MAKNA KONOTATIF DALAM TERJEMAHAN AL-QURAN PADA TAFSIR AL-MISHBÂH KARYA M. QURAISH SHIHAB: STUDI KASUS SURAH AN-NISÂ

(1)

MAKNA KONOTATIF DALAM TERJEMAHAN QURAN PADA TAFSIR AL-MISHBÂH KARYA M. QURAISH SHIHAB: STUDI KASUS SURAH AN-NISÂ

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Syarat Meraih Gelar Sarjana Sastra (S.S.)

oleh:

DARTI NURMAESAROH NIM: 1111024000029

Jurusan Tarjamah Fakultas Adab dan Humaniora

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1437H / 2015M


(2)

i

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 30 November 2015 Darti Nurmaesaroh NIM: 1111024000029


(3)

(4)

(5)

iv

ABSTRAK

DARTI NURMAESAROH

“Makna Konotatif dalam Terjemahan al-Quran pada Tafsir al-Mishbâh karya M. Quraish Shihab: Studi Kasus Surat an-Nisâ” tahun 2010.

Dalam penelitian ini, peneliti menganalisis berapa jumlah ayat pada surat an-Nisâ

dalam Tafsir al-Mishbâh yang mengandung makna konotatif dan bagaimana terjemahan tersebut memaknani makna konotatif. Di samping itu, peneliti akan melihat kategori-kategori konotasi yang terdapat pada terjemahan ayat terpilih.

Untuk memecahkan masalah di atas, dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode analisis kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dengan kata lain, penelitian kualitatif dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data yang terkait dengan masalah yang akan diteliti, yaitu berupa teks-teks atau kata-kata, bukan dengan angka-angka. Sumber data yang digunakan adalah Terjemahan al-Quran yang diambil dari Tafsir al-Mishbâh

volume 2 karya M. Quraish Shihab.

Dari 170 terjemahan ayat, peneliti menemukan 12 terjemahan ayat yang menandung makna konotatif. Kemudian terjemahan ayat terpilih dianalisis sesuai dengan teori makna konotatif.

Setelah diteliti, peneliti menemukan beberapa konotasi yang sama pada beberapa terjemahan ayat. Hasil analisis menjawab, bahwa makna konotatif yang terdapat dalam terjemahan surat an-Nisâ dalam Tafsir al-Mishbâh karya M. Quraish Shihab didominasi oleh konotasi yang bersifat negatif.


(6)

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah Awt, sang Maha Pengasih lagi Penyayang, karena berkat Kemurahan-Nya saya diberi kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Di samping Kemurahan yang diberikan Allah Swt, berkat kasih cinta orang-orang di sekitar saya pula skripsi ini dapat terselesaikan.

Shalawat serta salam tercurah kepada kekasih Allah, junjungan umat manusia seluruh alam Nabi Muhammad Saw, beserta keluarga, para sahabat, dan semoga kita semua mendapat syafaatnya di hari pengadilan nanti. Dengan segala kerendahan hati, tak lupa saya haturkan beribu terima kasih kepada sejumlah nama yang turut serta mensukseskan dan memberi kemudahan bagi saya dalam proses penyelesaian skripsi ini.

Dalam kesempatan ini pula, penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah khususnya kepada: Prof. Dr. Sukron Kamil, MA selaku Dekan Fakultas adab dan Humaniora dan Dosen Seminar Proposal saya. Kepada Dr. Syarif Hidayatullah, M. Hum, selaku Ketua Prodi Tarjamah dan Ibu Rizqi Handatyani M.A selaku sekretaris jurusan yang mana telah meberikan kemudahan dalam segala urusan administrasi. Juga kepada semua dosen tarjamah UIN Jakarta yang dengan ikhlas telah memberikan ilmu mereka yang sangat berguna kepada saya selama perkuliahan. Semoga Allah membalas amal kebaikan mereka semua. Amin.


(7)

vi

Pertama saya haturkan rasa terima kasih yang tak terhingga kepada Ibunda Karlina Helmanita, M. Ag, yang tak kenal lelah membimbing saya dalam segala proses penelitian skripsi ini hingga selesai. Betapa arahan, petunjuk, dan bimbingan beliau amat sangat memberikan pelajaran berharga yang tak ternilai harganya untuk saya.

Terima kasih berbalut cinta yang tak terhingga saya haturkan kepada kedua orangtua tercinta, Abah Dudung dan Mamah Mumun, yang tak kenal lelah memberikan dorongan, dukungan, motivasi baik materil dan imateril. Yang mana karena merekalah saya dapat menjangkau dunia dengan ilmu pengetahuan. Kepada kedua adik, Dadan dan Iki, yang terus mendoakan saya agar dimudahkan dalam skripsi ini. Kepada penyejuk hati, Sahrial, yang tak kenal lelah membantu, menghibur, dan sabar menyemangati saya dalam proses menyelesaikan penelitian ini. Kepada sahabat-sahabat terbaik, Syawaliah dan Annisa, yang selalu ada dalam suka dan duka, saling memberi masukan dan pendapat. Juga sahabat-sahabat Tarjamah 2011 yang selama empat tahun berbagi canda dan tawa hingga perjalan menuju toga terasa sangat berwarna.

Semoga skripsi yang sederhana ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan., terutama kajian penerjemahan. Semoga karya yang sederhana ini menjadi awal dari produktivitas pribadi saya di masa-masa mendatang. Amin.


(8)

vii

Dengan rendah hati, saya minta maaf dan terimakasih jika saya banyak salah, keliru, atau tidak pada tempatnya dalam bersikap serta membawakan diri selama ini.

Ciputat, 30 November 2105

Darti Nurmaesaroh


(9)

viii DAFTAR ISI

Halaman Judul

Pernyataan………...………..……..i

Halaman Pengesahan………....………ii

Abstrak ……….iii

Kata Pengantar ………iv

Daftar Isi………...…………vii Pedoman Transliterasi ... ix

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ……….……….1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ……….…………..2

C. Tujuan Penelitian ……….………….3

D. Manfaat Penelitian ……….…………..3

E. Tinjauan Pustaka ……….………4

F. Landasan Teori ………4

G. Metodologi penelitian 1. Metode Penelitian……….…………..6

2. Sumber Data………...6

3. Teknik Pengumpulan Data………6

4. Analisis Data……….…..7

H. Sistematika Penulisan ……….…..7

BAB II: KERANGKA TEORI A. Teori Penerjemahan ……….……….8


(10)

ix

2. Macam-macam Penerjemahan ……….……9

B. Makna Konotatif ……….…...…...15

1. Pengertian Makna Konotatif ………...15

2. Perbedaan Denotatif dan Konotatif ………..…….….16

BAB III: M. QURAISH SHIHAB DAN TAFSIR AL-MISHBÂH A. Biografi M. Quraish Shihab ……….………......……24

1. Riwayat Hidup ……….………..24

2. Karir………25

3. Karya-karya ……….………..27

B. Tafsir al-Mishbah M. Quraish Shihab 1. Gambaran Teks Penerjemahan Quran dalam Tafsir al-Mishbâh ……….31

2. Karakter Penerjemahan al-Quran dalam Tafsir al-Mishbâh …33 BAB IV: ANALISIS MAKNA KONOTATIF PADA TERJEMAHAN AL-QURAN DALAM TAFSIR AL-MISHBÂH A. Temuan ………..34 B. Analisis ………43 BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan ………..51

B. Saran ………52


(11)

x

PEDOMAN TRANSLITERASI Konsonan

No. HURUF

ARAB HURUF

LATIN

No. HURUF

ARAB

HURUF LATIN

1. ا Tidak

dilambangkan 16. ط th

2. ب b 17. ظ zh

3. ت t 18.

ع „

4. ث ts 19. غ g

5. ج j 20. ف f

6. ح h 21. ق q

7. خ kh 22. ك k

8 د d 23. ل l

9. ذ dz 24. م m

10. ر R 25. ن n

11. ز z 26. و w

12. س S 27. ـه h

13. ش sy 28. ء `

14. ص sh 29. ي y


(12)

xi Vokal

1. Vokal Tunggal

No. TANDA HURUF

LATIN

No.

TANDA

HURUF LATIN

1.

____ a 3. _____ u

2. --- I

2. Vokal Rangkap

NO. TANDA DAN

HURUF NAMA

GABUNGAN

HURUF NAMA

1. ي ... fathah dan yâ` ai a dan i 2. و... fathah dan wâu au a dan u

Maddah

No.

HURUF DAN HARAKAT

TANDA No

.

HURUF DAN

HARAKAT TANDA

1.

ا... â 3. و... û

2.


(13)

1

BAB I

A. Latar Belakang Masalah

Kata merupakan unsur terpenting dalam kalimat, setiap kata mempunyai makna atau arti.1 Makna segala informasi yang berkaitan erat dengan sebuah ujaran, maka dari itu makna menjadi objek utama dalam semantik. Jika kata dalam suatu kalimat tidak digunakan secara tepat maka maksud dan makna kalimat itu akan terganggu dan pesan yang akan disampaikan tidak akan sampai.

