PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP ANAKAN BURUNG WALET SARANG PUTIH BERDASARKAN PERBEDAAN FREKUENSI PEMBERIAN TELUR SEMUT RANG RANG PADA FASE STARTER

(1)

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP ANAKAN BURUNG WALET SARANG PUTIH (Aerodromus fuciphagus) BERDASARKAN PERBEDAAN FREKUENSI PEMBERIAN

TELUR SEMUT RANG-RANG (Oecophyla smaragdina) PADA FASE STARTER

Naskah Publikasi

Untuk memenuhi sebagian persyaratan Guna memperoleh gelar Sarjana Sains

Oleh

ISYANA ALIF MARTHANI NIM. M 0401036

JURUSAN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011


(2)

PERSETUJUAN SKRIPSI

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP ANAKAN BURUNG WALET SARANG PUTIH (Aerodromus fuciphagus)

BERDASARKAN PERBEDAAN FREKUENSI PEMBERIAN TELUR SEMUT RANG-RANG (Oecophyla smaragdina)

PADA FASE STARTER

Oleh :

Isyana Alif Marthanti NIM. M040103655

Telah disetujui untuk diujikan

Surakarta, Menyetujui

Pembimbing I

Shanti Listyawati, M.Si NIP. 19690608 199702 2 001

Pembimbing II

Estu Retnaningtyas N, STP., M.Si NIP. 19680709 200501 2 001

Mengetahui Ketua Jurusan Biologi

Dra. Endang Anggarwulan, M.Si NIP. 19500320 197803 2 001


(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil penelitian saya sendiri dan tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila dikemudian hari dapat ditemukan adanya unsur penjiplakan maka gelar kesarjanaan yang telah diperoleh dapat ditinjau dan/atau dicabut.

Surakarta, Januari 2011

Isyana Alif Marthani NIM. M0406055


(4)

PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP ANAKAN BURUNG WALET SARANG PUTIH (Aerodromus fuciphagus)

BERDASARKAN PERBEDAAN FREKUENSI PEMBERIAN TELUR SEMUT RANG-RANG (Oecophyla smaragdina)

PADA FASE STARTER Isyana Alif Marthani

Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret, Surakarta

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh frekuensi

pemberian telur Oecophyla smaragdina pada pertumbuhan dan

kelangsungan hidup anakan Aerodromus fuciphagus pada fase starter. Penelitian menggunakan anakan A. fuciphagus umur satu hari dengan berat rata-rata 1, 62 gram. Anakan A. fuciphagus dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok sebagai kontrol yang diberi larva O. smaragdina dan kelompok lainnya diberi telur O. smaragdina yang masing-masing kelompok dibagi menjadi tiga kelompok perlakuan. Kelompok pertama diberi pakan dengan frekuensi tiga kali per hari, kelompok kedua diberi pakan dengan frekuensi lima kali per hari, dan kelompok ketiga diberi pakan dengan frekuensi tujuh kali per hari selama 21 hari. Masing-masing kelompok diberi pakan sebanyak 30% dari berat badan. Pengamatan yang dilakukan adalah kandungan nutrisi telur O. smaragdina, pertambahan berat

badan dan kecepatan pertumbuhan bulu pada anakan A. fuciphagus,

kelangsungan hidup anakan A. fuciphagus, dan kualitas media

pemeliharaan.

Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan frekuensi pemberian telur O. smaragdina menghasilkan perbedaan pertumbuhan dan kelangsungan hidup pada anakan A. fuciphagus. Pemberian telur O. smaragdina dengan frekuensi pemberian tujuh kali per hari menghasilkan pertambahan berat badan, kecepatam pertumbuhan bulu, dan kelangsungan hidup paling tinggi. Pemberian pakan telur O. smaragdina menghasilkan pertambahan berat badan, pertumbuhan bulu, dan kelangsungan hidup anakan A. fuciphagus lebih tinggi dibandingakan pemberian pakan larva O. smaragdina.

Kata kunci : Aerodromus fuciphagus, Oecophyla smaragdina, pertumbuhan, kelangsungan hidup


(5)

GROWTH AND SURVIVAL OF YOUNG WHITE-NEST SWIFTLET (Aerodromus fuciphagus) BASED ON THE FEEDING FREQUENCY OF

RANG-RANF ANT (Oecophyla smaragdina) EGGS IN THE STARTER PHASE

Isyana Alif Marthani

Departement of Biology, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Sebelas Maret University, Surakarta

The aim of this research is to determine the effect of feeding frequency of Oecophyla smaragdina on growth and survival of young Aerodromus fuciphagus in the starter phase.

The research evaluates the experiment with young A. fuciphagus of a day old with an average weight 1.62 grams. Young A. fuciphagus is devided into two groups. One group is controlled by given a larvae O. smaragdina and the other is given an egg O. smaragdina. Each group is devided into three treatments. The first group, feeds with frequency of three times per day. The second group, feeds with frequency of five times per day. The third group feeds with frequency of seven times per day for 21 days. Observations made are nutrient content of egss O. smaragdina, weight gain and feather growth rate in young of A. fuciphagus, survival of young A. fuciphagus, and the quality of maintenance media.

The result of the research is that different frequency of egss O. smaragdina affects the growth and survival of young A. fuciphagus. Giving eggs O. smaragdina with frequency of seven times per day produces the highest body weight and rate of feather growth as well as survival. The egg O. smaragdina produces weight gain, feather growth, and higher survival than larvae O. smaragdina.

Keyword : Aerodromus fuciphagus, Oecophyla smaragdina, growth,


(6)

MOTTO

Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan pada kami; sesungguhnya Engkaulah Yang Maha

Mengetahui lagi Maha Bijaksana (QS. Al Baqarah : 32)

Kemenangan kita yang paling besar bukanlah karena kita tak pernah jatuh, melainkan karena kita bangkit setiap kali jatuh


(7)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan untuk : Suami tercinta atas do’a, kasih sayang, perjuangan, dan kesabaran yang diberikan Safira dan Kayisa sumber inspirasi dan semangat Almamater tercinta


(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, karunia serta hidayah-Nya yang tak tehingga sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul : “Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Anakan Burung Walet Sarang Putih (Aerodromus fuciphagus) Berdasarkan Perbedaan Frekuensi Pemberian Telur Semut Rang-Rang (Oecophyla smaragdina) pada Fase Starter”.

Dalam pelaksanaan penelitian maupun penyusunan skripsi ini penulis mendapatkan banyak masukan, bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak yang sangat bermanfaat baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih yang setulusnya kepada:

1. Prof. Drs. Sutarno, M. Sc., Ph. D., selaku dekan Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret.

2. Dra. Endang Anggarwulan, M. Si., selaku Ketua Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret.

3. Nita Etikawati, M. Si., selaku Pembimbing Akademik.

4. Shanti Listyawati, M. Si., selaku Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan demi terselesaikannya penulisan skripsi ini.

5. Estu Retnaningtyas., STP.,M. Si., selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan demi terselesaikannya penulisan skripsi ini.

6. Dr. Agung Bidiharjo selaku Penelaah I yang telah memberikan saran dan masukan.

7. Dr. Sugiyarto, M. Si., selaku Penelaah II yang telah memberikan saran dan masukan.

8. Semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penyusunan skripsi.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, namun penulis sangat berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya serta dapat menjadi bahan inspirator bagi penelitian selanjutnya.

Surakarta, Januari 2010


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL………... HALAMAN PERSETUJUAN……… HALAMAN PENGESAHAN ... HALAMAN PERNYATAAN ... ABSTRAK………...… ABSTRACT………. HALAMAN MOTTO……….. HALAMAN PERSEMBAHAN……….. KATA PENGANTAR………. DAFTAR ISI……… DAFTAR TABEL……… DAFTAR GAMBAR………... DAFTAR LAMPIRAN……… BAB I. PENDAHULUAN………..

A. Latar Belakang……… B. Rumusan Masalah………...… C. Tujuan Penelitian……… D. Manfaat Penelitian……….. BAB II. LANDASAN TEORI………. A. Tinjauan Pustaka………. B. Kerangka Pemikiran ... C. Hipotesis ... BAB III. METODE PENELITIAN………

A. Waktu dan Tempat Penelitian………. B. Bahan dan Alat……… C. Cara Kerja………...

i ii iii iv v vi vii viii ix x xii xiv xv 1 1 3 3 4 5 5 14 17 18 18 18 19


(10)

D. Teknik Pengumpulan Data... E. Analisa Data ... BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………

A. Pertumbuhan Anakan A. fuciphagus ...

B. Kelangsungan Hidup Anakan A. Fuciphagus...

C. Kualitas Media Pemeliharaan ...

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN……… A. Kesimpulan………. B. Saran……… DAFTAR PUSTAKA……….. LAMPIRAN ……… RIWAYAT HIDUP PENULIS………

25 26 27 31 39 45 48 48 49 50 53 63


(11)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1.

Tabel 2.

Tabel 3.

Tabel 4.

Tabel 5.

Komposisi Senyawa Telur O. smaragdina dan Larva Semut serta Kebutuhan Senyawa Gizi Anakan Burung Pemakan Serangga Pertambahan Berat Badan Anakan A. fuciphagus Berdasarkan Frekuensi Pemberian Telur O. smaragdina……….

Data pertumbuhan bulu anakan A. fuciphagus berdasarkan

frekuensi pemberian telur O. smaragdina ...

Kelangsungan hidup atau Survival Rate (SR) anakan A.

fuciphagus berdasarkan frekuensi pemberian telur O. smaragdina pada akhir penelitian ……….. Kualitas Media Pemeliharaan Anakan A. fuciphagus Berdasarkan Pemberian Telur O. smaragdina ……….

28

31

37

39


(12)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.

Gambar 2.

Gambar 3.

Skema Kerangka Pemikiran ... Rata-rata berat badan anakan A. fuciphagus setiap 7 hari

pengamatan berdasarkan frekuensi pemberian telur O.

smaragdina ... Grafik rata-rata kelangsungan hidup anakan A. fuciphagus setiap 7 hari pengamatan setelah berdasarkan frekuensi pemberian telur O. smaragdina ...

16

32


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1.

Lampiran 2.

Lampiran 3.

Lampiran 4.

Lampiran 5.

Lampiran 6.

Lampiran 7.

.

Analisis Pertambahan Berat badan Anakan A. fuciphagus dengan pakan larva O. smaragdina ………. Analisis Kelangsungan Hidup Anakan A. fuciphagus dengan Pakan Larva O. smaragdina ………

Analisis Pertambahan Berat Badan pada Anakan A. fuciphagus dengan Pakan Telur O. smaragdina ………….

