Analisa Ketangguhan dan Struktur Mikro Pada Daerah Las Dan Haz Hasil Pengelasan Tungsten Inert Gas ( TIG ) Pada Aluminium Alloy 6061

(1)

DAFTAR PUSTAKA

1. Halimatuddahliana. (2003). Pencegahan korosi dan scale pada proses produksi minyak bumi. USU digital library

2. Petunjuk Kerja Las / Oleh Sri Widharto. Cet. 6 – Jakarta : Pradnya Paramita, 2006

3. Sulardjaka,2005,Pengaruh Jenis Filler Pada Pengelasan Tig Transversal Butt Joint Terhadap Perilaku Retak Fatik Pada Pengelasan Paduan AL 6061 –T4, http//.www.yahoo onpdf.com diakses pada 02 Juni, pukul 23.17 WIB

4. Teknologi Pengelasan logam / oleh Harsono Wiryosumarto, Toshie Okumura. Cet. 8 – Jakarta : Pradnya Paramita, 2000

5. Pengantar untuk Memahami Proses Pengelasan Logam / Oleh Herry Sonawan, Rochim Suratman. Cet. 6 – Bandung CV Alfabeta 2006

6. Wiryosumarto, H, Okumurha T.,2004, Teknologi Pengelasan logam,cetakan ke-8 ,Pradnya Paramita, Jakarta.

7. Leonard Koellhoffer, August F. Manz, egene G. Hornberger. Welding Proscesses And Practices,III. Title, TS227.K59 671.5’2042 87-22981

ISBN 0-471-81671-X Printed In The United States Of America

8. Winarno, A, 2005,Studi Mutu Sambungan Las Oxyacetylene Dan Mig Pada Paduan http//.www.yahoo onpdf.comdiakses pada 02 juni 2016, pukul 20:07 WIB

9. Widharto, 2006 Petunjuk Kerja Las Cet-6 – Jakarta: Pradnya Paramita 10.Sulardjaka,2005, Pengaruh Jenis Filler Pada Pengelasan Tig Transversal

Butt Joint Terhadap Perilaku Retak Fatik Pada Pengelasan Paduan AL 6061 –T4,http//.www.yahooonpdf.comdiakses pada 02 Juni 2016, pukul 21:16 WIB

11.Awi Andoko1) Budi Harjanto2) Yuyun Estriyanto3) Analisa Struktur Hasil Repair Welding Tentang Sifat Fisik Dan Mekanik Pada Cast Wheel Aluminium Dengan Metode Pengelasan MIG

.

12.


(2)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan dilaboratorium Pengujian Departmen Teknik Mesin Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei 2016 sampai dengan bulan Agustus 2016.

3.2. Prosedur Penelitian

Dalam melakukan penelitian tugas akhir ini penulis melakukan pengujian dilaboratorium Pengujian Departmen Teknik Mesin Universitas Sumatera Utara. Adapun beberapa proses pelaksanaan pengujian sebagai berikut:

Proses pengujian dilaksanakan terhadap variasi arus pada sambungan pengelasan sudut kampuh V tunggal. Elektroda Las tungsten inert gas yang ditinjau dari uji mekanis meliputi uji impak daerah Las, HAZ, dan struktur mikro.

Teknik pengumpulan data yang diperoleh dari proses pengelasan yang dilakukan dari hasil pengujian impak pada daerah Las, HAZ dan struktur mikro pada masing variasi arusterhadap benda uji sebanyak 18 spesimen 9 spesimen uji impak pada daerah Las dimana 3 spesimen pada arus 90 A, 3 spesimen pada arus 100 A dan 3 spesimen 110 A dan 9 spesimen uji impak pada daerah HAZ dimana 3 spesimen pada arus 90 A, 3 spesimen pada arus 100 A, dan 3 spesimen pada arus 110 A.

Metode analisa dan evaluasi data yang diperoleh dari pengujian yang dilakukan di laboratorium pada masing-masing spesimen adalah kualitatif. Dari data inilah akan dicari hasil untuk uji impak pada daerah Las, HAZ, dan struktur mikro pengelasan TIG


(3)

3.3. Alat dan Bahan 3.3.1 Alat

Alat yang di pakai pada penelitian ini terdiri dari:

1. Trafo Las TIG/MMA-inverter pulse merk Rilon

Gambar 3.1. Mesin Las TIG ( Tim Horas )