Dalam ilmu semantik terdapat dua macam makna, yaitu makna denotatif dan makna konotatif. Makna denotatif adalah makna yang awal, makna yang wajar, makna yang sesuai dengan kenyataanya. Sedangkan makna konotatif adalah makna wajar yang memperoleh perasaan tertentu, emosi tertentu, dan rangsangan tertentu pula yang bervariasi dan tidak terduga.2 Makna konotatif adalah makna yang tidak mudah dipahami, sedangkan dalam pemahaman lain diterangkan bahwa makna denotatif adalah makna asli yang dimiliki oleh sebuah leksem. Makna konotatif adalah makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif tersebut yang berhubungan dengan nilai rasa seseorang.3

Dalam penelitian ini, peneliti akan meneliti salah satu makna yang telah dibahas di atas, yaitu makna konotatif. Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa makna konotatif adalah makna yang memiliki rasa. Adapun nilai rasa yang dimaksud adalah rangsangan yang mempengaruhi panca indera, perasaan, sikap, dan penilaian. Rangsangan dapat bersifat individu atau kolektif serta berdasarkan

1

J. S Badudu, Inilah Bahasa Indonesia yang Benar, (Jakarta: T.pn., 1995), h. 50. 2

J.D Parera, Teori Semantik, (Jakarta: Erlangga 2004), h. 97-98. 3


(14)

2 pengalaman. Makna konotasi mengandung nilai rasa positif, negatif, dan terkang netral. Berikut merupakan tiga contoh yang mengandung seluruh nilai konotasi. 1) Ibu guru sedang menasihati anak yang bebal

2) Para Ulama berkumpul di masjid Agung 3) Artis yang bernama Saikoji berbadan gemuk

Pada ketiga contoh di atas, kata “bebal”, “agung”, dan “gemuk” mempunyai makna denotatif dan konotatifnya masing-masing. Kata bebal berarti bodoh yang berlebihan. Orang yang mengatakan kata tersebut kepada lawan bicaranya

mengandung perasaan menghina dan merendahkan. Maka kata “bebal” tersebut mengandung makna konotatif negatif. Kata “agung” pada contoh kalimat yang kedua tidak hanya mempunyai makna “besar” namun mengandung makna lain

yaitu “mulia” atau sesuatu yang dihormati.” Maka, kata agung di atas mengandung makna konotasi positif. Dalam contoh yang ketiga, kata gemuk

mengandung makna konotasi netral jika disandingkan dengan kata “gembrot” yang memiliki nilai rasa yang negatif, kata “besar” memiliki nilai rasa yang

positif. Ketiga kalimat di atas merupakan contoh kalimat konotatif dalam bahasa Indonesia.

Dari contoh di atas, peneliti akan meneliti makna konotatif pada terjemahan surat Annisa dalam Tafsir al-Mishbâh karya M. Quraish Shihab.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Untuk dapat menemukan masalah yang lebih mendalam, peneliti membatasi objek penelitiannya dengan meneliti makna konotatif dalam terjemahan surat Annisa yang diambil dari Tafsir al-Mishbâh karya M. Quraish Shihab.


(15)

3 2. Rumusan Masalah

Masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

a) Ayat-ayat apa saja yang mengandung makna konotatif dalam terjemahan surat an-Nisa pada Tafsir al-Mishbâh karya M. Quraish Shihab?

b) Bagaimana kecenderungan makna konotatif dalam terjemahan al-Quran surat an-Nisa pada Tafsir al-Mishbâh karya M. Qurais Shihab?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah ditemukan di atas, peneliti memiliki tujuan umum dalam penelitian ini, di antaranya:

a) Untuk mengetahui jumlah ayat yang mengandung makna konotatif dalam surat Annisa pada Tafsir al-Mishbâh karya M. Quraish Shihab.

b) Untuk mengetahui kecenderungan makna konotatif pada terjemahan surat Annisa dalam Tafsir al-Mishbâh karya M. Quraish Shihab.

D. Manfaat Penelitian

Secara teoritis, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis konotasi yang terdapat dalam surat Annisa pada buku Tafsir al-Mishbâh karya M. Quraish Shihab. Di samping itu, secara praktis penilitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat dan kontribusi keilmuan pada mahasiswa Tarjamah. Selain itu, setelah dilakukan penelitian ini peneliti berharap para penerjemah dapat lebih memahami dan memperhatikan makna konotatif dalam bahasa sasaran.

E. Tinjauan Pustaka

Sejauh peneliti temukan, penelitian yang membahas makna konotatif yang pernah dilakukan adalah; pertama, Zainab, Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah


(16)

4 maupun yang tepat (studi kasus Terjemahan Kitab Subulussalam Jilid III Bab Pernikahan oleh Drs. Abubakar Muhammad)” tahun 2010. Perebedaan yang terdapat pada penelitian ini adalah objek yang digunakan sebagai bahan penelitian. Penelitian yang digunakan oleh Zainab adalah objek yang mengandung istilah hukum sedangkan objek penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah terjemahan ayat-ayat al-Quran.

Kedua, penelitian konotatif juga pernah dilakukan oleh Imam Arifin,

Mahasiswa Tarjamah UIN Jakarta yang meneliti tentang “ Makna Konotasi Kata Ambilan Bahasa Arab dalam Buku Mafahim Hizbut Tahrir Indonesia” tahun

2014. Perbedaan yang terdapat pada penelitian ini adalah objek yang digunakan. Penelitian yang dilakukan oleh Imam Arifin menggunakan objek “kata ambilan” sedangkan objek yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah terjemahan al-Quran.

F. Landasan Teori

1. Teori Penerjemahan

Menurut Catford yang dikutip oleh Suryawinata dan Sugeng,

“penerjemahan merupakan penggantian materi tekstual dalam suatu bahasa

dengan materi tekstual dalam suatu bahasa dengan materi tekstual yang padan dalam bahasa lain (Translation is the replecment of textual material in one language by equivalent textual material in other language).4 Perlu diperhatikan bahwa materi yang dimaksud Catford tidak harus sesuatu yang tertulis. Jadi penerjemahan bisa berupa lisan maupun tulisan.

4

Suryawinata & Sugeng, Translation: Bahasan Teori dan Penuntun Praktis Menerjemahkan (Yoyakarta: Kanisius, 2003), h. 12.


(17)

5 Terdapat banyak macam-macam penerjemahan, diantaranya adalah penerjemahan komunikatif dan penerjemahan semantik. Penerjemahan komunikatif adalah dimana seorang penerjemah harus memproduksi makna kontekstual yang sedemikian rupa ketika menerjemahkan dengan menggunakan metode ini. Aspek kebahasaan dan aspek langsung dapat dimengerti oleh pembaca. Metode ini mengharuskan penerjemah mengerti prinsip-prinsip komunikasi.5 Pendekatan penerjemahan komunikatif berhubungan erat dengan pendekatan semantik.

2. Teori Makna Konotatif

Makna konotatif merupakan makna yang bukan makna aslinya. Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai nilai rasa, baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi bisa juga disebut berkonotasi netral. Konotasi bersifat merangsang dan menggugah pancaindra, perasaan, sikap, penilaian, dan keyakinan dan keperluan tertentu rangsangan-rangsangan tersebut dapat bersifat individual dan kolektif. Makna konotasi umumnya tidak dikaitkan dengan kata, sedangkan kosakata tidak hanya terdiri atas kata, tetapi juga terdiri atas beberapa kata, seperti kambing hitam. Makna kambing hitam bukan merupakan gabungan makna kambing dan makna hitam, melainkan memiliki makna tersendiri, yaitu “orang yang

dipersalahkan”. Karena mempunyai makna yang tidak dapat ditelusuri dari

5

Moch. Syarif Hidayatullah, Tarjim al-AnCara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia,


(18)

6 makna setiap kata pembetuknya, kambing hitam dikatakan pula mempunyai makna idiomatis dan berkonotasi negatif.6

G. Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.7 Dengan kata lain, penelitian kualitatif dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data yang terkait dengan masalah yang akan diteliti, yaitu berupa teks-teks atau kata-kata, bukan dengan angka-angka.8

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil sumber data dari terjemahan surat an-Nisa dalam Tafsir al-Mishbâh volume 2 karya M. Quraish Shihab. 3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara:

a) Membaca terjemahan al-Quran surat an-Nisa dalam Tafsir al-Mishbâh secara heuristik

b) Memilih terjemahan ayat-ayat al-Quran surat an-Nisa dalam

Tafsir al-Mishbâh yang mengandung makna konotatif 4. Analisis Data

Analisis dilakukan dengan cara menganalisis makna denotaif pada terjemahan ayat-ayat terpilih. Setelah itu peneliti menganalisis makna

6

Kushartanti, dkk, Pesona Bahasa (Langkah Awal Memahami Linguistik), (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 116.