Analisis Kelangsungan Hidup Anakan A. fuciphagus dengan pakan telur O. smaragdina ………... Analisis Pertambahan Berat Badan Anakan A. fuciphagus berdasarkan Kelompok Pakan yang diberikan ……….

Analisis Kelangsungan Hidup Anakan A. fuciphagus

berdasarkan Kelompok Pakan yang diberikan ………. Data Kuantitatif ………

53

54

55

56

57

58 59


(14)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Burung Walet merupakan burung spesies Aerodramus yang

menghasilkan sarang dari campuran air liur. Sarang Walet menjadi komoditas penting dan harganya mencapai jutaan rupiah per kilogram. Indonesia adalah negara produsen sarang Burung Walet terbesar di dunia. Mayoritas sarang Burung Walet asal Indonesia berasal dari panen gua dan panen rumahan (Mardiastuti, 1997).

Burung Walet merupakan burung liar, dan selama ini telah dilakukan metode pemikatan Burung Walet untuk dikembangbiakkan. Selain itu, saat ini telah dikembangkan pula sistem beternak Burung Walet yaitu menangkarkan dari anakan sampai menjadi Burung Walet dewasa yang kawin dan membuat sarang. Salah satu kendala yang dialami peternak Burung Walet adalah tingginya tingkat kematian dan pertumbuhan yang relatif lambat pada anakan umur 1-21 hari. Tingginya tingkat kematian dan pertumbuhan yang lambat pada fase ini karena burung mengalami kelaparan yang kemungkinan disebabkan belum diketahui tentang kualitas pakan yaitu telur semut rang-rang (Oecophyla smaragdina) dan pola pemberian pakan yang tepat seperti saat anakan diasuh oleh induknya (Marzuki, 1997)

Dalam beternak Walet pakan memegang peranan yang sangat penting. Pakan dibutuhkan untuk kelangsungan hidup, membentuk sel-sel


(15)

baru, mengganti bagian tubuh yang rusak, pertumbuhan, dan reproduksi (Marzuki, 1997). Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan komposisi tubuh menurut Williams (1998) adalah pakan, genotip, jenis kelamin, dan hormon. Pakan merupakan sumber nutrisi bagi kehidupan dan pertumbuhan. Kualitas pakan terutama ditentukan oleh kandungan kalori dan protein, bila kandungan kalori dan protein dalam pakan kurang mencukupi maka masukan senyawa tersebut pada burung akan rendah sehingga pertumbuhan menjadi lambat, daya tahan tubuh rendah sehingga burung menjadi rentan penyakit (Bairlein, 1996).

Pakan yang semula digunakan pada ternak Burung Walet Sarang Putih (Aerodramus fuciphagus) adalah campuran telur dan larva O. smaragdina. Kandungan nutrisi larva O. smaragdina telah diketahui dapat memenuhi kebutuhan nutrisi pada pertumbuhan anakan A. fuciphagus. Tetapi pemberian campuran pakan tersebut menyebabkan beberapa anakan A. fuciphagus mengalami diare. kondisi ini kemungkinan disebabkan kandungan kitin pada larva O. smaragdina yang sulit dicerna oleh anakan A. fuciphagus, sehingga saat ini pakan yang digunakan peternak A. fuciphagus adalah O. smaragdina walaupun kandungan nutrisinya belum diketahui (Marzuki, 1997).

Selain kualitas pakan, frekuensi pemberian pakan yang tepat dapat meningkatkan konsumsi pakan maupun zat makanan, serta dapat


(16)

Pemanfaatan suatu bahan pakan dapat ditingkatkan dengan pengaturan pemberian pakan yang optimal (Siregar, 1994). Menurut Schneider dan William (1975) penentuan waktu pemberian pakan harus cermat dilakukan dengan mengamati kebiasaan burung sehari-hari terutama perilaku induk pada saat memberi makan anakan A. fuciphagus. Dengan latar belakang tersebut, perlu dilakukan penelitian mengenai kandungan nutrisi O. smaragdina dan frekuensi pemberian pakan yang tepat untuk dapat meningkatkan pertumbuhan, kecepatan pertumbuhan bulu, dan menurunkan angka kematian pada anakan A. fuciphagus.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, dapat dibuat suatu rumusan masalah sebagai berikut:

1. Berapakah kadar karbohidrat, protein, dan lipid pada telur O. smaragdina?

2. Bagaimana pengaruh frekuensi pemberian telur O. smaragdina terhadap pertumbuhan, kelangsungan hidup, dan kecepatan pertumbuhan bulu anakan A. fuciphagus?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:


(17)

1. Mengetahui pengaruh frekuensi pemberian telur O. smaragdina terhadap pertumbuhan, kelangsungan hidup, dan kecepatan pertumbuhan anakan A. fuciphagus.

2. Mengetahui kadar karbohidrat, protein, dan lipid pada telur O. Smaragdina.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam teknik pemberian pakan pada pemeliharan anakan A. fuciphagus.


(18)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Klasifikasi dan Morfologi Walet Sarang Putih (Aerodramus

fuciphagus)

Kingdom : Animalia

Phyllum : Cordata

Class : Aves

Ordo : Apodiformes

Famili : Apodidae

Marga : Aerodramus

Species : Aerodramus fuciphagus

(MacKinnon, 1990) A. fuciphagus berukuran sedang, berwarna coklat kehitam-hitaman. Tubuh bagian atas coklat kehitaman dengan tungging abu-abu pucat atau coklat, ekornya sedikit menggarpu, tubuh bagian bawah coklat. Iris coklat gelap, paruh berwarna hitam, kaki berwarna hitam.

Sarang A. fuciphagus dibuat pada celah-celah batu karang pantai atau dalam gua kapur yang dalam. Seluruh sarangnya terbuat dari ludah yang mengeras dan sangat berharga sebagai “sarang burung putih”. Bertelur dua butir yang berbentuk memanjang dengan cangkang berwarna putih. Bersarang secara musiman. A. Fuciphagus merupakan


(19)

burung liar yang memiliki ekholokasi atau kemampuan melokasikan gema di kegelapan gua dengan suara panggilan gemerincing yang keras (MacKinnon, 1990).

2. Habitat dan Penyebaran A. fuciphagus

A. Fuciphagus adalah burung aerial, sepanjang hari terbang tanpa istirahat di udara sambil mencari makan berupa serangga terbang. Burung ini mencari makanan di beberapa tipe habitat yaitu hutan, sawah, tegal, sungai, dan rawa (Marzuki, 1997; Chasanatun, 1998). Tempat beristirahat (pada malam hari) dan berbiak A. Fuciphagus adalah di gua-gua atau di celah-celah batu. Selain itu, A. Fuciphagus juga menggunakan atap rumah untuk beristirahat dan berbiak. Adaptasi baru ini mendorong orang untuk mengembangkan budidaya rumah Walet (MacKinnon, 1990). Penyebarannya di alam meliputi Filipina, Kalimantan, Sumatera, Jawa, dan Bali (MacKinnon, 1990).

Beberapa faktor abiotik yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anakan A. Fuciphagus adalah temperatur dan kelembaban udara. Sesuai habitat aslinya yang berada di dalam gua, Burung Walet membutuhkan suhu ruang antara 27-30o C, kelembabannya antara 85-95% dan intensitas cahaya 0.6 lux (Marzuki, 1997). Tetapi anakan pada fase starter belum memiliki bulu untuk menjaga suhu tubuhnya sehingga anakan membutuhkan suhu lebih tinggi yaitu 31-34o C dan kelembaban 70% (Nugroho dkk, 1996).


(20)

Menurut Marzuki (1997) kotoran burung yang ada di dalam sarang akan mengeluarkan gas-gas yang berbahaya terutama bagi anakan burung yaitu CO2 dan amonia. Sedangkan jenis predator yang sering

memangsa dan menganggu pertumbuhan anakan A. Fuciphagus adalah semut dan tikus.

Dalam ekosistem gua A. Fuciphagus juga memiliki peranan penting. Bersama dengan kelelawar, Burung Walet merupakan pemasok utama energi dan materi bagi ekosistem gua. Kotoran Walet dan kelelawar yang menjadi guano atau tubuh Burung Walet dan kelelawar yang mati merupakan sumber makanan bagi komunitas biota gua (MacKinnon, 1996).

3. Sistem Pencernaan A. fuciphagus

Pada mulut terdapat paruh yang sangat kuat dan berfungsi untuk mengambil makanan. Makanan yang diambil oleh paruh kemudian masuk kedalam rongga mulut lalu menuju esofagus. Bagian bawah esofagus membesar berupa kantong yang disebut tembolok, kemudian masuk ke lambung kelenjar. Disebut lambung kelenjar (proventrikulus) karena dindingnya mengandung kelenjar yang menghasilkan getah lambung yang berfungsi untuk mencerna makanan secara kimiawi. Selanjutnya makanan masuk menuju lambung pengunyah yang disebut lambung pengunyah karena dindingnya mengandung otot-otot kuat yang berguna untuk menghancurkan makanan, dan masuk menuju usus halus (Yeh, 2005)


(21)

Enzim yang dihasilkan oleh pankreas dan empedu dialirkan kedalam usus halus. Hasil pencernaan berupa sari-sari makanan diserap oleh kapiler darah pada dinding usus halus. Burung mempunyai dua usus buntu yang terletak antara lambung dan usus. Usus buntu berguna untuk memperluas daerah penyerapan sari makanan. Sisa makanan didorong ke usus besar kemudian ke dalam poros usus (rektum) dan akhirnya dikeluarkan melalui kloaka ( Pearce, 2006)

Burung Walet adalah pemakan serangga primer. Jenis serangga yang menjadi makanan utamanya adalah serangga terbang. Berdasarkan penelitian dengan analisis isi lambung burung, Prawiradilaga (1990) mendapati 37 marga dari 10 bangsa serangga yang menjadi makanan Burung Walet. Urutan dominasi bangsa serangga tersebut adalah Burung Walet adalah Hymenoptera (40%), Ephemerptera (26,4%), dan Homoptera (15,4%).

Burung pemakan serangga juga mengontrol jumlah serangga atau hama di alam ataupun di ekosistem pertanian agar tetap stabil. Dari kajian Prawiladilaga (1990), 72,5% marga serangga makanan burung pemakan serangga-termasuk Burung Walet adalah serangga hama. Balen (1989) memperkirakan tiap harinya satu ekor Burung Walet mengkonsumsi 22 individu serangga.


