umum objek penelitian yang terdiri dari keadaan geografis, kondisi demografis desa jambesari, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, serta gambaran umum tentang kehidupan masyarakat golongan Sunni dan Syiah setempat.

BAB IV : KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DAN AGAMA

GOLONGAN SUNNI DAN SYIAH DI DESA


(32)

Adalah penyajian data-data yang diperoleh dari hasil penelitian, berikut analisanya. Yaitu tentang komunikasi antarbudaya dan agama golongan Sunni dan Syiah tentang kurukunan di Desa Jambesari, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Serta mengapa golongan Sunni dan Syiah berhasil menjalin kerukunan.

BAB V : PENUTUP

Adalah bab penutup dari tulisan ini yang berisi tentang kesimpulan dan saran.


(33)

20

A. Teori Komunikasi Antarbudaya dan Agama

Istilah “antarbudaya” pertama kali diperkenalkan oleh seorang

antropolog, Edward T. Hall pada tahun 1959 dalam bukunya The Silent

Language. Hakikat perbedaan antarbudaya dalam proses komunikasi dijelaskan satu tahun setelahnya, oleh David K. Berlo melalui bukunya The

Process of Communication (an introduction to theory and practice). Dalam tulisan itu Berlo menawarkan sebuah model proses komunikasi. Menurutnya, komunikasi akan berhasil jika manusia memperhatikan faktor-faktor SMCR, yaitu: source, messages, channel, receiver.1

Menurut teori komunikasi antarbudaya, Edward T. Hall, teori hall mengaitkan komunikasi dengan budaya memiliki hubungan sangat erat. Menurutnya, communication is culture and culture is communication. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu cara untuk menyebarluaskan norma-norma budaya masyarakat, baik secara horizontal dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya secara turun temurun. Pada sisi lain, budaya merupakan norma-norma atau nilai-nilai yang dianggap sesuai untuk kelompok tertentu.

1

Alo Liliweri, Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) Cet ke-IIh.1.


(34)

Pada dasarnya, komunikasi dan budaya ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan dan saling mempengaruhi satusama lain. Budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana komunikasi berlangsung, tetapi budaya juga turut menentukan bagaimana orang menyandi pesan, makna yang ia miliki untuk pesan dan kondisi-kondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku manusia sangat bergantung pada budaya tempat manusia tersebut dibesarkan. Konsekuensinya, budaya merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi.2

Adapun pengertian komunikasi antarbudaya (intercultural

Communication) adalah komunikasi yang terjadi diantara orang-orang dari kultur yang berbeda, yakni antara orang-orang yang memiliki kepercayaan, nilai dan cara berperilaku kultur yang berbeda.3

Berikut pengertian komunikasi antarbudaya menurut para ahli;

1) Andrea L.Rich dan Dennis M.Ogawa mendefinisikan komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan, misalnya antara suku bangsa, antara etnik dan ras, antar kelas social.4

2) Charley H.Dood mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya meliputi komunikasi yang melibatkan peserta komunikasi yang mewakili

2

Mulyana dan Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan Berkomunikasi dengan

Orang-orang Berbeda Budaya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005) h.20.

3

Devito, Joseph A. Komunikasi Antar Manusia (Tangerang: Kharisma Publishing Group. 2011) h. 535

4

Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2013) h.10


(35)

pribadi, antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang mempengaruhi perilaku komunikasi para peserta.

3) Andi Faisal Bakti dalam beberapa teori dua puluh sering menyebutkan bahwa komunikasi antarbudaya melibatkan suatu kelompok, golongan, agama, dan budaya terdiri atas nilai-nilai, persepsi adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa komunikasi antarbudaya menurut Andi Faisal Bakti adalah komunikasi yang terjadi melibatkan orang secara individu atau kelompok yang mempunyai latar belakang yang berbeda.5

Komunikasi antarbudaya adalah proses pertukaran pikiran dan makna antara orang-orang berbeda budaya. Komunikasi antarbudaya pada dasarnya mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi, apa makna pesan verbal dan non verbal menurut budaya-budaya bersangkutan, bahasa bisa saja sama, tetapi kemungkinan bisa berbeda maknanya.

Menurut Alo liliweri, Pendekatan komunikasi antarbudaya memiliki wajah ganda.6 Pertama, jika ditinjau dari perspektif sosiologi komunikasi, komunikasi antarbudaya membahas peranan agama dan kelompok keagamaan dalam proses pembudayaan dan pembudidayaan, pengalihan nilai dan norma (penyebaran) agama dari dan ke suatu kelompok dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini berarti sosiologi komunikasi mempelajari bentuk, sifat, cara,

metode, teknik “penyebarluasan dan norma dan nilai agama terhadap

intrakelompok maupun terhadap ekstern agama dan kelompok keagamaan.

5

Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South

Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program, (Jakarta: INIS, 2004) h. 128.

6

Alo Liliweri, Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011) Cet ke-IIh.254.


(36)

Kedua, kelompok keagamaan dan bahkan agama sekalipun dapat dipandang sebagai satu etnik yang tetap mempertahankan sistem norma dan nilai sehingga menimbulkan kesan agama bersifat eksklusif, tertutup, sehingga tentu ada tatanan yang mengatur cara seorang menjadi anggota suatu agama.

Pada akhirnya sangat penting dalam pembelajaran komunikasi antarbudaya, memahami terhadap apa yang dipercayai orang tentang bagaimana dunia ini kelihatannya dan berjalan. Sebagaimana dikatakan Paden dalam Samovar;

“Belajar tentang agama...mempersiapkan kita untuk memasuki

tempat dan kebiasaan lain dan berbagai versi dari hal yang sakral maupun tidak sakral; juga untuk menerjemahkan dan menghargai bahasa dan perilaku yang berbeda. Oleh karena itu, pengetahuan

tentang orang lain mempunyai peranan yang penting.”7

1. Hakikat Agama dalam komunikasi antarbudaya

Sulit dipisahkan antara masyarakat dengan agama, sebab agama menurut Liliweri adalah sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat yang menginterpretasi dan memberi respons terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang ghaib dan suci.8

Sebagai suatu sistem keyakinan yang membentuk perilaku keseharian penganut agamanya, maka sangat erat kaitannya antara agama dengan budaya yang merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa dari manusia. Hal

7

Larry A.Samovar dkk, Komunikasi Lintas Budaya (Jakarta; Salemba Humanika, 2010) h.126.

