manajemen pelayanan publik

(1)

BAB I KONSEPSI

MANAJEMEN PELAYANAN A. Batasan Pengertian Manajemen Pelayanan

Definisi Manajemen, Manullang (1985: 17) sebagai:

seni dan ilmu perencanaan, pengorganisasian,penyusunan, pengarahan dan pengawasan daripada sumber daya manusia (SDM) untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu.”

Sementara Gibson, Donelly dan Ivancevich (1996:4) mendefinisikan manajemen sebagai:”suatu proses yang dilakukan oleh satu atau lebih individu untuk mengoordinasikan berbagai aktivitas lain untuk mencapai hasil-hasil yang tidak bisa dicapai apabila satu individu bertindak sendiri.” Dua definisi diatas kelihatannya beda , tetapi pada prinsipnya sama. Yang dimaksud dengan “proses” oleh Gibson, Donelly dan Ivancevich adalah penerapan “ilmu dan seni” seperti yang dimaksud oleh Manullang, sedangkan“pengorganisasian, penyusunan, pengarahan dan pengawasan” oleh Gibson dkk di sebut dengan mengoordinasikan berbagai aktivitas lain.

Ivancevich, Lorensi, Skinner dan Crosby mendefinisikan “ Pelayanan adalah produk-produk yang tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang melibatkan usaha-usaha manusia dan menggunakan peralatan.” Sementara menurut Gronroos (1990:27) : “Pelayanan adalah suatu aktivitas atau serangkaian aktivitas yang bersifat tidak kasat mata (tidak dapat diraba) yang terjadi akibat adanya interaksi antara konsumen dengan karyawan atau hal-hal lain yang disediakan oleh perusahaan pemberi pelayanan yang dimaksudkan untuk memecahkan permasalahan konsumen / pelanggan.”

Ciri-ciri yang lebih lengkap untuk memahami pengertian pelayanan diberikan oleh Zemke dalam Collins dan Mc.Laughlin (1996:559) adalah sebagai berikut :

Tabel I

Karakteristik Produk (barang) dan jasa pelayanan

Produk (Barang) Jasa Pelayanan

Konsumen memiliki obyeknya Konsumen memiliki kenangan Pengalaman / memori tersebut tidak dapat dijual / diberikan kepada orang lain

Tujuan pembuatan barang adalah keseragaman, semua barang adalah sama

Tujuan penyelenggaraan pelayanan adalah keunikan. Setiap konsumen dan setiap kontak adalah “Spesial”

Suatu produk / barang dapat disimpan di gudang, sampelnya dapat dikirim ke konsumen.

Suatu pelayanan terjadi saat tertentu, tidak dapat disimpan digudang atau dikirimkan contohnya.

Konsumen adalah pengguna akhir yang tidak terlibat dalam proses produksi

Konsumen adalah “rekanan” yang terlibat dalam produksi

Kontrol kualitas dilakukan dengan cara membandingkan output dengan spesifikasinya.

Konsumen melakukan kontrol kualitas dengan cara membandingkan harapan dengan pengalamannya.


(2)

Jika terjadi kesalahan produksi, produk / barang dapat ditarik kembali dari pasar.

Jika terjadi kesalahan, satu-satunya cara yang dapat dilakukan untuk memperbaiki adalah meminta maaf.

Moral karyawan sangat penting Moral karyawan berperan sangat menentukan

Sumber : Zemke dalam Collins dan Mc. Laughlin (1996 : 559)

Dari pengertian diatas , manajemen pelayanan dapat diartikan sebagai : “Suatu proses penerapan ilmu dan seni untuk menyusun rencana, mengimplementasikan rencana, mengoordinasikan dan menyelesaikan aktivitas-aktivitas pelayanan demi tercapainya tujuan pelayanan.”

B. Pelayanan Publik, Pelayanan Umum, Pelayanan Pemerintah dan Pelayanan

Perijinan

Keempat istilah tersebut di Indonesia dipakai sebagai terjemahan dari Public Sevice,seperti yang dapat dilihat dalam dokumen-dokumen pemerintah yang dipakai oleh kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara.

Administrasi pemerintahan disejajarkan / dipakai secara silih berganti dan dipergunakan sebagai sinonim dari pelayanan perijinan , terjemahan dari Administrative Service. Sedang pelayanan umum lebih sesuai jika dipakai untuk menterjemahkan konsepPublic Service, yang dapat dipadankan dengan istilah Pelayanan publik.

Pelayanan Umum menurut Kepmen PAN No. 81 / 1993 yang disempurnakan dengan Kepmen PAN No. 63 / 2003 adalah : Segala bentuk pelayanan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah dan di lingkungan BUMN atau BUMD dalam bentuk barang atau jasa, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan pelayanan administrasi pemerintahan atau pelayanan perijinan adalah Segala bentuk jasa pelayanan yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah dan di lingkungan BUMN atau BUMD, baik dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang bentuk produk pelayanannya adalah ijin atau warkat.

Contoh :

1. Penerbitan akta Tanah

2. Pelayanan penyediaan air bersih 3. pelayanan transportasi

4. Pelayanaan pengadaan SIM

C. Pengertian Barang dan Jasa Publik

Pelayanan Publik / Pelayanan umum sangat terkait dengan upaya penyediaan barang publik atau jasa publik dapat dipahami dengan menggunakan taksonomi barang dan jasa yang dikemukakan Hawlett dan Ramesh (1995 : 33-34), berdasarkan derajat eksklusivitasnya (apakah suatu barang / jasa hanya dapat dinikmati secara eksklusiv oleh satu orang saja) dan derajat keterhabisannya (apakah satuan barang atau jasa habis terkonsumsi atau tidak setelah terjadinya transaksi ekonomi), Howlett dan Ramesh membedakan adanya 4 macam barang / jasa, yaitu :


(3)

1. Barang / jasa privat

Yaitu barang / jasa yang derajat ekslusivitas dan derajat keterhabisannya sangat tinggi.

Contoh : Pakaian atau jasa tukang pijat yang dapat dibagi-bagi untuk beberapa pengguna, tetapi kemudian tidak tersedia lagi untuk orang lain jika telah dibeli oleh beberapa pengguna

2. Barang / jasa publik

Yaitu barang / jasa yang derajat eksklusivitas dan derajat keterhabisannya sangat rendah. Contoh : Penerangan jalan, keamanan atau kenyamanan lingkungan yang tidak dapat dibatasi penggunaannya dan tidak habis meski telah dinikmati banyak pengguna

3. Peralatan publik atau barang / jasa semi publik

Yaitu barang / jasa yang derajat eksklusivitasnya tinggi, tetapi tingkat keterhabisannya rendah. Contoh : jalan tol atau jembatan yang tetap masih dapat dipakai oleh pengguna lain setelah dipakai oleh seorang pengguna, tetapi memungkinkan untuk dilakukan penariakan biaya kepada setiap pengguna.

4. Barang / jasa milik bersama

Yaitu barang / jasa yang derajat eksklusivitasnya rendah, tetapi tingkat keterhabisannya tinggi. Contoh : ikan, penyu, karang di laut yang kuantitasnya berkurang setelah terjadinya pemakaian, tetapi tak dimungkinkan untuk dilakukan penarikan biaya secara langsung kepada orang yang menikmatinya.

Perbedaan antara empat jenis barang / jasa tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut :

Tabel 2

Taksonomi Barang dan Jasa

Tingkat Keterhabisan Tingkat Eksklusivitas

Rendah Tinggi

Tinggi Barang milik bersama Barang / Jasa Privat

rendah Barang / jasa Publik Peralatan public atau

Barang / jasa Semi publik

Sumber : Howlett dan Ramesh (1995 : 33)

D. Penyelenggaraan Pelayanan Publik / Pelayanan Umum

Berdasarkan organisasi yang menyelenggarakan, pelayanan publik / pelayanan umum dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :

1. Pelayanan Publik / Pelayanan Umum yang diselenggarakan oleh organisasi privat. 2. Pelayanan Publik / Pelayanan Umum yang diselenggarakan oleh organisasi yang dapat

dibedakan lagi menjadi 2; a. Yang bersifat primer, dan b. Yang bersifat sekunder

Perbedaan di antara ketiga jenis pelayanan publik / pelayanan umum tersebut adalah sebagai berikut :

1. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh privat :

Adalah semua penyediaan barang / jasa publik yang diselenggarakan oleh swasta. Contoh : Bioskop, rumah makan, perusahaan angkutan swasta.


(4)

Adalah semua penyediaan barang / jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah yang dalam hal ini pemerintah merupakan satu-satunya penyelenggara, sehingga pengguna / klien mau tidak mau harus memanfaatkannya.

Contoh : Pelayanan perijinan, pelayanan di kantor Imigrasi, pelayanan kehakiman. 3. Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh pemerintah dan bersifat sekunder :

Adalah semua penyediaan barang / jasa publik yang diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi pengguna / klien tidak harus mempergunakannya karena adanya beberapa penyelenggara pelayanan swasta.

Contoh : 1. Program asuransi tenaga kerja, 2. Pelayanan pendidikan

3. Pelayanan kesehatan

Lima karakteristik yang dapat digunakan untuk membedakan ketiga jenis penyelenggaraan pelayanan publik tersebut, yaitu :

1. Adaptabilitas layanan; derajat perubahan layanan sesuai dengan tuntutan perubahan yang

diminta pengguna.

2. Posisi tawar pengguan / klien ; semakin tinggi posisi tawar pengguna / klien, maka akan

semakin tinggi pula peluang pengguna untuk meminta pelayanan yang lebih baik.

3. Type pasar; karakteristik yang menggambarkan jumlah penyelenggara pelayanan yang ada dan

hubungannya dengan pengguna / klien.

4. Locus control; karakteristik yang menjelaskan siapa yang memegang kontrol atas transaksi,

pengguna ataukah penyelenggara pelayanan.

5. Sifat pelayanan; menunjukkan kepentingan pengguna / penyelenggara pelayanan yang lebih

dominan.

Perbedaan di antara ketiga bentuk pelayanan publik dapat dilihat dalam tabe 3 berikut :

Tabel 3

Karakteristik Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Karakteristik Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Privat Publik

Sekunder Primer

Adaptabilitas Sangat tinggi Rendah Sangat rendah

Posisi tawar klien Sangat tinggi Rendah Sangat rendah

Bentuk / tipe pasar Kompetisi Oligipoli Monopoli

Locus control Klien Provider Pemerintah

Sifat pelayanan Dikendalikan oleh klien

Dikendalikan oleh Provider

Dikendalikan oleh pemerintah


(5)

Dengan mencermati tabel, dapat disimpulkan bahwa :

1. Dalam pelayanan publik yang diselenggarakan oleh swasta, posisi klien sangat kuat (empowered), sebaliknya dalam pelayanan primer yang diselenggarakan oleh organisasi publik, pelayanan primer yang diselenggarakan oleh organisasi publik, posisi klien sangat lemah (powerless).

2. Secara teoritis, kinerja pelayanan publik / pelayanan umum dan pelayanan administrasi pemerintahan / pelayanan perijinan dapat ditingkatkan dengan cara memberdayakan(empowering) klien. Hal ini sesuai dengan teori “exit” dan “voice” (Jones, 1994).