(22)

4. Pertumbuhan A. fuciphagus

Pertumbuhan merupakan proses pertambahan berat badan, proses pematangan alat reproduksi, proses pertumbuhan bulu (Rasyaf, 1993) perubahan bentuk, komposisi tubuh seperti otot, tulang, dan organ serta komponen kimia terutama lemak, air, dan protein. (Soeparno,1992). Faktor yang mempengaruhi kondisi tubuh menurut Williams (1982) adalah pakan, genotip, dan jenis kelamin. Untuk mencapai pertumbuhan yang optimal harus mempunyai kualitas dan kuantitas pakan yang sesuai

dengan kebutuhan pada setiap periode hidup burung. Periode Pertumbuhan pada burung dibagi menjadi 3 fase yaitu

fase starter (0-3 minggu), fase grower (3-6 minggu), dan fase layer (lebih dari 6 minggu). Pada fase starter kebutuhan energi dan protein lebih tinggi daripada fase layer, karena pada fase starter burung menggunakan kalori dan protein untuk pertumbuhan dan aktifitas (Johnston, 1993), maka burung memerlukan pakan kurang lebih 30% dari total berat badan (Marzuki, 1997).

5. Pakan

Pakan didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat dimakan, dicerna sebagian atau seluruhnya, dapat diabsorbsi serta bermanfaat bagi hewan yang dibudidayakan (Kamal, 1994). Pakan yang dikonsumsi berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan , produksi dan penimbunan lemak (North, 1984)


(23)

Pakan alami terdiri atas organisme hidup yang diproduksi atau dipelihara secara terpisah dalam unit produksi atau sengaja dikumpulkan dari alam. Organisme pakan alami yang terdapat pada serangga mengandung sejumlah unsur gizi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup seperti protein, mineral, vitamin, dan sumber energi lain (Redford, 1984).

Protein hewani memiliki nilai lebih yaitu kandungan nutrisi yang lebih lengkap seperti asam amino lisin dan metionin. Susunan asam amino bahan pakan hewani sangat mirip dengan asam amino tubuh hewan, daya cerna tinggi, dan kaya mineral. Asam amino lisin dan metionin tinggi diperlukan untuk pertumbuhan (Rohaeni, 2003).

Pada beberapa spesies burung pemakan serangga, induk burung menggunakan larva serangga sebagai makanan anakan sejak menetas sampai berumur 6 minggu (Landry, et al., 1986). Larva serangga merupakan salah satu jenis pakan yang memiliki kandungan nutrisi lengkap yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan burung muda. Keseimbangan asam amino larva serangga hampir sama dengan vertebrata dan lebih baik daripada protein nabati( Robel, et al., 1995). Kandungan nutrisi larva serangga per 100 gram adalah energi 141,3 kkal, air 67,2 %, protein 57,7 %, dan karbohidrat 2,3 %, lemak 13,4 % (Morton, 1973). Larva serangga juga mengandung komponen kitin. Aspek yang paling dominan pada serangga yang memiliki efek


(24)

negatif pada pencernaan burung adalah kitin (Speakman, 1997). Kitin relatif tidak dapat dicerna dan dapat menghambat akses enzim pencernaan untuk lemak dan protein (Bryant dan Bryant, 2000). Efisiensi pada pencernaan tanpa kitin sangat tinggi, koefisien energi metabolismenya bisa mencapai 100% sedangkan pencernaan larva serangga yang mengandung kitin hanya 50-80% (Karasov, 2001). Pada beberapa spesies burung pemakan serangga, induk burung selalu membuang bagian serangga yang mengandung kitin sebelum memberikannya pada anakan burung (Kaspari, 2000).

Berbeda dengan burung dewasa, anakan burung membutuhkan makanan yang tinggi protein. Protein sangat penting untuk pertumbuhan, penelitian pada anakan beberapa burung pemakan serangga menyebutkan pakan yang mengandung 13,5% protein meningkatkan berat badan hanya 60 % dalam 4 hari, sedangkan pakan dengan kandungan protein 51,8 % meningkatkan berat badan 93% (Street dan MacDonald, 1977). Menurut Wahju (1997) dalam penggunaan beberapa macam protein yang terdapat dalam bahan-bahan pakan perlu diperhatikan untuk mencapai hasil terbaik dalam setiap perkembangan, pertumbuhan, dan produksi.

Ketersediaan pakan berpengaruh terhadap pertumbuhan.

Pertumbuhan yang maksimal dapat dicapai jika ketersediaan pakan baik kualitas maupun kuantitas adalah cukup. Perbedaan spesies dan ukuran


(25)

serta adanya keanekaragaman kondisi lingkungan dalam budidaya memerlukan teknik pemberian pakan yang berbeda (NRC, 1994).

6. Frekuensi Pemberian Pakan

Frekuensi pemberian pakan adalah kekerapan waktu pemberian pakan dalam sehari. Pada hampir semua jenis burung, frekuensi pemberian pakan meningkat pada saat anakan mulai memasuki fase grower karena anakan mengalami masa transisi yaitu saat anakan burung tidak lagi dierami induknya. Peningkatan frekuensi pemberian pakan berhubungan dengan peningkatan kebutuhan energi pada anakan seiring pertambahan usia (O’Connor, 1985) dan nafsu makan yang meningkat akibat penurunan suhu tubuh anakan saat tidak lagi dierami induknya (Taylor dan Kamp, 2002). Pada burung-burung tropis waktu pemberian pakan oleh induk pada anakan yang sudah tidak dierami lagi adalah setiap 169 menit (O’Connor, 1985).

Faktor lain yang menyebabkan peningkatan frekuensi pemberian pakan adalah ukuran lambung yang lebih kecil daripada burung dewasa sedangkan anakan burung mempunyai tingkat metabolisme lebih tinggi daripada burung dewasa sehingga anakan membutuhkan persentasi pakan yang lebih banyak. Maka untuk memenuhi kebutukan energi dan protein anakan perlu masukan kalori dan protein dalam pakan secara kontinyu (Nir, et al., 1978).


(26)

Pemberian pakan pada waktu yang tepat dan teratur berkaitan erat dengan proses sekresi enzim pencernaan yang mendapat rangsangan berupa pakan dalam saluran pencernaan, proses tersebut terjadi secara kontinyu (Ganong, 2002 dan Nir, et al., 1978).

Frekuensi pemberian pakan erat kaitannya dengan frekuensi lapar. Kekerapan frekuensi pemberian pakan ini sengaja diatur untuk memacu pertumbuhan dengan anggapan pemberian pakan sedikit demi sedikit namun dengan frekuensi lebih sering, anakan tidak akan lekas kenyang dan nafsu makan tetap terjaga (Nir, et al., 1978).

7. Mortalitas

Mortalitas atau kelangsunganhidup adalah peluang hidup pada periode tertentu. Tingkat kematian pada suatu populasi dipengaruhi oleh faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar meliputi kondisi lingkungan abiotik, kompetisi antar spesies, pemangsa dan kekurangan pakan. Faktor dalam meliputi umur dan kemampuan untuk mencerna makanan (Klasing, 1998).

Variasi mortalitas pada anakan burung berbeda pada tiap spesies. Predasi merupakan penyebab utama tingkat kematian pada anakan maupun telur burung. Selain karena predasi, tingkat mortalitas pada anakan juga banyak disebabkan oleh kelaparan dan iklim. Anakan belum memiki bulu sehingga membutuhkan suhu lebih tinggi daripada burung dewasa untuk menjaga suhu tubuhnya. Pengeraman dilakukan oleh induk


(27)

agar suhu tubuh anakan tetap hangat dan menghindari resiko hypothermia yang bisa mengakibatkan kematian (O’Connor, 1985).

Menurut Lack (1968) bahwa kematian dan suplai makanan adalah faktor yang mempengaruhi tingkat perkembangan pada burung. Angka kematian yang disebabkan predator dapat dikurangi dengan memperpendek periode bersarang pada anakan burung, karena pada saat burung belum bisa terbang maka predator akan sangat mudah memangsa anakan burung. Untuk itu anakan memerlukan energi besar untuk tumbuh yang didapatkan dengan peningkatan suplai pakan dari induk. Laju pertumbuhan pada anakan burung dapat dioptimalkan dengan mengetahui pola mortalitas pada setiap spesies burung.

B. Kerangka pemikiran

Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian Pengaruh Frekuensi Pemberian Pakan terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Anakan Burung Walet Sarang Putih (Aerodramus fuciphagus) adalah sebagai berikut:

Frekuensi pemberian pakan erat kaitannya dengan frekuensi lapar. Kekerapan frekuensi pemberian pakan diatur untuk memacu pertumbuhan dengan anggapan pemberian pakan sedikit demi sedikit namun dengan frekuensi lebih sering, anakan tidak akan lekas kenyang dan nafsu makan tetap terjaga (Nir et al, 1978). Asupan makanan yang kontinyu menjaga masukan kalori dan protein pada burung terpenuhi sehingga pertumbuhan


(28)

menjadi optimal, kecepatan pertumbuhan bulu meningkat, serta daya tahan tubuh meningkat sehingga burung menjadi tahan terhadap penyakit.

Pemberian pakan pada waktu yang tepat dan teratur juga berkaitan erat dengan proses sekresi enzim pencernaan yang mendapat rangsangan berupa pakan dalam saluran pencernaan secara kontinyu. Sekresi enzim dalam saluran pencernaan yang teratur akan mengurangi gangguan pencernaan yang sering terjadi pada saat anakan Burung Walet berada dalam fase starter (Ganong, 2002 dan Nir, et al., 1978) sehingga tingkat mortalitas yang tinggi pada fase tersebut menurun. Kerangka pemikiran secara skematis tersaji pada Gambar 1.