Informasi

Kode : PS431

Nama : Trafo Las TIG/MMA-Inverter Pulse

Tipe : TIG 200 P AC/DC

Berat :22 Kg

Spesifikasi

Tegangan Input : 22V 1 Phasa 50/60 Hz

Daya : 1500-4500 Watt

Tegangan kerja : 18V (TIG) , 28V (MMA) Tegangan Tampa Beban : 56V

Arus Output : 5 – 200 Ampere Waktu Down Slope : 0 – 10 Detik

Gas : Argon


(4)

Diameter Kawat Las : 1.6 – 4.0 mm Ketebalan las : 10 mm

Pendingin : Kipas

Frekuensi : 80%

Duty Cycle : 60%

Frekuensi Pulse : 0.5 – 5.0 Hz

Dimensi : 498 x 328 x 302 mm

Kelengkpan : Earth Clamp, Kabel Las, TIG Torch, Regulator Argon

Fitur : Dengan Pulse

2. Mikroskop optic

Mikroskop optic digunakan unutk melihat bentuk mikrostruktur daerah lasan. Adapun perbesaran yang digunakan adalah 100,200, dan 500X.

Gambar 3.2 Mikroskop Optik (Lab. Metallurgi USU) Spesifikasi :

Merk : Rax Vision No.545491

Perbesaran optic : 50X, 100X, 200X, 500X

3.3.2. Bahan

1. Aluminium alloy 6061

Aluminium alloy 6061 adalah

yang mengandung

Awalnya disebut "Alloy 61S", itu dikembangkan pada tahun 1935. Ia memiliki


(5)

satu paduan yang paling umum dari umum.

Gambar 3.3. Aluminium Alloy 6061

2. Elektoda ER 5356

ER5356 adalah tujuan umum jenis aluminium Paduan yang biasanya dipilih untuk yang relatif Geser tinggi Kekuatan. Di samping itu, juga menawarkan Ketahanan korosi yang sangat baik bila terkena Air garam. ER5356 harus Dipertimbangkan untuk Pengelasan 5000 seri aluminium dasar bertemu Aplikasi

Ini adalah jenis produk adalah banyak digunakan dalam Bahan las dengan magnesium umum dari 5%, yang dapat digunakan dalam jointing Oe overlay penempaan dan casting paduan pengolahan. Dan produk ini adalah ketangguhan tinggi, baik Forgeability, dan juga anti korosif. Selanjutnya, ini adalah chioce baik untuk warna-pertandingan dalam pengelasan setelah Proses anodik. Produk useageship-bangunan, pesawat ruang angkasa, dll

Product data teknis

Gambar Tabel 2.2 Komposisi kimia logam diendapkan (%)

Si Fe Cu Mn Mg Cr Zn Ti

0.25 0.4 0.1 0.05-0.2 4.4-5.5 0.05-0.2 0.1 0.06-0.2

Sifat mekanik logam diendapkan (%) Kekuatan tarik 100 mpa


(6)

Gambar 3.4 Elekroda ER 5356 Spesifikasi

Standar Aws A5.10 ASME sfa A5.10

3.4 Metodologi Penelitian

1. Studi Literatur

Berupa studi kepustakaan dengan mempelajari buku-buku, jurnal-jurnal, artikel maupun karya-karya ilmiah yang terkait, baik yang bersumber dari media cetak, elektronik maupun dari internet.

2. Diskusi Interaktif

Melakukan diskusi dalam bentuk tanya-jawab antara mahasiswa dan dosen pembimbing menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan proses penulisan sekripsi serta memecahkan permasalahan yang dihadapi secara bersama.

3. Pembuatan Benda Uji

Melakukan proses pembuatan benda uji yaitu pengelasan pada alumunium alloy 6061. Pengujian dan Pengambilan Data Pengujian dilakukan beberapa kali dan pengambilan data yang meliputi nilai kekuatan impact material alumunium alloy 6061 dan struktur mikro pada daerah Las dan HAZ dari hasil pengelasan TIG.

4. Evaluasi

Melakukan evaluasi akhir dalam bentuk kesimpulan dan saran serta revisi dari hasil proses penelitian yang telah dilakukan.


(7)

3.4 Variabel-Variabel Pengujian

Dari metode penelitian di atas maka dapat ditentukan hal-hal dasar terhadap variabel-variabel pengujian.

1. Variabel bebas

Variable bebas adalah variasi diameter elektroda dan media quenching yang dipakai.

2. Variabel terikat

Variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas, adapun yang menjadi variabel terikat dalam penelitian ini adalah kuat arus pengelasan.

3.6 Spesimen

Spesimen yang digunakan pada penelitian ini adalah plat angle alumunium alloy 6061:

1. Material alumunium alloy 6061 banyak digunakan di industri-industri sekarang ini,

2. Proses pengelasan material alumunium alloy 6061 memerlukan keterampilan khusus dalam proses Pengelasan.

3.6.1 Pembentukan Spesimen

Sebelum diuji masing masing spesimen dipotong dan dibentuk dengan menggunakan gergaji tangan dan mesin skrap sehingga sesuai dengan standar uji Impact Test.