7

Muhammad, Metode Penelitian Bahasa, (Jakarta, Arruz Media, 2011), h. 30. 8


(19)

7 konotatif. Lalu, peneliti mengkategorikan setiap hasil analisis kepada pembagian sifat makna konotatif yaitu konotasi positif, konotasi negatif, dan konotasi netral. Dalam proses analisis ini, peneliti menguraikan unsur-unsur pembentukkan satuan bahasa, setelah itu dibedakan dan dikelompokkan sesuai dengan objek yang menjadi masalah penelitian.

H. Sistematika Penulisan

Guna mendapat pemahaman yang komprehensif dalam penelitian ini, peneliti perlu merumuskan sistematika penelitian sebagai berikut:

Bab I pendahuluan, mencakup: latar belakang masalah, pembatasan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian, sistematika penelitian.

Bab II kerangka teori, mencakup: definisi dan macam-macam penerjemahan, definisi makna konotatif juga perbedaan makna konotatif dan denotatif.

Bab III tinjauan umum atas teks sasaran mencakup: tinjauan umum terhadap

Tafsir al-Mishbah, biografi peneliti.

Bab IV analisis makna konotasi pada surat Annisa dalam Tafsir al-Mishbâh

karya M. Quraish shihab.


(20)

8

BAB II Kerangka Teori A. Teori Penerjemahan

1. Definisi Penerjemahan

Menerjemahkan merupakan kegiatan menghasilkan kembali di dalam bahasa penerima barang yang secara sedekat-dekatnya dan sewajarnya sepadan dengan pesan dalam bahasa sumber, pertama-tama menyangkut maknanya dan kedua menyangkut gayanya (translating consists in reproducing in the receptor language the closest natural equivalent of the source language message, first in terms of meaning and secondly in terms of style).9 Definisi tersebut diungkapkan Eugene A. Nida dan Charles R. Taber yang dikutip oleh A Widya Marta dalam bukunya The Theory and Practice of Translation. secara lebih sederhana, menerjemahkan dapat didefinisikan sebagai memindahkan suatu amanat dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Peran penerjemah sangatlah sentral dalam kegiatan penerjemahan. Sebab, ia berperan sebagai mediator yang menjadi jembatan penghubung antara penulis teks sumber dan pembaca teks target. Jembatan penghubung inilah yang menghadirkan pemikiran penulis teks sumber ke dalam teks target dalam bingkai kesepadanan. Secara teoritis, sesungguhnya mengungkapkan pemikiran orang lain dari bahasa sumber ke dalam bahasa target itu lebih sulit daripada mengungkapkan pemikiran sendiri. Kesulitan ini timbul karena penerjemah mengemban tanggung jawab besar.10

9

A Widya Marta, Seni Menerjemahkan (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 11. 10

M. Zaka Alfarisi, Pedoman Penerjemahan Arab-Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), h. 25.


(21)

9

2. Macam-Macam Penerjemahan

Seorang penerjemah mempunyai teknik tersendiri ketika menerjemahkan suatu teks sumber. Terdapat banyak macam metode yang dikembangkan oleh para ahli. Berikut salah satunya, yaitu metode yang diungkapkan oleh dinilai paling lengkap dan memadai. Newmark membagi metode ini menjadi delapan bagian, di antaranya:

a) Penerjemahan Kata demi Kata

Saat menerjemahkan menggunakan metode ini, penerjemah akan meletakkan teks sasaran sesuai dengan versi teks sumber. Kata-kata dalam teks sumber diterjemahkan di luar konteks. Hal ini biasanya digunakan untuk prapenerjemahan (analisis dan tahap pengalihan) untuk teks sumber yang sulit dipahami. Contoh:

ك لْصفلا يف ت

“Di dalam kelas ada sebuah buku”

b) Penerjemahan Harfiah

Menerjemahkan dengan menggunakan metode ini, seorang penerjemah dituntut untuk mencari padanan konstruksi gramatikal teks sumber yang terdapat dalam teks sasaran. Penerjemahan kata-kata teks sumber masih dilakukan terpisah. Metode ini biasanya digunakan pada tahap awal (pengalihan). Contoh:

لا ل لا ي حض ع س ل تْ ك يْغْ ي يلإ سْحإا ِ ْلا لج ْ لج ء ج “Datang seorang laki-laki baik ke Yogyakarta untuk membantu korban-


(22)

10 c) Penerjemahan Setia

Saat penerjemah menggunakan metode ini, ia harus memproduksi makna kontekstual, tetapi masih bisa dibatasi oleh struktur gramatikalnya. Contoh:

ه لا ْيثك “Dia (laki-laki) dermawan karena banyak abunya.”

d) Penerjemahan Semantik

Seorang penerjemah diharuskan memiliki keluwesan saat menerjemahkan dengan metode ini. Ia harus mempertimbangkan unsur estetika teks sumber dengan mengkompromikan makna selama masih dalam batas wajar.

خ ْط لا يف ْي ْج لا ا تْيأ

“Aku melihat si muka dua di dapur”

e) Penerjemahan Adaptasi

Ketika menerjemahkan menggunakan metode ini, seorang penerjemah cenderung tidak terlalu memperhatikan keteralihan struktur teks sasaran. Yang diperhatikan hanyalah, apakah terjemahannya dapat dipahami dengan baik oleh si penutur teks sasaran. Contoh:

تش ع ق ْ طْ ت ل ثْيح ا ْيع

يلا ْع ْ َلا ي ْعأ عْي

“Dia hidup jauh dari jangkauan


(23)

11 f) Penerjemahan Bebas

Penerjemah biasanya cenderung mengutamakan isi dan mengorbankan bentuk teks sumber. Tak jarang bentuk retorik (seperti alur) atau bentuk kalimatnya benar-benar berubah. Dalam metode ini, terjadi perubahan drastis antara struktur luar teks sumber dan teks sasaran.11 Contoh:

ْيع ْجأ َلا يحل سفلا لْ صأ ْ ْيظع لْصأ ل لا َ أ يف

“Harta sumber malapetaka”

g) Penerjemahan Idiomatik

Saat menerjemahkan dengan menggunakan metode ini, penerjemah dituntut untuk memproduksi pesan dalam teks sumber. Metode ini mengharuskan untuk sering menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatik yang tidak didapati pada versi aslinya. Contoh:

ْعَتلا ْع َّإ َ لا

“Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang kemudian” h) Penerjemahan Komunikatif

Seorang penerjemah harus memproduksi makna kontekstual yang sedemikian rupa ketika menerjemahkan dengan menggunakan metode ini. Aspek kebahasaan dan aspek langsung dapat dimengerti oleh pembaca. Metode ini mengharuskan penerjemah mengerti prinsip-prinsip komunikasi.12

َ ث ق ع ْ َ ث فْط ْ َ طت غض ْ

“Kita tumbuh dari sperma, lalu zigot, dan kemudian embrio”

12

Moch. Syarif Hidayatullah, Tarjim al-An Cara Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia, (Tangerang: Dikara, 2010), h. 34.


(24)

12 Lain halnya dengan ungkapan Bathgate mengenai beberapa model penerjemahan yang dikutip oleh Widyamarta, ia membagi model terjemahan sebagai berikut:

a) Penerjemahan Hermeneutik

Penerjemahan hermeneutik digunakan dalam fase tuning “penjagaan” menurut tabel proses penerjemahan Bathgate. Hermeneutik adalah teori atau ilmu penafsiran lambang atau nas, misalnya lambang atau naskah yang terdapat dalam kitab suci.

b) Penerjemahan Situasional

Situasi sangat menentukan untuk memahami makna suatu ujaran.

Seperti ujaran, “Hei, hebat benar khotbahnya!” dapat merupakan pujian atau

makian, tergantung dari situasinya. c) Penerjemahan Stilistik

Selain menjaga situasi dan motif ujaran untuk dapat menangkap dengan tepat ujaran itu, kita pada tahap pertama perlu juga menjajahi stijl-nya, gaya ungkap bahasa (gaya bahasa).

d) Penerjemahan Kata demi Kata

Dalam fase penguraian (analisis) terdapat tiga model: kata demi kata, sintaktik, transformarsial. Menurut Larson dan Smalley, penerjemahan kata demi kata disebut juga glossing atau interlinear translation. Analisis (penguraian) berarti mengupas dan mengulas. Menganalisis bahasa sumber yang akan kita terjemahkan perlu agar kita kemudian dapat merakit bahan-bahan menjadi produk dalam bahasa sasaran.13

13


(25)

13 e) Penerjemahan Sintaktik

Kita dapat menerjemahkan sebuah kalimat sederhana secara langsung dengan tidak merefleksikan hubungan antara bagian-bagiannya., tetapi menghadapi kalimat panjang dan rumit, tak boleh tidak perlu merenungkan hubungan bagian-bagiannya, jika tidak maka hasil penerjemahan tidak akan menjadi sempurna.