(29)

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran Frekuensi pemberian pakan

Kelompok 3 Kelompok 2

Kelompok 1

Pemberian pakan 3 kali perhari

Pemberian pakan 5 kali perhari

Pemberian pakan 7 kali perhari

Evaluasi

Pertambahan berat badan Mortalitas

Anakan Burung Walet Sarang Putih (Aerodramus fuciphagus)

Kemungkinan terjadi penambahan berat badan,peningkatan kecepatan pertumbuhan bulu, dan penurunan tingkat mortalitas pada frekuensi pemberian pakan tinggi

Telur Semut Rang-rang

Komposisi Karbohidrat, Protein, dan Lemak

Peningkatan kecepatan pertumbuhan bulu


(30)

C. Hipotesis

Berdasarkan uraian diatas maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut:

1. Pemberian pakan dengan frekuensi tinggi meningkatkan laju

pertumbuhan anakan Burung Walet Sarang Putih

(Aerodramus fuciphagus)

2. Pemberian pakan dengan frekuensi tinggi menurunkan tingkat mortalitas anakan Burung Walet Sarang Putih (Aerodramus fuciphagus)

3. Pemberian pakan dengan frekuensi tinggi meningkatkan kecepatan

pertumbuhan bulu anakan Burung Walet Sarang Putih

(Aerodramus fuciphagus)

4. Komposisi kimiawi dari telur Semut Rang-rang (Oecophyla

smaragdina) dapat memacu laju pertumbuhan dan menurunkan tingkat mortalitas anakan Burung Walet Sarang Putih (Aerodramus fuciphagus)


(31)

BAB III

METODE PENELITIAN

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Mei 2008. Pelaksanaan terhadap hewan uji dilakukan di Sub. Lab. Biologi Laboratorium Pusat MIPA Universitas Sebelas Maret Surakarta. Analisis proksimat pakan dilaksanakan di Laboratorium Kimia, Pusat Studi Pangan dan Gizi PAU Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

B. Alat dan Bahan 1. Alat

Alat yang digunakan adalah inkubator untuk pemeliharaan anakan Burung Walet Sarang Putih (Aerodramus fuciphagus), pinset untuk pemberian pakan, timbangan analitik, hygro-thermometer untuk mengukur suhu dan kelembaban udara di dalam inkubator, lux meter untuk mengukur intensitas cahaya pada inkubator, oven, tanur pengabuan, bunsen, desikator, cawan petri, kertas saring, alat extraksi soxhlet, labu kjeldahl, alat destilasi, autoklaf, gelas ukur, gelas beker, erlenmeyer, hot plate.

2. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan, antara lain : Anakan A. fuciphagus sebanyak 30 ekor dengan umur 1 hari dan berat badan rata-rata 1,6 gr diperoleh dari pengumpul telur dan anakan A. fuciphagus di Bangil Jawa


(32)

Timur, telur semut rang-rang (Oecophyla smaragdina), aquades, HCL, dietileter, H2SO4, K2SO4 anhidrat, asam borat, merkuri oksida (HgO), metal

biru, metal merah.

C. Cara Kerja 1. Rancangan percobaan

Dosis pemberian pakan pada anakan Burung Walet Sarang Putih mengacu Biro Penelitian dan Rehabilitasi Sarang Burung (1997) adalah 30% dari berat badan. Penelitian ini menggunakan rancangan percobaan acak lengkap (RAL) dengan 3 macam perlakuan dan 10 ulangan pada masing-masing perlakuan. Hewan uji dibagi menjadi 3 kelompok dengan perincian sebagai berikut:

Perlakuan 1 : pakan 30% dari berat badan diberikan 3 kali sehari, yaitu pukul 07.00 WIB, 12.00 WIB, 19.00 WIB.

Perlakuan 2 : pakan 30% dari berat badan diberikan 5 kali sehari, yaitu pukul 07.00 WIB, 11.00 WIB, 12.00 WIB, 15.00 WIB, 19.00 WIB

Perlakuan 3 : pakan 30% dari berat badan diberikan 7 kali perhari, yaitu pukul 07.00 WIB, 09.00 WIB, 11.00 WIB, 13.00 WIB, 15.00 WIB, 17.00 WIB, 19.00 WIB.

Perlakuan diberikan selama 21 hari pada anakan umur 1 hari. Perubahan jumlah pakan dilakukan pada hari 7, hari 14, dan hari


(33)

ke-21 setelah selesai penimbangan hewan uji dengan dosis 30% dari berat badan.

2. Tahap Persiapan

Pembersihan tempat kerja dan inkubator dengan disinfektan agar bebas hama dan penyakit. Anakan A. fuciphagus ditimbang terlebih dahulu dan diletakkan pada inkubator dengan kondisi terkontrol.

3. Pengukuran Berat Tubuh

Pengukuran berat tubuh anakan A. fuciphagus dilakukan pada hari ke-1, hari ke-7, hari ke-14, dan hari ke-21. Pengukuran dilakukan dengan menimbang anakan A. fuciphagus dengan timbangan analitik.

4. Pengamatan Kualitas Inkubator

Untuk mengetahui kelayakan inkubator bagi kelangsungan hidup anakan Walet maka dilakukan pengamatan terhadap suhu dan kelembaban setiap hari menggunakan alat hygro-thermometer, intensitas cahaya menggunakan alat lux meter, serta sterilitas terhadap hama dan predator. 5. Perhitungan Pertumbuhan Berat A. fuciphagus

Pengukuran berat tubuh rata-rata anakan A. fuciphagus diukur pada awal dan akhir penelitian, berdasarkan rumus menurut Weatherley (1972):

∆W = Wt – Wo

∆W : pertumbuhan berat tubuh anakan Walet (gr) Wt : berat tubuh rata-rata pada akhir penelitian (gr) Wo : berat tubuh rata-rata pada awal penelitian (gr)


(34)

6. Perhitungan Kecepatan Pertumbuhan Bulu A. fuciphagus

Pengukuran kecepatan pertumbuhan bulu dilakukan dengan

mengamati dan menetapkan waktu perubahan warna kulit anakan A.

fuciphagus menjadi kehitaman sebagai ciri-ciri pertumbuhan bulu (Marzuki, 1997)

7. Penghitungan Kelangsungan Hidup A. fuciphagus

Penghitungan kelangsungan hidup anakan A. fuciphagus ada masing-masing perlakuan dengan menghitung jumlah anakan A. fuciphagus yang hidup pada awal sampai akhir penelitian dengan rumus menurut Effendie (1979).

% 100 x N N SR

o t

=

SR : tingkat kelangsungan hidup (%)

Nt : jumlah anakan Walet yang hidup rata-rata pada akhir penelitian (ekor) No : jumlah anakan Walet yang hidup rata-rata pada awal penelitian (ekor)

8. Analisis Nutrisi

Sebelum dianalisis, terlebih dahulu dilakukan penyiapan bahan dasar yaitu: Telur O. smaragdina segar memiliki kadar air 60-70% sehingga perlu diturunkan kadar airnya dengan dilakukan pengepresan. Telur O. smaragdina tersebut kemudian ditimbang seberat 20 gr dan disterilkan pada suhu 121oC dengan tekanan 1 atm selama 15 menit. Sampel telur O. smaragdina dianalisis nutrisinya dengan metode analisis proksimat, yaitu:


(35)

Menggunakan metode pemanasan. Sampel ditimbang sekitar 2 gram kemudian sampel dimasukkan dalam cawan yang sudah dikatahui beratnya. Cawan yang berisi sampel dimasukkan dalam oven dan dikeringkan pada suhu 100-105oC selama sekitar 3 jam. Setelah itu didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Cawan yang berisi

sampel dimasukkan lagi dalam oven 100-105oC selam 1 jam kemudian

didinginkan dalam desikator dan ditimbang lagi. Langkah tersebut dilakukan berulang-ulang sehingga dicapai berat yang tetap (Sudarmaji dkk, 1997). Perhitungannya:

% 100 ) 100 / ( 1 2 3 2 ´ -= B B B B g g Air

B1 = Berat cawan kosong

B2 = Berat cawan dengan sampel sebelum dikeringkan

B3 = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan

(Sudarmaji dkk., 1997)

b. Abu

Dilakukan dengan menimbang abu hasil pembakaran. Sampel ditimbang 2 gram dan dimasukkan dalam cawan kemudian dibakar dengan api kecil diatas pembakar bunsen sampai tidak berasap lagi. Cawan yang berisi sampel tersebut dimasukkan ke dalam tanur dan diabukan pada suhu 500-550oC sampai sampel bebas dari karbon yang berwarna keabu-abuan sampai putih kemudian didinginankan dalam desikator dan ditimbang (Sudarmaji dkk., 1997).


(36)

Perhitungannya : % 100 ) 100 / ( 1 2 3 2 ´ -= B B B B g g Air

B1 = Berat cawan kosong (gram)

B2 = Berat cawan dengan sampel sebelum diabukan (gram)

B3 = Berat cawan dengan sampel setelah diabukan (gram)

(Sudarmaji dkk., 1997).

c. Lemak

Menggunakan metode Soxhlet. Sampel ditimbang 2 gram dan dimasukkan dalam Erlenmeyer kemudian ditambahkan 30 ml HCL 8 N dan 20 ml akuades. Erlenmeyer tersebut dipanaskan dengan hot plate hingga isinya mendidih selama 15 menit (dihitung mulai saat mendidih) kemudian disaring dalam keadaan panas dengan kertas saring basah. Kertas saring dan residu dicuci dengan akuades sampai bebas dari asam kemudian dikeringkan dengan oven 100-1050C. Residu diekstrak dengan dietileter menggunakan alat ekstraksi soxhlet selama 2 jam. Ekstrak ditampung dalam labu yang telah diketahui berat kosongnya. Dietileter diuapkan dengan destilasi pendingin balik. Labu yang berisi lemak diangin-anginkan sampai bebas eter kemudian

dikeringkan dalam oven 100-105oC. labu yang berisi lemak

dimasukkan dalam oven lagi, didinginkan dan ditimbang lagi, langkah ini dilakukan hingga tercapai berat yang tetap (Sudarmaji dkk., 1997).


(37)

Perhitungannya: % 100 ) 100 / ( 0 1 2 ´ -= B B B g g lemak Kadar

B1 = Berat sample (gram)

B2 = Berat cawan dengan sampel sebelum diabukan (gram)

B3 = Berat cawan dengan sampel setelah diabukan (gram)

(Sudarmaji dkk., 1997).

d. Protein

Manggunakan metode Kjedahl. Sampel ditimbang 2 gram dan

dimasukkan dalam labu Kjedahl kemudian ditambah 20 ml H2SO4

pekat, 0,7 gHgO, dan 10 gK2SO4. Sampel didestruksi dalam ruang asam

dengan panas dan beberapa tetes sampai tak berasap lagi. Destruksi diteruskan dengan panas lebih tinggi hingga cairan menjadi jernih dan didinginkan. Destruat dilarutkan dengan 50 ml akuades dan dipindahkan secara kuantitatif ke dalam alat destilasi. Alat destilasi dihubungkan dengan penampung Erlenmeyer yang berisi 50 ml asam borat 3% dan beberapa tetes indicator (campuran metil biru dan metil merah dengan perbandingan 1:2) kemudian didihkan selama 15 menit. setelah mendidih ditambahkan NAOH berlebih (perubahan warna jernih menjadi coklat). Destilasi dilakukan sampai volume destilat dalam penampung mencapai sekitar 200 ml. destilat ditritasi dengan HCL 0,1 N. Blanko dikerjakan dengan akuades sebagai pengganti sampel (Sudarmaji dkk., 1997).