Langkah-langkah proses pembentukan spesimen :

1. Spesimen dipotong menjadi 18 bagian yang ukurannya sesuai dengan kebutuhan pengujian,

2. Setelah dipotong dilakukan pembentukan sudut kampuh 60º. Dilakukan penyambungan dengan pengelasan pada sudut kampuh yang dibentuk dengan menggunakan proses las TIG.

3. Pada saat pengelasan, spesimen dipisahkan berdasarkan variasi kuat arus pengelasan.


(8)

5. Dilakukan pengujian impact, dan Struktur Mikro pada daerah Las dan Haz untuk masing-masing spesimen.

Gambar 3.5 Spesimen

3.7 Proses Pengujian 3.7.1 Pengujian Impact

Metode uji charpy lazim digunakan di Inggris dan Eropa, Benda uji charpy mempunyai penampang lintang bujur sangkar atau lingkaran dengan takik V di dekat ujung yang dijepit, kemudian uji impak dengan metode ini umumnya juga dilakukan hanya pada temperatur ruang dan ditujukan untuk material-material yang didisain untuk berfungsi sebagai cantilever,

Perbedaan mendasar charpy dengan izod adalah peletakan spesimen. Pengujian dengan menggunkan izod tidak seakurat pada pengujian charpy, karena pada izod pemegang spesimen juga turut menyerap energi, sehingga energi yang terukur bukanlah energi yang mampu di serap material seutuhnya, Alat pengujian metode charpy dapat dilihat pada gambar 3.6


(9)

Spesifikasi :

1. Tipe mesin uji : Charpy

2. Dimensi : 75×40×100

3. Kapasitas : 80 J

4. Berat gondam : 8 kg

5. Berat total : 120 kg

6. Jarak antara titik pusat ayun dengan titik pukul : 600 mm 7. Posisi awal pemukulan : 130°

8.Radius pisau pemukul : 2.5 mm

9. Sudut sisi pisau pemukul : 30°

10. Standart : ASTM E23

Berikut ini adalah prosedur percobaan yang dilakukan pada pengujian Impact dengan metode Charpy :

1. Menyiapkan alat dan bahan.

2.Mengukur specimen untuk t1,t2, P, L, kedalaman. 3. Mengukur luas specimen yang akan diujikan.

4. Memasang spesimen pada penahan pada impak tester, setelah mengkalibrasi impak tester.

5. Mengangkat pendulum dan melepaskan tuas. 6. Melakukan analisa…

3.7.2 Pengamatan Struktur Mikro

Untuk uji struktur mikro, langkah-langkah pengujiaannya adalah sebagai berikut:

• Haluskan specimen dengan kertas amplas secara bertahap dari grade yang kasar sampai yang paling halus.

• Lihat spesimen apakah sudah betul-betul rata bila belum ulangi gosok dengan kertas ampelas yang paling halus.

• Spesimen kemudian di poles dengan autosol dengan kain beludru sampai tidak ada goresan.


(10)

• Kemudian spesimen di bersihkan dengan air kemudian alkohol.

• Etsa spesimen dengan cairan etsa keller’s reagent, yaitu: 2 ml HF (48%), 3 ml HCl, 5 ml HNO3, 190 ml H2O, celupkan selama 120 detik, lalu basuh dengan air hangat, dan keringkan.

• Amati struktur mikro spesimen dengan mikroskop. Rekam hasil pengaamatan anda di computer dan catat hasil pembesarannya


(11)

3.8 Diagram Alir Penelitian

MULAI

Studi Literatur dan Survei

Persiapan Bahan Aluminium 6061, Gas Argon HP (99%), Eletroda 5356

Proses Pengelasan TIG Arus DC(+)

Spesimen 1 Spesimen 2 Spesimen 3

Kuat Arus 90 Ampere Kuat Arus 100 Ampere Kuat Arus 110 Ampere

Pembuatan Spesimen Uji Impak, Daerah HAZ, Las, dan Struktur Mikro

Apakah Hasil

Sesuai dan Asumsi Terpenuhi?

Analisis dan Pembahasan

Kesimpulan

Selesai


(12)

BAB IV

ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN 4.1Uji Impak Pada Daerah Las

Pengujian impak bertujuan untuk mengukur berapa energi yang dapat diserap suatu material sampai material tersebut patah. Pengujian impak merupakan respon terhadap beban kejut atau beban tiba-tiba (beban impak) (Halimatuddahliana dkk, 2016). Pengujian impak dilakukan pada sampel uji menggunakan metode charpy.