E. Arti pentingnya Manajemen Pelayanan

1. Dengan berlakunya UU No. 22 / 1999 tentang Pemda dan UU No. 25 / 1995 tentang

Perimbangan Keuangan antara Pemda dan Pemerintah Pusat, semakin banyak aktivitas pelayanan yang harus ditangani oleh daerah, sehingga aparat di Daerah dituntut untuk dapat memahami dan mempraktikkan ilmu manajemen pelayanan.

2. Meskipun kedua UU tersebut diatas kemudian direvisi dengan UU No. 32 /2004 dan UU No. 33 /

2004, tetap juga akan mengakibatkan interaksi aparat Daerah dan masyarakat menjadi lebih intens. Ditambah dengan semakin kuat tuntutan demokratisasi dan pengakuan akan HAM melahirkan kuatnya tuntutan terhadap manajemen pelayanan yang berkualitas.

3. Globalisasi dan berlakunya era perdagangan bebas mengakibatkan batas-batas antar negara

menjadi kabur dan kompetisi menjadi sangat ketat. Hal ini menuntut kemampuan manajemen pelayanan yang sangat tinggi untuk dapat tetap eksis dan mampu bersaing.

BAB II

PENGEMBANGAN MODEL MANAJEMEN PELAYANAN

A. Kebijakan Manajemen Pelayanan Publik dan Pelayanan Perijinan.

Manajemen Pelayanan Publik di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan berikut : 1. Kepmen PAN No.90 / MENPAN /1989 tentang Delapan Program Strategis Pemicu

Pendayagunaan Adm. Negara. Diantara 8 program strategis tersebut salah satunya adalah tentang penyederhanaan pelayanan publik.

2. Kepmen PAN No.1 / 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Yang antara lain mengatur tentang azas pelayanan umum, tata laksana pelayanan umum, biaya pelayanan umum,dan penyelesaian persoalan dan sengketa.

3. Inpres No. 1 / 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah kepada Masyarakat. Inpres RI kepada MENPAN untuk mengambil langkah-langkah yang terkoordinasi dengan departemen / instansi pemerintah di pusat dan daerah untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu pelayanan aparatur pemerintah kepada masyarakat baik yang menyangkut penyelenggaraan pelayanan pemerintah, pembangunan maupun kemasyarakatan.

4. Kepmen PAN No. 06 / 1995 tentang Pedoman Penganugrahan Penghargaan Abdisatyabakti bagi unit kerja / Kantor Pelayanan Percontohan.

5. Instruksi Mendagri No. 20 / 1999.Gubernur KDH TK I dan Bupati / Walikota madya KDH TK II diseluruh Indonesia diinstruksikan untuk : (a). mengambil langkah-langkah penyederhanaan perijinan beserta pelaksanaannya; (b). memberikan kemudahan bagi


(6)

masyarakat yang melakukan kegiatan di bidang usaha; dan (c). menyusun buku petunjuk pelayanan perijinan di daerah.

6. SE Dirjen PUOD No. 503/125 / PUOD tanggal 16 Januari 1996, Kepada seluruh Pemda TK II untuk membentuk unit pelayanan terpadu pola satu atap secara bertahap, yang operasionalnya dituangkan dalam Keputusan Bupati / Walikota madya KDH TK II.

7. SE Mendagri No. 100/757/OTDA tanggal 8 Juli 2002, tentang Pelaksanaan kewenangan wajib dan Standar Pelayanan Minimal (SPM).

8. Kep. MENPAN No. 63/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan. 9. Kep.MENPAN No. 25/2004 tentang Transparansi dan Akuntabilitas Pelayanan. 10. Kep. MENPAN No. 26/2004 tentang Penanganan Pengaduan Masyarakat.

11. Kep.MENPAN No. 119/2004 tentang Pemberian Tanda Penghargaan “Citra Pelayanan Prima”.

B. Hakikat Pelayanan Publik

Sesuai Kep. MENPAN No. 63/2004 adalah pemberian pelayanan Prima kepada masyarakat yang merupakan perwujudan kewajiban aparatur pemerintah sebagai abdi masyarakat.

C. Azas Pelayanan Publik.

Sesuai dengan Kep.MENPAN No. 63/2004 penyelenggaraan pelayanan harus memenuhi azas-azas sebagai berikut :

1. Transparansi; bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang memerlukan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.

2. Akuntabilitas; dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Kondisional; sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berprinsip pada efesiensi dan efektifitas.

4. Partisipatif; mendorong peran serta masyarakat dalam menyelenggarakan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi , kebutuhan dan harapan masyarakat.

5. Kesamaan hak ; tidak deskriminatif, dalam arti tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender dan status ekonomi.

6. Keseimbangan hak dan kewajiban; pemberi dan penerima pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing.

D. Kelompok Pelayanan Publik

Sesuai Kep.MENPAN No. 63/2004 jenis pelayanan dibedakan menjadi 3 kelompok yaitu :

1. Kelompok pelayanan administrative; yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang diperlukan public, misalnya status kewarganegaraan, kepemimpinan, penguasaan suatu barang, sertifikat kompetisi. Contoh: KTP, Akta pernikahan, Akta Kelahiran, BPKB, SIM, STNK, IMB dll.

2. Kelompok pelayanan barang; yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk atau jenis barang yang dugunakan oleh public, misalnya penyediaan air bersih, Tenaga listrik, jaringan telepon dsb.

3. Kelompok pelayanan jasa; yaitu pelayanan yang menghjasilkan berbagai bentuk jasa yang diperlukan oleh public, misalnya pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, Pos, dsb.


(7)

E. Penyelenggaraan Pelayanan Publik

Sehubungan dengan penyelenggaraan pelayanan publik perlu memperhatikan hal-hal berikut:

1. Prinsip pelayanan publik;

Sesuai Kep. MENPAN No. 63/2003 prinsip penyelenggaran pelayanan adalah sbb: a. Kesederhanaan; prosedur pelayanan publik tidak berbelit-belit, mudah dipahami

dan mudah dilaksanakan.

b. Kejelasan; mencakup kejelasan dalam hal: (1) persyaratan teknis dan administratif pelayanan publik; (2) unit kerja/pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan / sengketa dalam pelaksanaan pelayanan publik; (3) rincian biaya pelayanan publik dan tatacara pembayaran. c. Kepastian waktu; pelaksanaan pelayanan publik dapat diselesaikan dalam kurun

waktu yang telah ditentukan.

d. Akurasi; produk pelayanan publik diterima dengan benar, tepat, dan sah.

e. Keamanan; proses dan produk pelayanan publik memberikan rasa aman dan kepastian hukum.

f. Tanggung jawab; pimpinan penyelenggara pelayanan publik / pejabat yang ditunjuk bertanggung jawab atas penyelenggaraan pelayanan dan penyelesaian keluhan/persoalan dalam pelaksanaan pelayanan publik.

g. Kelengkapan sarana dan prasarana; tersedianya sarana prasarana kerja, peralatan kerja dan pendukung lainnya yang memadai termasuk sarana telematika.

h. Kemudahan akses; tempat dan lokasi serta sarana pelayanan yang memadai, mudah dijangkau oleh masyarakat dan memanfaatkan teknologi telematika.

i. Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan; pemberi pelayanan harus bersikap disiplin, sopan dan santun, ramah serta ikhlas dalam memberi pelayanan.

j. Kenyamanan; lingkungan pelayanan harus tertib, teratur, ruang tunggu yang nyaman, bersih, rapi, serta disediakan fasilitas pendukung seperti tempat parkir, toilet, tempat ibadah, dll.

2. Standar Pelayanan Publik.

Merupakan ukuran yang dibakukan dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang wajib ditaati oleh pemberi dan atau penerima pelayanan; sekurang-kurangnya meliputi:

a. Prosedur pelayanan; yang dibakukan bagi pemberi dan penerima pelayanan termasuk

pengaduan.

b. Waktu penyelesaian; yang ditetapkan sejak saat pengajuan permohonan sampai dengan

penyelesaian pelayanan, termasuk pengaduan.

c. Biaya pelayanan; termasuk rincian tarif yang ditetapkan dalam proses pemberian pelayanan.

d. Produk pelayanan; hasil pelayanan yang akan diterima sesuai dengan ketentuan yang telah

ditetapkan.

e. Sarana dan prasarana; penyediaan sarana dan prasarana pelayanan yang memadai oleh

penyelenggara pelayanan publik.

f. Kompetensi petugas pemberi pelayanan; harus ditetapkan dengan tepat berdasarkan

pengetahuan, keahlian, keterampilan, sikap dan perilaku yang diperlukan.

3. Pola penyelenggaraan pelayanan publik.

Sesuai Kep. MENPAN No. 63/2004 ada 4 pola pelayanan yaitu :

a. Fungsional; Pola Pelayanan publik diberikan oleh penyelenggara pelayanan, sesuai dengan


(8)

b. Terpusat ; Pola pelayanan publik diberikan secara tunggal oleh penyelenggara pelayanan

berdasarkan pelimpahan wewenang dari penyelenggara pelayanan terkait lainnya yang bersangkutan.

c. Terpadu; Pola penyelenggara pelayanan terpadu dibedakan menjadi dua yaitu:

1. Terpadu satu atap; diselenggarakan dalam satu tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan

yang tidak mempunyai keterkaitan proses dan dilayani beberapa pintu.

2. Terpadu satu pintu; diselengarakan pada satu tempat yang meliputi berbagai jenis pelayanan

yang memiliki keterkaitan proses dan dilayani melalui satu pintu.

d. Gugus tugas; petugas pelayanan publik secara perorangan atau dalam bentuk gugus tugas

ditempatkan pada instansi memberi pelayanan dan lokasi pemberian pelayanan tertentu.

4. Biaya pelayanan publik.

Sesuai Kep. MENPAN No. 63/2004 penetapan besaran biaya pelayana publik perlu memperhatikan hal-hal berikut:

a. Tingkat kemampuan dan daya beli masyarakat;

b. Nilai/ harga yang berlaku atas barang dan atau jasa;

c. Rincian biaya harus jelas untuk jenis pelayanan publik yang memerlukan tindakan seperti

penelitian, pemeriksaan, pengukuran dan pengajuan;

d. Ditetapkan oleh pejabat yang berwenang dan memperhatikan proses sesuai ketentuan

peraturan perundangan.

5. Pelayanan bagi penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil dan balita.

Sesuai Kep. MENPAN No. 63/2004 penyelenggara pelayanan wajib mengupayakan tersedianya sarana dan prasarana yang diperlukan serta memberikan akses khusus berupa kemudahan pelayanan bagi penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil dan balita.

6. pelayanan khusus.

Sesuai Kep.MENPAN No. 63/2004 penyelenggaraan jenis pelayanan publik tertentu seperti pelayanan kesehatan, transportasi, dimungkinkan untuk memberikan penyelenggaraan pelayanan khusus, dengan ketentuan seimbang dengan biaya yang dikeluarkan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan seperti ruang perawatan VIP di Rumah Sakit, gerbong eksekutif kereta api.