(38)

Perhitungannya : % 100 ) ( ) 100 /

( 1 2

´ -= B V V g g nitrogen Kadar

V1 = Banyaknya ml HCL yang digunakan pada sampel

V2 = Banyaknya ml HCL yang digunakan dalam blanko

B = Berat sampel

Kadar protein (g/100g) = N x Faktor konversi

N = Kadar nitrogen

Untuk sampel yang belum diketahui nilai factor konversinya, gunakan 6,25 sebelum memperoleh nilai yang sebenarnya (Sudarmaji dkk., 1997).

e. Karbohidrat

Menggunakan metode carbohydrat by different. Kadar

karbohidrat dapat diperoleh dari selisih perhitungan berat sampel dikurangi berat air, abu, protein, dan lemak yang dinyatakan dalam persen (Sudarmaji dkk., 1997).

D. Teknik Pengumpulan Data

Pengamatan kelangsungan hidup dan pertumbuhan anakan A.

Fuciphagus dilakukan setiap hari, sedangkan pengukuran kelangsungan hidup dan berat rata-rata untuk masing-masing perlakuan dilakukan pada


(39)

awal dan akhir penelitian. Pengamatan kondisi inkubator yang berupa suhu, kelembaban, hama, dan predator dilakukan setiap hari.

E. Analisis Data

Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan analisis varians (ANAVA) untuk mengetahui nyata atau tidaknya pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap parameter yang diukur dalam penelitian ini. Apabila diketahui adanya pengaruh yang berbeda nyata, maka dilanjutkan dengan uji DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) pada taraf signifikan 5% untuk mengetahui tingkat perbedaan antar perlakuan, sedangkan untuk data kualitas inkubator dibandingkan dengan rentang optimumnya berdasarkan literatur.


(40)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Usaha budidaya A. fuciphagus secara intensif membutuhkan

kualitas, kuantitas, dan pola pemberian pakan yang tepat sesuai dengan kebutuhan setiap periode hidup A. fuciphagus. Dalam mengambil makanan, anakan A. fuciphagus umur 0- 7 hari tidak selektif karena anakan belum dapat melihat sehingga akan memakan apa saja yang dimasukkan ke dalam mulutnya. Akibatnya asupan gizi sangat dipengaruhi oleh kualitas pakan yang diberikan. Hal ini penting karena dapat mempengaruhi pertumbuhan anakan A. fuciphagus.

Pakan yang digunakan dalam budidaya A. fuciphagus adalah telur O. smaragdina. Pemberian telur O. smaragdina sebagai pakan pada

budidaya A. fuciphagus karena telur tersebut tidak mengandung kitin. Kitin pada serangga memiliki efek negatif karena relatif tidak dapat dicerna dan dapat menghambat suplai enzim pencernaan untuk lemak dan protein (Bryant & Bryant, 2000), menurunkan kuantitas bakteri probiotik, Bifidibacterium dan Lactobacillus dalam lambung (Tanaka, et al., 1997). Efisiensi pada pencernaan tanpa kitin sangat tinggi, koefisien energi metabolisme bisa mencapai 100%, sedangkan pencernaan larva serangga yang mengandung kitin hanya 50-80% (Karasov, 2001).

Pada penelitian ini telur O. smaragdina diberikan 30 % dari berat badan anakan A. fuciphagus dengan variasi frekuensi pemberian yaitu 3 kali


(41)

per hari, 5 kali per hari, dan 7 kali per hari. Variasi frekuensi yang digunakan mengacu pada frekuensi pemberian pakan induk burung tropis liar pemakan serangga pada anakannya salah satunya adalah burung jalak yaitu setiap 169 menit (O’Connor, 1985) atau kurang lebih setiap 3 jam sekali. Aktivitas pemberian pakan oleh induk burung dimulai pada pagi hingga petang hari (Klasing, 1997). Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka diharapkan dapat menghasilkan frekuensi yang ideal pada budidaya A. fuciphagus.

Pakan yang akan digunakan selama penelitian diujikan terlebih dahulu kualitasnya untuk mengetahui kandungan protein, karbohidrat, lemak, abu, dan air. Kandungan komponen ini dapat dilihat dalam tabel 1 Tabel 1. Komposisi Senyawa Telur O. smaragdina dan Larva Semut serta

Kebutuhan Senyawa Gizi Anakan Burung Pemakan Serangga Komposisi Nutrien Telur O. smaragdina (%)a Larva O. smaragdina (%)b Kebutuhan Senyawa Gizi Anakan Burung Pemakan Serangga (%)c Protein Lemak Karbohidrat Air Abu 15,2 3,9 4,1 65,5 0,8 17,7 3,4 2,3 67,2 - 14,1 2,6 3,9 78 - Keterangan

a. Hasil analisis proksimat b. Redford (1984)


(42)

Hasil analisis proksimat pakan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu telur O. smaragdina mempunyai kandungan protein dan air lebih rendah daripada pakan berupa larva serangga, sedangkan kadar lemak dan karbohidrat pada telur O. smaragdina lebih tinggi daripada pada larva semut. Kandungan nutrisi larva semut menurut Redford (1984), adalah protein 17,7%, karbohidrat 2,3%, lemak 3,4%, dan air 67,2%. Saat ini belum ada data yang jelas mengenai kebutuhan nutrisi pakan yang ideal bagi anakan A. fuciphagus, maka pada penelitian ini menggunakan data penelitian pada tiga jenis burung pemakan serangga yang dinyatakan oleh Street dan Macdonald (1977) sebagai dasar pembanding, mengingat A. fuciphagus termasuk burung pemakan serangga. Kebutuhan nutrisi pada anakan burung pemakan serangga meliputi protein 14,15%, karbohidrat 3,9%, lemak 2,6%, dan air 78%, sesuai dengan pernyataan tersebut, maka kandungan nutrisi pakan ini dari hasil analisis proksimatnya dapat dinyatakan sudah dapat memenuhi kebutuhan nutrisi anakan A. fuciphagus.

Molekul yang paling penting dalam tubuh suatu organisme adalah protein karena menurut Lehninger (1982) protein merupakan makromolekul penyusun protoplasma aktif dalam semua sel hidup. Adapun fungsi-fungsi protein antara lain sebagai pembentuk hormon, enzim, antibodi, memperbaiki jaringan rusak, dan membentuk jaringan baru (Tacon, 1987). Kadar protein pakan dapat mempengaruhi tinggi rendahnya pertumbuhan dan kelangsungan hidup anakan burung (Beckerton, et al.,2002; Cole, et


(43)

al., 1992). Kualitas protein ditentukan oleh jumlah dan susunan asam aminonya (Hiromoto, et al., 2000). Namun dalam prakteknya, suatu organisme tidak hanya membutuhkan protein dalam mendukung kehidupan, tetapi juga membutuhkan nutrisi lain seperti karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral dalam jumlah cukup yang masing-masing fungsinya saling berkesinambungan dalam mendukung kehidupan organisme tersebut (Cilleirs dan Hayes, 2000).

Selain kualitas pakan, frekuensi pemberian pakan yang tepat dapat meningkatkan konsumsi pakan maupun zat makanan serta dapat

meningkatkan daya cernanya sehingga produktivitas meningkat.

Pemanfaatan suatu bahan pakan dapat ditingkatkan dengan pengaturan pemberian pakan yang optimal (Siregar, 1985). Frekuensi pemberian pakan juga berkaitan dengan frekuensi lapar. Kekerapan frekuensi pemberian pakan diatur untuk memacu pertumbuhan dengan anggapan pemberian pakan sedikit demi sedikit namun dengan frekuensi lebih sering, mengakibatkan anakan A. fuciphagus tidak lekas kenyang dan nafsu makan tetap terjaga (Nir et al., 1978), juga berkaitan dengan proses sekresi enzim pencernaan yang mendapat rangsangan berupa pakan dalam saluran pencernaan secara kontinyu. Adanya makanan dalam mulut secara refleks merangsang sekresi lambung. Sekresi enzim dalam saluran pencernaan yang teratur akan mengurangi gangguan pencernaan yang sering terjadi pada saat anakan berada dalam fase starter (Ganong, 2002 dan Nir et al., 1978).


(44)

Asupan makanan yang kontinyu menjaga masukan kalori dan protein pada anakan A. fuciphagus terpenuhi sehingga pertumbuhan menjadi optimal, kecepatan pertumbuhan bulu meningkat, serta daya tahan tubuh meningkat, sehingga anakan A. fuciphagus menjadi tahan terhadap penyakit sehingga angka kelangsungan hidup pada fase tersebut meningkat.

A. Pertumbuhan Anakan A. fuciphagus

Berdasarkan hasil penelitian selama 21 hari dapat diperoleh gambaran mengenai pertumbuhan berat, pertumbuhan bulu, kelangsungan hidup anakan A. fuciphagus. Parameter tersebut didukung dengan hasil analisis kualitas media pemeliharaan.

Pertumbuhan merupakan pertambahan ukuran, panjang, maupun berat (Kimball, 1994), proses pematangan alat reproduksi dan proses pertumbuhan bulu (Rasyaf, 1993). Dalam penelitian ini, parameter yang digunakan untuk menjelaskan data pertumbuhan adalah pertambahan berat dan pertumbuhan bulu.

Tabel 2. Pertambahan Berat Badan Anakan A. fuciphagus Berdasarkan Frekuensi Pemberian Telur O. smaragdina

Jenis Pakan Frekuensi

Pemberian Pakan

Pertambahan Berat Badan ±

SD (gram)

Rata-rata Pertambahan Berat Badan ±

SD (gram) Telur

O. smaragdina

3 kali 10,76 ±0,58a

12,35±1,45a

5 kali 12,20±0,23b

7 kali 14,09±0,20c

Larva O. smaragdina

3 kali 8,70±0,48d

10,13±1,36b

5 kali 9,90±0,30e


(45)

Keterangan : angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya beda nyata (P<0,05) antara perlakuan.

SD : Standar Deviasi

Gambar 2. Rata-rata berat badan anakan A. fuciphagus setiap 7 hari pengamatan berdasarkan frekuensi pemberian telur O. smaragdina.

Gambar 2 menyajikan data pertumbuhan anakan A. fuciphagus dalam penelitian yaitu berat individu pada tiap perlakuan. Hasil analisis sidik ragam dari data hasil pengamatan pertumbuhan anakan A. fuciphagus menunjukkan adanya pengaruh yang nyata dari perlakuan frekuensi pemberian telur O. smaragdina setelah 21 hari pemeliharaan. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa berat individu anakan A. fuciphagus

tertinggi dicapai pada pemberian pakan 7 kali per hari dan terendah pada pemberian pakan 3 kali per hari.