8

Alo Liliweri, Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya (Jakarta; Pustaka Pelajar 2011) Cet ke-2, h.254


(37)

ini juga dipertegas Lamb dalam samovar mengatakan kaitan antara agama dan budaya adalah sangat jelas. Guruge juga mengatakan agama dan peradaban saling bergandengan tangan dalam evolusi manusia sampai tahap yang tidak dapat disimpulkan seseorang dimana keduanya setara dan berdampingan.9

Pada akhirnya, agama dan budaya saling mengisi dan melengkapi dimana agama mempengaruhi dan membentuk budaya sedangkan budaya dibatasi dengan nilai-nilai agama, sehingga sulit memisahkan hubungan keduanya.

2. Agama sebagai kelompok etnik

Manusia yang berkelompok berdasarkan keyakinan, kepercayaan, iman terhadap sesuatu yang bersifat sakral disebut kelompok agama. Karena itu, agama dapat dipandang sebagai suatu kelompok etnik. Secara historis dapat disaksikan bahwa agama sebagai kelompok etnik itu mewakili suatu populasi tertentu yang kita kenal keberadaannya dalam suatu masyarakat.10 Sebagai contoh, masyarakat yang berkeyakinan Syiah adalah kelompok internal dalam agama islam yang memiliki ciri berbeda dengan kelompok yang laiinya.

Keberadaan kelompok agama dapat dilihat berupa simbol dan tanda, materi, pesan-pesan verbal dan nonverbal, petunjuk berupa materi dan immaterial, bahkan sikap dan cara berpikir yang sifatnya abstrak.

9

Larry A.Samovar dkk, Komunikasi Lintas Budaya, h.126.

10


(38)

Pada akhirnya menurut Alo Liliweri setiap kelompok agama hadir dan diakui karena:

1) Para anggota kelompok mampu berkembang dan bertahan dengan mempunyai jumlah tertentu.

2) Kehadiran kelompok itu diterima karena tidak membawa bibit perpecahan

3) Adanya kesamaan nilai antar kelompok yang diimani secara sadar, sehingga menumbuhkan rasa untuk selalu bersama-sama.

4) Membangun komunikasi dalam kelompok secara teratur.

5) Mampu menentukan perbedaan ciri-ciri kelompok dengan kelompok yang lainnya.

6) Terkadang memiliki wilayah pengaruh dan kekuasaan.11

Secara universal agama berfungsi sebagai; fungsi edukatif, penyelamatan, pengawasan sosial, transformatif dan persaudaraan.

1) Fungsi Edukatif. Yakni, agama berperan mengajarkan kepada para pemeluknya nilai-nilai dan norma serta membimbing untuk menjalankan dalam kehidupan.

2) Fungsi Penyelamatan. Yakni, agama berperan untuk menyadarkan para pemeluknya terhadap keselamatan di dunia dan akhirat.

11


(39)

Sehingga dengan adanya kesadaran terhadap keselamatan, akan mempengaruhi sikap atau perilaku penganutnya untuk selalu berbagi kebaikan kepada seluruh mahluk.

3) Fungsi Pengawasan Sosial. Yakni agama menjadikan penganutnya peka terhadap segala persoalan dalam kehidupan, sehingga dengan adanya kepekaan tersebut tidak bisa menjadikan para penganutnya hanya berdiam diri menyaksikan suatu persoalan.

4) Fungsi memupuk persaudaraan, Artinya setiap agama mengajarkan untuk saling menghargai dan menghormati keyakinan setiap orang baik intern umat beragama maupun antar umat beragam.

5) Fungsi transformatif, agama mewariskan nilai-nilai baru kepada masyarakat, misalnnya inkulturasi yang proses penerapannya melalui pemanfaatan media digital untuk menyebarkan agama.

6) Fungsi khusus agama, menjalankan tugas dan fungsinya melalui pemeliharaan ciri khas, kekhususan, inkulturasi dengan masyarakat budaya lokal. Misalnya kesatuan sosiologis unsur kesamaan darah, Bahasa, dan daerah.12

B. Teori Komunikasi Antar Agama dan Budaya (KAAB) Andi Faisal Bakti

Teori dua puluh ini menunjukkan keadaan budaya kolektif yang masih kaku (konservatif) dan lawannya yaitu keadaan budaya yang sudah elastis,

12


(40)

dapat mengadopsi budaya lain di luar budayanya sendiri (transformatif).13

Teori ini menggambarkan keadaan peradaban timur dan barat. Lalu, dalam teori dua puluh ini dimunculkan pula solusi yang ditawarkan oleh Islam atas dua corak komunikasi antarbudaya yang tergambar dari teori duapuluh.

No Kaum Konservatif Kaum Transformatif Islam

1 (Être pensé par sa culture) Suatu kelompok, golongan, agama, dan budaya terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang dikendalikan atau dikontrol oleh budayanya (masa lalu).

(Penser sa culture) Suatu kelompok, golongan, agama, dan budaya terdiri atas nilai-nilai persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang berupaya untuk mengubah budayanya. Baik itu yang sekarang maupun masa depan. Hal ini sangat berkaitan dengan budaya lain yang dikembangkan untuk masa depan.

Al-muhafadzo tu „ala al -qadim al-sholih wa al-akhdzu bi al-jadid al-aslah.

2 Hériter la culture: Suatu kelompok,golongan,agama, dan budaya terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang mewarisi budayanya dari masa lalu dan mewariskannya kepada generasi yang akan datang.

Acquérir la culture: Suatu kelompok ,golongan, agama, dan budaya terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang berupaya untuk mendapatkan kultur-kultur yang baru dan berbeda dari warisan keluarga dan budayanya. Dengan kata lain lebih produktif

Al-muhafadzo tu „ala al -qadim al-sholih wa al-akhdzu bi al-jadid al-aslah.

13

Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in Indonesia: South


(41)

dalam mendapatkan kultur yang baru.

3 Submission: Sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang hanya tunduk kepada budayanya sendiri dan tidak terpengaruh dengan ajaran lain yang bertentangan dengan budayanya sendiri.

