commit to user
3 Pemanfaatan suatu bahan pakan dapat ditingkatkan dengan pengaturan
pemberian pakan yang optimal Siregar, 1994. Menurut Schneider dan William 1975 penentuan waktu pemberian pakan harus cermat dilakukan
dengan mengamati kebiasaan burung sehari-hari terutama perilaku induk pada saat memberi makan anakan A. fuciphagus. Dengan latar
belakang tersebut, perlu dilakukan penelitian mengenai kandungan nutrisi O. smaragdina dan frekuensi pemberian pakan yang tepat untuk dapat
meningkatkan pertumbuhan, kecepatan pertumbuhan bulu, dan menurunkan angka kematian pada anakan A. fuciphagus.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, dapat dibuat suatu rumusan masalah sebagai berikut:
1. Berapakah kadar karbohidrat, protein, dan lipid pada telur O. smaragdina?
2. Bagaimana pengaruh frekuensi pemberian telur O. smaragdina terhadap pertumbuhan, kelangsungan hidup, dan kecepatan
pertumbuhan bulu anakan A. fuciphagus?
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
commit to user
4 1. Mengetahui pengaruh frekuensi pemberian telur O. smaragdina
terhadap pertumbuhan, kelangsungan hidup, dan kecepatan pertumbuhan anakan A. fuciphagus.
2. Mengetahui kadar karbohidrat, protein, dan lipid pada telur O.
Smaragdina.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam teknik pemberian pakan pada pemeliharan anakan A. fuciphagus.
commit to user
5
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Klasifikasi dan Morfologi Walet Sarang Putih Aerodramus
fuciphagus
Kingdom : Animalia
Phyllum : Cordata
Class : Aves
Ordo : Apodiformes
Famili : Apodidae
Marga : Aerodramus
Species : Aerodramus fuciphagus
MacKinnon, 1990 A. fuciphagus berukuran sedang, berwarna coklat kehitam-
hitaman. Tubuh bagian atas coklat kehitaman dengan tungging abu-abu pucat atau coklat, ekornya sedikit menggarpu, tubuh bagian bawah
coklat. Iris coklat gelap, paruh berwarna hitam, kaki berwarna hitam. Sarang A. fuciphagus dibuat pada celah-celah batu karang pantai
atau dalam gua kapur yang dalam. Seluruh sarangnya terbuat dari ludah yang mengeras dan sangat berharga sebagai “sarang burung putih”.
Bertelur dua butir yang berbentuk memanjang dengan cangkang berwarna putih. Bersarang secara musiman. A. Fuciphagus merupakan
5
commit to user
6 burung liar yang memiliki ekholokasi atau kemampuan melokasikan
gema di kegelapan gua dengan suara panggilan gemerincing yang keras MacKinnon, 1990.
2. Habitat dan Penyebaran A. fuciphagus A. Fuciphagus adalah burung aerial, sepanjang hari terbang tanpa
istirahat di udara sambil mencari makan berupa serangga terbang. Burung ini mencari makanan di beberapa tipe habitat yaitu hutan, sawah, tegal,
sungai, dan rawa Marzuki, 1997; Chasanatun, 1998. Tempat beristirahat pada malam hari dan berbiak A. Fuciphagus adalah di gua-gua atau di
celah-celah batu. Selain itu, A. Fuciphagus juga menggunakan atap rumah untuk beristirahat dan berbiak. Adaptasi baru ini mendorong orang
untuk mengembangkan budidaya rumah Walet MacKinnon, 1990. Penyebarannya di alam meliputi Filipina, Kalimantan, Sumatera, Jawa,
dan Bali MacKinnon, 1990. Beberapa faktor abiotik yang mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anakan A. Fuciphagus adalah temperatur dan kelembaban udara. Sesuai habitat aslinya yang berada di dalam gua, Burung Walet
membutuhkan suhu ruang antara 27-30
o
C, kelembabannya antara 85-95 dan intensitas cahaya 0.6 lux Marzuki, 1997. Tetapi
anakan pada fase starter belum memiliki bulu untuk menjaga suhu tubuhnya sehingga anakan membutuhkan suhu lebih tinggi yaitu 31-34
o
C dan kelembaban 70 Nugroho dkk, 1996.