7. Biro jasa pelayanan.

Sesuai Kep. MENPAN No. 63/2004, pengurus pelayanan publik pada dasarnya dilakukan sendiri oleh masyarakat, namun dengan pertimbangan tertentu sebagai wujud partisipasi masyarakat dalam penyelengaraan pelayanan publik tertentu dimungkinkan adanya biro jasa yang membantu penyelenggaan pelayanan publik. Dengan ketentuan status biro jasa tersebut harus jelas, memiliki ijin usaha dari instansi yang berwenang dan dalam menyelenggarakan kegiatan pelayanan harus berkoordinasi dengan penyelenggara pelayanan yang bersangkutan, terutama menyangkut tarif, persyaratan, waktu pelayanan, sehingga tidak mengganggu fungsi penyelenggaraan pelayanan publik. Contoh: biro jasa perjalanan angkutan darat, laut dan udara.

8. Tingkat kepuasan masyarakat.

Ukuran keberhasilan penyelenggaraan pelayanan ditentukan oleh tingkat kepuasan penerima pelayanan sesuai dengan yang dibutuhkan dan diharapkan. Oleh karenanya kep. MENPAN No. 63/ 2004 mengamanatkan agar tetap penyelenggara pelayanan secara berkala melakukan survey indeks kepuasan masyarakat.

9. Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik.

Pengawasan sesuai dengan Kep. MENPAN No. 63/2004 dilakukan melalui berbagai cara sebagai berikut:


(9)

a. Pengawasan melekat; pengawasan yang dilakukan oleh atasan langsung, sesuai dengan

ketentuan peraturan perundangan.

b. Pengawasan fungsional; pengawasan yang dilakukan oleh aparat pengawas fungsional sesuai

dengan peraturan perundangan.

c. Pengawasan masyarakat; pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat berupa laporan atau

pengaduan masyarakat tentang penyimpangan dan kelemahan dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

10. Penyelesaian pengaduan.

Setiap pimpinan unit penyelenggara pelayanan publik wajib menyelesaikan setiap laporan/pengaduan masyarakat mengenai ketidakpuasaan masyarakat dalam pemberian pelayanan sesuai dengan kewenangannya.

Untuk menampung pengaduan masyarakat tersebut, unit pelayanan menyediakan loket/kotak pengaduan.

Sesuai Kep. MENPAN No. 63/2004 dalam menyelesaikan pengaduan masyarakat, pimpinan unit penyelenggara pelayanan publik perlu memperhatikan hal-hal berikut:

a. Prioritas penyelesaian pengaduan.

b. Penentuan pejabat yang menyelesaikan pengaduan.

c. Prosedur penyelesaian pengaduan.

d. Rekomendasi penyelesaian pengaduan.

e. Pemantauan dan evaluasi penyelesaian pengaduan.

f. Pelaporan proses dan hasil penyelesaian pengaduan kepada pimpinan.

g. Penyampaian hasil pengaduan kepada yang mengadukan.

h. Dokumentasi penyelesaian pengaduan.

11. Penyelesiaan sengketa.

Apabila pengaduan tidak dapat diselesaikan oleh unit penyelenggara pelayanan publik yang bersangkutan dan terjadi sengketa, maka Kep. MENPAN No. 63/2004 mengatur bahwa penyelesaiannya dapat dilakukan melalui jalur hukum.

12. Evaluasi kinerja penyelenggaraan pelayanan publik.

Sesuai Kep.MENPAN No. 63/2004 pimpinan penyelenggara pelayanan publik wajib secara berkala mengadakan evaluasi terhadap kinerja penyelenggaraan pelayanan dilingkungan secara berkelanjutan dan hasilnya secara berkala dilaporkan kepada pimpinan tertinggi penyelenggara pelayanan publik. Dalam mengevaluasi kinerja pelayanan publik harus menggunakan indikator yang jelas dan terukur sesuai ketentuan yang berlaku.

F. Penyusunan Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Pelayanan Publik.

Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Pelayanan Publik digunakan sebagai landasan penyusunan standar pelayanan oleh masing-masing pimpinan unit penyelenggara pelayanan.

Sesuai Kep. MENPAN No. 63/2004 Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Pelayanan Publik minimal memuat hal-hal sebagai berikut :

1. Landasan hukum pelayanan publik.

2. Maksud dan tujuan pelayanan publik.

3. Sistem dan prosedur pelayanan publik, minimal memuat tatacara :

a. Pengajuan permohonan pelayanan.

b. Penanganan pelayanan.

c. Penyampaian hasil pelayanan

d. Penyampaian pengaduan pelayanan


(10)

Baik persyaratan teknis maupun administrative yang harus dipenuhi oleh masyarakat penerima layanan.

5. Biaya Pelayanan Publik (termasuk rincian biaya)

6. Waktu Penyelesaian

7. Hak dan Kewajiban

Baik pihak pemberi maupun penerima pelayanan publik. 8. Pejabat Penerima Pengaduan Pelayanan Publik

G. Penghargaan bagi Penyelenggaraan Pelayanan Publik Terbaik.

Diatur dalam Kep. MENPAN No. 06/1995 tentang Pedoman Penganugrahan Penghargaan Abdisatya bhakti bagi Unit kerja / Kantor Pelayanan Percontohan. Penghargaan ini dibedakan menjadi 2 yaitu :

1. Piala Abdisatya Bhakti; diberikan kepada unit pelayanan yang telah menunjukkan tingkat kinerja

pelayanan yang optimal sehingga layak menjadi contoh / panutan.

2. Piagam Andisatya Bhakti; diberikan kepada unit pelayanan yang telah berupaya melakukan

perbaikkan mutu pelayanan secara berarti walaupun belum optimal.

Mengacu pada Kep. MENPAN No.81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum, kriteria pemberian Penghargaan Abdisatya Bhakti meliputi :

1. Kriteria kualitatif, yaitu ;

a. Kesederhanaan

b. Kejelasan dan kepastian

c. Keamanan

d. Keterbukaan

e. Efisiensi

f. Ekonomis

g. Keadilan yang merata


(11)

2. Kriteria Kuantitatif, yaitu :

a. Jumlah warga masyarakat yang meminta pelayanan (perhari, perbulan atau pertahun),

perbandingan periode I dengan periode berikutnya meningkat atau tidak.

b. Lamanya waktu pemberian pelayanan kepada masyarakat sesuai permintaan (dihitung secara

rata-rata).

c. Penggunaan perangkat-perangkat modern untuk mempercepat dan mempermudah pelayanan

kepada masyarakat.

d. Frekuensi keluhan dan atau pujian dari masyarakat penerima pelayanan terhadap pelayanan

yang diberikan oleh unit kerja / kantor pelayanan yang besangkutan. e. Hal-hal yang besifat positif menonjol sebagai prestasi khusus.

Penghargaan Abdisatya Bhakti diserahkan pertahun, dan telah berlangsung 3 tahun sejak 1995 sampai dengan 1997. Sejak tahun 1998 dihentikan karena krisis ekonomi. Tahun 2004 dikeluarkan Kep. MENPAN No. 119/2004 tentang Pemberian Tanda Penghargaan “Citra Pelayanan Prima” yang mengatur penghargaan dibagi menjadi 3 kategori yaitu :

1. Penghargaan Citra Pelayanan Prima.

2. Piagam Penghargaan Baik Tingkat Madya.

3. Penghargaan Baik Tingkat Pratama.

H. Implementasi Kebijakan Manajemen Pelayanan Publik dan Pelayanan Perijinan

1. Kelemahan–kelemahan Kebijakan Manajemen Pelayanan Publik dan Pelayanan Perijinan di

Indonesia :

a. Sistem yang berlaku masih belum mengkaitkan secara langsung prestasi kerja aparat dengan

perkembangan kariernya, sehingga pegawai yang prestasi kerjanya tidak bagus tetap dapat naik pangkat, sebaliknya yang berprestasi bagus dan memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat justru karirnya tersendat-sendat.

b. System tersebut sudah dapat mengatasi hal-hal yang bersifat teknis manajerial, tetapi masih

belum membenahi hal-hal yang bersifat strategis kebijakan. Contoh; untuk mengurus lebih dari satu pelayanan perijinan, masyarakat cukup datang ke unit pelayanan terpadu satu atap, tetapi prosedur, jumlah kelengkapan persyaratan dan biaya yang harus dibayar masih tetap belum berubah.

c. System manajemen tersebut juga belum disosialisasikan kepada masyarakat, sehingga banyak

masyarakat yang belum mengetahui system dan prosedur pelayanan yang harus diikuti. Akibatnya partisipasi aktif masyarakat juga masih sangat rendah.

2. Faktor-faktor Manajerial Penentu Kualitas Pelayanan Perijinan.

Hal yang paling esensial dalam peningkatan kualitas pelayanan adalah adanya kesenjangan hubungan antara masyarakat pengguna jasa dengan aparat yang bertugas memberikan jasa pelayanan. Pelayanan publik hanya akan menjadi baik/berkualitas apabila masyarakat yang mengurus suatu jenis pelayanan mempunyai posisi tawar yang sebanding dengan posisi tawar petugas memberi pelayanan. Dengan demikian masyarakat harus diberdayakan. dan pemberi pelayanan harus dikontrol, baik pemerintah, swasta maupun LSM.

Pemberdayaan tersebut akan dapat diwujudkan apabila terdapat:

a. Mekasnisme “exit”; artinya pengguna jasa pelayanan mempunyai pilihan untuk menggunakan

penyedia jasa layanan perijinan yang lain apabila dia tidak puas dengan sesuatu penyedia jasa. b. Mekanisme “voice”; artinya pengguna jasa dapat menyampaikan/mengekspresikan ketidak

puasan terhadap pelayanan yang diberikan oleh instansi penyelenggara pelayanan perijinan. Kualitas pelayanan perijinan sangat dipengaruhi oleh 5 hal, yaitu;


(12)

b. berfungsi mekanisme “voice”;

c. adanya birokrat yang berorientasi pada kepentingan masyarakat pengguna jasa;

d. terbangunnya kultur pelayanan dalam organisasi pemerintah yang bertugas untuk memberikan

pelayanan perijinan;

e. diterapkannya system pelayanan yang mengutamakan kepentingan masyarakat pengguna jasa

pelayanan

I. Model Manajemen Pelayanan.

Interaksi diantara 5 faktor tersebut akan membentuk model manajemen pelayanan seperti pada gambar berikut:

Mekanisme “

voice

Media LSM Organisasi Profesi Ombudsmen

Mekanisme “

voice

Media LSM Organisasi Profesi

Ombudsmen.

.


(13)

Sumber: Ratminto (2000).

BAB III

PENGEMBANGAN SISTEM PELAYANAN YANG BERORIENTASI KEPADA KEPENTINGAN MASYARAKAT.

A. Moment of Truth (momen kritis pelayanan).

Yaitu kontak yang terjadi antara konsumen dengan setiap aspek organisasi yang akan membentuk opini konsumen tentangkualitas pelayanan yang diberikan oleh organisasi tersebut. (Albrecht dan Bradford; 1990:30).