f) Penerjemahan Transformasial

Penerjemah tidak akan pernah luput dari keharusan menyusun kalimat yang panjang dalam bahasa sasaran. Kalimat dalam bahasa sumber sendiri juga tidak jarang ditemukan kalimat yang panjang. Oleh karena itu, penerjemahan tranformasial memberikan andil dalam hal ini. Kalimat yang rumit dalam bahasa sumber dipecah-dipecah atau dipenggal-penggal menjadi

kernel senteces “kalimat –kalimat inti, menjadi kalimat-kalimat tunggal yang pendek-pendek: dari kalimat-kalimat tunggal yang pendek; tiap kalimat tunggal hanya ada satu subjek, satu predikat, satu objek.

g) Penerjemahan Interlingua

Setelah teks dalam bahasa sumber yang akan kita terjemahkan kita uraikan, kita harus memahami betul-betul makna tiap kata dan hubungan gagasan-gagasan antara satuan dalam frase atau klausa, antara satuan-satuan dalam kalimat, dan seterusnya.14

h) Penerjemahan Semantik

Penerjemah perlu sadar pula akan sistem perlambangan dalam berkomunikasi di dunia ini. Bahasa juga merupakan salah satu sistem

14


(26)

14 perlambangan; bahasa adalah suatu sistem komunikasi dengan bunyi, yaitu menggunakan lambang-lambang bunyi yang memiliki arti-arti sembarangan berdasarkan kesepakatan. Suatu kata melambangkan (artinya, menunjuk, kepada atau wakil dari) gagasan dalam benak orang atau barang dan peristiwadi dunia luar. Penerjemah perlu memahami hubungan antara lambang, gagasan, dan barang di luar.

i) Penerjemahan Nomenklatif

Dalam mengumpulkan batu bata untuk membangun terjemahannya pada fase retructuring, penerjemah tentu saja harus menemukan juga istilah-istilah yang tepat, khususnya bila ia hendak menerjemahkan suatu bidang cabang ilmu. Terjemahan tentang psikologi perkembangan atau fisika atom, misalnya, harus menggunakan istilah-istilah dari ilmu itu.

j) Penerjemahan Generatif

Model generatif mengungkapkan mengungkapkan kenyataan bahwa proses penerjemahan melibatkan banyak keputusan, dan keputusan yang satu mempengaruhi keputusan-keputusan berikut yang diambil.

k) Penerjemahan Integral

Model ini mucul dari kebutuhan akan strategi penerjemahan yang menyeluruh untuk menjamin terjaganya konsistensi dan keindahan dalam produk fase perakitan ini. Model ini diperlukan bila hendak menerjemahkan teks yang canggih seperti sajak atau puisi.15

Dalam penelitian ini, sumber data yang didapat menggunakan metode penerjemahan semantik dan komunikatif. Metode penerjemahan semantik terlihat

15


(27)

15 karena hasil terjemahan menjadi luwes dan fleksibel. Ia mempertimbangkan unsur estetika Tsu dengan mengkompromikan makna selama masih dalam batas wajar.16 Sedangkan penerjemahan komunikatif adalah metode penerjemahan dimana penerjemah berorientasi pada bahasa sasaran. Sesuai dengan namanya, metode ini memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi yang mengupayakan reproduksi makna kontekstual teks bahasa sumber ke dalam teks bahasa sasaran.17 Penerjemahan semantik dan komunikatif sangat mirip dan seringkali tumpang sua, sehingga perbedaan nyata antara keduanya hanyalah terdapat pada penekanan saja. Penerjemahan semantik terfokus pada pencarian padanan pada tataran kata denagn tetap terikat pada budaya bahasa sumber. Penerjemahan tipe ini berusaha mengalihkan makna kontekstual bahasa sumber yang sedekat mungkin dengan struktur sintaksis dan semantik bahasa sasaran.18 Metode tersebut digunakan karena melihat aspek isi yang akan tersampaikan kepada pembaca karena metode ini lebih terkonsentrasi dalam pengalihan pesan. Hal ini dilakukan untuk mempertimbangkan tingkat kematangan berbahasa dan tingkat pengetahuan pembaca teks yang diterjemahkan.

16

Moch. Syarif Hidayatullah, Seluk Beluk Penerjemahan Arab-Indonesia Kontemporer, (Tangerang: UIN Press, 2014), h. 60.

17

Frans Sayogie, Penerjemahan Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia, (Tangerang: Lembaga Penelitian UIN, 2008), h. 88-89.

18

M. Rudolf Nababan, Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), cet ke- 3, h. 44-45.


(28)

16

B. Makna Konotatif

1. Pengertian Makna Konotatif

Makna konotasi merupakan responsi-responsi emosional yang timbul dalam kebanyakan kata-kata leksikal pada kebanyakan para pemakainya.19 Dalam kata lain, makna konotatif adalah makna yang bukan makna aslinya. Sebuah kata disebut mempunyai makna konotatif apabila kata itu mempunyai nilai rasa, baik positif maupun negatif. Jika tidak memiliki rasa maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi bisa juga disebut berkonotasi netral.

Rasa positif atau negatif nilai sebuah kata terjadi akibat penggunaan referen kata tersebut menjadi sebuah lambang. Dalam pengertian yang lebih sempit, seperti yang dikutip oleh Makyun Subuki dari Richards dan Schmidt istilah referensi didefinisikan sebagai hubungan antara kata atau frasa objek spesifik tertentu. Misalnya hubungan antara frasa mobil pak Harun dengan

“Mobil pak Harun di dunia nyata”.20

Jika digunakan sebagai lambang sesuatu yang positif maka nilai rasanya akan positif, dan jika lambang tersebut digunakan untuk sesuatu hal yang negatif maka ia akan memiliki nilai rasa yang negatif. Salah satu contohnya adalah, jika kita melihat, bagi masyarakat Amerika maupun bagi masyarakat internasional pada umumnya kata-kata berbau politik seperti komunis, teroris, fasis, ekstrimis, diktator, subversif,

mempunyai makna konotasi “sesuatu yang perlu dijauhi atau dikecam” sedangkan kata-kata kebebasan, keadilan, hak-hak asasi, perdamaian,

19

Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik, (Bandung: Penerbit Angkasa, 1985), h. 56.

20

Makyun Subuki, Semantik (Pengantar Memahami Makna Bahasa), (Tangerang, TransPustaka, 2011), h. 27.


(29)

17

kesejahteraan, patriotik bermakna konotasi “sesuatu yang didambakan dan harus diperjuangkan serta dipertahankan”.21

Konotasi bersifat merangsang dan menggugah pancaindra, perasaan, sikap, penilaian, dan keyakinan dan keperluan tertentu rangsangan-rangsangan tersebut dapat bersifat individual dan kolektif. Makna konotasi umumnya tidak dikaitkan dengan kata, sedangkan kosakata tidak hanya terdiri atas kata, tetapi juga terdiri atas beberapa kata, seperti kambing hitam. Makna kambing hitam bukan merupakan gabungan makna kambing dan

makna hitam, melainkan memiliki makna tersendiri, yaitu “orang yang dipersalahkan”. Karena mempunyai makna yang tidak dapat ditelusuri dari makna setiap kata pembetuknya, kambing hitam dikatakan pula mempunyai makna idiomatis dan berkonotasi negatif.22 Arah rangsangan dapat mengarah ke arah positif maupun negatif. Klasifikasi rangsangan ini bersifat tumpang tindih dan bergantian berdasarkan pengalaman dan asosiasi yang muncul dan hidup pada individu dan masyarakat pemakai bahasa dan pemanfaat makna. Jadi, tidak ada suatu konotasi yang baku dan tetap. Ada makna konotasi yang pada suatu saat bersifat negatif dan pada saat yang lain bersifat positif.23

2. Perbedaan Konotatif dan Denotatif

Denotasi merupakan makna yang bersifat umum, tradisional, dan presedensial,24 maka dari itu denotasi atau sistem tanda primer sering digunakan untuk berkomunikasi, berpikir, dan menginterpretasikan segala hal termasuk bahasa itu sendiri. Sedangkan sistem tanda sekunder atau konotasi

21

J. D. Parera, Teori Semantik, (Jakarta, Erlangga, 2004), cet. ke-II, h. 98. 22

Kushartanti, dkk, Pesona Bahasa (Langkah Awal Memahami Linguistik), (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 116.

23

J. D. Parera, Teori Semantik, cet. ke-II, h. 99. 24


(30)

18 sering dimanfaatkan oleh para sastrawan untuk merumuskan pemikirannya dalam bentuk tanda bahasa secara artistik. Maka dari itu, karya sastra terutama puisi lebih banyak memiliki taraf konotasi.