commit to user
7 Menurut Marzuki 1997 kotoran burung yang ada di dalam
sarang akan mengeluarkan gas-gas yang berbahaya terutama bagi anakan burung yaitu CO
2
dan amonia. Sedangkan jenis predator yang sering memangsa dan menganggu pertumbuhan anakan A. Fuciphagus adalah
semut dan tikus. Dalam ekosistem gua A. Fuciphagus juga memiliki peranan
penting. Bersama dengan kelelawar, Burung Walet merupakan pemasok utama energi dan materi bagi ekosistem gua. Kotoran Walet dan
kelelawar yang menjadi guano atau tubuh Burung Walet dan kelelawar yang mati merupakan sumber makanan bagi komunitas biota gua
MacKinnon, 1996.
3. Sistem Pencernaan A. fuciphagus Pada mulut terdapat paruh yang sangat kuat dan berfungsi untuk
mengambil makanan. Makanan yang diambil oleh paruh kemudian masuk kedalam rongga mulut lalu menuju esofagus. Bagian bawah esofagus
membesar berupa kantong yang disebut tembolok, kemudian masuk ke lambung kelenjar. Disebut lambung kelenjar proventrikulus karena
dindingnya mengandung kelenjar yang menghasilkan getah lambung yang berfungsi untuk mencerna makanan secara kimiawi. Selanjutnya makanan
masuk menuju lambung pengunyah yang disebut lambung pengunyah karena dindingnya mengandung otot-otot kuat yang berguna untuk
menghancurkan makanan, dan masuk menuju usus halus Yeh, 2005
commit to user
8 Enzim yang dihasilkan oleh pankreas dan empedu dialirkan kedalam
usus halus. Hasil pencernaan berupa sari-sari makanan diserap oleh kapiler darah pada dinding usus halus. Burung mempunyai dua usus buntu yang
terletak antara lambung dan usus. Usus buntu berguna untuk memperluas daerah penyerapan sari makanan. Sisa makanan didorong ke usus besar
kemudian ke dalam poros usus rektum dan akhirnya dikeluarkan melalui kloaka Pearce, 2006
Burung Walet adalah pemakan serangga primer. Jenis serangga yang menjadi makanan utamanya adalah serangga terbang. Berdasarkan
penelitian dengan analisis isi lambung burung, Prawiradilaga 1990 mendapati 37 marga dari 10 bangsa serangga yang menjadi makanan
Burung Walet. Urutan dominasi bangsa serangga tersebut adalah Burung Walet adalah Hymenoptera 40, Ephemerptera 26,4, dan
Homoptera 15,4. Burung pemakan serangga juga mengontrol jumlah serangga atau
hama di alam ataupun di ekosistem pertanian agar tetap stabil. Dari kajian Prawiladilaga 1990, 72,5 marga serangga makanan burung
pemakan serangga-termasuk Burung Walet adalah serangga hama. Balen 1989 memperkirakan tiap harinya satu ekor Burung Walet
mengkonsumsi 22 individu serangga.
commit to user
9 4. Pertumbuhan A. fuciphagus
Pertumbuhan merupakan proses pertambahan berat badan, proses pematangan alat reproduksi, proses pertumbuhan bulu Rasyaf, 1993
perubahan bentuk, komposisi tubuh seperti otot, tulang, dan organ serta komponen kimia terutama lemak, air, dan protein. Soeparno,1992.
Faktor yang mempengaruhi kondisi tubuh menurut Williams 1982 adalah pakan, genotip, dan jenis kelamin. Untuk mencapai pertumbuhan
yang optimal harus mempunyai kualitas dan kuantitas pakan yang sesuai dengan kebutuhan pada setiap periode hidup burung.