Pada tabel 2 terlihat bahwa dari pemberian telur O. smaragdina 7 kali sehari diperoleh pertambahan berat tubuh rata-rata sebesar 14,09 gram dan dari hasil uji DMRT 5%. Perlakuan tersebut berbeda nyata (P<0.05) dengan frekuensi pemberian telur O. smaragdina 3 kali sehari yaitu 10,76 gram, dan frekuensi pemberian telur O. smaragdina 5 kali sehari sebesar 12,20 gram. Berbeda nyata (P<0.05) berarti frekuensi pemberian telur O. smaragdina berpengaruh terhadap pertambahan berat badan A. fuciphagus Hasil pengukuran berat tubuh rata-rata anakan A. fuciphagus tiap perlakuan untuk setiap waktu pengamatan disajikan pada gambar 2.


(46)

Sebagai kontrol, pemberian larva O. smaragdina dengan frekuensi 3, 5, dan 7 kali per hari. Pada tabel 2 terlihat bahwa dari perlakuan pemberian telur O. smaragdina diperoleh pertambahan berat badan rata-rata sebesar 12,35 gram. Hasil uji DMRT 5% menunjukkan perlakuan tersebut beda nyata (P<0,05) dengan perlakuan pemberian larva O. smaragdina sebesar 10,13 gram. Dari analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan memperlihatkan beda nyata pada pemberian telur O. smaragdina memperlihatkan respon pertumbuhan lebih baik daripada pemberian larva O. smaragdina.

Larva serangga mengandung kitin yang dapat memberi efek negatif antara lain mempengaruhi metabolisme protein dan lemak serta menurunkan koefisien energi metabolisme. Dalam saluran pencernaan, kitin memiliki 2 mekanisme kerja. Pertama yaitu dapat mengikat asam lemak dan asam empedu menjadi suatu komplek yang tidak dapat diserap tubuh dan akhirnya terbuang bersama kotoran. Kedua, akan membungkus butiran lemak yang telah bercampur dengan enzim lipase pankreas (Kurniastuti, 2007). Sifat kitin tidak bisa dicerna dan mempunyai daya pengikat lemak yang tinggi sehingga mampu menghambat absorbsi lemak oleh tubuh (Pavinatto, 2005). Ketika kitin terkena asam lambung, senyawa tersebut akan berubah menjadi jeli. Lemak yang berasal dari asupan makanan yang masuk, baik sesudah atau sebelum diemulsikan oleh getah lambung agar dapat diabsorbsi oleh usus, akan bertemu dengan kitin. Kitin yang berubah


(47)

menjadi jeli tersebut akan membungkus molekul lemak dari makanan (Rismana, 2003). Sehingga asupan nutrisi yang diperlukan khususnya lemak pada anakan A. fuciphagus yang diberi larva O. smaragdina akan berkurang, karena tidak dapat diserap tubuh dan terbuang bersama kotoran.

Gambar 2 menunjukkan bahwa pertumbuhan anakan A. fuciphagus pada fase starter berdasarkan pemberian telur O. smaragdina mulai terlihat pada hari ke-7, pertumbuhan anakan A. fuciphagus mulai meningkat. Pada pengamatan harian, dari hari ke-0 sampai hari ke-2 pertambahan berat

anakan A. fuciphagus pada semua perlakuan hampir sama. Pada tahap awal

anakan beberapa spesies burung pemakan serangga masih memiliki cadangan makanan, akibatnya makanan yang diberikan belum banyak berpengaruh pada pertumbuhan anakan (Konarzewski et al., 2003). Ketika memasuki hari ke-3 sampai hari ke-7, anakan mulai bergantung pada makanan yang diberikan. Oleh karena itu, setelah tujuh hari pengaruh pakan yang diberikan pada anakan A. fuciphagus mulai terlihat. Seperti yang ditunjukkan pada gambar 1, pertambahan berat anakan A. fuciphagus dari setiap perlakuan mulai hari ke-7 cenderung meningkat. Hal ini disebabkan A. fuciphagus masih dalam fase pertumbuhan pada saat dipelihara. Pertumbuhan yang pesat ini disebabkan kandungan nutrisi yang terdapat dalam telur O. smaragdina yang diberikan dapat digunakan secara efisien untuk proses fisiologi tubuh anakan A. fuciphagus.


(48)

Burung pemakan serangga memiliki esofagus yang sempit, tetapi memiliki lambung lebih luas yang diperlukan untuk menyediakan lebih banyak pepsin dan HCL untuk mencerna protein (Wooleer et al., 1990), mengingat telur ataupun larva O. smaragdina yang dikonsumsi oleh anakan A. fuciphagus mengandung protein dengan presentase nutrisi tertinggi dibanding nutrisi lain di dalamnya. Selain itu, protein juga sangat penting bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup anakan A. fuchiphagus.

Menurut Barton dan Houston (1993), tingkat konsumsi pakan dipengaruhi oleh kecepatan pakan meninggalkan saluran pencernaan. Anakan A. fuciphagus mempunyai kapasitas lambung yang terbatas dibandingkan burung dewasa. Saat pemberian pakan pada pemberian telur O. smaragdina 3 kali jumlah pakan yang diberikan setiap waktu pemberian lebih banyak daripada jumlah pakan pada pemberian telur O. smaragdina 5 kali dan pemberian telur O. smaragdina 7 kali. Jumlah pakan pada pemberian telur O. smaragdina 3 kali per hari tersebut melebihi kapasitas lambung anakan A. fuciphagus sehingga terlihat telur O. smaragdina berdesakan di esofagus karena tidak semua pakan bisa memasuki lambung,

sedangkan jumlah pakan yang diberikan pada pemberian telur O.

smaragdina 7 kali per hari lebih sedikit dengan frekuensi pemberian yang lebih banyak. Saat pemberian pakan, seluruh telur O. smaragdina yang diberikan dapat memasuki lambung, terlihat bahwa tidak ada pakan yang masih berdesakan di esofagus. Selain itu volume makanan yang berlebih


(49)

menyebabkan anakan A. fuciphagus lekas kenyang sehingga menurunkan nafsu makannya (Royama, 1976). Saat memasuki minggu yang kedua, nafsu makan anakan pada perlakuan pemberian pakan 3 kali per hari dan pemberian pakan 5 kali per hari mengalami penurunan dan mengalami puncaknya pada saat anakan A. fuciphagus memasuki minggu ketiga yaitu pada umur 14 hari, terlihat anakan tidak membuka mulut dan tidak memakan telur O. smaragdina yang diberikan.

Dengan meningkatkan frekuensi pemberian pakan yaitu pemberian pakan sedikit demi sedikit maka makanan yang ada dalam saluran pencernaan tidak terlalu banyak sehingga lebih banyak kesempatan untuk dicerna (Shim dan Vohra, 1984). Peningkatan frekuensi pemberian pakan tidak hanya akan meningkatkan konsumsi pakan tetapi juga meningkatkan jumlah bahan pakan yang tercerna dan akan menambah nutrisi yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan tubuh (Austin, 1977). Menurut Soeparno (1992) konsumsi pakan mempunyai pengaruh yang besar terhadap pertambahan berat badan. Konsumsi pakan yang menurun pada anakan A. fuciphagus pada kelompok pemberian telur O. smaragdina 3 kali per hari dan pemberian telur O. smaragdina 5 kali per hari menyebabkan nutrisi yang didapatkan anakan terutama untuk pertumbuhan juga menurun sehingga terlihat bahwa berat badan anakan kelompok pemberian telur O. smaragdina 3 kali per hari dan pemberian telur O. smaragdina 5 kali per hari lebih rendah daripada pemberian telur O. smaragdina 7 kali per hari.


(50)

Pakan dan kebiasaan makan berubah sesuai dengan tahap kehidupan. Jumlah yang diperlukan oleh anakan burung tergantung dari umur dan ukuran lambung. Kemampuan lambung pada anakan burung terbatas dibanding burung dewasa maka untuk memenuhi kebutuhan energi dan protein, anakan perlu masukan kalori dan protein dalam pakan secara kontinyu (Nir et al.,1978). Pemenuhan kebutuhan pakan secara kontinyu perlu dilakukan dengan mengatur frekuensi pemberian pakan.

Tabel 3. Data pertumbuhan bulu anakan A. fuciphagus berdasarkan

frekuensi pemberian telur O. smaragdina.

Jenis Pakan Frekuensi Pemberian

Pakan

Pertumbuhan Bulu (Hari ke-)

Telur O.smaragdina 3 kali 8

5 kali 7

7 kali 6

Larva O.smaragdina 3 kali 10

5 kali 8

7 kali 7

Pertumbuhan bulu pada anakan A. fuciphagus tiap perlakuan juga

berbeda. Pada pemberian pakan dengan menggunakan telur O. smaragdina

7 kali per hari, anakan mengalami pertumbuhan bulu lebih cepat yaitu pada hari ke-6, sedangkan anakan A. fuciphagus dengan pemberian larva O. smaragdina dengan frekuensi pemberian yang sama mengalami pertumbuhan bulu pada hari ke-7.

Pengamatan harian yang dilakukan pada anakan A. fuciphagus menunjukkan bahwa pada perlakuan pemberian pakan telur O. smaragdina 7 kali per hari, anakan mengalami pertumbuhan bulu lebih cepat daripada


(51)

anakan A. fuciphagus pada pemberian telur O. smaragdina 3 kali per hari dan 5 kali per hari. Pada pemberian telur O. smaragdina 7 kali per hari anakan A. fuciphagus mengalami pertumbuhan bulu pada hari ke-6. Pada pemberian telur O. smaragdina 5 kali per hari, anakan mengalami

pertumbuhan bulu pada hari ke-7 sedang pada pemberian telur O.

smaragdina 3 kali per hari pertumbuhan bulu anakan mulai terjadi pada hari ke-8 pemeliharaan.

Kebutuhan asam amino saat A. fuciphagus mengalami pertumbuhan bulu akan meningkat. Karena asam amino dibutuhkan burung untuk mensintesis folikel dan kantung bulu,serta pembuluh darah epidermis (Klasing, 1998). Folikel dan kantung bulu terdiri lebih dari 90% masa protein. Komposisi asam amino pada bulu sangat berbeda dengan protein tubuh ataupun protein dalam telur (Wetherbee, 1997). Bulu diperkaya kandungan asam amino sistein, valin, dan leusin (Weller, 1987). Pada saat pertumbuhan bulu, usia anakan A. fuciphagus sudah memasuki minggu kedua sehingga anakan sudah sangat tergantung pada makanan yang diberikan. Nafsu makan anakan terutama pada kelompok pemberian telur O. smaragdina 3 kali dan 5 kali per hari sudah mulai menurun sehingga nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan bulu tidak terpenuhi. Hal ini

menyebabkan pertumbuhan bulu pada anakan A. fuciphagus kelompok


(52)

smaragdina 5 kali lebih lambat daripada anakan A. fuciphagus dengan pemberian telur O. smaragdina 7 kali per hari.