Egalitarian/Emancipation:

Sekelompok masyarakat,

agama, dan budaya yang mengikuti aturan-aturan lain dan bersikap egaliter atau tidak tunduk serta ingin bebas dari cengkraman yang sudah ada.

al-Islam

4 Adoration of scriptures: Sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang sangat mencintai atau menyukai teks agamanya (kitab sucinya).

Interpretation of sciptures

(ijtihād): Sekelompok masya-rakat, agama, dan budaya yang memaknai atau memahami teks (kitab suci) yang menjadi pegangannya

Ijtihād.

5 Textualist: Sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang percaya teks sebagai suatu kebenaran. Dengan kata lain teks yang berkata-kata atau berbicara.

Contextualist: Sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang percaya kepada konteks dan pemahamannya tidak secara harfiah.

al-tafsir

6 Gemeinschaft: Sekelompok masyarakat, agama, dan budaya

yang ingin membangun

kelompoknya berdasarkan komunitasnya.

Gesellschaft: Sekelompok masyarakat, agama, dan budaya

yang ingin membangun

kelompoknya berdasarkan

societas.

al-ummah

7 Reproduction: Sekelompok masyarakat, agama, dan budaya yang memproduksi budaya dan

Creation and trust in foreigners:

Sekelompok masyarakat,

agama, dan budaya yang tidak harus memproduksi generasi

Al-Amanah.


(42)

keluarganya. yang sama. Akan tetapi dari budaya yang sama dan memiliki kreasi dengan keadaan sekarang 8 Fundamentalism: Pemikiran

KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang berdasarkan pada pondasi utama ajaran agama, bangsa, negara, dan masyarakat tertentu. Dengan kata lain dianggap sebagai kekuatan yang absolut. Fundamentalism berasal dari Protestan yang anti teknologi dan sains.

Rationalism/Secularization: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang berdasarkan rasionalisme atau akal bukan

pada kitab dan lebih

mementingkan dunia. Kedua teori tersebut dalam Islam disebut dengan ihsan.

Ihsan.

9.

Geographical immobility: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang tidak mau pindah-pindah dan lebih mengutamakan menetap di suatu tempat.

Geographical mobility: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang lebih

mengutamakan

berpindah-pindah.

Hijrah.

10. Je me souviens: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang cenderung mengingat masa lalunya yang harus dipertahankan. Dan ini lebih mengarah kepada

Déracinement: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang tercerabut dari

akar-akarnya. Artinya

meninggalkan masa lalu untuk menatap masa depan yang lebih


(43)

hal-hal yang negatif. baik dan lebih pasti.

11. Paganism (Idol worshipping): Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan

perasaan yang melakukan

penyembahan kepada yang selain Tuhan. Baik itu terhadap sesajen, jimat, dukun atau membaca ayat-ayat tertentu untuk tujuan tertentu.

Monotheism (Idol

destruction)/Humanism (God created by humans): Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang percaya kepada Tuhan yang satu.

Al-Tauhid.

12. Imposition/Holy war/Proselytism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan

perasaan yang cenderung

memaksakan agama dengan cara-cara berupa bujukan, rayuan, paksaan, tekanan, intimidasi atau dengan cara melalui perang suci.

Negotiation: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang mengutamakan sama rata dan sama rasa.

Al-musyawar ah

13. Nationalism/Tribalism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang sangat menekankan nasionalisme atau kesukuan/fanatik.

Universalism/Internationalism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat

istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan,

pola pikir, dan perasaan yang sangat mengutamakan universal. Dalam arti tanpa ada sekat-sekat.

Al -Ta„Aruf.


(44)

14. Orthodoxy/Traditionalism:

Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat,

kebiasaan, tra- disi, kreasi, kepercayaan, pola

pikir, dan perasaan yang ingin

mempertahankan budaya tradisional yang ada dan

masih bersifat ortodoks.

Protestantism/Modernism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat

istiadat, kebiasaan, tra- disi, kreasi, kepercayaan, pola

pikir, dan perasaan yang

mengikuti perkembang-

an secara modern dan lebih maju.

Al-Maslahah.

15 Sectarian communitarianism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yag patuh hanya kepada golongan/ komunitasnya saja.

Global communitarianism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kreasi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang lebih terbuka tetapi hanya kepada agamanya saja

Al-Qaum.

16. Cul./Lang./Competence/Inheritenc

e: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang berdasarkan kemampuan berbahasa budaya yang didapat atau diperoleh atau diwariskan dari masa lalu.

Cult./Lang./Competence

acquisition: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang memiliki penguasaan bahasa melalui proses pembelajaran.

al-Ta„lim.

17. Dependency/Egoism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang cenderung kepada orang/bangsa yang mampu

Interdependency/Solidarity: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai- nilai, persepsi, adat

istiadat, kebiasaan, tradisi, kepercayaan, pola pikir, dan

perasaan yang mengutamakan

Al-Ta„Awun.


(45)

dan egois akan tetapi sangat bergantung kepada yang lain.

saling tolong-menolong dan bantu-membantu.

18. Exclusivism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang menolak orang lain untuk masuk ke dalam kelompoknya.

Inclusivism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang bersedia menerima orang lain.

Al-Washatiya h.

19. Vernacular language: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan,

tradisi, keper- cayaan, pola pikir, dan perasaan

yang cenderung belajar bahasa sendiri/lokal

Vehicular language: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai- nilai, persepsi, adat istiadat,

kebiasaan, tradisi, keper- cayaan, pola pikir, dan perasaan

yang belajar bahasa

pengetahuan/bahasa lain.

Al-Lisan.

20. Parochialism: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang menyampaikan ajaran secara kaku.

Flexibility: Pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kepercayaan, pola pikir, dan perasaan yang menyampaikan ajaran secara elastis/lentur.

Tasamuh.

Tabel 2.1

Tabel di atas menjelaskan tentang karakteristik pemikiran KAAB yang terdiri atas nilai-nilai, persepsi, adat istiadat, kebiasaan, tradisi, kepercayaan,


(46)

pola pikir dan perasaan setiap kelompok masyarakat, agama maupun budayanya. Lebih lanjut, Teori ini menerangkan tentang macam-macam budaya dengan beberapa ketentuan dan pengelompokannya. Teori tersebut berjumlah dua puluh.