Makna denotasi (denotasional, konseptual, kognitif) pada dasarnya sama dengan makna referensial sebab makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Dengan kata lain, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Karena itu, makna denotatif sering disebut sebagai makna yang sebenarnya.25 Menurut Barthes yang dikutip oleh Paramita, dalam Mithologiesnya secara tegas membedakan antara makna denotatif atau sistem tataran pemaknaan pertama dan sistem tataran pemaknaan kedua yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya, dan sistem kedua ini Barthes menyebutnya dengan konotatif. Pada peta Barthes dapat digambarkan bahwa tanda denotatif terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified),

akan tetapi saat bersamaan tanda denotatif adalah juga penanda konotatif. Denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Pada tingkat pertama (Language) Barthes memperkenalkan signifier (1) dan signified (2) yang gabungan keduanya menghasilkan sign (3) kembali menjadi Signifier (1) dan digabungkan dengan

25

Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, (Jakarta, Rineka Cipta, 2009) h. 65-66.


(31)

19

signified (2) dan menjadi sign (3). Sign yang ada di tingkatan kedua inilah yang berupa myth (mitos) disebut juga dengan metalanguage.26

Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa makna denotatif adalah makna yang digunakan untuk mendeskripsikan makna defisional, literal, gamblang atau common sense dari sebuah tanda. Makna konotatif mengacu pada asosiasi-asosiasi budaya sosial dan personal berupa ideologis, emosional, dll.27

Dalam penciptaan sastra, para sastrawan pertama kali diikat oleh arti bahasa lalu diolah menjadi sebuah karya sastra sehingga makna yang disampaikan tidak lagi sesuai dengan kata aslinya. Makna sastra seringkali disebut dengan significance (meaning of meaning) dalam bahasa Inggris. Sedangkan arti bahasa disebut dengan meaning. Untuk memeberikan kemudahan dalam mendefinisikan meaning, kita perlu memperhatikan pendapat Busman yang dikitip oleh Makyun, bahwa untuk menentukan definisi dari arti (meaning) dapat digunakan empat macam batasan, yaitu: (1) aspek material dari ekspresi linguistik, baik secara fonetis maupun secara grafis; (2) aspek kognitif yang terlibat ketika memproduksi konsep abstrak atau ketika menyadari muatan perseptif; (3) objek, ciri, dan keadaan di dunia nyata yang dirujuk melalui ekspresi linguistik; dan (4) penutur (speaker) dan konteks spesifik dari situasi ketika ungkapan linguistik tersebut digunakan.28 Dalam bahasa lain, makna karya sastra ditentukan oleh konvensi tambahan

26

Paramita Nadia, Semiotika dalam Desain Komunikasi, artikel diakses pada 6 April

2015 dari

http://www.academia.edu/4049657/Semiotika_dalam_Desain_Komunikasi_Visual_roland_bartes. 27

Paramita Nadia, Semiotika dalam Desain Komunikasi, artikel diakses pada 6 April

2015 dari

http://www.academia.edu/4049657/Semiotika_dalam_Desain_Komunikasi_Visual_roland_bartes. 28


(32)

20 (konotasi) atau semiotika tingkat kedua, meskipun tidak lepas sama sekali dari arti bahasanya.

Dalam tindak komunikasi bahasa, peran yang terlibat di dalamnya hanya tiga: komunikator, komuniken, dan komunike. Karya sastra juga merupakan salah satu tindak komunikasi yang melibatkan bermacam-macam komponen. Menurut pendekatan semiotik, dalam tindak komunikasi sastra, banyak komponen yang terlibat di dalamnya. Di antaranya terdapat delapan komponen: pencipta, karya sastra, pembaca, kenyataan atau semesta, sistem bahasa, konvensi sastra, variasi bentuk karya sastra dan nilai keindahan.29

Dalam berbahasa kita tidak bisa melepas makna konotasi. Kalaulah konotasi dan gaya bahasa itu dihilangkan, maka musnahlah puisi dan berbagai macam karya sastra. Berikut adalah kata-kata Chairil Anwar yang mempunyai kadar konotatif yang tinggi. Puisi di bawah ini begitu manis, padat arti yang tersembunyi, di dalamnya penuh nada-nada kegaiban dan pesona. Kita dapat melihat setiap baris sajak tidak bisa ditekuni maksudnya, kita dapat menyelami maknanya tanpa melihat tautan baris lain. Makna kata dan ungkapan merupakan persoalan konteks.

Penerimaan

Kalau kau mau kuterima kembali Dengan sepenuh hati

Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi Bak kembang sari sudah terbagi

29


(33)

21 Jangan tunduk! Tendang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kembali Untukku sendiri tapi

Sedang dengan cermin aku enggan berbagi30

Dalam catatan lain, Chairil Anwar sadar mengatakan dirinya

sendiri sebagai “Aku ini binatang jalang”, telah merangsang pancaindra

dengan kata jalang. Rangsangan tersebut dapat kita uji dengan kata-kata sinonim yang lain seperti berikut:

Aku ini binatang jalang Aku ini binatang buas Aku ini binatang liar

Konotasi jalang, buas, dan liar berbeda-beda kadarnya bagi setiap pembaca maupun pendengar, tetapi terasa kurang enak dan menakutkan.31

Dijelaskan pula oleh Piliang bahwa makna denotasi adalah pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, dengan kata lain tanda dan rujukan yang realistis, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti.32 Makna denotasi (denotaive meaning) adalah makna yang sesungguhnya atau makna pada apa yang ada. Denotasi merupakan tanda yang penandaannya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakan yang tinggi. Dalam catatan lain, makna denotasi merupakan makna kosakata yang dikuasai seseorang yang merupakan bagian utama memori semantis yang

30

A. Chaedar Alwasilah, Linguistik Suatu Pengantar, (Bandung: Angkasa, 1993), h. 162-163.

31

J. D. Parera, Teori Semantik, cet. ke-II, h. 99-100. 32

Chris Barker, Cultural Studies (Teori dan Praktik), (Jogjakarta, Kreasi Wacana, 2009) h. 94-95.


(34)

22 tersimpan dalam otak kita.33 Denotasi-denotasi tersebut biasanya merupakan hasil penggunaan atau pemakaian kata-kata selama berabad-abad; semua itu akhirnya termuat dalam kamus dan berubah dengan cara yang sangat lambat.34

Sedangkan konotasi adalah tingkat penandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang di dalamnya terdapat makna yang tidak sesuai dengan apa yang tampak, tidak langsung, dan tidak pasti. Dengan kata lain, makna konotatif adalah makna yang tidak mudah dipahami.35 Ia menciptakan makna lapis kedua yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologis, yang mencakup perasaan, emosi,

keyakinan. Misalnya, tanda “boneka” mempunyai konotasi “cinta dan kasih sayang”. Makna lapis kedua dapat dihasilkan oleh konotasi yang bersifat

tersembunyi dan implisit, maka hal yang demikian disebut dengan makna konotatif (conotative meaning).

Makna konotasi juga merupakan responsi-responsi emosional yang seringkali bersifat perorangan yang timbul dalam kebanyakan kata-kata leksikal pada kebanyakan para pemakainya. Justri itu konotasilah yang memisahkan, bukan denotasi, seperti

Langsing dari kurus Gagah dari gemuk Kasar dari agresif Agresif dari tegas

33

Kushartanti, dkk, Pesona Bahasa (Langkah Awal Memahami Linguistik), (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 115.

34

Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik, h. 56. 35


(35)

23 Setiap kata di atas pada prisipnya mengandung denotasi atau makna pusat yang sama, tetapi jelas kata-kata tersebut menimbulkan responsi-responsi yang berbeda karena konotasi-konotasi yang terkandung di dalamnya. Namun demikian konotasi-konotasi tersebut masih dapat dikatakan

bersifat kolektif. Kebanyakan orang akan menyetujui bahwa “langsing” misalnya, merupakan hal yang disenangi, sedangkan “kurus” membayangkan

kerempeng akibat kurang urus.36

Konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai

“Mitos” dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran

bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.37 Maka dari itu, konotasi yang mantap akan berkembang menjadi sebuah mitos yaitu makna yang tersembunyi dan secara sadar disepakati oleh sebuah komunitas. Mitos yang mantap akan berkembang menjadi sebuah ideologi, yaitu sesuatu yang mendasari pemikiran sebuah komunitas sehingga secara tidak sadar ideologi tersebut mempengaruhi pandangan mereka.