Harus ada kesesuaian/kompatibilitas antara 3 faktor dalam pengelolaan momen kritis pelayanan, yaitu:

1. Konteks pelayanan,

2. Referensi yang dimiliki oleh konsumen,

3. Referensi yang dimiliki oleh anggota organisasi penyelenggara pelayanan.

Untuk menciptakan kualitas pelayanan yang baik, setiap organisasi harus mengidentifikasikan dan mengelola momen kritis pelayanan secara baik. Kesesuaian antara 3 faktor tersebut dapat dilihat dalam model / gambar berikut :

Model

Momen Kritis Pelayan


(14)

ks Pelay anan Masuka n, Prilaku, Nilai, Keperca yaan, keingina n, Perasaa n, Harapa n. R ef e r e n si y a n g di m ili ki k o n s u m e n. R e f e r e n si y a n g di m ili ki a n g g o t a o r g a ni s a si . M as uk a n, P er ila ku , Ni lai , K e p er ca ya a n, K ei n gi n a n, P er as a a n, H ar a p a n Mom en kritis Pelay anan.


(15)

Sumber; Albrecht dan Bradford. (1990;37) B. The Cycles of service. (lingkaran pelayanan)

Yang berarti serangkaian momen kritis pelayanan yang dialami oleh konsumen ketika konsumen memanfaatkan jasa pelayanan (Sumber; Albrecht dan Bradford. 1990;37).

Untuk dapat memberikan pelayanan yang terbaik, kita harus memandang produk/jasa layanan kita sebagaimana konsumen kita memandang produk/jasa layanan tersebut. Hal ini sangat sulit untuk dilakukan karena biasanya organisasi penyelenggara pelayanan telah merumuskan system dan prosedur pelayanan seperti diilustrasikan dengan pelayanan di plaza dalam gambar berikut.

Contoh Lingkaran Pelayanan di Plaza


(16)

AKHIR LINGKARAN

Ke area parkir. Masuk area perkir.

Disapa satpam. Mencari tempat perkir.

Keluar toko.

Masuk toko.

Membayar. Dis

apa satpam.

Disapa kasir. Ambil

trolly/tas. Menunggu.

Memilih belanja.


(17)

Mengunjungi Counter obat. Membaca denah toko. Sumber : Albrech & Bradford, (1990:34)

Bagi konsumen hampir setiap detik merupakan momen kritis pelayanan yang mungkin tidak disadari oleh organisasi penyelenggara pelayanan dan orang-orang yang ada di dalamnya.

Konsep lingkaran pelayanan ini akan membantu kita mengidentifikasi momen-momen kritis pelayanan yang harus dikelola secara professional. Penerapan konsep lingkaran pelayanan ini dapat dilakukan untuk kepentingan survey sederhana atas kepuasan pelanggan dan metode untuk mengidentifikasikan sumber-sumber ketidakpuasan pelanggan.

C. Teori Exit dan Voice

Mekanisme exit berarti bahwa jika pelayanan publik tidak berkualitas maka konsumen/klien harus memiliki kesempatan untuk memilih lembaga penyelenggara pelayanan publik yang lain yang disukainya.

Mekanisme voice berarti adanya kesempatan untuk mengungkapkan ketidakpuasan kepada lembaga penyelenggara pelayanan publik.

Hirschman (dalam Jones, 1994) menjelaskan bahwa mekanisme exit biasanya terhambat oleh beberapa faktor seperti : 1. Kekuatan pemaksa dari negaara; 2. Tidak adanya lembaga penyelenggara pelayanan publik alternative; dan 3. Tidak adanya biaya untuk menciptakan lembaga penyelenggara pelayanan publik alternative.

Sedangkan mekanisme voice biasanya tidak efektif karena : 1. Pengetahuan dan kepercayaan terhadap mekanisme yang ada; 2. Aksesibilitas serta biaya untuk mempergunakan mekanisme tersebut.

Teori exit dan voice ini sejalan dengan teori publik klasik yang menyatakan bahwa kekuasaan cenderung untuk korup/disalahgunakan , sedangkan kekuasaan yang absolute sudah pasti akan disalahgunakan.

Dengan demikian untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik diperlukan adanya kesetaraan posisi tawar antara konsumen/klien dengan lembaga penyelenggara pelayanan. Secara teoritis kesetaraan posisi tawar ini akan dapat dicapai dengan cara :

1. Meningkatkan posisi tawar klien/konsumen, atau dengan kata lain memberdayakan klien.

2. Mengontrol kewenangan/kekuasaan lembaga penyelenggara pelayanan public

.

Keseimbangan posisi tawar tersebut dapat dicapai dengan menerapkan beberapa konsep berikut, sesuai dengan karakteristik pelayanan publik yang diselenggarakan ;

1. customer’s charter/client’s charter/citizen’s charter

yaitu suatu dokumen yang didalamnya diatur tentang hak-hak dan kewajiban –kewajiban yang melekat baik dalam diri providers, maupun customer, serta sanksi bagi kedua pihak apabila tidak dapat memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan.

2. Customer’s service standard

Yaitu standar pelayanan yang melekat dalam suatu jenis pelayanan publik tertentu, yang dalam Kep. Mendagri No. 29/2002 disebut Standar Pelayanan Minimal (SPM).

3. Customer’s redress

Yaitu pemberian ganti rugi kepada customers apabila Pelayanan Publik yang diberikan oleh penyelenggara pelayanan tidak sesuai dengan ketentuan yang ada, baik dalam customer’s


(18)

charter maupun yang disebutkan dalam Customer’s service standard, baik berupa uang, penggantian pelayanan serupa atau kompensasi tertentu.

4. Quality guarantees (garansi kualitas)

Yaitu suatu jaminan yang diberikan oleh instansi pemerintah/penyelenggara pelayanan publik bahwa pelayanan publik yang diselenggarakannya pasti memenuhi standar tertentu. Apabila standar tersebut tidak dapat dipenuhi makacustomers berhak untuk meminta pemenuhan standar tersebut.

5. Quality inspectors

Yaitu suatu jabatan yang tugas, kewenangan dan tanggungjawabnya adalah memeriksa dan memastikan bahwa pelayanan yang diberikan oleh instansi pemerintah/penyelenggara pelayanan benar-benar telah sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.

6. Customer’s complaint systems

Yaitu system penanganan keluhan yang efektif dan responsive sehingga customer tidak segan untuk menyampaikan keluhan/pengaduan karena pasti akan ditindaklanjuti.

Sistem penanganan keluhan ini dapat dilakukan dengan cara : a. menunjuk pejabat tertentu

b. membuka hotline bebas pulsa

c. membuka kotak pos dengan nomor yang mudah diingat

d. membuat email address

7. Ombudsmen

Yaitu Lembaga pengawas independent yang tugas, kewenangan dan tanggungjawabnya adalah untuk melakukan pengawasan dan penilaian terhadap pelaksana pelayanan publik dan melakukan pengawasan dan penilaian terhadap tindakan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pelayanan publik.

8. Competitive public choice systems

Yaitu merupakan perwujudan dari mekanisme exit dengan cara customer diberi kesempatan untuk memilih providers yang disukainya, dari beberapa providersyang menawarkan pelayanan publik sejenis yang saling bersaing dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang berkualitas. 9. Vouchers and reimbursement programs

Voucher adalah semacam kupon yang diberikan kepada warga masyarakat yang dianggap berhak/memenuhi persyaratan tertentu untuk ditukar dengan jenis pelayanan publik tertentu disalah satu penyelenggara pelayanan publik yang dipilih oleh customers. (misalnya voucher program beasiswa pendidikan untukkaum miskin dan penerimanya dapat memilih sekolah yang disukainya). Nantinya sekolah dapat menukarkan voucher tersebut kepada pemerintah dengan sejumlah uang.

Reimbursement (program penggantian sejumah uang), Idenya, customers terlebih dahulu membayar pelayanan public yang dipakainya, kemudian kuintansi pembayarannya dimintakan ganti kepada pihak tertentu yang seharusnya bertanggungjawab untuk membayar biaya pelayanan tersebut. (misalnya program asuransi kesehatan).

Dengan cara tersebut sekolah dan Rumah Sakit akan bersaing untuk menyelenggarakan pelayanan public yang terbaik, sehingga siswa dan pasien dating kepadanya.

10. Customer information systems and brokers

Yaitu suatu lembaga yang dibentuk dengan tugas, kewenangan dan tanggungjawab untuk menghimpun dan menyediakan informasi bagi masyarakat tentang berbagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan publik.

Misalnya data yang dapat diakses meliputi :

a. Informasi tentang prosedur pelayanan publik tertentu.


(19)

c. Providers yang memberikan pelayanan dari yang kurang baik sampai dengan yang terbaik. 11. Competitive bidding

Yaitu ketentuan bahwa untuk dapat melakukan pekerjaan tertentu yang terkait dengan penerimaan sejumlah uang, para providers harus bersaing karena adanya system pelelangan. Misalnya kontrak untuk menyelenggarakan pelayanan angkutan kota pada trayek tertentu, harus dilakukan dengan cara tender yang adil dan kompetitif.

12. Competitive benchmarking

Dimaksudkan agar didapatkan pelayanan publik yang berkualitas, setiap providersharus melakukan perbandingan dengan providers lain yang menawarkan pelayanan publik sejenis, sehingga diketahui kelebihan dan kekurangan yang melekat dalam dirinya dan dapat dilakukan perbaikan dengan segera.

Di Indonesia dilakukan dengan cara studi banding, namun kurang efektif karena berubah menjadi sekedar wisata dan tidak ada tindak lanjutnya.

13. Privatization

Yaitu merupakan salah satu wujud dari mekanisme exit, karena sebagian dari proses penyelenggaraan pelayanan publik diserahkan kepada pihak swasta, sehingga customers memiliki beberapa pilihan.

14. Sistem penggajian berdasarkan prestasi

Yaitu mengkaitkan gaji yang diberikan dengan prestasi kerja khususnya dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan demikian meskipun pangkat golongan dan masa kerja pegawai sama, gaji yang diterimanya akan berbeda apabila prestasi kerjanya tidak sama. 15. Sistem kerja berdasarkan kontrak

Yaitu pegawai dipekerjakan dengan system kontrak sehingga dapat dilakukan evaluasi secara periodik. Apabila prestasi pegawai jelek, maka kontrak kerja pegawai tersebut tidak perlu diperpanjang. Pegawai akan terpacu untuk berprestasi secara maksimal dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik.

16. Sistem evaluasi prestasi kerja 3600

Yaitu masyarakat pengguna jasa pelayanan publik juga dilibatkan sebagai penilai prestasi pegawai, tidak hanya atasan langsungnya, pegawai tidak hanya loyal kepada atasan langsungnya tetapi juga akan sangat memperhatikan kepentingancustomers karena nilai prestasi kerjanya juga ditentukan oleh customers.

D. Model Segitiga Pelayanan (The Service Triangle)

Menurut Albert dan Zemke organisasi-organisasi yang bergerak dibidang pelayanan yang sangat berhasil memiliki 3 kesamaan yaitu :

1. Disusunnya strategi pelayanan yang baik

2. Orang digaris depan yang berorientasi pada pelanggan/konsumen

3. Sistem pelayanan yang ramah.

Interaksi antara strategi, system dan orang digaris depan serta pelanggan akan menentukan keberhasilan manajemen dan kinerja pelayanan organisasi tersebut. Seperti terlihat pada gambar berikut :


(20)

Model Segitiga Pelayanan

Sumber: Albrecht dan Bradford (1990:27); Albrecht (1992:31). E. Gap Model

Menurut Zeithaml, Parasuraman dan Berry (1990) manajemen pelayanan yang baik tidak dapat diwujudkan karena adanya 5 Gap, yaitu :

1. Gap I (Gap Persepsi Manajemen)

Yaitu terdapat perbedaan antara harapan-harapan konsumen dengan persepsi manajemen terhadap harapan-harapan konsumen.