Untuk mencari energi yang dibutuhkan untuk mematahkan sampel (energi yang diserap) dinyatakan dalam persamaan: 2.1

E = P x D (cos 113 o – cos 147o)

= 251,664 x 0,6490 (-0,3907 - (-0,839)) =163,329 (0,4483)

= 73,220 Joule

Sedangkan untuk mendapatkan nilai impak maka dapat dihitung menggunakan persamaan: 2.2

Ki = 73,220/100 = 0,732 Joule/mm2

Hasil perhitungan energi yang diserap untuk mematahkan specimen dan nilai impak untuk specimen pada daerah las, berikutnya analog untuk perhitungan di atas. Hasil perhitungan ditampilkan dalam tabel 4.2 berikut ini:


(13)

Tabel 4.1 Data Hasil Uji Impak Aluminium Alloy 6601 Daerah Las

AMPERE SPESIMEN NO.

UJI IMPAK DAERAH LAS

Cos α Cos β E (Joule) K (Joule/mm²)

90

1 147 ͦ 135 ͦ 21,543 0,215

2 147 ͦ 136 ͦ 19,550 0,195

3 147 ͦ 136 ͦ 19,550 0,195

Rata-rata 147 ͦ 20,214 0,201

100

1 147 ͦ 128 ͦ 36,585 0,365

2 147 ͦ 128 ͦ 36,585 0,365

3 147 ͦ 130 ͦ 32,173 0,321

Rata-rata 147 ͦ 35,114 0,350

110

1 147 ͦ 113 ͦ 73,220 0,732

2 147 ͦ 118 ͦ 60,317 0,603

3 147 ͦ 114 ͦ 70,607 0,706

Rata-rata 147 ͦ 68,048 0,680

Gambar 4.1 Grafik Energi Yang Diserap Pada Daerah Las Terhadap Kuat Arus

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Kuat Arus 90 Kuat Arus 100 Kuat Arus 110

E ( Joule )


(14)

Gambar 4.2 Grafik Nilai Impak Pada Daerah Las Terhadap Kuat Arus Dari grafik diatas menunjukkan pengaruh kuat arus terhadap energi yang diserap dan nilai impak dari Aluminium Alloy 6601 tersebut. Dari gambar terlihat bahwa specimen mengalami peningkatan nilai impak dan energy yang diserap pada saat pengujian seiring dengan di naikkannya kuat arus saat melakukan pengelasan.

Dari hasil pengujian, nilai impak dan energi yang diserap rata-rata tertinggi diperoleh pada kuat arus 110 ampere yaitu E = 68,048 Joule dan K = 0,680 Joule//mm². sedangkan nilai impak dan energy yang diserap rata-rata terendah diperoleh pada kuat arus 90 ampere yaitu E = 20,214 Joule dan K = 0,201 Joule//mm².

Dari hasil nilai impak dan energi yang diserap pengaruh perbedaan penggunaan beda arus pada saat pengelasan sangat berpengaruh, dimana semakin tinggi kuat arus maka semakin besar nilai impak dan energy yang diserap oleh spesimen uji.

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8

Kuat Arus 90 Kuat Arus 100 Kuat Arus 110

K (Joule/mm²)


(15)

4.2 Patahan Pada Spesimen Daerah Las a. Spesimen 90 Ampere

Gambar 4.3 Spesimen UJi impak Dengan Kuat Arus 90 Ampere

memperlihatkan jenis patahan impak dengan nilai K = 0,201 Joule/mm2. Hasil patahan memperlihatkan permukaan patahan yang datar yang mampu memberikan daya pantul cahaya yang tinggi (mengkilat). Dilihat dari rambatan, struktur permukaan dan nilai impak yang didapat maka jenis patahan yang dialami specimen akibat beban kejut yang diberikan adalah jenis patahan getas.

b. Specimen 100 Ampere

Gambar 4.4 Spesimen UJi impak Dengan Kuat Arus 100 Ampere

Memperlihatkan jenis patahan impak dengan nilai K = 0,350 Joule/mm2. Hasil patahan memperlihatkan permukaan patahan yang tidak datar dan berserat yang berbentuk dimpel yang menyerap cahaya dan berpenampilan buram. Dilihat dari rambatan, struktur permukaan dan nilai impak yang didapat maka jenis patahan yang dialami specimen akibat beban kejut yang diberikan adalah jenis


(16)

patahan campuran yaitu patahan yang terjadi pada bahan yang cukup kuat namun ulet.

c. Specimen 110 Ampere

Gambar 4.5 Spesimen UJi impak Dengan Kuat Arus 110 Ampere

Memperlihatkan jenis patahan impak dengan nilai K = 0,680 Joule/mm2. Hasil patahan memperlihatkan permukaan patahan yang datar dan berserat yang berbentuk dimpel yang menyerap cahaya dan berpenampilan buram. Dilihat dari rambatan, struktur permukaan dan nilai impak yang didapat maka jenis patahan yang dialami specimen akibat beban kejut yang diberikan adalah jenis patahan campuran yaitu patahan yang terjadi pada bahan yang cukup kuat namun ulet.