Pada tingkat denotasi bahasa melahirkan konvensi sosial yang bersifat eksplisit yaitu kode-kode yang makna tandanya naik ke permukaan berdasarkan relasi penanda dan petandanya. Sebaliknya, kode-kode yang makna tandanya bersifat implisit dilahirkan oleh konotasi. Dengan kata lain, kode tersebut memiliki muatan makna yang tersembunyi. Menurut Barthes, makna tersembunyi adalah kawasan dari ideologi atau mitologi. Selain itu, Barthes menunjukkan, ketika kebudayaan mewujudkan dirinya di dalam

36

Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Semantik, h. 56. 37

Paramita Nadia, Semiotika dalam Desain Komunikasi, artikel diakses pada 6 April 2015 dari


(36)

24 teks, maka ideologipun mewujudkan dirinya melalui berbagai kode yang merembes masuk ke dalam teks bentuk penanda-penanda penting, seperti tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain.38

Bahasa sebagai sarana komunikasi bermakna tidak dapat melaksanakan fungsinya secara lengkap tanpa adanya makna konotasi. Karena bahasa dapat dikatakan hidup dan berkembang jika bahasa tersebut memiliki makna denotasi dan konotasi serta komunikasi antar sesama manusia akan terasa lebih hidup. Berbahasa tanpa memanfaatkan konotasi akan terasa hambar, kecuali ilmu pengetahuan dan teknologi.39 Dalam buku

Mansoer Pateda, Harimurti berpendapat bahwa, “Aspek makna sebuah atau

sekelompok kata yang didasarkan atas perasaan atau pikiran yang timbul atau ditimbulkan pada pembicara (penulis) dan pendengar (pembaca).” Dengan kata lain, makna konotatif merupakan makna leksikal, yaitu makna yang ditentukan oleh stilistis fungsional dan nuansa ekspresi pengungkapan bahasa.40

Dengan demikian, perbedaan makna konotatif dan denotatif

didasarkan pada ada atau tidak adanya “nilai rasa” pada sebuah kata. Setiap

kata, terutama yang disebut kata penuh, mempunyai makna denotatif, tetapi tidak setiap kata mempunyai makna konotatif.

38

Paramita Nadia, Semiotika dalam Desain Komunikasi, artikel diakses pada 6 April 2015 dari

http://www.academia.edu/4049657/Semiotika_dalam_Desain_Komunikasi_Visual_roland_bartes. 39

J. D. Parera, Teori Semantik, cet. ke-II, h. 97. 40

Zaenal Arifin, Cermat Berbahasa Indonesia (Jakarta, Akademia Pressindo, t.t). h. 25-27.


(37)

25

Bab III

A. Biografi M. Quraish Shihab a. Riwayat Hidup

Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang (Sulawesi Selatan) pada 16 Februari 1944. Ia berasal dari keturunan Arab yang terpelajar. Ayahnya, Prof. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang ulama, pengusaha, dan politikus yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Ia mengahbiskan masa pendidikan dasarnya di Makasssar (dulu Ujung Pandang) setelah itu melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang dan menyandang gelar “santri” di Pondok Pesantren Darul Hadits al-Faqihiyyah.

Berkat ketekunan dalam menyelami studi Islam dan kemampuan bahasa Arab yang dimilikinya, ia serta adiknya (Alwi Shihab) disekolahkan di Al Azhar Cairo. Mereka dikirim ke Kairo pada tahun 1958, saat itu usianya

menginjak 14 tahun. Mereka diterima di kelas dua I‟dadiyah Al Azhar

(setingkat SMP/Tsanawiyah di Tanah Air). Ia meraih gelar Lc (S-1) pada tahun 1967 jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Al Azhar. Setelah itu, cendekiawan ini melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama dan meraih gelar MA pada tahun 1969 untuk spesialis bidang tafsir

al-Quran dengan tesisnya yang berjudul “al-I‟jaz at-Tasryri‟i Al-Qur‟an Al -Karim (Kemukjizatan Al-Qur‟an Al-Karim dari Segi Hukum)”. Pada tahun


(38)

26 1980, ia melanjutkan pendidikannya di universitas yang sama. Dalam kurun waktu dua tahun, ia berhasil menyandang gelar doktor dalam bidang ilmu-ilmu al-Quran dengan disertasinya yang berjudul Nazhm Durar li

Al-Biqa‟iy, Tahqiq wa Dirasah (Suatu Kajian dan Analisa terhadap Keotentikan Kitab Nazm ad-Durar Karya al-Biqa‟i)”, saat itu ia berhasil meraih gelar

doktornya dengan predikat Summa Cum Laude dengan penghargaan tingkat I (Mumtaz ma‟a martabat al-asyraf al-„ula).41

Quraish Shihab menikah dengan Fatmawaty Assegaf pada 2 Februari 1975 di Solo. Mereka dikaruniai lima orang anak, Najelaa, Najwa, Nasywa, Ahmad dan Nahla. Najelaa menikah dengan Ahmad Fikri Assegaf dan memiliki tiga anak, Fathi, Nishrin dan Nihlah. Putri kedua, Najwa Shihab menikah dengan Ibrahim Syarief Assegaf dan memiliki dua orang anak, Izzat dan almarhumah Namiya. Putri ke tiga Nasywa, menikah dengan Muhammad Riza Alaydrus, dan memiliki dua orang putri, Naziha dan Nuha. Ahmad Shihab, satu-satunya anak laki-laki dari Quraish Shihab, menikah dengan Sidah Al Hadad.42

b. Karir

Ketika kembali ke Makassar, setelah menyelesaikan pendidikan S-2nya, Quraish Shihab dipercaya untuk menjabat Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin. Selain itu, Ia juga

41 Sriwulandari, “Biografi M. Quraish Shihab” diakses pada 5 Mei 2015 dari

http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/35/jtptiain-gdl-s1-2006-sriwulanda-1727-1101004_-3.pdf.

42 Muchlis M. Hanafi, “Profil M. Quraish Shihab” diakses pada 5 Mei 2015 dari http://Quraishshihab.com/profile/.


(39)

27 diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam lingkungan kampus seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia Bagian Timur, maupun di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang, Ia juga sempat melakukan beberapa penelitian; antara lain, penelitian dengan tema

“Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur” (1975) dan “Masalah Wakaf Sulawesi Selatan” (1978).

Pada tahun 1984, setelah menyelesaikan program doktornya di universitas yang sama, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu, di luar kampus, Ia juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984); Anggota

Lajnah Pentashbih Al Qur‟an Departemen Agama (sejak 1989); Anggota

Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989). Quraish Shihab juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional; antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-Ilmu Syari`ah; Pengurus Konsorsium Ilmu-Ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Saat ini, Quraish Shihab aktif menulis artikel, buku dan karya-karyanya diterbitkan oleh Penerbit Lentera Hati. Salah satu karanya yang terkenal adalah Tafsir al-Mishbah, yaitu tafsir lengkap yang terdiri dari 15 volume dan telah diterbitkan sejak 2003. Aktivitas lainnya yang ia lakukan adalah sebagai Dewan Redaksi Studia Islamika: Indonesian journal for Islamic Studies, Ulumul Qur „an, Mimbar Ulama, dan Refleksi jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Di sela-sela segala


(40)

28 kesibukannya itu, ia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri.

Selain sebagai penulis, sehari-hari Quraish Shihab memimpin Pusat Studi al-Qur‟an, lembaga non profit yang bertujuan untuk membumikan al

-Qur‟an kepada masyarakat yang pluralistik dan menciptakan kader mufasir

(ahli tafsir) al-Qur‟an yang profesional.43

c. Karya-Karya

Sebagai seorang Guru Besar pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan sebagai ahli Tafsir al-Qur'an yang amat disegani, M. Quraish Shihab telah menghasilkan karya-karya ilmiah. Berdasarkan pada latar belakang keilmuan yang kokoh yang beliau tempuh melalui pendidikan formal serta ditopang oleh kemampuan menyampaikan pendapat dan gagasan dengan bahasa yang sederhana, tetapi lugas, rasional dan kecenderungan pemikiran yang moderat, beliau hadir sebagai penceramah dan penulis yang bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat. Beberapa karya yang telah dihasilkannya antara lain:

a. Tafsir Mawdhû’î (Tematik)

Tafsir al-Qur‟an yang disusun berdasarkan tema-tema tertentu. Berikut karya-karya M. Quraish Shihab yang merupakan tafsir tematik atau menggunakan pendekatan tafsir tematik:

43

Muchlis M. Hanafi, “Profil M. Quraish Shihab” diakses pada 5 Mei 2015 dari http://Quraishshihab.com/profile/.


(41)

29 i. Wawasan al-Qur‟an (Mizan, 1996).

ii. Secercah Cahaya Ilahi (Mizan, 2000).

iii. Menyingkap Tabir Ilahi: al-Asmâ‟ al-Husnâ dalam Perspektif al-

Qur‟an (Lentera Hati, 1998).

iv. Yang Tersembunyi: Jin, Malaikat, Iblis, Setan (Lentera Hati, 1999). v. Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah, Pandangan Ulama Masa Lalu

dan Cendekiawan Kontemporer (Lentera Hati, 2004).

vi. Perempuan [Dari Cinta Sampai Seks, Dari Nikah Mut'ah sampai Nikah Sunnah, Dari Bias Lama sampai Bias Baru] (Lentera Hati, 2004).

vii. Pengantin al-Qur‟an (Lentera Hati, 2007).

b. Tafsir Tahlîlî

Tafsir al-Qur‟an yang disusun berdasarkan urutan ayat ataupun surah dalam mushaf al-Qur‟an dan mencakup berbagai masalah yang berkenaan dengannya. Karya M. Quraish Shihab yang termasuk dalam kategori ini sebagai berikut:

i. Mahkota Tuntunan Ilahi: Tafsir Surah al-Fâtihah (Untagma, 1988).

ii.Tafsir al-Qur‟an al-Karim: Tafsir atas Surah-surah Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu (Pustaka Hidayah, 1997).

iii.Tafsir al-Mishbah (Lentera Hati, 2000).

iv. Perjalanan Menuju Keabadian: Kematian, Surga, dan Ayat-Ayat Tahlil (Lentera Hati, 2001).