Contoh : Harapan konsumen adalah mendapatkan pelayanan yang terbaik, meskipun harganya mahal. Sebaliknya manajemen mempunyai persepsi bahwa konsumen mengharapkan harga yang murah meskipun kualitasnya agak rendah.

Hal tersebut terjadi karena factor-faktor berikut :

a. Kurangnya riset pemasaran dan tidak dimanfaatkannya riset pemasaran.

b. Kurang efektifnya komunikasi ke atas di dalam organisasi penyelenggara pelayanan.


(21)

2. Gap 2 (Gap Persepsi Kualitas)

Yaitu Gap yang terjadi apabila terdapat perbedaan antara persepsi manajemen tentang harapan-harapan konsumen dengan spesifikasi kualitas pelayanan yang dirumuskan.

Hal tersebut terjadi karena faktor-faktor berikut :

a. Lemahnya komitmen manajemen terhadap kualitas pelayanan.

b. Tidak tepatnya persepsi tentang feasibilitas

c. Tidak tepatnya standarisasi tugas

d. Kurang tepatnya perumusan tujuan.

3. Gap 3 (Gap penyelenggaraan Pelayanan)

Yaitu pelayanan yang diberikan berbeda dengan spesifikasi kualitas pelayanan yang telah dirumuskan.

Contoh : spesifikasi pelayanan menyatakan bahwa jam keberangkatan KA maksimal terlambat 3 menit, tetapi yang terjadi KA terlambat 30 menit.

Hal ini terjadi karena faktor-faktor : a. Adanya ketidakjelasan peran

b. Adanya konflik peran

c. Tidak cocoknya karakteristik pekerja dengan pekerjaan.

d. Tidak cocoknya teknologi dengan karakteristik pekerjaan

e. Tidak tepatnya system pengawasan

f. Lemahnya control

4. Gap 4 (Gap komunikasi pasar)

Yaitu adanya perbedaan antara pelayanan yang diberikan dengan komunikasi eksternal terhadap konsumen.

Contoh : jadual perjalanan KA atau pesawat yang dijanjikan selalu tepat, ternyata selalu terlambat.

Hal ini terjadi karena factor : a. Kurangnya Komunikasi horizontal

b. Adanya kecenderungan untuk mengobral janji. 5. Gap 5 (Gap kualitas pelayanan)

Yaitu pelayanan yang diharapkan oleh konsumen tidak sama dengan pelayanan yang senyatanya diterima atau dirasakan oleh konsumen.

Contoh : konsumen/pelanggan berharap dapat menyelesaikan perpanjangan KTP, SIM dalam waktu satu hari, tapi kenyataannya baru selesai dalam satu minggu.

Hal ini terjadi sebagai akibat dari akumulasi 4 Gap tersebut diatas.

Berdasarkan uraian diatas dapat diidenifikasikan fackor-faktor yang mempengaruhi kinerja pelayanan, yaitu :

1. Strategi pelayanan

2. Petugas/pejabat yang berorientasi pada klien

3. Sistem pelayanan yang berorientasi pada klien

4. Komitmen manajemen


(22)

6. Standarisasi tugas

7. Kepaduan tim

8. Kesesuaian antara orang dengan pekerjaan

9. Kesesuaian antara tehnologi dengan pekerjaan

10. Realitas kontrol

11. Kejelasan peran

12. Konflik peran

13. Tingkatan manajemen.

F. Prinsip-prinsip Manajemen Pelayanan

Untuk dapat menyelenggarakan manajemen pelayanan dengan baik, selain harus : 1. mengelola momen kritis pelayanan; 2. berempati kepada konsumen dengan cara membuat lingkaran pelayanan dan menghindari terjadinya 5 macam Gap; ada juga prinsip-prinsip manajemen pelayanan yang dapat dipakai sebagai acuan. Menurut Vilijoen (1997 : 253-255) prinsip-prinsip tersebut antara lain :

1. Identifikasikan kebutuhan konsumen yang sesungguhnya. 2. Sediakan pelayanan yang terpadu (one-stop-shop)

3. Buat system yang mendukung pelayanan konsumen

4. Usahakan agar semua orang/karyawan bertanggungjawab terhadap kualitas pelayanan.

5. Layanilah keluhan konsumen dengan baik.

6. Terus berinovasi.

7. Karyawan adalah sama pentingnya dengan konsumen.

8. Bersikap tegas tetapi ramah terhadap konsumen.

9. Jalin komunikasi dan interaksi khusus dengan pelanggan.


(23)

BAB IV

PENCIPTAAN BUDAYA PELAYANAN

A. Empat Tipe Budaya Organisasi

Sethia dan Glinow dalam Collins dan Mc. Laughlin (1996 : 760-762) membedakan 4 macam budaya organisasi berdasarkan perhatiannya terhadap orang dan kinerja, yaitu :

1. Apathetic Culture

Di dalam tipe ini perhatian anggota organisasi terhadap hubungan antar manusia maupun terhadap kinerja pelaksanaan tugas, dua-duanya rendah. Penghargaan diberikan terutama berdasarkan permainan politik dan pemanipulasian orang-orang lain.

2. Caring Culture

Dicirikan dengan rendahnya perhatian terhadap kinerja dan tingginya perhatian ter hadap hubungan antar manusia. Penghargaan lebih didasarkan pada kepaduan tim dan harmoni dan bukan didasarkan pada kinerja pelaksanaan tugas.

3. Exacting Culture

Ciri utamanya adalah perhatian terhadap orang sangat rendah, tetapi perhatian terhadap kinerja sangat tinggi. Secara ekonomis penghargaan sangat memuaskan, tetapi hukuman atas kegagalan yang dilakukan juga sangat berat. Sehingga tingkat keamanan pekerja sangat rendah.

4. Integrative Culture

Baik perhatian terhadap orang maupun kinerja, keduanya sangat tinggi.

Secara visual, ke empat model budaya organisasi tersebut dapat diilustrasikan dalam gambar berikut :

Empat Tipe Budaya Organisasi

Perhatian Terhadap Hubungan antar manusia

` Perhatian terhadap kinerja.

Sumber : Sethia & Glinow dalam Collins & Mc. Laughlin, (1996 : 760-762)

B. Budaya kinerja Dalam Organisasi Pelayanan

Sebagian besar organisasi publik di Indonesia memiliki budaya organisasi yang bertipe caring, memiliki perhatian yang sangat rendah terhadap kinerja pelaksanaan tugas, tetapi memiliki perhatian yang sangat tinggi terhadap hubungan antar manusia. Hal ini tampak pada ciri-ciri birokrat sebagai berikut :

1. Lebih mengutamakan kepentingan pimpinan daripada klien/pengguna jasa.

2. Lebih merasa sebagai abdi negara daripada abdi masyarakat.

3. Meminimalkan resiko dengan cara menghindari inisiatif.

4. Menghindari tanggung jawab.

5. Menolak tantangan

Caring Integrative


(24)

6. Tidak suka berkreasi dan berinovasi dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

Budaya caring tersebut tidak cocok dalam pemberian pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, sehingga harus diadopsi budaya organisasi baru yang lebih sesuai dan kondusif dengan manajemen pelayanan publik, yang disebut kultur kinerja.

C. Budaya Kinerja Dalam Organisasi Pelayanan

Budaya kinerja sebagai suatu situasi kerja yang memungkinkan semua karyawan dapat melaksanakan semua pekerjaan dengan cara terbaik yang dapat dilakukannya.

Budaya kinerja tersebut akan dapat memberikan kontribusi yang besar dalam peningkatan kualitas pelayanan jika organisasi memiliki budaya organisasi yang bertipeintegrative dan birokrat-birokrat yang ada dalam organisasi tersebut telah mengadopsi 10 semangat kewirausahaan yang dikembangkan oleh Osborne dan Gaebler, yaitu :

1. Mengarahkan ketimbang mengayuh.

2. Memberi wewenang kepada masyarakat

3. Menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan.

4. Menciptakan organisasi yang digerakkan oleh misi ketimbang oleh peraturan.

5. Lebih berorientasi pada hasil, bukan input.

6. Berorietasi pada pelanggan bukan birokrasi.

7. Berorientasi wirausaha.

8. Bersifat antisipatif.

9. Menciptakan desentralisasi.

10. Berorietasi pada pasar.

Organisasi yang memiliki 3 ciri tersebut (budaya kinerja, budaya organisasi bertipe integrative dan mengadopsi 10 semangat kewirausahaan) disebut organisasi yang memiliki budaya pelayanan.

D. Kebijakan Pemerintah Dalam Pengembangan Budaya Pelayanan

Sesuai dengan Kep.MENPAN No.125/2002 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara, nilai-nilai dasar budaya kerja terdiri atas :

1. Komitmen dan Konsistensi

2. Wewenang dan tanggung jawab

3. Keikhlasan dan Kejujuran

4. Integritas dan Profesionalisme

5. Kreativitas dan Kepekaan

6. Kepemimpinan dan Keteladanan

7. Kebersamaan dan Dinamika Kelompok Kerja

8. Ketepatan dan kecepatan

9. Rasionalitas dan kecerdasan Emosi

10. Keteguhan dan ketegasan

11. Disiplin, dan keteraturan kerja

12. Keberanian dan kearifan

13. Dedikasi dan Loyalitas

14. Semangat dan motivasi

15. Ketekunan dan kesabaran

16. Keadilan dan keterbukaan


(25)

Dalam surat No. 103/MENPAN/03/2003 tentang pelaksanaan Pengembangan Budaya Kerja, isinya antara lain menunjuk BPKP sebagai salah satu instansi percontohan dalam rangka pengembangan budaya kerja di lingkungan instansi pusat. Adapun 4 nilai-nilai luhur BPKP merupakan kristalisasi dari 17 pasang nilai-nilai dasar budaya kerja dari MENPAN tersebut yaitu :

1.Profesionalisme 2.Kerjasama

3.Keserasian, keselarasan dan keseimbangan 4.Kesejahteraan

Penggabungan antara nilai-nilai luhur BPKP dengan nilai dasar budaya kerja Kementerian PAN adalah sebagai berikut :

1. Profesionalisme, meliputi :

a. Komitmen dan konsistensi.

b. Wewenang dan tanggung jawab

c. Integritas dan professional

d. Ketepatan/keakurasian dan kecepatan

e. Disiplin dan keteraturan kerja

f. Penguasaan Iptek

2. Kerjasama, meliputi :

a. kepemimpinan dan keteladanan

b. Kebersamaan dan dinamika kelompok kerja

c. Keteguhan dan ketegasan

d. Semangat dan motivasi

3. Keserasian, keselarasan dan keseimbangan, meliputi :

a. Keikhlasan dan kejujuranreativitas dan kepekaan/sensitivitas

b. Rasionalitas dan kecerdasan emosi

c. Ketekunan dan kesabaran

d. Keberanian dan kearifan

e. Dedikasi dan loyalitas

4. Kesejahteraan, meliputi :

Keadilan dan keterbukaan

BAB V


(26)

Pengukuran kinerja pelayanan publiK seringkali dipertukarkan dengan pengukuran kinerja pemerintah. Sehingga ukuran kinerja pemerintah dapat dilihat dari kinerjanya dalam menyelenggarakan pelayanan publik.