C. Faktor yang mempengaruhi Komunikasi Antarbudaya

Kebudayaan merupakan landasan komunikasi. Bila budaya beraneka ragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasi.14

Komunikasi antarbudaya diharapkan dapat membantu memahami perbedaan budaya yang dapat mempengaruhi praktik-praktik komunikasi. Komunikasi antarbudaya juga diharapkan dapat mengidentifikasi hambatan-hambatan yang muncul dalam komunikasi antarbudaya sekaligus mengatasi masalah tersebut.

Hammer (1989), Ruben (1977) Olebe dan Koester 1989, serta Kealey (1989) sebagaimana dikutip Alo Liliweri, mengemukakan bahwa paling tidak ada dua faktor yag paling berpengaruh terhadap komunikasi antarbudaya,15

yakni;

1. Faktor Kognitif

Ruben (1977) mengemukakan bahwa terjalinnya komunikasi antarbudaya pada umumnya dan perilaku antarbudaya pada khususnya ditentukan oleh pengetahuan, pengalaman dan pikiran

14

Deddy Mulyana dan jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya Panduan

Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, h.18.

15

Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2013) h.265.


(47)

yang membentuk konsep antarbudaya.16

Kata Ruben, seseorang yang bekerja dalam suatu organisasi, melaksanakan komunikasi antarbudaya secara intensif hanya jika dia mempunyai apresiasi terhadap pekerjaan dan tugas yang dibebankan kepadanya. Yang terpenting adalah bagaimana dia menampilkan kekuatan untuk membangun kebudayaan pribadinya melalui gaya antarpribadi, dan kerjasama antarbudaya. Dengan demikian, perhatian terhadap kebudayaan tetaplah penting dalam proses komunikasi antarbudaya.

2. Faktor Gaya Pribadi

Gaya pribadi atau perilaku gaya sering disebut

(self-oriented).17

Studi ini mengacu pada pendapat Kealey bahwa komunikasi antarbudaya yang berdasarkan orientasi diri dapat mengubah efektivitas komunikasi menjadi komunikasi yang disfungsional. Hal ini disebabkan karena orang terlalu menampilkan

self-oriented yang berlebihan sehingga orang itu menjadi congkak, dan menunjukkan gagasan yang tidak menarik atau membosankan. Berikut beberapa bentuk gaya pribadi yang seringkali tampil dalam komunikasi antarpribadi;

a) Etnosentrisme

16

Alo Liliweri, Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya, h.266.

17


(48)

Etnosentrisme adalah suatu perasaan superior atau keunggulan dari suatu kelompok orang yang menganggap kelompok lain lebih inferior dan kurang unggul.18 Perasaan merasa dirinya atau kelompoknya lebih unggul dari yang lainnya ini, dapat mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya. Menurut Tucker dan Baier (1985) dikutip Alo Liliweri, kemampuan komunikasi saja belum cukup membuat seseorang bersikap kritis atau cermat dalam penyesuaian antarbudaya tetapi mencoba untuk menghilangkan sikap merasa diri lebih unggul daripada orang lain.

b) Toleransi, Sikap Mendua dan Keluwesan

Dalam proses komunikasi antarbudaya seringkali orang kurang mampu bereaksi terhadap sebuah situasi baru atau situasi yang mendua, dengan kata lain komunikasi antarbudaya mengandung sifat mendua,19 karena kita menghadapi dua ketidakpastian kebudayaan, yakni kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain. Hal ini sekaligus yang menjadi hambatan dalam efektivitas komunikasi antarbudaya. Singkatnya, apabila dua orang atau lebih yang berbeda latabelakang budayanya berhasil menghadapi situasi yang tidak

18

Larry A.Samovar dkk, Komunikasi Lintas Budaya, h.214.

19


(49)

dapat dipahami, atau situasi yang mendua maka orang tersebut telah bersikap toleran terhadap situasi ini.

c) Empati

Empati merupakan kemampuan untuk merasakan, melihat secara akurat, dan memberikan respons secara tepat kepada kepribadian, hubungan, dan lingkungan sosial seseorang.20

Broome dalam samovar mengatakan bahwa empati merupakan hal yang penting dalam kompetensi komunikasi yang umum dan merupakan karakter utama dari komunikasi antarbudaya yang kompeten dan efektif.21

Maka dari itu dapat dikatakan bahwa empati merupakan dasar untuk terjalinnya komunikasi antar orang-orang yang berbeda latarbelakang budayanya.

d) Keterbukaan

Devito (1989) dalam penelitiannya mencatat bahwa keterbukaan pribadi (Self-disclosure) dan keluwesan pribadi

(Self flexibility) merupakan faktor penting untuk menciptakan relasi antarpribadi yang maksimum.22

Dengan keterbukaan bukan berarti bahwa setiap orang harus membuka diri seluas-luasnya, namun membuka kesempatan untuk sama-sama

20

Larry A.Samovar dkk,Komunikasi Lintas Budaya, h.466

21

Larry A.Samovar dkk, Komunikasi Lintas Budaya h.214.

22


(50)

mengetahui informasi tentang diri maupun tentang lawan bicara.

e) Kompleksitas Kognitif

Kompleksitas kognitif mengacu pada kemampuan pribadi untuk mengetahui, dan mengalami orang lain. Secara umum dapat dikatakan bahwa kompleksitas kognitif individu membuat seorang semakin akurasi menentukan dan mengembangkan kesan terhadap orang lain.

f) Kenyamanan Antarpribadi

Pelbagai penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan dan interaksi antarpribadi berkaitan dengan prinsip efektivitas. Apabila anda merasa tidak nyaman, tidak tenang dan tidak percaya dengan relasi antarpribadi dalam kebudayaan anda, maka anda pun merasa tidak lebih nyaman, tidak tenang, dan tidak percaya dalam kebudayaan yang berbeda dengan anda. g) Kontrol Pribadi

Terjalinnya komunikasi antarbudaya juga sangat tergantung pada sejauh mana perseorangan dapat mengontrol pribadi terhadap lingkungan sekitarnya. Tucker dan Baier (1985) dikutip oleh Liliweri menemukan ada hubungan yang signifikan antara kontrol pribadi dan tampilan pribadi dengan penyesuaian budaya. Penelitian lain menunjukkan bahwa ada