B. Kelangsungan Hidup Anakan A. fuciphagus

Berdasarkan hasil penelitian selama 21 hari dapat diperoleh gambaran mengenai pertumbuhan berat, pertumbuhan bulu, kelangsungan hidup anakan A. fuciphagus. Parameter tersebut didukung dengan hasil analisis kualitas media pemeliharaan.

Mortalitas atau kelangsungan hidup adalah peluang hidup pada periode tertentu. Tingkat kematian pada suatu populasi dipengaruhi oleh faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar meliputi kondisi lingkungan abiotik, kompetisi antar spesies, pemangsa dan kekurangan pakan. Faktor dalam meliputi umur dan kemampuan untuk mencerna makanan (Klasing, 1998).

Tabel 4. Kelangsungan hidup atau Survival Rate (SR) anakan A. fuciphagus berdasarkan frekuensi pemberian telur O. smaragdina pada akhir penelitian.

Jenis Pakan Frekuensi

Pemberian Pakan

Kelangsungan Hidup± SD

Kelangsungan Hidup ± SD

(%) Telur

O. smaragdina

3 kali 46,62±18,23a

75,52±26,64a

5 kali 79,96±18,29b

7 kali 100±0,00c

Larva O. smaragdina

3 kali 13,32±18,23d

37,74±24,74b

5 kali 46,62±18,23e

7 kali 53,28±18,23f

Keterangan: angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan ada beda nyata (P<0,05) antara perlakuan


(53)

Gambar 3. Grafik rata-rata kelangsungan hidup anakan A. fuciphagus setiap 7 hari pengamatan setelah berdasarkan frekuensi pemberian telur O. smaragdina.

0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5

hari ke-1 hari ke-7 hari ke-14 hari ke-21

jum la h ind iv id u (e k o r)

3 kali pemberian telur O. smaragdina

5 kali pemberian telur O. smaragdina

7 kali pemberian telur O. smaragdina

3 kali pemberian larva O. smaragdina

5 kali pemberian larva O. smaragdina

7 kali pemberian larva O. smaragdina

Pada gambar 3 terlihat bahwa dari pemberian telur O. smaragdina 7 kali per hari diperoleh kelangsungan hidup anakan A. fuciphagus rata-rata sebesar (100%) dan dari hasil uji DMRT 5% (lampiran 2), perlakuan tersebut berbeda nyata (P<0.05) dengan pemberian telur O. smaragdina 3 kali per hari (66,6%), dan pemberian telur O. smaragdina 5 kali per hari

(33,3%). Hasil pengukuran kelangsungan hidup rata-rata anakan A.

fuciphagus tiap perlakuan untuk setiap waktu pengamatan disajikan pada gambar 2.

Sebagai kontrol, pemberian larva O. smaragdina dengan frekuensi 3, 5, dan 7 kali per hari. Pada tabel 4 terlihat bahwa dari perlakuan pemberian telur O. smaragdina diperoleh kelangsungan hidup rata-rata


(54)

sebesar 75,52 %. Perlakuan tersebut beda nyata (P<0,05) dengan perlakuan pemberian larva O. smaragdina sebesar 37,74% . Dari analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan memperlihatkan beda nyata pada pemberian telur O. smaragdina memperlihatkan respon kelangsungan hidup lebih baik daripada pemberian larva O. smaragdina.

Kelangsungan hidup dan pertumbuhan anakan A. fuciphagus sangat ditentukan oleh dua faktor utama yaitu nutrisi dalam pakan dan kualitas

lingkungan sebagai media pemeliharaan anakan A. fuciphagus.

Pertumbuhan yang maksimal dapat dicapai apabila kuantitas dan kualitas penyediaan makanan cukup baik, serta didukung oleh kondisi media pemeliharaan yang sesuai dengan kebutuhan anakan burung (Klasing, et al., 1997). Menurut Marzuki (1997) rendahnya kelangsungan hidup pada anakan A. fuciphagus pada fase starter yang dibudidayakan banyak disebabkan oleh penyakit, kelaparan, media pemeliharaan yang kurang ideal. Penyakit yang sering menjangkiti anakan A. fuciphagus adalah diare (Marzuki, 1997), yang kemungkinan disebabkan oleh kurang sterilnya media pemeliharaan dan kandungan kitin pada larva serangga yang biasa diberikan pada budidaya anakan A. fuciphagus. Pada penelitian ini, pakan yang diberikan adalah telur O. smaragdina karena tidak mengandung kitin

dan larva O. smaragdina sebagai kontrol, dan diharapkan dapat


(55)

Hasil budidaya anakan A. fuciphagus dilakukan Marzuki (1997) dengan pemberian larva serangga sebanyak 30% berat badan anakan A. fuciphagus selama 18 hari dengan frekuensi pemberian pakan 5 kali per hari. Namun hasil penelitian pemberian telur O. smaragdina pada anakan A. fuciphagus selama 21 hari pemeliharaan dengan dosis pakan yang sama tetapi dengan frekuensi pemberian pakan yang lebih besar yaitu 7 kali per hari memberikan kelangsungan hidup dan pertumbuhan yang lebih baik. Tingkat kelangsungan hidup yang dicapai pada penelitian ini dengan pemberian telur O. smaragdina dengan frekuensi pemberian 7 kali sehari adalah 100% sedangkan pada budidaya yang dilakukan Marzuki (1997) hanya mencapai 55%. Perbedaan kelangsungan hidup dan pertumbuhan pada anakan A. fuciphagus mungkin disebabkan oleh pemberian telur O. smaragdina yang tidak mengandung kitin sehingga meningkatkan energi metabolisme dibanding pencernan larva serangga yang mengandung kitin. Selain itu frekuensi pemberian pakan yang tinggi juga berpengaruh pada kelangsungan hidup dan pertumbuhan anakan A. fuciphagus.

Pemberian frekuensi pakan yang berbeda pada penelitian ini menghasilkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup yang berbeda pula. Pemberian pakan 7 kali sehari memberikan pertumbuhan berat badan dan kelangsungan hidup tertinggi sedangkan pemberian pakan 3 kali sehari memberikan hasil terendah. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa frekuensi pemberian pakan paling banyak yaitu 7 kali sehari selain sesuai dengan


(56)

frekuensi pemberian pakan induk burung pemakan serangga di alam liar , juga memungkinkan makanan masuk sedikit demi sedikit ke dalam lambung. Anakan A. fuciphagus memiliki kapasitas lambung yang terbatas, sehingga makanan yang masuk sedikit demi sedikit tetapi kontinyu akan memberikan kesempatan makanan untuk dicerna, sedangkan pemberian pakan 3 kali sehari dengan jumlah pakan yang sama memberikan hasil pertumbuhan dan kelangsungan hidup terendah, hal ini diduga karena volume makanan yang masuk terlalu banyak maka makanan yang ditelan pun melebihi kapasitas lambung anakan A. fuciphagus. Bila terjadi demikian maka makanan yang masuk tidak dapat dicerna dengan sempurna, karena makanan berdesakan dalam saluran cerna yang melebihi kapasitas lambung, dan makanan akan keluar lagi dari usus dalam keadaan belum tercerna dengan baik dan belum terserap sarinya oleh usus (Voronov, 1974). Selain itu volume makanan yang berlebih menyebabkan anakan A. fuciphagus lekas kenyang sehingga menurunkan nafsu makannya (Royama, 1976). Hal ini terlihat saat masuk minggu yang kedua, nafsu makan anakan pada pemberian telur O. smaragdina 3 kali per hari mulai turun dan mengalami puncaknya pada saat anakan A. fuciphagus memasuki minggu ketiga yaitu pada umur 14 hari. Perilaku anakan A. fuciphagus saat mencium bau pakan yang didekatkan di sekitar paruhnya adalah dengan membuka mulutnya. Hal ini terjadi karena penglihatan anakan burung pada fase starter belum


(57)

A. fuciphagus terutama pada pemberian telur O. smaragdina 3 kali per hari tidak menghabiskan seluruh telur O. smaragdina yang diberikan. Nafsu makan yang turun menyebabkan konsumsi makan menjadi berkurang, sehingga asupan nutrisi yang diperlukan anakan A. fuciphagus tidak terpenuhi yang menyebabkan pertumbuhan menjadi lambat yang pada akhirnya bisa menyebabkan kematian. Pada saat memasuki hari ke-9,

beberapa anakan A. fuciphagus pada kelompok pemberian telur O.

smaragdina 3 kali per hari dan kelompok pemberian telur O. smaragdina 5 kali per hari terlihat pucat, lemah, dan nafsu makan menurun. Memasuki hari ke-10 beberapa anakan A. fuciphagus pada kelompok pemberian telur O. smaragdina 3 kali per hari mengalami kematian dan terjadi kematian setiap hari secara acak pada kelompok pemberian telur O. smaragdina 3 kali per hari dan kelompok pemberian telur O. smaragdina 5 kali per hari sampai berakhirnya penelitian. Anakan A. fuciphagus yang mengalami kematian memiliki ciri-ciri yang hampir seragam yaitu tubuh kurus dan pucat. Jumlah kematian yang terjadi pada kelompok pemberian telur O. smaragdina 3 kali per hari lebih banyak daripada kematian yang terjadi pada kelompok pemberian telur O. smaragdina 5 kali per hari yang diberi perlakuan pemberian telur O. smaragdina dengan frekuensi yang lebih tinggi, sedangkan pada pemberian telur O. smaragdina 7 kali per hari, kelangsungan hidup mencapai 100%. Dari keseluruhan parameter yang diukur dan diamati pada penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian telur


(58)

O. smaragdina 7 kali per hari merupakan perlakuan yang paling baik karena menghasilkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup tertinggi dibandingkan perlakuan yang lain.

C. Kualitas Media Pemeliharaan

Selain faktor kualitas dan frekuensi pemberian pakan, kualitas media pemeliharaan juga memegang peranan yang besar dalam mendukung

pertumbuhan dan kelangsungan hidup anakan A. fuciphagus. Pada

penelitian ini, parameter kualitas media pemeliharaan yang diukur adalah suhu, kelembaban, intensitas cahaya, dan sterilitas terhadap hama dan predator. Alasan pemilihan parameter ini karena beberapa parameter tersebut diketahui mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup anakan A. fuciphagus.