(42)

30

v. Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju Allah swt. (Lentera Hati, 2002).

c. Tafsir Ijmali (Global)

Sebuah penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur‟an dengan cara mengemukakan makna ayat secara garis besar, dengan mengikuti urutan surah-surah dalam al-Qur‟an sebagaimana metode Tahlîlî. Karya M. Quraish Shihab yang menjelaskan intisari kandungan ayat-ayat al-Qur‟an ini yaitu, Al-Lubâb: Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-Surah al-Qur‟an (Lentera Hati, 2012).

d. Terjemah al-Qur’an.

Berawal dari ketidakpuasan M. Quraish Shihab terhadap terjemahan al-Qur‟an yang banyak beredar selama ini, karya ini lahir. Banyak ulama menegaskan bahwa al-Qur‟an tidak dapat diterjemahkan dalam arti dialihbahasakan, karena tak ada bahasa di dunia yang cukup kaya untuk merangkum seluruh makna yang dikandungnya. Oleh karenanya, karya beliau ini diberi judul, Al-Qur‟an dan Maknanya (Lentera Hati, 2010).

e. Maqâlât Tafsîriyyah (Artikel-artikel Tafsir):

i. Membumikan al-Qur‟an (Mizan, 1992). ii. Lentera Hati (Mizan, 1994).

iii. Menabur Pesan Ilahi: Al-Qur‟an dan Dinamika Kehidupan Masyarakat (Lentera Hati, 2006).


(43)

31

f. Ulumul Qur’an dan Metodologi Tafsir

i. Tafsir al-Manar: Keistimewaan dan Kelemahannya* (IAIN Alauddin, 1984).

ii. Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Karya Muhammad Abduh dan M. Rasyid Ridha (*diterbitkan kembali oleh Pustaka Hidayah Bandung, 1994).

iii. Rasionalitas al-Qur‟an: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar (*diterbitkan kembali oleh Lentera Hati, 2005).

iv. Filsafat Hukum Islam (Departemen Agama, 1987).

v. Mukjizat al-Qur‟an (Mizan, 1996).

vi. Kaidah Tafsir (Lentera Hati, 2013).

g. Tsaqâfah Islâmiyah (Wawasan Keislaman)

i. Haji Bersama M. Quraish Shihab (Mizan, 1998). ii. Dia Di Mana-Mana (Lentera Hati, 2004).

iii. Wawasan al-Qur‟an tentang Zikir dan Doa (Lentera Hati, 2006). iv. Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-Batas Akal dalam

Islam (Lentera Hati, 2005).

v. Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah? Kajian atas Konsep Ajaran dan Pemikiran (Lentera Hati, 2007).

vi. Yang Ringan Jenaka (Lentera Hati, 2007). vii. Yang Sarat dan yang Bijak (Lentera Hati, 2007).

viii. M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui (Lentera Hati, 2008).


(44)

32 ix. Ayat-Ayat Fitna: Sekelumit Keadaban Islam di Tengah

Purbasangka (Lentera Hati dan Pusat Studi al-Qur‟an, 2008). x. Berbisnis dengan Allah (Lentera Hati, 2008).

xi. Doa Harian bersama M. Quraish Shihab (Lentera Hati, 2009). xii. M. Quraish Shihab Menjawab 101 Soal Perempuan yang Patut

Anda Ketahui (Lentera Hati, 2010).

xiii. Membaca Sirah Nabi Muhammad saw. dalam Sorotan al-Qur‟an dan Hadits-Hadits Shahih (Lentera Hati, 2011).

xiv. Doa Asmaul Husna: Doa yang Disukai Allah (Lentera Hati, 2011). xv. Haji dan Umrah Bersama M. Quraish Shihab (Lentera Hati, 2012). xvi. Kematian adalah Nikmat (Lentera Hati, 2013).

xvii. M. Quraish Shihab Menjawab pertanyaan Anak tentang Islam (Lentera Hati, 2014).

xviii. Birrul Walidain (Lentera Hati, 2014).44

B. Tafsir al-Mishbâh M. Quraish Shihab

1. Gambaran Teks Penerjemahan Tafsir al-Mishbâh

Buku tafsir ini dinamai Al-Mishbâh: pesan dan keserasian al-Quran. Terdapat dua hal yang mendasari penamaan karya tersebut, pertama, di dalam kata pengantar sedikit dijelaskan bahwa nama al-Mishbâh berasal dari bahasa Arab yang berarti: lampu, pelita, lentera, dan benda-benda sejenisnya yang memberi penerangan bagi mereka yang berada dalam kegelapan. Dengan

44Muchlis M. Hanafi, “Karya

-Karya M. Quraish Shihab” diakses pada 5 Mei 2015 dari http://Quraishshihab.com/work/.


(45)

33 demikian, mengacu pada hal tersebut beliau mengharapkan bahwa buku ini dapat dapat memberikan petunjuk dan pedoman hidup bagi mereka yang terkendala bahasa.45 Kedua, didasarkan pada kegiatan awal mula beliau menulis di jakarta, Quraish diminta untuk menjadi pengasuh dari rubrik

“Pelita Hati” pada harian Pelita, pada tahun 1980-an. Tampaknya uraian-uraian yang disajikan menarik banyak pihak, karena memberikan nuansa yang sejuk, tidak bersifat menggurui dan menghakimi. Pada tahun 1994, kumpulan dari tulisannya itu diterbitkan oleh penerbit Mizan dengan judul Lentera Hati, yang ternyata menjadi best seller dan mengalami cetak ulang beberapa kali. Kumpulan dari rubrik Pelita Hati diterbitkan dengan judul Lentera hati, yang mana sebagian besar isi buku tersebut banyak diadopsi dalam penulisan Tafsir al-Misbah. Sebagaimana hasil analisis bahwa judul dari kumpulan tulisannya adalah Lentera Hati yang mana Lentera mempunyai padanan dengan pelita yaitu sama-sama memberikan penerangan. Dan dalam bahasa Arab, lentera, pelita, lampu dipadankan dengan kata mishbah.46

Setiap karya terdapat motifasi yang melatar belakangi para penulisnya, tak terkecuali Tafsir al-Mishbah. Terdapat dua hal yang melatarbelakangi penulis, mengapa buku ini harus ditulis, pertama, penulis merasa mempunyai tanggung jawab moral sebagai ulama yang wajib memberikan penerangan kepada umatnya sesuai dengan bidang yang ia geluti. Rasa tanggung jawab tersebut muncul ketika menyadari bahwa al-Quran harus dipahami maknanya. Mengenai hal tersebut, beliau

45

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbâh (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran),

(Tangerang: Lentera Hati, 2000), vol. I, h. 176-177. 46

Asep Badru Takim, Takhrij Hadis-Hadis Kitab Tafsir al-Mishbâh, (Tangerang, T.pn. 2010), h. 24.


(46)

34

mengungkapkan bahwa, “Adalah kewajiban para ulama untuk

memperkenalkan al-Quran dan menyuguhkan pesan-pesan yang terkandung

di dalamnya sesuai dengan harapan dan kebutuhan.”47

Kedua, tidak sedikit umat Islam yang mempunyai keterkaitan yang luar biasa terhadap makna-makna al-Quran, tetapi banyak ditemukan kendala, seperti waktu, ilmu-ilmu pendukung, dan kelangkaan buku-buku rujukan. Motifasi M. Quraish Shihab dalam menulis dan menyusun Tafsir al-Mishbâh ini nampaknya sejalan dengan apa yang diungkapkan dengan Ibnu Katsir dalam muqaddimah tafsirnya, “Adalah menjadi kewajiban para ulama untuk mengungkapkan

maksud dari kalam ilahi, menafsirkannya, mempelajarinya, dan

mengajarkannya.”48

2. Karakter Penerjemahan Tafsir Al-Mishbâh

Penerjemah ayat-ayat al-Quran dalam Tafsir al-Misbâh ditulis dengan menggunakan metode penerjemahan komunikatif yang mana penerjemahan teks tersebut berorientasi pada bahasa sasaran. Sesuai dengan namanya, Newmark mengungkapkan bahwa metode penerjemahan ini memperhatikan prinsip-prinsip komunikatif yang mengupayakan reproduksi makna kontekstual teks bahasa sumber sedemikian rupa ke dalam teks sasaran, baik aspek kebahasaan maupun aspek isinya yang langsung dimengerti oleh pembaca dan pesan dalam bahasa sasarannya pun langsung dapat diterima.49 Mengacu pada prinsip komunikatif, terjemahan yang dihasilkan dengan

47

M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran, (Bandung: Mizan, 1992), h. 12. 48

Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir,(Kairo: Mathba‟ah al-Istiqomah, 1958), jilid 1, h. 3. 49

Frans Sayogie, Penerjemahan Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2008), h. 88-89.