(51)

hubungan antara pandangan hidup pribadi, kecenderungan untuk pasrah dengan penyesuaian pribadi (Dood 1987). 23

h) Kemampuan Inovasi

Inovasi merupakan salah satu bentuk perubahan sosial yang dilakukan melalui penyebarluasan informasi dan teknologi baru melalui sistem sosial suatu masyarakat.

i) Harga diri

Harga diri (self esteem) sangat menentukan terjalinnya komunikasi antarbudaya. Seorang komunikator dituntut untuk memiliki inisiatif untuk berelasi dan menyesuaikan diri dengan komunikan. Artinya, seorang komunikator tidak mempertahankan harga dirinya, sebab komunikator akan semakin sulit berkomunikasi dengan komunikan, begitupun sebaliknya, jika perasaan “rendah diri” menyelimuti komunikator maka keadaan psikologis itu dapat menghambat komunikasi antarbudaya.

j) Keprihatinan dan Kecemasan Komunikasi

Dodd (1987) dikutip oleh Liliweri (2013) mengatakan bahwa kecemasan komunikasi antarpribadi, kecemasan dalam kelompok, serta kecemasan atas publisitas dapat berdampak

23


(52)

atas penyesuaian antarbudaya yang pada gilirannya mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya.

3. Faktor-faktor Lain

Adapun faktor-faktor lain yang turut mempengaruhi terjalinnya komunikasi antarbudaya adalah sebagai berikut;

a) Faktor Keramahtamahan

Faktor keramahtamahan atau friendliness juga merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya. Meskipun batas keramahtamahan antarbudaya yang satu dengan yang lain sangat relatif tetapi pada umumnya setiap kebudayaan mengajarkan keramahtamahan dalam komunikasi antarpribadi.

b) Faktor Motivasi

Motivasi merupakan satu aspek psikologi, antarbudaya. Berbagai fakta menunjukkan bahwa keberhasilan komunikasi ditentukan oleh orang yang memperhatikan faktor-faktor psikologi, atau memperhatikan faktor-faktor apa saja yang mendorong komunikasi.

c) Faktor Akulturasi

Akulturasi merupakan proses pertemuan unsur-unsur kebudayaan yang berbeda yang diikuti dengan pencampuran


(53)

unsur-unsur tersebut namun perbedaan diantara unsur-unsur asing dengan yang asli masih tampak.

d) Faktor Umur

Dalam beberapa kebudayaan, penghargaan

antarmanusia sangat ditentukan oleh umur. Dikalangan orang jawa, mereka yang berusia lebih muda tidak diperkenankan menatap mata orang yang lebih tua. Hal semacam ini, menunjukkan bahwa perbedaan umur antarpribadi sangat mempengaruhi efektivitas komunikasi antarbudaya.

e) Faktor Pekerjaan

Dalam masyarakat yang distratifikasi berdasarkan jenis-jenis pekerjaan menunjukkan bahwa faktor pekerjaan turut menghambat efektivitas komunikasi. Misalnya, seorang atasan dengan bawahan, hubungan antarpekerja ini akan ditentukan oleh aturan organisasinya.

D. Konsep Kerukunan Umat Beragama

Secara etimologi kata kerukunan berasal dari bahasa Arab, yaitu

ruknun yang berarti tiang, dasar, sila. Jamak dari ruknun ialah arkan yang berarti bangunan sederhana yang terdiri atas berbagai unsur. Jadi, kerukunan itu merupakan satu kesatuan yang terdiri atas berbagai unsur yang berlainan


(54)

dan setiap unsur tersebut saling menguatkan.24

Dalam bahasa Indonesia arti rukun ialah:

1. Rukun (nominal), berarti: Sesuatu yang harus di penuhi untuk sahnya pekerjaan, seperti tidak sahnya manusia dalam sembahyang yang tidak cukup syarat, dan rukunya asas, yang berarti dasar atau sendi: semuanya terlaksana dengan baik tidak menyimpang dari rukunnya agama.

2. Rukun (ajektif) berarti: Baik dan damai tidak bertentangan: hendaknya kita hidup rukun dengan tetangga, bersatu hati, sepakat. Merukunkan berarti: (1) mendamaikan; (2) menjadikan bersatu hati. Kerukunan: (1) perihal hidup rukun; (2) rasa rukun; kesepakatan: kerukunan hidup bersama.25

Kerukunan juga diartikan sebagai kehidupan bersama yang diwarnai oleh suasana baik dan damai. Hidup rukun berarti tidak bertengkar, melainkan bersatu hati, dan sepakat dalam berfikir dan bertindak demi mewujudkan kesejahteraan bersama. Didalam kerukunan semua orang bisa hidup bersama

24

Said agil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antaragama (Jakarta: Ciputat Press, 2003) h.4.

25

Imam Syaukani, Kompilasi Kebijakan Dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan


(55)

tanpa kecurigaan, dimana tumbuh semangat dan sikap saling menghormati dan kesediaan untuk bekerjasama demi kepentingan bersama.26

Kerukunan hidup umat beragama di Indonesia dipolakan dalam Trilogi Kerukunan27

, yaitu:

1) Kerukunan intern masing-masing umat dalam satu agama

Ialah kerukunan di antara aliran-aliran/paham-pahm/mazhab-mazhab yang ada dalam suatu umat atau komunitas agama.

2) Kerukunan di antara umat/komunitas agama yang berbeda-beda Ialah kerukunan di antara para pemeluk agama-agama yang berbeda-beda yaitu di antara pemeluk Islam dengan pemeluk Kristen Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha.

3) Kerukunan antar umat/komunitas agama dengan pemerintah

Ialah supaya diupayakan keserasian dan keselarasan di antara para pemeluk atau pejabat agama dengan para pejabat pemerintah dengan saling memahami dan menghargai tugas masing-masing dalam rangka membangun masyarakat dan bangsa Indonesia yang beragama.