A. Review Literatur

Beberapa indikator penyusun kinerja antara lain adalah sebagai berikut : 1. McDonald dan Lawton (1997)

a. efficiency/efisiensi: suatu keadaan yang menunjukkan tercapainya perbandingan terbaik antara masukan dan keluaran dalam suatu penyelenggaraan pelayanan publik.

b. Effectivity/efektivitas : tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, baik dalam bentuk target, sasaran jangka panjang maupun misi organisasi.

2. Salim dan Wood ward (1992)

a. Economy / ekonomis : penggunaan sumberdaya yang sesedikit mungkin dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik.

b. Effeciency / efisiensi: suatu keadaan yang menunjukkan tercapainya perbandingan terbaik antara masukan dan keluaran dalam suatu penyelenggaraan pelayanan publik.

c. Effectivity/efektivitas : tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, baik dalam bentuk target, sasaran jangka panjang maupun misi organisasi.

d. Equity / keadilan : pelayanan publik yang diselenggarakan dengan memperhatikan aspek-aspek kemerataan.

3. Lenvinne (1990)

a. Responsiveness / responsivitas : mengukur daya tanggap providers terhadap harapan, keinginan dan aspirasi serta tuntutan customers.

b. Responsibility / responsibilitas : suatu ukuran yang menunjukkan seberapa jauh proses pemberian pelayanan publik itu dilakukan dengan tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.

c. Accountability / akuntabilitas : suatu ukuran yang menunjukkan seberapa .besar tingkat kesesuaian antara penyelenggara pelayanan dengan ukuran-ukuran eksternal yang ada di masyarakat dan dimiliki oleh stake holders, seperti nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat.

4. Zeitaml, Parasuraman dan Berry (1990) :

a. Tangibles / ketampakan fisik : ketampakan fisik dari gedung, peralatan, pegawai dan fasilitas-fasilitas lain yang dimiliki providers.

b. Reliability / reliabilitas : kemampuan untuk menyelenggarakan pelayanan yang dijanjikan secara akurat.

c. Responsiveness / responsivitas : Kerelaan untuk menolong customers dan cara menyelenggarakan pelayanan secara ikhlas.

d. Assurance / kepastian : pengetahuan dan kesopanan para pekerja . Kemampuan mereka dalam memberikan kepercayaan kepada customers.

e. Empathy : perlakuan / perhatian pribadi yang diberikan oleh providers kepadacustomers.

5. Kep. MENPAN No. 63/2004, azas pelayanan publik : a. Transparansi

b. Akuntabilitas

c. Kondisional

d. Partisipatif

e. Kesamaan hak

f. Keseimbangan hak dan kewajiban


(27)

a. Kesederhanaan

b. Kejelasan

c. Kepastian waktu

d. Akurasi

e. Keamanan

f. Tanggung jawab

g. Kelengkapan sarana dan prasarana

h. Kemudahan akses

i. Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan

j. Kenyamanan

7. Kep. MENPAN No. 63/2004, standar Pelayanan Publik a. Prosedur pelayanan

b. Waktu penyelesaian

c. Biaya pelayanan

d. Produk pelayanan

e. Sarana dan prasarana

f. Kompetensi petugas pemberi pelayanan

8. Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1990)

a. kepuasan : seberapa jauh organisasi dapat memenuhi kebutuhan anggotanya.

b. Efisiensi : perbandingan terbaik antara keluaran dan masukan

c. Produksi : ukuran yang meunjukkan kemampuan organisassi menghasilkan keluaran yang

dibutuhkan oleh lingkungan.

d. Keadaptasian : ukuran yang menunjukkan daya tanggap organisasi terhadap tuntutan

perubahan yang terjadi dilingkungannya

e. Pengembangan : ukuran yang mencerminkan kemampuan dan tanggung jawab organisasi

dalam memperbesar kapasitas dan potensinya untuk berkembang.

Indikator-indikator kinerja sangat bervariasi, dari kesemuanya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu indikator kinerja yang berorientasi pada proses dan indikator kinerja yang berorientasi pada hasil, seperti terlihat dalam tabel berikut :

Tabel Perbandingan Indikator Pelayanan Publik

Pakar Indikator

Berorientasi hasil Berorientasi proses

McDonald dan Lawton (1997) Efficiency Effectiveness

Salim & Woodward (1992 Economy Efficiency Effectiveness Equity

Levinne (1990) Responsivitas


(28)

Akuntabilitas

Zeitaml, Parasuraman dan Berry (1990) :

Tangibles Reliability

Responsiveness Assurance Empathy

Kep. MENPAN No. 63/2004, Standar Pelayanan Publik

Waktu penyelesaian Biaya pelayanan Produk pelayanan

Prosedur pelayanan Sarana dan prasarana

Kompetensi petugas pemberi pelayanan

Kep. MENPAN No. 63/2004, Azas Pelayanan Publik :

Transparansi Akuntabilitas Kondisional Partisipatif Kesamaan hak

Keseimbangan hak dan kewajiban

Kep. MENPAN No. 63/2004, Prinsip Pelayanan Publik

Ketepatan waktu Akurasi Kesederhanaan Kejelasan Keamanan Tanggung jawab

Kelengkapan sarana dan prasarana

Kemudahan akses

Kedisiplinan, kesopanan dan keramahan

Kenyamanan Gibson, Ivancevich &

Donnelly (1990) Kepuasan Efisiensi Produksi Perkembangan Keadaptasian Kelangsungan hidup

Sumber : Ratminto (2007; 178-179)

Untuk mengukur kinerja harus dipergunakan dua jenis ukuran yaitu ukuran yang berorientasi pada proses dan ukuran yang berorientasi pada hasil.

B. Ukuran yang berorientasi pada hasil:

1. Efektifitas,

2. Produktifitas,

3. Efisiensi,

4. Kepuasan,

5. Keadilan.

C. Ukuran yang berorintasi pada proses:

1. Responsivitas,

2. Responsibilitas,


(29)

4. Keadaptasian,

5. Kelangsungan hidup,

6. Keterbukaan/transparansi,

7. Empati.

D. Pengukuran kinerja pelayanan

Uraian tentang pengukuran kinerja di atas adalah pengukuran kinerja pemerintah secara umum, sedangkan instrument kinerja pelayanan publik masih belum ada. Pengukuran kinerja pelayanan dapat dilakukan dengan menggunakan instrument pengukuran kinerja pelayanan untuk sektor swasta yang telah dikembangkan oleh Zeithaml, Parasuraman dan Berry , seperti tergambar dalam tabel berikut :

Instrumen Pengukuran Kinerja Pelayanan

No. Indikator Contoh Pertanyaan Yang Dikembangkan

1 Tangibles a. Apakah fasilitas operasional sesuai dengan

kebutuhan dalam pelaksanaan tugas?

b. Apakah fasilitas tersebut cukup mudah di dapat dan dioperaionalkan serta dapat menghasilkan output yang berkualitas/bagus?

c. Apakah infrastruktur pendukung selalu memenuhi standar kualitas dan memenuhi perubahan kebutuhan konsumen?

2 Reliability a. Sejauh mana informasi yang diberikan kepada klien

tepat dan dapat dipertanggungjawabkan?

b. Apakah konsumen segera mendapatkan perbaikan apabila terjadi kesalahan?

3 Responsiveness a. Bagaiman respon provider jika ada klien yang komplain?

b. Apakah provider segera memberi penyelesaian secara

tepat?

4 Competence a. Bagaimana kesesuaian antara kemampuan petugas

dengan fungsi/tugas?

b. Apakah provider cukup tanggap untuk melayani klien?

c. Apakah organisasi mengadakan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan aparat sesuai dengan perkembangan/perubahan tugas?

5 Courtesy Bagaiman sikap petugas dalam memberikan pelayanan

kepada klien?

Apakah petugas cukup ramah dan sopan?

6 Credibility a. Bagaimana reputasi kantor/lembaga tersebut?

b. Apakah biaya yang dibayarkan oleh klien sesuai dengan output/jasa yang diperoleh?

c. Apakah petugas selalu ada pada jam kerja?

7 Security Apakah ada jaminan keamanan/keselamatan terhadap klien

dalam mekanisme tersebut?

8 Access a. Bagaimana klien mendapatkan informasi?

b. Apakah klien murah dan mudah menghubungi petugas untuk mendapatkan pelayanan?


(30)

c. Apakah lokasi kantor tersebut mudah dijangkau semua klien?

d. Apakah prosedur yang diterapkan sederhana? e. Apakah informasi untuk konsumen mudah didapat

dan jelas?

9 Communication Bagaimana petugas menjelaskan prosedur/mekanisme

untuk mendapatkan pelayanan?

Apakah klien segera bisa mendapatkan respon jika terjadi

kesalahan?

Apakah semua keluhan/pengaduan akan dijawab segera

dan jika perlu keluhan atau pengaduan diberi follow up secar detail?

Apakah tersedia feedback lewat radio (feedback interactive)?

10 Understanding the

customer

Apakah providers tanggap terhadap kebutuhan klien?

Sumber : Diadaptasikan dari Zeithaml, Parasuraman dan Berry dalam Ratminto (2007;183-185)

BAB VI

OTONOMI DAERAH DAN PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN

A. Konsep Dasar Otonomi Daerah

Sesuai dengan UU No. 22 Thn 1999 tentang Pemda dapat disimpulkan dengan Otonomi Daerah telah diberikan kewenangan dan keluasan kepada daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan. Kewenangan tersebut semestinya dipergunakan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan kesejahteraan masyarakat (lebih lancar, lebih mudah, lebih murah).

Meskipun UU tersebut direvisi dengan UU No. 32 dan 33 Th.2004, yang menarik sebagian kewenangan tersebut, tetapi tanggung jawab dan kewenangan pemda masih sangat besar dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Sehingga secara teoritis pelaksanaan otda akan dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik, karena :

1. Otda akan memperpendek tingkatan / jenjang hirarkhi pengambilan keputusan, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara lebih cepat.

2. Otda akan memperbesar kewenangan dan keleluasaan daerah sehingga pemda kabupaten / kota dapat merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan yang lebih sesuai dengan kebutuhan daerah dan tuntutan masyarakat.

3. Otda akan memperdekat penyelenggaraan pemerintahan dengan konstituennya sehingga penyelenggaraan pemerintah akan dapat merespons tuntutan masyarakat secara tepat.


(31)

4. Kedekatan dengan konstituen tersebut juga akan meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan karena masyarakat lebih dekat dan memiliki akses yang lebih besar untuk mengontrol jalannya pemerintahan.

B. Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Era Otonomi Daerah;Temuan Empiris di beberapa daerah.