Suhu merupakan kualitas media yang sangat berpengaruh pada pertumbuhan dan kelangsungan hidup anakan A. fuciphagus. Pengukuran terhadap suhu dilakukan dengan tujuan untuk menstabilkan suhu media sesuai dengan kebutuhan ideal anakan A. fuciphagus. Pada penelitian ini pengukuran suhu, kelembaban, intensitas cahaya, serta sterilitas terhadap hama dan predator dilakukan setiap hari sebelum pemberian telur O. smaragdina.

Dari pengukuran kualitas media pemeliharaan selama 21 hari terdapat fluktuasi dari masing-masing parameter kualitas media. Hasil


(59)

pengukuran kualitas media pemeliharaan selama penelitian dapat dilihat dalam tabel 5. Pada tabel 5 terlihat bahwa kualitas media pemeliharaan anakan A. fuciphagus dalam penelitian ini masih dalam kisaran yang layak. Suhu merupakan salah satu parameter yang sangat penting peranannya dalam mendukung pertumbuhan, metabolisme, dan kelangsungan hidup anakan A. fuciphagus.

Setiap burung mempunyai suhu minimum, optimum, dan maksimum untuk hidupnya. Juga mempunyai kemampuan menyesuaikan diri sampai batasan tertentu (Ricklefs, 1989). Anakan A. fuciphagus pada fase starter belum memiliki bulu yang sempurna untuk menghangatkan tubuhnya sehingga anakan memerlukan kisaran suhu ideal 27-30oC, kelembaban antara 85-95%, dan intensitas cahaya 0,6 lux (Marzuki,1997). Sehingga kisaran suhu media selama penelitian masih dalam batas toleransi yaitu 27-29oC.

Tabel 5. Kualitas Media Pemeliharaan Anakan A. fuciphagus Berdasarkan Pemberian Telur O. smaragdina.

Parameter Kisaran kualitas media pemeliharaan pada

kelompok perlakuan

Kelayakan

Perlakuan Pemberian telur O. smaragdina

3 kali 5 kali 7 kali Suhu (oC)

Kelembaban (%) Intensitas cahaya (lux) Hama dan predator

27,3-29,5 27,3-29,3 27,4-29,5 86-90 85-90 86-90

0,6 0,6 0,6 Tidak ada Tidak ada Tidak ada

27-30 85-95 0,6 Tidak ada


(60)

Hama yang sering mengganggu anakan A. fuciphagus yang dibudidayakan adalah semut dan tikus, semut sering menggigit anakan karena pada saat menetas anakan belum memiliki bulu, sedangkan tikus sering memangsa anakan A. fuciphagus. Sehingga media pemeliharaan dibuat tertutup dan dikelilingi kapur semut sehingga media pemeliharaan anakan A. fuciphagus tetap steril.

Secara keseluruhan, kualitas media pemeliharaan anakan A.

fuciphagus yang diukur pada penelitian ini masih menunjukkan kisaran normal (Tabel 5). Oleh karena itu, kualitas media pemeliharaan anakan A. fuciphagus selama penelitian ini dapat dikatakan tidak berpengaruh terhadap perbedaan kelangsungan hidup dan pertumbuhan anakan A. fuciphagus.


(61)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Perbedaan frekuensi pemberian telur O. smaragdina menghasilkan perbedaan pertumbuhan pada anakan A. fuciphagus. Pada pemberian telur O. smaragdina 7 kali sehari anakan A. fuciphagus mengalami pertambahan berat badan tertinggi.

2. Perbedaan frekuensi pemberian telur O. smaragdina menghasilkan

perbedaan kelangsungan hidup pada anakan A. fuciphagus. Pada

pemberian telur O. smaragdina 7 kali sehari anakan A. fuciphagus mempunyai kelangsungan hidup tertinggi.

3. Perbedaan pemberian pakan berupa telur O. smaragdina dan larva O. smaragdina menghasilkan perbedaan pertumbuhan, pertumbuhan

bulu, dan kelangsungan hidup pada anakan A. fuciphagus. Pemberian pakan telur O. smaragdina menghasilkan pertambahan berat badan, pertumbuhan bulu, dan kelangsungan hidup lebih tinggi daripada pakan larva O. smaragdina.


(62)

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai alternatif bahan pakan lain yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup anakan A. fuciphagus.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai frekuensi pemberian pakan ideal bagi anakan A. fuciphagus.


(1)

A. fuciphagus terutama pada pemberian telur O. smaragdina 3 kali per hari tidak menghabiskan seluruh telur O. smaragdina yang diberikan. Nafsu makan yang turun menyebabkan konsumsi makan menjadi berkurang, sehingga asupan nutrisi yang diperlukan anakan A. fuciphagus tidak terpenuhi yang menyebabkan pertumbuhan menjadi lambat yang pada akhirnya bisa menyebabkan kematian. Pada saat memasuki hari ke-9,

beberapa anakan A. fuciphagus pada kelompok pemberian telur O.

smaragdina 3 kali per hari dan kelompok pemberian telur O. smaragdina 5

kali per hari terlihat pucat, lemah, dan nafsu makan menurun. Memasuki hari ke-10 beberapa anakan A. fuciphagus pada kelompok pemberian telur

O. smaragdina 3 kali per hari mengalami kematian dan terjadi kematian

setiap hari secara acak pada kelompok pemberian telur O. smaragdina 3 kali per hari dan kelompok pemberian telur O. smaragdina 5 kali per hari sampai berakhirnya penelitian. Anakan A. fuciphagus yang mengalami kematian memiliki ciri-ciri yang hampir seragam yaitu tubuh kurus dan pucat. Jumlah kematian yang terjadi pada kelompok pemberian telur O.

smaragdina 3 kali per hari lebih banyak daripada kematian yang terjadi

pada kelompok pemberian telur O. smaragdina 5 kali per hari yang diberi perlakuan pemberian telur O. smaragdina dengan frekuensi yang lebih tinggi, sedangkan pada pemberian telur O. smaragdina 7 kali per hari, kelangsungan hidup mencapai 100%. Dari keseluruhan parameter yang diukur dan diamati pada penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian telur


(2)

O. smaragdina 7 kali per hari merupakan perlakuan yang paling baik karena menghasilkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup tertinggi dibandingkan perlakuan yang lain.

C. Kualitas Media Pemeliharaan

Selain faktor kualitas dan frekuensi pemberian pakan, kualitas media pemeliharaan juga memegang peranan yang besar dalam mendukung

pertumbuhan dan kelangsungan hidup anakan A. fuciphagus. Pada

penelitian ini, parameter kualitas media pemeliharaan yang diukur adalah suhu, kelembaban, intensitas cahaya, dan sterilitas terhadap hama dan predator. Alasan pemilihan parameter ini karena beberapa parameter tersebut diketahui mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup anakan A. fuciphagus.

Suhu merupakan kualitas media yang sangat berpengaruh pada pertumbuhan dan kelangsungan hidup anakan A. fuciphagus. Pengukuran terhadap suhu dilakukan dengan tujuan untuk menstabilkan suhu media sesuai dengan kebutuhan ideal anakan A. fuciphagus. Pada penelitian ini pengukuran suhu, kelembaban, intensitas cahaya, serta sterilitas terhadap hama dan predator dilakukan setiap hari sebelum pemberian telur O.

smaragdina.


(3)

pengukuran kualitas media pemeliharaan selama penelitian dapat dilihat dalam tabel 5. Pada tabel 5 terlihat bahwa kualitas media pemeliharaan anakan A. fuciphagus dalam penelitian ini masih dalam kisaran yang layak. Suhu merupakan salah satu parameter yang sangat penting peranannya dalam mendukung pertumbuhan, metabolisme, dan kelangsungan hidup anakan A. fuciphagus.

Setiap burung mempunyai suhu minimum, optimum, dan maksimum untuk hidupnya. Juga mempunyai kemampuan menyesuaikan diri sampai batasan tertentu (Ricklefs, 1989). Anakan A. fuciphagus pada fase starter belum memiliki bulu yang sempurna untuk menghangatkan tubuhnya sehingga anakan memerlukan kisaran suhu ideal 27-30oC, kelembaban antara 85-95%, dan intensitas cahaya 0,6 lux (Marzuki,1997). Sehingga kisaran suhu media selama penelitian masih dalam batas toleransi yaitu 27-29oC.

Tabel 5. Kualitas Media Pemeliharaan Anakan A. fuciphagus Berdasarkan Pemberian Telur O. smaragdina.

Parameter Kisaran kualitas media pemeliharaan pada

kelompok perlakuan

Kelayakan

Perlakuan Pemberian telur O. smaragdina

3 kali 5 kali 7 kali Suhu (oC)

Kelembaban (%) Intensitas cahaya (lux) Hama dan predator

27,3-29,5 27,3-29,3 27,4-29,5 86-90 85-90 86-90

0,6 0,6 0,6 Tidak ada Tidak ada Tidak ada

27-30 85-95 0,6 Tidak ada


(4)

Hama yang sering mengganggu anakan A. fuciphagus yang dibudidayakan adalah semut dan tikus, semut sering menggigit anakan karena pada saat menetas anakan belum memiliki bulu, sedangkan tikus sering memangsa anakan A. fuciphagus. Sehingga media pemeliharaan dibuat tertutup dan dikelilingi kapur semut sehingga media pemeliharaan anakan A. fuciphagus tetap steril.

Secara keseluruhan, kualitas media pemeliharaan anakan A.

fuciphagus yang diukur pada penelitian ini masih menunjukkan kisaran

normal (Tabel 5). Oleh karena itu, kualitas media pemeliharaan anakan A.

fuciphagus selama penelitian ini dapat dikatakan tidak berpengaruh terhadap


(5)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Perbedaan frekuensi pemberian telur O. smaragdina menghasilkan perbedaan pertumbuhan pada anakan A. fuciphagus. Pada pemberian telur O. smaragdina 7 kali sehari anakan A. fuciphagus mengalami pertambahan berat badan tertinggi.

2. Perbedaan frekuensi pemberian telur O. smaragdina menghasilkan perbedaan kelangsungan hidup pada anakan A. fuciphagus. Pada pemberian telur O. smaragdina 7 kali sehari anakan A. fuciphagus

mempunyai kelangsungan hidup tertinggi.

3. Perbedaan pemberian pakan berupa telur O. smaragdina dan larva

O. smaragdina menghasilkan perbedaan pertumbuhan, pertumbuhan

bulu, dan kelangsungan hidup pada anakan A. fuciphagus. Pemberian pakan telur O. smaragdina menghasilkan pertambahan berat badan, pertumbuhan bulu, dan kelangsungan hidup lebih tinggi daripada pakan larva O. smaragdina.


(6)

B. Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai alternatif bahan pakan lain yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup anakan A. fuciphagus.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai frekuensi pemberian pakan ideal bagi anakan A. fuciphagus.