Periode Pertumbuhan pada burung dibagi menjadi 3 fase yaitu fase starter 0-3 minggu, fase grower 3-6 minggu, dan fase layer lebih
dari 6 minggu. Pada fase starter kebutuhan energi dan protein lebih tinggi daripada fase layer, karena pada fase starter burung menggunakan
kalori dan protein untuk pertumbuhan dan aktifitas Johnston, 1993, maka burung memerlukan pakan kurang lebih 30 dari total berat badan
Marzuki, 1997.
5. Pakan Pakan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat dimakan,
dicerna sebagian atau seluruhnya, dapat diabsorbsi serta bermanfaat bagi hewan yang dibudidayakan Kamal, 1994. Pakan yang dikonsumsi
berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan , produksi dan penimbunan lemak North, 1984
commit to user
10 Pakan alami terdiri atas organisme hidup yang diproduksi atau
dipelihara secara terpisah dalam unit produksi atau sengaja dikumpulkan dari alam. Organisme pakan alami yang terdapat pada serangga
mengandung sejumlah unsur gizi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup seperti protein, mineral, vitamin, dan sumber
energi lain Redford, 1984. Protein hewani memiliki nilai lebih yaitu kandungan nutrisi yang
lebih lengkap seperti asam amino lisin dan metionin. Susunan asam amino bahan pakan hewani sangat mirip dengan asam amino tubuh
hewan, daya cerna tinggi, dan kaya mineral. Asam amino lisin dan metionin tinggi diperlukan untuk pertumbuhan Rohaeni, 2003.
Pada beberapa spesies burung pemakan serangga, induk burung menggunakan larva serangga sebagai makanan anakan sejak menetas
sampai berumur 6 minggu Landry, et al., 1986. Larva serangga merupakan salah satu jenis pakan yang memiliki kandungan nutrisi
lengkap yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan burung muda. Keseimbangan asam amino larva serangga hampir sama dengan
vertebrata dan lebih baik daripada protein nabati Robel, et al., 1995. Kandungan nutrisi larva serangga per 100 gram adalah energi
141,3 kkal, air 67,2 , protein 57,7 , dan karbohidrat 2,3 , lemak 13,4 Morton, 1973. Larva serangga juga mengandung komponen
kitin. Aspek yang paling dominan pada serangga yang memiliki efek
commit to user
11 negatif pada pencernaan burung adalah kitin Speakman, 1997. Kitin
relatif tidak dapat dicerna dan dapat menghambat akses enzim pencernaan untuk lemak dan protein Bryant dan Bryant, 2000. Efisiensi
pada pencernaan tanpa kitin sangat tinggi, koefisien energi metabolismenya bisa mencapai 100 sedangkan pencernaan larva
serangga yang mengandung kitin hanya 50-80 Karasov, 2001. Pada beberapa spesies burung pemakan serangga, induk burung selalu
membuang bagian serangga yang mengandung kitin sebelum memberikannya pada anakan burung Kaspari, 2000.
Berbeda dengan burung dewasa, anakan burung membutuhkan makanan yang tinggi protein. Protein sangat penting untuk pertumbuhan,
penelitian pada anakan beberapa burung pemakan serangga menyebutkan pakan yang mengandung 13,5 protein meningkatkan berat badan hanya
60 dalam 4 hari, sedangkan pakan dengan kandungan protein 51,8 meningkatkan berat badan 93 Street dan MacDonald, 1977. Menurut
Wahju 1997 dalam penggunaan beberapa macam protein yang terdapat dalam bahan-bahan pakan perlu diperhatikan untuk mencapai hasil
terbaik dalam setiap perkembangan, pertumbuhan, dan produksi. Ketersediaan
pakan berpengaruh
terhadap pertumbuhan.