26

M.Zainuddin Daulay, Mereduksi Eskalasi Konflik Antarumat Beragama di Indonesia (Jakarta:Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI, 2001) h.67

27

Depag RI, Bingkai Teologi Kerukunan Hidup Umat Beragama Di Indonesia, (Jakarta; Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Proyek Peningkatan Kerukunan Umat Beragama di Indonesia, 1997), hal. 8-10


(56)

E. Golongan Sunni dan Syiah 1. Definisi Sunni dan Syiah

Sunni dan Syiah merupakan dua aliran besar dalam teologi Islam. Kedua aliran ini muncul berawal dari persoalan siapa yang berhak menjadi pemimpin pasca wafatnya Rasulullah Saw. Kaum Syiah meyakini bahwa Sayyidina Ali adalah pemimpin pengganti Rasul yang sah. Secara bahasa Syiah berasal dari عيشي -عاش sya‟a -Yasyi‟u yang berarti mengikuti juga berarti menemani. Syiah juga berarti kelompok. Dan berarti pula penolong.28

Yang kemudian diidentikkan dengan pengikut sayyidina Ali (Syiah Ali). sedangkan

Sunnah secara harfiah berarti tradisi, Ahl as-Sunnah berarti orang-orang yang seara konsisten mengikuti tradisi Nabi Muhammad saw.,29

dalam hal ini adalah tradisi Nabi dalam tuntunan lisan maupun amalan beliau serta sahabat beliau. Maka dari itu, Dr.Muhammad at-Tijani

dikutip Husein Ja’far menyatakan as-Syiah hum Ahlussunnah (Kelompok Syiah [imamiyah] mereka itulah Ahlussunnah).30

Sebab, Sayyidina Ali merupakan salah satu sepupu, sahabat, sekaligus menantu Nabi yang konsisten mengikuti, meneladani, dan

28

HM.Attamimy, SYI‟AH; Sejarah, Doktrin dan Perkembangan di Indonesia (Yogyakarta: Graha Guru, 2009) h.1.

29

M.Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? (Jakarta; Lentera Hati, 2007) h.57.

30 Husein Ja’far al

-hadar, Sunni-Syiah di Indonesia: Jejak dan Peluang Rekonsiliasi dalam


(57)

mengajarkan pengikutnya untuk taat pada Sunnah Nabi, sehingga Nabi sendiri dalam hadis mutawatir menyebutnya sebagai pintu Kota ilmu

Nabi “ana madinatul ilmi wa aliyun babuha”. Oleh karena itu, sejak Nabi wafat, Sayyidina Ali menjadi rujukan utama (termasuk oleh tiga khalifah sebelumnya) tentang berbagai urusan agama. Hingga

Khalifah umar penah menyatakan; “jika tidak ada Ali, maka celakalah

Umar, (laula Ali lahalaka Umar)”.31 Begitu pula Sunni, secara bahasa berarti Syiah. Sebab Sunni juga pecinta dan pengikut Sayyidina Ali sebagai salah satu khalifah dari Khulafa ar-Rasyidin. Tentu ulama dan kaum Sunni sangat keberatan jika mereka tidak digolongkan sebagai pecinta dan pengikut Sayyidina Ali. Karenanya secara bahasa,

Ahlussunnah hum asy-Syiah.

2. Pokok-pokok Ajaran Sunni dan Syiah

Kelompok Sunni dan Syiah sama-sama memiliki pokok ajaran. Pokok ajaran keduanya hanya berbeda dalam istilah sedangkan maknanya sama. Kaum Syiah menyebut rukun Islam dengan istilah furu‟ad-din dan rukun iman dengan istilah ushul ad-din. Kaum Sunni menyebut rukun iman dengan Arkanul Iman dan Arkanul Islam untuk rukun Islam.

31

Husein Ja’far al-hadar, Sunni-Syiah di Indonesia: Jejak dan Peluang Rekonsiliasi dalam


(58)

Menurut Syaikh Muhammad Husein al-Kasyif al-Ghitha seorang ulama besar Syiah dikutip oleh Quraish Syihab, pada prinsipnya rukun iman mengandung tiga poin.

“Islam dan iman adalah sinonim, yang keduanya secara umum bertumpu pada tiga rukun yaitu: Tauhid (Keesaan Tuhan), Kenabian, dan Hari Kemudian. Jika seseorang mengingkari salah satu dari ketiganya, maka dia bukanlah seorang mukmin, bukan juga seorang Muslim, tetapi apabila ia percaya tentang keesaan Allah, kenabian penghulu para nabi, yakni Nabi Muhammad SAW., serta percaya tentang hari pembalasan (kiamat), maka adalah seorang muslim yang benar. Dia mempunyai hak sebagaimana hak-hak orang-orang Muslim yang lain. Darah, harta, dan kehormatannya haram diganggu. Kedua kata itu juga (Iman dan Islam) memiliki pengertian khusus yaitu ketiga rukun tersebut ditambah dengan rukun keempat yang terdiri dari tonggak-tonggak, yang atas dasarnya Islam dibina, yaitu shalat, puasa, zakat, haji, dan jihad.32

Keempat rukun inilah yang merupakan prinsip-prinsip iman dan Islam bagi umat Islam secara umum, dan menurut Syaikh Muhammad Husein, tidak ada perbedaan antara golongan Syiah (imamiyah) dengan Ahlussunnah dalam hal itu. Selanjutnya, Syaikh Muhammad Husein dikutip Quraish Syihab menyatakan;

“Syiah imamiyah menambahkan rukun kelima, yaitu

kepercayaan kepada Imam, yang maknanya adalah percaya bahwa imamah adalah kedudukan yang bersumber dari Tuhan sebagaimana kenabian (yang juga bersumber dari Tuhan).33

32

M.Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? (Jakarta; Lentera Hati, 2007) h.86

33

M.Quraish Shihab, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? (Jakarta; Lentera Hati, 2007) h.87


(59)

Imamah atau kepercayaan terhadap imam dalam tradisi syiah bukan merupakan ushuluddin, melainkan hanya ushul al-madzhab yakni hasil elaborasi sesuai tafsiran dan identitas mazhab masing-masing, sebagaimana ditegaskan Ruhullah Imam Khomeini dikutip

oleh Husein Ja’far menyatakan bahwa; “imamah dalam syiah bukanlah ushuluddin, melainkan ushul al-mazhab oleh karena itu, yang mengingkarinya dinilai bukan atau keluar dari Syiah, bukan atau

keluar dari Islam.”34

Ahlussunnah juga berpendapat, sebagaimana kelompok syiah, bahwa iman dan Islam sinonim, serta memiliki perngertian umum dan khusus. Namun, mayoritas Ahlussunnah menyatakan bahwa iman terdiri dari enam rukun, yaitu keimanan kepada: 1) Allah SWT, 2) Para malaikat, 3) Kitab-kitab Suci, 4) Para Rasul, 5) Hari Kemudian, 6) Percaya tentang Qadha dan Qadar. Sedangkan Rukun Islamnya ada Lima hal yaitu, 1) Syahadat, 2) Shalat, 3) Zakat, 4) Puasa, dan 5) Haji.35

