10
dan akhirnya menimbulkan cedera. Arah dan kekerasan pada kedua tipe perlukaan tersebut dapat menentukan tipe dan keparahan suatu trauma. Klasifikasi
berdasarkan mekanisme fisik ini memiliki manfaat yang besar dalam mencegah terjadinya cedera kepala Saatman, dkk, 2008.
2.1.5. Patogenesis Patofisiologi 2.1.5.1. Cedera Otak Primer
Secara umum, cedera otak primer menunjuk kepada kejadian yang tak terhindarkan dan disertai kerusakan parenkim yang terjadi sesaat setelah terjadi
trauma Saatman, dkk, 2008 dan Werner dan Engelhard, 2007. Cedera ini dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan seperti akselerasi, rotasi, kompresi, dan
distensi sebagai akibat dari proses akselerasi dan deselerasi. Kekuatan-kekuatan ini menyebabkan tekanan pada tulang tengkorak yang dapat mempengaruhi
neuron, glia, dan pembuluh darah dan selanjutnya menyebabkan kerusakan fokal, multifokal maupun difus pada otak. Cedera otak dapat melibatkan parenkim otak
dan atau pembuluh darah otak. Cedera pada parenkim dapat berupa kontusio, laserasi, ataupun diffuse axonal injury DAI, sedangkan cedera pada pembuluh
darah otak dapat berupa perdarahan epidural, subdural, subaraknoid, dan intraserebral yang dapat dilihat pada CT-scan Indharty, 2012.
2.1.5.2. Cedera Otak Sekunder
Cedera otak sekunder menunjuk kepada keadaan dimana kerusakan pada otak dapat dihindari setelah setelah proses trauma. Beberapa contoh gangguan
sekunder ini adalah hipoksia, hipertensi, hiperkarbi, hiponatremi, dan kejang Saatman, dkk, 2008. Menurut Indharty 2012, cedera otak sekunder merupakan
lanjutan dari cedera otak primer. Hal ini dapat terjadi akibat adanya reaksi peradangan, biokimia, pengaruh neurotransmitter, gangguan autoregulasi, neuro-
apoptosis, dan inokulasi bakteri.
Faktor intrakranial lokal yang mempengaruhi cedera otak sekunder adalah adanya hematoma intrakranial, iskemik otak akibat penurunan perfusi ke
11
jaringan di otak, herniasi, penurunan tekanan arterial otak, tekanan intrakranial yang meningkat, demam, vasospasm, infeksi, dan kejang. Sebaliknya, faktor
ekstrakranial sistemik yang mempengaruhi cedera otak sekunder dikenal dengan istilah “nine deadly H’s” meliputi hipoksemia, hipotensi, hiperkapnia, hipokapnia,
hipertermi, hiperglikemi dan hipoglikemi, hiponatremi, hipoproteinemia, serta hemostasis Indharty, 2012.
2.1.5.3. Patofisiologi Cedera Kepala Secara Umum
Fase pertama kerusakan serebral paska terjadinya cedera kepala ditandai oleh kerusakan jaringan secara langsung dan juga gangguan regulasi peredaran
darah serta metabolisme di otak. Pola “ischaemia-like” ini menyebabkan akumulasi asam laktat sebagai akibat dari terjadinya glikolisis anaerob.
Selanjutnya, terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh darah diikuti dengan pembentukan oedem. Sebagai akibat berlangsungnya metabolisme anaerob, sel-
sel otak kekurangan cadangan energi yang turut menyebabkan terjadinya kegagalan pompa ion di membran sel yang bersifat energy-dependent Werner
dan Engelhard, 2007.
Pada fase kedua dapat dijumpai depolarisasi membran terminal yang diikuti dengan pelepasan neurotransmitter eksitatori glutamat dan aspartat yang
berlebihan. Selain itu, pada fase kedua dapat juga ditandai oleh teraktifasinya N- methyl-D-aspartate,
α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazolpropionate, serta kanal ion kalsium dan natrium yang voltage-dependentWerner dan Engelhard,
2007.
Influks kalsium dan natrium menyebabkan terjadinya proses self-digesting di intraseluler. Kalsium mampu mengaktifkan beberapa enzim seperti lipid
peroxidases, protease, dan fosfolipase yang dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi asam lemak bebas dan radikal bebas di intraseluler. Sebagai
tambahan, aktifasi dari enzim caspases ICE-like proteins, translocases, dan endonuklease mampu menginisiasi perubahan struktural dari membran biologis
12
dan nucleosomal DNA secara progresif. Fase-fase ini secara bersamaan mendukung terjadinya proses degradasi membran vaskular dan struktur seluler
dan akhirnya menyebabkan terjadinya proses nekrotik ataupun kematian sel terprogram apoptosisWerner dan Engelhard, 2007.
2.2. Computed Tomography Scanning CT-Scan Kepala
Computed tomography CT merupakan sebuah teknologi yang secara ekstensif digunakan dalam bidang neuroradiologi yang mampu menghasilkan
gambaran cross-sectional suatu jaringan. Gambar yang dihasilkan CT merupakan hasil dari radiasi ion-ion yang diperoleh dari penyerapan X-ray pada jaringan
spesifik yang diperiksa. CT menawarkan berbagai keperluan yang berguna untuk memeriksa otak seseorang Jordan, dkk, 2010. CT juga merupakan pemeriksaan
diagnostik yang cepat, tidak menyakitkan, noninvasif, dan akurat. Hasil dari CT juga mampu mengurangi keperluan dilakukannya tindakan pembedahan
eksploratif maupun biopsi yang invasif Fertikh, dkk, 2013.
2.2.1. Prinsip Dasar Kerja CT-Scan
Prinsip dasar dari radiografi adalah bahwa sinar X diserap berbagai jenis jaringan dengan berbagai derajat yang berbeda. Penyerapan sinar X terbanyak
adalah oleh tulang. Alasannya, tulang merupakan jaringan padat yang menyebabkan perjalanan sinar X menuju film ataupun detektor yang berada pada
posisi bersebrangan dengan pemancar sinar menjadi terhambat. Sedangkan, jaringan dengan densitas yang rendah seperti udara dan lemak hampir tidak
menyerap sinar X sedikitpun sehingga, sinar X dapat menuju film atau detektor Perron, 2008.
2.2.2. Indikasi CT-Scan Kepala
Secara umum terdapat dua indikasi untuk melakukan CT-scan otak, yaituJordan, dkk, 2010:
1. Indikasi primer
a. Trauma kepala akut