Pertumbuhan yang maksimal dapat dicapai jika ketersediaan pakan baik kualitas maupun kuantitas adalah cukup. Perbedaan spesies dan ukuran
commit to user
12 serta adanya keanekaragaman kondisi lingkungan dalam budidaya
memerlukan teknik pemberian pakan yang berbeda NRC, 1994.
6. Frekuensi Pemberian Pakan Frekuensi pemberian pakan adalah kekerapan waktu pemberian
pakan dalam sehari. Pada hampir semua jenis burung, frekuensi pemberian pakan meningkat pada saat anakan mulai memasuki fase
grower karena anakan mengalami masa transisi yaitu saat anakan burung tidak lagi dierami induknya. Peningkatan frekuensi pemberian pakan
berhubungan dengan peningkatan kebutuhan energi pada anakan seiring pertambahan usia O’Connor, 1985 dan nafsu makan yang meningkat
akibat penurunan suhu tubuh anakan saat tidak lagi dierami induknya Taylor dan Kamp, 2002. Pada burung-burung tropis waktu pemberian
pakan oleh induk pada anakan yang sudah tidak dierami lagi adalah setiap 169 menit O’Connor, 1985.
Faktor lain yang menyebabkan peningkatan frekuensi pemberian pakan adalah ukuran lambung yang lebih kecil daripada burung dewasa
sedangkan anakan burung mempunyai tingkat metabolisme lebih tinggi daripada burung dewasa sehingga anakan membutuhkan persentasi pakan
yang lebih banyak. Maka untuk memenuhi kebutukan energi dan protein anakan perlu masukan kalori dan protein dalam pakan secara kontinyu
Nir, et al., 1978.
commit to user
13 Pemberian pakan pada waktu yang tepat dan teratur berkaitan erat
dengan proses sekresi enzim pencernaan yang mendapat rangsangan berupa pakan dalam saluran pencernaan, proses tersebut terjadi secara
kontinyu Ganong, 2002 dan Nir, et al., 1978. Frekuensi pemberian pakan erat kaitannya dengan frekuensi lapar.
Kekerapan frekuensi pemberian pakan ini sengaja diatur untuk memacu pertumbuhan dengan anggapan pemberian pakan sedikit demi sedikit
namun dengan frekuensi lebih sering, anakan tidak akan lekas kenyang dan nafsu makan tetap terjaga Nir, et al., 1978.
7. Mortalitas Mortalitas atau kelangsunganhidup adalah peluang hidup pada
periode tertentu. Tingkat kematian pada suatu populasi dipengaruhi oleh faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar meliputi kondisi lingkungan
abiotik, kompetisi antar spesies, pemangsa dan kekurangan pakan. Faktor dalam meliputi umur dan kemampuan untuk mencerna makanan
Klasing, 1998. Variasi mortalitas pada anakan burung berbeda pada tiap spesies.
Predasi merupakan penyebab utama tingkat kematian pada anakan maupun telur burung. Selain karena predasi, tingkat mortalitas pada
anakan juga banyak disebabkan oleh kelaparan dan iklim. Anakan belum memiki bulu sehingga membutuhkan suhu lebih tinggi daripada burung
dewasa untuk menjaga suhu tubuhnya. Pengeraman dilakukan oleh induk
commit to user
14 agar suhu tubuh anakan tetap hangat dan menghindari resiko hypothermia
yang bisa mengakibatkan kematian O’Connor, 1985. Menurut Lack 1968 bahwa kematian dan suplai makanan adalah
faktor yang mempengaruhi tingkat perkembangan pada burung. Angka kematian yang disebabkan predator dapat dikurangi dengan
memperpendek periode bersarang pada anakan burung, karena pada saat burung belum bisa terbang maka predator akan sangat mudah memangsa
anakan burung. Untuk itu anakan memerlukan energi besar untuk tumbuh yang didapatkan dengan peningkatan suplai pakan dari induk. Laju
pertumbuhan pada anakan burung dapat dioptimalkan dengan mengetahui pola mortalitas pada setiap spesies burung.
B. Kerangka pemikiran