34

Husein Ja’far al-hadar, Sunni-Syiah di Indonesia: Jejak dan Peluang Rekonsiliasi dalam

Syiah, Sektarianisme dan Geopolitik, Vol.10, No.2. h.109

35


(60)

47 A. Kondisi Geografis Desa Jambesari

Gambar 3.1

Desa jambesari adalah salah satu desa yang berada dikecamatan Jambesari Darus Solah, Kabupaten Bondowoso. Luas desa Jambesari 467,2 Ha atau 4,672 km2. Menurut keterangan masyarakat desa setempat, bahwa kata-kata Jambesari berarti pinang yang berbunga. Diceritakan dahulu sebelum desa jambesari berbentuk sebuah desa, daerah tersebut banyak sekali tumbuh pohon pinang; di pekarangan, ladang dan terbanyak di persawahan. Menjelang musim berbuah tiba, Pohon-pohon pinang tersebut mulai mengeluarkan bunga-bunga yang indah, sehingga dinamakanlah daerah yang banyak dengan pohon pinang yang berbunga tersebut dengan nama Jambesari. Desa yang memiliki jarak sekitar 12 kilometer dari ibu Kota kabupaten/Kota Bondowoso ini memiliki batas wilayah;


(61)

2. Sebelah selatan : Sumber Kemuning 3. Sebelah timur : Jambe Anom 4. Sebelah barat : Pejagan

Desa Jambesari termasuk daerah dataran rendah dengan luas 405 Ha atau 4,05 km2. Selain itu wilayahnya terdiri dari lima dusun yaitu dusun Krajan, dusun Gabugan, dusun Karang Malang, dusun Beddian, dan dusun Angsanah. Lahan di desa Jambesari sebagian besar dimafaatkan untuk lahan pertanian. Sebagaimana data berikut;

Sawah irigasi teknis 148,7 Ha Sawah irigasi ½ Teknis 135,5 Ha Sawah tadah hujan 40 Ha

Tegal/ ladang 15 Ha

Pemukiman 9,7 Ha

Pekaragan 111,3 Ha

Tanah bengkok 13 Ha

Sawah desa 5 Ha

Perkantoran pemerintah 4,3 Ha

Pertokoan 9 Ha

Dan lain lain 5 Ha

Dari data diatas dijelaskan bahwa desa jambesari memiliki potensi sumberdaya alam dibidang pertanian, sehingga tidak heran jika sebagian besar


(62)

masyarakat desa jambesari memilih bertani dan menjadi buruh tani sebagai pekerjaan kesehariannya, Disamping terdapat juga masyarakat memilih sebagai wiraswasta.

B. Kondisi Demografis

1. Penduduk

Berdasarkan data dari profil desa dan kelurahan kabupaten bondowoso pada tahun 2015, jumlah penduduk desa Jambesari 7.507 jiwa, dengan perbandingan penduduk laki-laki 3.916 orang, sedangkan penduduk perempuannya 3.591 orang. Berikut data penduduk desa Jambesari berdasarkan usia;

Tabel 3.1

Data Penduduk Desa Jambesari Berdasarkan Usia Kelompok Umur Laki-laki (Orang) Perempuan (Orang)

0-14 727 724

15-20 394 335

21-25 253 292

26-30 326 302

31-35 346 285

35-40 303 266

41-45 318 260


(63)

51-55 273 231

56-60 209 151

61-65 175 168

66-70 122 123

71-75 117 99

Diatas 75 74 84

Total 3916 3591

Kehidupan masyarakat desa Jambesari masih sangat kental dengan kehidupan masyarakat pedesaan pada umumnya, yakni tradisional dan sederhana. Masyarakat desa jambesari saling menghargai dan menghormati satu dengan lainnya. Meskipun, sempat adanya provokasi terkait dengan keyakinan keagamaan yakni perbedaan paham ajaran. Namun, dengan karakter kekerabatan yang kuat, dan solidaritas yang tinggi masyarakat jambesari menjalin kehidupan yang harmonis. Hal ini, dapat diketahui ketika misalkan, salah satu warga mengalami musibah kematian, warga lainnya akan berbondong-bondong untuk berkunjung sekaligus turut berduka cita, biasanya dengan membawa seserahan semacam beras, gula ataupun lainnya.


(64)

2. Mata Pencaharian Pokok

Desa jambesari yang memiliki potensi sumberdaya alam di bidang persawahan sehingga menjadikan masyarakat jambesari memilih petani sebagai pekerjaan utamanya, disamping ada masyarakat berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS), buruh migran dan lainnya. Hal ini sesuai dengan data profil desa dan kelurahan kabupaten bondowoso pada tahun 2015, sebagai berikut;

Tabel 3.2

Mata Pencaharian Masyarakat Desa Jambesari

No Jenis Pekerjaan Laki-Laki

(Orang)

Perempuan (Orang)

1 Petani 968 302

2 Buruh Tani 208 117

3 Buruh migran 152 124

4 Pegawai negeri sipil 16 2

5 Peternak 4 -

6 Bidan swasta - 1

7 Pensiunan 6 2

8 Wiraswasta 966 90

9 Lain-lain 1599 2953

Jumlah 3916 3591


(65)

3. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan di Desa Jambesari masih dapat dikatakan rendah, sebab masih banyaknya masyarakat desa Jambesari yang hanya tamat sekolah Dasar (SD) dengan perbandingan jumlah laki-lakinya 1731 orang dan perempuannya 1622 orang. Sedangkan masyarakat yang tamat S-1/Sederajat dengan perbandingan jumlah laki-lakinya 48 orang dan perempuannya 20 orang. Berikut tabel tingkat pendidikan masyarakat desa jambesari sesuai dengan profil desa dan kelurahan kabupaten Bondowoso pada tahun 2015.