(47)

35 metode ini terlihat bersifat lebih sosial, lebih berkonsentrasi dalam pengalihan pesan dari teks sumber, lebih sederhana, lebih jelas untuk dipahami, lebih singkat dan alami dalam menyampaikan pesan yang terkandung dalam teks sumber. Metode ini dilakukan untuk mengantisipasi dan mempertimbangkan tingkat kematangan berbahasa pembaca dan pesan yang disampaikan.


(48)

36

Bab IV

Analisis Makna Konotatif pada Terjemahan al-Quran Surat an-Nisa dalam Tafsir al-Mishbâh karya M. Quraish Shihab

A.Temuan

Dari sumber data yang telah diteliti, peneliti menemukan 12 terjemahan ayat al-Quran dalam surat an-Nisa pada Tafsir al-Mishbâh yang mengandung makna konotatif. Selanjutnya, peneliti akan menganalisis dan mengkategorikan masing-masing temuan ke dalam tiga macam konotasi, yaitu: konotasi positif, konotasi netral, dan konotasi negatif yang selanjutnya akan dibahas pada sub bab B pada bab ini.

1. Konotasi Positif





“Apakah engkau tidak melihat orang-orang yang memuji diri mereka bersih? Sebenarnya Allah memuji dan membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun.” (Q.S An-Nisa: 49).50

50


(49)

37

2. Konotasi Netral



















“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama harta kamu. Sesungguhnya itu adalah dosa yang besar.” (Q.S An-Nisa: 02).51





































“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka mencapai pernikahan. Maka

jika kamu telah mengetahui adanya pada mereka kecerdasan, maka

51


(50)

38 serahkanlah kepada mereka harta-harta mereka. Dan janganlah kamu memakan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan tergesa-gesa sebelum mereka dewasa. Barang siapa yang mampu, maka hendaklah ia menhan diri dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia memakan harta itu menurut yang patut. Lalu apabila kamu menyerahkan harta mereka kepada mereka, maka hendaklah kamu mempersaksikan atas

mereka. Dan cukuplah Allah menjadi pengawas.” (Q.S: An-Nisa: 06).52





“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perut mereka dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Q.S An-Nisa:

10).”53









52

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, h. 349. 53


(51)

39

“Dan para wanita yang mendatangi perbuatan yang sangat keji dari wanita-wanita kamu, maka hendaklah kamu mempersaksikan atas mereka empat orang saksi lelaki di antara kamu. Lalu apabila mereka telah memberi persaksian, maka tahanlah mereka dalam rumah sampai maut menyempurnakan ajal mereka, atau sampai Allah memberi buat mereka

jalan (penyelesaian).” (Q.S An-Nisa: 15).54













































“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengetahui apa yang kamu ucapkan, dan tidak juga dalam keadaan junub terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau salah seorang di antara kamu kembali dari tempat yang

54


(1)

58 24 pada surat an-Nisa kata menikmati disandingkan dengan kata istri yang disajikan dalam bentuk kalimat pasif yaitu istri-istri yang telah kamu nikmati. Secara denotatif, menikmati berarti merasai (sesuatu yang nikmat atau lezat) seperti makanan dan minuman.97 Secara konotatif, kata “nikmati” dalam konteks terjemahan surat an-Nisa ayat 24 bermakna “menyetubuhi”. Kata “nikmati” tersebut mengandung konotasi negatif karena kata tersebut tidak pantas digunakan dan disandingkan dengan kata isrti.

97


(2)

59 Bab V

Penutup

A. Kesimpulan

Hasil dari penelitian ini disimpulkan bahwa ayat-ayat yang mengandung makna konotasi ditemukan sebanyak 12 ayat, yaitu:

Dalam ayat 49 pada kata ىّزي dari kata membersihkan ke melenyapkan. Dalam ayat 02 dan 06 pada kata اْولّْأت dari makan ke menggunakan. Dalam ayat 10 pada kata نْولّْأي dari makan ke menggunakan. Dalam ayat 15 pada kata ٌء سن (wanita) dan kata ىّو ي dari menyempurnakan ke mencabut. Dalam ayat 01 pada kata ب dari memperkembangbiakkan ke melahirkan. Dalam ayat 76 pada kata ٌء يلْوأ “wali”. Dalam ayat 112 pada kata ل حإ dari kata memikul ke menanggung. Dalam ayat 155 pada kata عبط dari mengunci ke menutup. Dalam ayat 19 pada kata ثّت dari mempusakai ke mewarisi. Dalam ayat 24 pada kata ْم ْع ْ سإ dari menikmati ke menyetubuhi. Dalam ayat 43 pada kata بّْقت dari mendekati ke mendirikan.

Makna konotatif yang terdapat dalam terjemahan al-Quran surat an-Nisa pada Tafsir al-Mishbâh cenderung memiliki konotasi negatif karena dari data yang diteliti sebanyak 12 temuan, 6 terjemahan ayat di antaranya mengandung konotasi negatif, 5 terjemahan ayat mengandung konotasi netral dan 1 terjemahan ayat mengandung konotasi positif.

B. Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti menyadari bahwa masih terdapat beberapa hal yang belum sempurna. Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat menjadi pedoman yang bermanfaat bagi seluruh pembaca. Peneliti menghimbau


(3)

60 kepada pembaca bahwa kandungan isi Tafsir al-Mishbâh Karya M. Quraish Shihab sangat penting untuk dikonsumsi di kehidupan sehari-hari. Masih banyak makna konotasi yang terdapat dalam surat-surat lainnya yang perlu diteliti karena peneliti membatasi objek penelitiannya dengan menggunakan surat an-Nisa. Rekomendasi tersebut dilontarkan guna menjadi tolak ukur dan acuan bagi peneliti selanjutnya.


(4)

61

Daftar Pustaka

Alfarisi, M. Zaka. Pedoman Penerjemahan Arab-Indonesia. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.

Alwasilah, A. Chaedar. Linguistik Suatu Pengantar. Bandung: Angkasa, 1993. Arifin, Zaenal. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Akademia Pressindo, t.t. Badudu, J. S. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar. Jakarta: T.pn., 1995.

Barker, Chris. Cultural Studies (Teori dan Praktik). Jogjakarta: Kreasi Wacana, 2009.

Chaer, Abdul. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta, 1994.

Hanafi, Muchlis M. “Karya-Karya M. Quraish Shihab” diakses pada 5 Mei 2015 dari http://Quraishshihab.com/work/.

Hanafi, Muchlis M. “Profil M. Quraish Shihab” diakses pada 5 Mei 2015 dari http://Quraishshihab.com/profile/.

Hidayatullah, Moch. Syarif. Metode Mudah Menerjemahkan Arab-Indonesia. Tangerang: Dikara, 2010.

Hidayatullah, Moch. Syarif. Seluk Beluk Penerjemahan Arab-Indonesia Kontemporer. Tangerang: UIN Press, 2014.

Kamil, Sukron. Najib Mahfudz Sastra (Islam dan Politik). Jakarta: Dian Rakyat, 2013.


(5)

62 Kushartanti, dkk. Pesona Bahasa (Langkah Awal Memahami Linguistik). Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Mahsun. Metodologi Penelitian Bahas. Jakarta: Grafindo, 2013. Muhammad. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Arruz Media, 2011.

Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.

Nababan, M Rudolf. Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.

Nadia, Paramita. Semiotika dalam Desain Komunikasi, artikel diakses pada 6 April 2015 dari

http://www.academia.edu/4049657/Semiotika_dalam_Desain_Komunikasi _Visual_roland_barthes.

Parera, J. D. Teori Semantik. Jakarta: Erlangga, 2004.

Sayogie, Frans. Penerjemahan Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia. Tangerang: Lembaga Penelitian UIN, 2008.

Shihab, M. Quraish. Membumikan al-Quran. Bandung: Mizan, 1992.

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Mishbâh (Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran). Tangerang: Lentera Hati, 2000.

Sriwulandari, “Biografi M. Quraish Shihab” diakses pada 5 Mei 2015 dari http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/35/jtptiain-gdl-s1-2006-sriwulanda-1727-1101004_-3.pdf.

Subuki, Makyun. Semantik (Pengantar Memahami Makna Bahasa). Tangerang: TransPustaka, 2011.


(6)

63 Suryawinata & Sugeng. Translation: Bahasan Teori dan Penuntun Praktis

Menerjemahkan. Yoyakarta: Kanisius, 2003.

Takim, Asep Badru. Takhrij Hadis-Hadis Kitab Tafsir al-Mishbah. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tarigan, Henry Guntur. Pengajaran Semantik. Bandung: Penerbit Angkasa, 1985. Tim Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:

Gramedia, 2008.