Secara teoritis Otda akan dapt meningkatkan kualitas pelayanan publik, karena dengan otda dapat diciptakan kesetaraan posisi tawar antara pemda sebagi penyelenggara jasa pelayanan dengan masyarakat sebagai pengguna jasa. Namun temuan empiris di beberapa Kabupaten/kota menunjukkan pelaksanaan Otda belum dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik, seperti nampak dalam beberapa kasus berikut :

1. Kasus Pelayanan Pendidikan di Kabupaten A.

Kebijakan di bidang pendidikan dengan membebaskan siswa SMU dari iuran BP3 sekilas tampak sangat hebat dan dapat meningkatkan kualitas pelayanan pendidikan di daerah tersebut. Namun, kenyataannya kebijakan tersebut justru menurunkan kualitas pelayanan pendidikan karena subsidi pengganti BP 3 yang diberikan pemerintah hanya Rp15.000,-/siswa/bulan. Angka yang sangat kecil untuk meningkatkan kualitas pendidikan, apalagi sudah diatur bahwa 75% diantaranya dialokasikan untuk kesejahteraan dan 10% untuk kegiatan siswa, sehingga dana yang tersedia untuk pengembangan pendidikan sangat kecil.

2. Kasus Pelayanan Pendidikan di Kabupaten B.

Kota B yang memiliki SDM cukup memadai dan juga banyak sekolah dan Perguruan Tinggi yang menjadi kebanggaan warga seluruh negeri, menetapkan Visi kota tersebut salah satunya adalah menjanjikan terwujudnya peningkatan kualitas pendidikan. Namun, dalam implementasinya, visi tersebut sulit terwujud karena alokasi anggaran pengembangan pendidikan < 5% dan sudah dialokasikan hampir seluruhnya untuk membayar guru.

3. Kasus Pelayanan Air Bersih di Kota D.

Kota D dengan kontribusi PAD-nya terhadap ABPD masih sangat rendah, karena potensi pajak dan retribusi yang belum digarap dengan baik dan laba dari BUMD juga masih sangat kecil. Dengan Otda harapan terhadap peningkatan kualitas pelayanan air bersih/ air minum menjadi semakin besar, sehingga secara otomatis akan meningkatkan laba perusahaan daerah, yang berarti juga meningkatkan PAD. Namun kenyataannya meskipun harapan masyarakat dan pemda sebenarnya sama, dalam realitanya kualitas pelayanan PAM tersebut tidak menjadi lebih baik, hal ini terjadi karena :

a. Tingginya kebocoran (37%).

b. Tingginya biaya operasional yang belum dapat diimbangkan dengan kenaikan tarif.

c. Tingginya intervensi dari pemda dalam rekrutmen pegawai, kebijakan pemasaran dan keuangan

perusahaan.

C. Pengaruh Otda terhadap Kualitas Pelayanan Publik; Evaluasi diri Birokrasi

Dalam hubungannya dengan manfaat Otda, 3 kelompok responden (29 birokrat Sleman, 21 Birokrat Banyumas dan 12 Birokrat yang studi S2 di MAP UGM) memberikan jawaban yang bervariasi, namun ada kecenderungan bahwa sebagian besar responden membenarkan otonomi memang mempercepat proses pengambilan keputusan, tetapi tidak memperbaiki kualitas pelayanan publik. Angka rata-rata menunjukkan :

1. < 10% responden berpendapat bahwa Otda berhasil menurunkan korupsi

2. < 10% yang menyatakan Otda berhasil memperbaiki koordinasi antar instansi

3. 50% responden menyatakan pelayanan menjadi lebih cepat


(32)

5. Hampir semua responden menyarankan perlunya perbaikan sistem administrasi, karena masih

sangat jelek, dalam arti proses tidak trasparan, birokrasi diragukan dan masyarakat menganggap pemda tidak mampu bekerja dengan baik.

Karena diketahui bahwa Otda gagal memperbaiki kualitas pelayanan publik, maka sangat menarik untuk mengetahui siapa yang paling diuntungkan dengan adanya Otda tersebut. Data menunjukkan responden dari Banyumas dan Sleman menjawab yang paling diuntungkan adalah politisi, sementara penduduk/masyarakat pengguna pelayanan publik bukanlah pihak yang paling diuntungkan.

Berdasarkan evaluasi diri yang dilakukan oleh birokrasi di Kabupaten Sleman,Banyumas dan Karyasiswa S2 MAP UGM menetapkan tiga faktor utama penghambat pelaksanaan Otda, yaitu :

1. Kurangnya SDM yang memiliki kompetensi

2. Keragu-raguan legislatif

3. Tidak kondusifnya peraturan yang dibuat oleh negara dan propinsi.

Berdasarkan analisis data evaluasi diri tersebut, beberapa hal yang perlu digarisbawahi adalah sebagai berikut :

1. Di dalam diri birokrasi sendiri telah ada kesadaran bahwa Otda masih belum berhasil

meningkatkan kualitas pelayanan publik.

2. Kegagalan dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik ini terjadi antara lain karena Otda

belum berhasil merombak sistem administrasi, struktur administrasi masih belum dapat menciptakan kesetaraan posisi tawar antara pemerintah sebagai penyelenggara pelayanan publik dengan masyarakat sebagai pengguna pelayanan publik.

3. Ada kecenderungan bahwa masyarakat pengguna jasa pelayanan publik merupakan pihak yang

kurang diuntungkan dengan adanya Otda.

4. Hambatan penerapan Otda yang ideal terletak pada inkompetensi SDM,ketidaktepatan peran

DPRD dan lemahnya dukungan dari negara dan propinsi.

Dengan demikian rekomendasi kebijakan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :

1. Untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik harus dilakukan upaya memberdayakan

masyarakat agar posisi tawar masyarakat naik dan mengontrol Pemda

2. Peningkatan posisi tawar masyarakat dapat dilakukan dengan cara antara lain :

a. Perumusan dan sosialisasi Citizen’s Charter

b. Perumusan dan sosialisasi standar pelayanan minimal (SPM)

c. Pemberian sistem ganti rugi apabila pemerintah daerah gagal memberikan pelayanan publik

yang berkualitas

d. Pemberian kebebasan kepada masyarakat untuk memilih penyelenggara pelayanan publik yang

disenanginya, dengan sisitem kupon dan kompetisi antar lembaga penyelenggara pelayanan publik.

3. Untuk mengontrol pemda dapat dilakukan dengan cara :

a. Sistem penggajian berdasarkan prestasi


(33)

c. Sistem kerja berdasarkan kontrak

d. Sistem evaluasi prestai kerja 3600

e. Penyempurnaan sistem pengawasan kualitas, misalnya dengan membentuk lembaga pengawas

independen

BAB VII

PEDOMAN PENERAPAN KONSEP DAN TEORI MANAJEMEN PELAYANAN DALAM PELAYANAN PEMERINTAHAN / PERIJINAN

A. Pengertian terkait manajemen pemerintahan dan perijinan

1. Pelayanan pemerintahan dan perijinan : Segala bentuk tindakan yang dilakukan oleh

pemerintah kepada masyarakat yang bersifat legalitas/yang melegalkan kepemilikan, hak, keberadaan dan kegiatan individu/organisasi

2. Prinsip dasar : Hal paling penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah pada saat

mendesain / mengevaluasi suatu pelayanan pemerintahan dan perijinan. Prinsip ini akan dapat memberikan pedoman tentang perlu/tidaknya suatu jenis pelayanan pemerintahan dan perijinan diselenggarakan

3. Azas pelayanan : Hal-hal penting yang harus diperhatikan oleh pemerintah pada saat

mendesain /mengevaluasi tatacara dan taat aliran pelayanan pemerintahan dan perijinan. Azas-azas ini akan dapat memberikan pedoman tentang efektifitas, efisiensi dan akuntabilitas pelayanan

4. Tata cara pelayanan : Ketentuan yang mengatur tentang penyelenggaraan pelayanan

pemerintahan dan perijinan (metode/tatalaksana)

5. Tata aliran : Penjelasan tentang urutan hal yang harus dilakukan oleh seseorang pada saat akan

mengurus pelayanan pemerintahan dan perijinan tertentu (prosedur)

B. Prinsip Dasar

Ada 3 prinsip dasar dalam penyelenggaraan pelayanan pemerintahan dan perijinan, yaitu :

1. Prinsip dasar penghapusan

Penghapusan terhadap ijin-ijin yang sifatnya tidak prinsip dan memang tidak perlu, sehingga ijin yang berlaku dan harus diurus oleh masyarakat adalah ijin yang memang sangat diperlukan 2. Prinsip dasar penggabungan

Apabila penghapusan ijin belum dapat dilakukan, maka dapat dilakukan minimalisasi dan penggabungan ijin, beberapa ijin dapat digabung jadi satu, bersifat komposit (satu ijin untuk berbagai keperluan/urusan)


(34)

3. Prinsip dasar desentralisasi

Diupayakan sejauh mungkin wewenang pemberian ijin diberikan kepada instansi pemerintah yang paling bawah. Terkait dengan berlakunya PP no. 8/2003, khususnya tentang eselonisasi camat, maka sudah selayaknya jika wewenang pemberian ijin diberikan kepada camat. Kecamatan diberikan kewenangan untuk memproses dan menyelesaikan semua pelayanan perijinan.

C. Azas Pelayanan

Beberapa azas yang harus diperhatikan dalam penyelenggaraan pelayanan pemerintahan dan perijinan :

1. Empati dengan customer ; pegawai yang melayani urusan perijinan dari instansi penyelenggara

jasa perijinan harus dapat berempati terhadap masyarakat pengguna jasa pelayanan dengan melakukan :

a. Identifikasi momen kritis pelayanan yang menjadi tanggung jawab dan kewenangannya,

misalnya pada saat customer : 1) Masuk ruang

2) Mencoba mencari informasi

3) Menunggu giliran dipanggil

4) Menggunakan toilet

5) Membayar biaya perijinan

b. Merumuskan lingkaran pelayanan bagi setiap urusan perijinan tertentu dan juga lingkaran

pelayanan organisasi penyelenggara jasa pelayanan tertentu, misalnya seperti tampak pada gambar berikut


(35)

Ke area

parkir Masuk arena parkir

Disapa

satpam Mencari tempat parkir Masuk kantor

Keluar kantor

disapa satpam

Menerima berkas Melihat denah

Menungg u Memilih loket

Ke kamar kecil Minta tolong penjaga loket Menunggu Mengisi formulir

Panggilan

2. Pembatasan prosedur ; Prosedur harus dirancang sependek mungkin, sehingga konsep one stop shop benar-benar diterapkan . Rekomendasi tentang one stop shop adalah :


(36)

a. Penerapan prinsip desentralisasi, memberi kewenangan kepada kecamatan untuk memproses

dan menyelesaikan semua pelayanan perijinan tanpa mensyaratkan adanya pengantar dari RT, RW, Dusun dan Kelurahan.

b. Prinsip sentralisasi, apabila kecamatan masih belum dianggap mampu, proses dan

penyelesaian pelayanan perijinan di dinas/instansi induk, tanpa mensyaratkan pengantar dari instansi yang lebih rendah ( kecamatan, kelurahan dst). Prinsip ini hanya akan dapat diterapkan apabila instansi pemerintah memiliki data base yang baik

3. Kejelasan tatacara pelayanan ; Tatacara pelayanan harus didesain sesederhana mungkin dan

dikomunikasikan kepada masyarakat penggunan jasa pelayanan.

