disebabkan autoimun atau infeksi helicobacter pylori turut menjadi faktor predisposisi kepada defisiensi besi akibat gangguan absorpsi Hoffbrand, 2006.
Penyebab seterusnya adalah asupan zat besi yang tidak adekuat. Tetapi, tanpa ada penyebab lain contohnya kehilangan darah yang signifikan atau infestasi
cacing tambang, etiologi ini jarang menimbulkan anemia defisiensi besi kecuali pada anak yang sedang membesar dan orang yang sepanjang hidupnya tidak
mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi, hanya makan bijirin dan sayuran sahaja. Makanan yang banyak mengandung zat besi adalah bahan
makanan yang berasal dari daging hewan.Kebiasaan mengkonsumsi makanan yang dapat mengganggu penyerapan zat besi secara bersamaan pada waktu makan
juga boleh menyebabkan absorpsi zat besi semakin berkurang Warrell, 2003.
2.4.3. Gejala dan Tanda
Simptom-simptom anemia defisiensi besi bergantung kepada derajat keparahan dan kronisitas penyakit.Simptomnya terjadi akibat kurangnya kapasitas
pengangkutan oksigen ke jaringan sehingga muncul gejala lelah, lemah dan berkurangnya kapasitas untuk beraktifitas Kasper, 2005.Berkurangnya kapasitas
pengangkutan oksigen mengakibatkan berkurangnya penghantaran oksigen ke jaringan yang metabolismenya aktif contohnya otot, yang akhirnya menjadikan
seseorang mudah lelah. Kompensasi dari tubuh menghasilkan gejala lain dari anemia contohnya kulit menjadi pucat, bukan sahaja akibat dari kurangnya Hb
dalam darah yang fungsinya memberikan warna pada kulit, tetapi karena pembuluh darah pada permukaan kulit mengalami vasokonstriksi dan
memindahkan darah ke organ yang lebih vital. Mekanisme kompensasi tubuh juga menghasilkan gejala takikardi dan sesak napas.Cara ini perlu untuk meningkatkan
curah jantung seterusnya meningkatkan penghantaran oksigen ke jaringan McPhee, 2006. Pada kebanyakan bayi dan anak, tidak tampak gejala sehingga
kadar Hb menurun di bawah 6-7 gdl Lissaeur, 2007.
2.4.4. Komplikasi
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
Pada anak-anak, anemia defisiensi besi dapat berkomplikasi kepada gangguan dalam perkembangan fisik dan mental.Ada bukti menyatakan bahwa
anemia defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan pada perilaku dan fungsi intelektual anak Lissauer, 2007. Anemia defisiensi besi menyebabkan gangguan
perkembangan neurologik pada bayi dan menurunkan prestasi belajar pada anak usia sekolah karena zat besi telah dibuktikan berperan penting dalam fungsi otak
dan penelitian pada hewan coba menunjukkan berlakunya perubahan dalam fungsi neurotransmitter dan perilaku pada hewan coba yang kekurangan zat besi. Dari
beberapa penelitian yang dilakukan di Chile, Indonesia, India dan USA didapatkan bahwa anemia defisiensi besi secara konklusifnya mengganggu
perkembangan psikomotor dan fungsi kognitif pada anak usia sekolah. Anak-anak yang diberikan suplementasi besi merasa kurang lelah dan kemampuan mereka
untuk berkonsentrasi semasa pembelajaran juga meningkat.Nilai IQ
Intelligent Quotient
pada anak yang mengalami kurang zat besi ditemukan dengan jelas lebih rendah berbanding anak yang tidak mengalami anemia defisiensi besi
WHO, 2001. Terdapat 3 proses yang menjadi dasar penyebab gangguan kognitif pada
anemia defisiensi besi. Penyebab pertama ialah gangguan pembentukan myelin.Mielinisasi memerlukan besi yang cukup dan tidak dapat berlangsung baik
bila oligodendrosit yaitu sel yang memproduksi myelin mengalami kekurangan besi.Mielin ini penting untuk kecepatan penghantaran rangsang.Penyebab yang
kedua ialah gangguan metabolisme neurotransmitter.Hal ini terjadi karena gangguan sintesa serotonin, norepinefrin, dan dopamin.Dopamin mempunyai efek
pada perhatian, penglihatan, daya ingatan, motivasi dan kontrol motorik.Penyebab seterusnya ialah gangguan metabolisme energi protein.Gangguan ini terjadi
karena besi merupakan ko-faktor pada ribonukleotida reduktase yang penting untuk fungsi dan metabolisme lemak dan energi otak. Semakin dini usia dan lama
saat terjadi anemia dan semakin luas otak yang terkena, akan menyebabkan gangguan fungsi kognitif semakin permanen dan sulit diperbaiki Lubis, 2008.
2.4.5. Pencegahan