Tabel 3.3

Tingkat Pendidikan Masyarakat Desa Jambesari

No Tingkat Pendidikan

Laki-Laki (Orang)

Perempuan (Orang) 1 Usia 7-18 tahun yang tidak pernah

sekolah

96 74

2 Usia 7-18 tahun yang sedang sekolah

621 624

3 Usia 18-56 tahun tidak pernah sekolah

518 650

4 Usia 18-56 tahun tidak tamat SD 540 724

5 Usia 18-56 tahun tidak tamat SMP 629 603

6 Usia 18-56 tahun tidak tamat SMA 321 337


(66)

8 Tamat SMP/sederajat 511 296

9 Tamat SMA/sederajat 36 35

10 Tamat D-1/sederajat 2 -

11 Tamat D-2/sederajat 2 1

12 Tamat D-3/sederajat 12 14

13 Tamat S-1/sederajat 48 20

14 Tamat S-2/sederajat 3 2

15 Tamat S-3/sederajat - -

Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat jambesari ini disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya adalah faktor ekonomi. Dengan kehidupan yang serba pas-pasan tidak sedikit masyarakat desa jambesari yang memilih untuk tidak melanjutkan pendidikan anaknya ke tingkat yang lebih tinggi. Selain itu pula, kesadaran akan pentingnya dunia pendidikan untuk anak-anaknya juga menjadi faktor rendahnya tingkat pendidikan di desa Jambesari.


(67)

Gambar 3.2

Jumlah penduduk dari segi keagamaan, masyarakat desa Jambesari mayoritas beragama Islam. Hal ini dapat dilihat pada tabel sebagai berikut;

Tabel 3.4

Jumlah Penduduk Berdasarkan Pemeluk Agamanya

No Agama Laki-Laki

(Orang)

Perempuan (Orang)

1 Islam 3916 3591

2 Kristen - -

3 Katholik - -

4 Hindu - -

5 Budha - -

6 Konghucu - -

Jumlah 3916 3591

Adapun terkait dengan golongan kepercayaan dalam agama Islam, mayoritas masyarakat desa Jambesari meyakini ahlussunnah waljamaah sebagai aqidahnya. Disamping terdapat keyakinan


(68)

masyarakat desa Jambesari terhadap ajaran Syiah dengan jumlah 250 orang.1

C. Kehidupan Masyarakat Golongan Sunni dan Syiah di Desa Jambesari

Masyarakat desa yang berjarak 12 kilometer dari Ibu Kota Kabupaten/ Kota Bondowoso tersebut masih tergolong tradisional, hal ini dapat diketahui dengan minimnya pengetahuan masyarakat desa jambesari terhadap dunia modern.

Masyarakat desa Jambesari mayoritas meyakini agama Islam sebagai dasar keyakinan dalam menjalankan kehidupan kesehariannya. Dalam agama Islam terdapat beberapa aliran yang hingga saat ini masih dikenal dan diikuti oleh sekolompok masayarakat, misalnya aliran Sunni dan Syiah. Golongan Sunni berlandaskan kepada al-quran dan Sunnah Nabi Saw sebagai pedomannya, sedangkan golongan Syiah berlandasakan kepada Al-Qur’an dan Ahlulbayt Nabinya. Keduanya sama-sama meyakini al-qur’an sebagai landasan untuk menjalankan kehidupan, dan berbeda pada Sunnah dan ahlulbayt, meskipun pada dasarnya keduanya sama saja, maksudnya ahlulbayt yang berarti keluarga Nabi kumpulan yang paling dekat dengan Nabi Saw tentunya melaksanakan Sunnah yang diajarkan oleh Nabinya. Akan tetapi hal ini msih banyak belum disadari oleh masyarakat pada umumnya. Sehingga

1


(1)

96

Mulyana, Deddy, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, Bandung: PT Remaja Rosadakarya, 2000.

Mulyana, Deddy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010. Cet ke-7.

Nazir, Moh, Metode Penelitian, Bogor: Ghalia Indonesia, 2013. Cet ke-8.

Patton, Michael Quinn, How to Use Qualitative Methods in Evaluation, London: SAGE Publications, 1991.

Raco, J.R. Metode Penelitian Kualitatif, Jenis Karakter dan Keunggulannya, Jakarta: PT Grasindo, 2010.

Rafi’I, Mustofa. Islam Kita: Titik Temu Sunni-Syiah, Jakarta: Fitrah, 2013. Rakhmat, Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi dilengkapi contoh analisis

statistic, Bandung: Remaja Rosdakarya 2000.

Syaukani, Imam, Kompilasi Kebijakan Dan Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Umat Beragama, Jakarta, Puslitbang, 2008.

Sihabudin, Ahmad, Komunikasi Antarbudaya; Satu Perspektif Multidiensi, Jakarta; Bumi Aksara, 2013.

Shihab, M.Quraish, Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?, Jakarta; Lentera Hati, 2007.

Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2010.

The Wahid Institute, Laporan tahunan kebebasan beragama/ berkeyakinan dan intoleransi, Jakarta: The Wahid Institute, 2014.


(2)

97

B. Sumber dari Internet

http://www.gusdurian.net/id/article/opini/Jalan-Tasawuf-Kebangsaan-Gus-Dur/ m.republika.co.id/berita/dunia-Islam/Islam-nusantara.

http://mediamadura.com/madura-budaya-unik/

C. Wawancara Pribadi

1. Bapak Qurdi (Sekretaris Desa Jambesari) 2. Bapak H.Abdullah (Golongan Sunni) 3. Bapak Abdur Rahim (Golongan Sunni) 4. Bapak Ahmad Rawi (Golongan Syiah) 5. Bapak Mukhlis (Golongan Syiah)


(3)

LAMPIRAN-LAMPIRAN FOTO

Foto.1: Peneliti saat wawancara dengan H.Abdullah (Tokoh Masyarakat Golongan Sunni)


(4)

Foto.3: Peneliti saat wawancara dengan Bapak Ahmad Rowi (Tokoh Masyarakat Golongan Syiah)


(5)

Foto.4: Masyarakat Jambesari sedang bekerja di sawah. Foto.5: Perangkat desa doa bersama pada acara Anjangsana


(6)