4. Minimalisasi persyaratan pelayanan ; Persyaratan dalam mengurus pelayanan harus dibatasi

sesedikit mungkin dan sebanyak yang benar-benar diperlukan.

5. Kejelasan kewenangan ; kewenangan pegawai melayani masyarakat pengguna jasa pelayanan

harus dirumuskan sejelas mungkin dengan membuat bagan tugas dan distribusi kewenangan, agar tidak terjadi duplikasi tugas/kekosongan tugas, seperti terlihat dalam contoh bagan tugas berikut :

Contoh Bagan Tugas Kerja Sistem Pelayanan Umum Satu Pintu

N o Kegiatan Pejabat Lok et Pengelola Ka.Ur/ Ka.Sub si SEK-CAM/ Ka.Si Cam at KaUr Umu m Keter anga n 1 Menerima berkas

dari pemohon/masyar akat X 2 Mengecek/memer iksa berkas pemohon X 3 Mencatat berkas

kedalam agenda/registrasi X 4 Meneliti/mempela jari/membubuhka n paraf/menandata ngani berkas X 5 Meneliti/mempela jari/membubuhka n paraf/menandata ngani X 6 Menandatangani berkas


(1)

3. Tata aliran harus mencakup semua langkah/tahapan yang harus diikuti olehcustomer .

4. Tata aliran akan lebih mudah dipahami oleh customer apabila dibuatkan ilustrasi baik dalam

bentuk bagan alir atau gambar.

Contoh tataaliran pelayanan dapat dilihat dalam kotak berikut ini :

Contoh Tata aliran Pelayanan di UPTPSA Kabupaten Sleman

a. Pemohon mengajukan permohonan perijinan melalui Kelompok Kerja Unit Pelayanan

Terpadu Perijinan Satu Atap sesuai dengan bidang perijinan masing-masing.

b. Kelompok kerja melalui secretariat Unit Pelayanan Terpadu Perijinan Satu Atap

menyampaikan berkas permohonan perijinan kepada masing-masing instansi/unit kerja teknis.

c. Kelompok kerja melalui sekretariat Unit Pelayanan Terpadu Perijinan Satu Atap

menyampaikan berkas permohonan perijinan kepada masing-masing instansi/unit kerja teknis.

d. Instansi unit kerja memproses permohonan perijinan dengan melalui tahap: pemeriksaan

berkas, ceking lokasi, evaluasi, penetapan biaya dan pengesahan surat perijinan oleh pejabat yang berwenang.

e. Berkas permohonan perijinan dikirim dengan surat pengantar dari Unit Pelayanan Terpadu

Perijinan Satu Atap, dan setelah diterima oleh instansi/unit kerja teknis diberi tanda bukti penerimaan.

Instansi/unit kerja teknis menyampaikan surat perijinan kepada Unit Pelayanan Terpadu

Perijinan Satu Atap.

g. Sekretariat Unit Pelayanan Terpadu Perijinan Satu Atap memberikan nomor register surat

perijinan sebagai tanda bukti keabsahannya.

h. Sekretariat Unit Pelayanan Terpadu Perijinan Satu Atap menyampaikan surat perijinan

kepada loket pengambilan dengan tanda bukti penerimaan.

Loket pengambilan memberikan surat perijinan kepada pemohon setelah pemohon dapat

menunjukkan tanda bukti pembayaran atas biaya perijinan. Sumber : Dikutip dari UPTPSA Kabupaten Sleman

Tata aliran pelayanan ini dapat diilustrasikan dalam gambar sebagaimana dapat dilihat di bawah ini.

Contoh Tata aliran Pelayanan di UPTPSA

Permohonan Unit


(2)

Peri

jinan Satu Atap. Informasi

POKJA Sekretaris

Pemoh

on Penertiban Ijin


(3)

REGISTERED MAIL P

engolah

Kasir Penelitiaan berkas

Cheking lokasi

Evaluasi

Penetapan biaya

Penandatanganan.

BAB VIII

STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM)

A. Maksud dan Tujuan SPM

SE Mendagri No. 100/757/OTDA tgl 8 Juli 2002 dirumuskan dengan maksud sebagai dasar penyelenggaraan kewenagan wajib daerah dan penggunaan SPM agar masing-masing institusi pemerintah memiliki kesamaan persepsi dan pemahaman serta tindak lanjut dalam penyelenggaraan SPM.


(4)

Dalam PP No. 65/2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM ditegaskan Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM menjadi acuan dalam penyusunan SPM oleh Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen dan dalam penerapannya oleh Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/kota. Dalam PP No. 65/2005 tersebut ada beberapa pengertian dasar, yaitu :

1. Pemerintah pusat, yang selanjutnya dalam PP tersebut pemerintah adalah Presiden RI yang

memegang kekuasaan pemerintahan negara RI sebagaimana dimaksud dalam UUD RI th 1945 2. Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakasa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI

3. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemda dan DPRD

menurut azas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip NKRI sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara RI tahun 1945

4. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur

penyelenggara pemerintahan daerah

5. Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar

warga negara yang penyelenggaraannya diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan kepada daerah untuk perlindungan hak konstitusional, kepentingan nasional, kesejahteraan masyarakat, serat ketentraman dan ketertiban umum dalam rangka menjaga keutuhan NKRI serta pemenuhan komitmen nasional yang berhubungan dengan perjanjian dan konvensi internasional

6. SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib

daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal

7. Indikator SPM adalah tolok ukur prestasi kuantitatif dan kualitatif yang dipergunakan untuk

menggambarkan besaran sasaran yang akan dipenuhi dalam pencapaian suatu SPM tertentu, berupa masukan, proses, hasil dan atau manfaat pelayanan

8. Pelayanan dasar adalah jenis pelayanan publik yang mendasar dan mutlak untuk memenuhi

kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sosial, ekonomi dan pemerintahan

9. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) adalah Dewan yang bertugas memberikan

saran dan pertimbangan kepada presiden terhadap kebijakan Otda.

B. Prinsip-prinsip SPM

Sesuai dengan PP No. 65 th 2005 prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam penyusunan dan penerapan SPM adalah :

1. SPM disusun sebagai alat pemerintah dan pemda untuk menjamin akses dan mutu pelayanan

dasar kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan urusan wajib

2. SPM ditetapkan oleh pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh pemda propinsi dan pemda

Kabupaten/kota.

3. Penerapan SPM oleh Pemda merupakan bagian dari penyelenggaraan pelayananan dasar

nasional

4. SPM bersifat sederhana, konkrit, mudah diukur, terbuka, terjangkau dan dapat

dipertanggungjawabkan serta mempunyai batas waktu pencapaian.

5. SPM disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan, prioritas dan kemampuan keuangan

nasional dan daerah serta kemampuan kelembagaan dan personil daerah dalam bidang yang bersangkutan.


(5)

C. Penyusunan SPM

Proses dan mekanisme penyusunan SPM sesuai dengan PP No. 65/2005 :

1. Menteri/pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen menyusun SPM sesuai dengan

urusan wajib dengan mengacu pada peraturan perundangan yang mengatur urusan wajib. 2. Dalam penyusunan SPM ditetapkan jenis pelayanan dasar, indikator SPM dan batas waktu

pencapaian SPM

3. Penyusunan SPM oleh masing-masing Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non

Departemen dilakukan melalui konsultasi yang dikoordinasikan oleh Mendagri. Konsultasi dilakukan oleh masing-masing Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen dengan tim konsultasi yang terdiri atas unsur-unsur Depdagri, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, DepKeu, Kementerian Negara PAN, dengan melibatkan Menteri/ Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen terkait sesuai kebutuhan

4. Tim konsultasi dibentuk dengan Kep. Mendagri

5. Hasil konsultasi sebagaimana disampaikan oleh Mendagri, dalam hal ini Dirjen Otda, Kepada

DPOD melalui Sekretariat DPOD untuk mendapatkan rekomendasi bagi Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bersangkutan dalam rangka penyusunan SPM 6. SPM yang disusun oleh masing-masing menteri setelah memperoleh dan mengakomodasikan

rekomendasi dari DPOD ditetapkan dengan peraturan Menteri yang bersangkutan

7. SPM yang disusun oleh masing-,masing pimpinan lembaga pemerintah Non Departemen

setelah memperoleh dan mengakomodasikan rekomendasi dari DPOD ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang terkait

8. Dalam penyusunan SPM, menteri/ pimpinan Lembaga Non Departemen mempertimbangkan

hal-hal sebagai berikut :

a. Keberadaan sistem informasi, pelaporan dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan daerah

yang menjamin pencapaian SPM dapat dipantau dan dievaluasi oleh pemerintah secara berkelanjutan

b. Standar pelayanan tertinggi yang telah tercapai dalam bidang yang bersangkutan di daerah

c. Keterkaitan antara SPM dalam satu bidang dan antara SPM dalam suatu bidang dengan SPM

dalam bidang lainnya

d. Kemampuan Keuangan nasional dan daerah serta kemampuan kelembagaan dan personil

daerah dalam bidang yang bersangkutan

e. Pengalaman empiris tentang cara penyediaan pelayanan dasar tertentu yang telah terbukti

dapat menghasilkan mutu pelayanan yang ingin dicapai.

9. Untuk mendukung penerapan SPM, Menteri yang bersangkutan menyusun petunjuk teknis yang

ditetapkan dengan Peraturan Menteri

10. Untuk mendukung penerapan SPM, Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen

menyusun petunjuk teknis yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri terkait.

D. Penerapan SPM

Sesuai dengan PP No. 65/2005 diatur sebagai berikut :

1. Pemda menerapkan SPM sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri

2. SPM yang telah ditetapkan pemerintah menjadi salah satu acuan bagi Pemda untuk menyusun

perencanaan dan penganggaran penyelenggaraan Pemda

3. Pemda menyusun rencana pencapaian SPM yang memuat target tahunan pencapaian SPM

dengan mengacu pada batas waktu pencapaian SPM sesuai dengan Peraturan Menteri

4. Rencana pencapaian SPM tersebut dituangkan dalam Rencana Strategi Satuan Kerja


(6)

5. Target tahunan pencapaian SPM tersebut dituangkan kedalam Rencana Kerja Pemerintah

Daerah (RKPD), Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah(Renja SKPD), Kebijakan Umum Anggaran (KUA), Rencanan Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (RKA-SKPD) sesuai dengan klasifikasi belanja daerah dengan mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah.

6. Penyusunan rencana pencapaian SPM dan Anggaran kegiatan yang terkait dengan pencapaian

SPM dilakukan berdasarkan analisis kemampuan dan potensi daerah dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh Mendagri.

7. Rencana pencapaian target tahunan SPM serta realisasinya diinformasikan kepada masyarakat

sesuai peraturan perundang-undangan

8. Pemda mengakomodasikan pengelolaan data dan informasi penerapan SPM ke dalam sistem

informasi daerah yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

9. Dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang mengakibatkan dampak lintas daerah

dan atau untuk menciptakan efisiensi, daerah wajib mengelola pelayanan publik secara bersama dengan daerah disekitarnya sesuai peraturan perundang-undangan.

10. Dalam pengelolaan pelayanan dasar secara bersama sebagai bagian dari pelayanan publik,

rencana pencapaian SPM perlu disepakati bersama dan dijadikan sebagai dasar dalam merencanakan dan menganggarkan kontribusi masing-masing daerah