4.3Uji Impak Pada Daerah HAZ

Pengujian impak bertujuanuntuk mengukur berapa energi yang dapat diserap suatu material sampai material tersebut patah. Pengujian impak merupakan respon terhadap beban kejut atau beban tiba-tiba (beban impak) (Halimatuddahliana dkk, 2016). Pengujian impak dilakukan pada sampel uji menggunakan metode charpy.

Untuk mencari energi yang dibutuhkan untuk mematahkan sampel (energi yang diserap) dinyatakan dalam persamaan: 2.1

E = P x D (cos 136 o – cos 147o)

= 251,664 x 0,6490 (-0,7193 - (-0,839)) =163,329 (0,1197)


(17)

Sedangkan untuk mendapatkan nilai impak maka dapat dihitung menggunakan persamaan: 2.2

Ki = 19,550/100 = 0,195 Joule/mm2

Hasil perhitungan energi yang diserap untuk mematahkan specimen dan nilai impak pada daerah HAZ, berikutnya analog untuk perhitungan di atas. Hasil perhitungan ditampilkan dalam tabel berikut ini:

Tabel 4.2 Data Hasil Uji Impak Aluminium alloy 6061 Daerah HAZ

AMPERE SPESIMEN NO.

UJI IMPAK DAERAH HAZ

Cos α Cos β E (Joule) K (Joule/mm²)

90

1 147 ͦ 128 ͦ 36,488 0,364

2 147 ͦ 130 ͦ 32,061 0,320

3 147 ͦ 129 ͦ 34,250 0,342

Rata-rata 147 ͦ 34,266 0,342

100

1 147 ͦ 132 ͦ 27,749 0,277

2 147 ͦ 131 ͦ 29, 889 0,298

3 147 ͦ 134 ͦ 23,584 0,235

Rata-rata 147 ͦ 27,074 0,270

110

1 147 ͦ 136 ͦ 19,550 0,195

2 147 ͦ 136 ͦ 19,550 0,195

3 147 ͦ 135 ͦ 21,543 0,21


(18)

Gambar 4.6 Grafik Energi Yang Diserap Pada Daerah HAZ Terhadap Kuat Arus

Gambar 4.7 Grafik Nilai Impak Terhadap Kuat Arus Pada Daerah Las

Dari grafik diatas menunjukkan pengaruh kuat arus terhadap energy yang diserap dan nilai impak dari Aluminium Alloy 6601 tersebut. Dari gambar terlihat

0 5 10 15 20 25 30 35 40

Kuat Arus 90 Kuat Arus 100 Kuat Arus 110

E ( Joule )

E ( Joule )

0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 0,4

Kuat Arus 90 Kuat Arus 100 Kuat Arus 110

K (Joule/mm²)


(19)

bahwa specimen mengalami penurunan nilai impak dan energy yang diserap pada saat pengujian seiring dengan di naikkannya kuat arus saat melakukan pengelasan. Dari hasil pengujian, nilai impak dan energy yang diserap rata-rata tertinggi diperoleh pada kuat arus 90 ampere yaitu E = 34,266 Joule dan K = 0,342 Joule//mm². sedangkan nilai impak dan energy yang diserap rata-rata terendah diperoleh pada kuat arus 110 ampere yaitu E = 20,214 Joule dan K 0,202 Joule//mm².

Dari hasil nilai impak dan energi yang diserap pengaruh perbedaan penggunaan beda arus pada saat pengelasan sangat berpengaruh, dimana semakin tinggi kuat arus maka semakin kecil nilai impak dan energy yang diserap oleh spesimen uji.

4.4 Patahan Pada Spesimen Daerah HAZ a. Spesimen Dengen Kuat Arus 90 Ampere

Gambar 4.8 Spesimen UJi impak Dengan Kuat Arus 90 Ampere

Memperlihatkan jenis patahan impak dengan nilai K = 0,342 Joule/mm2. Hasil patahan memperlihatkan permukaan patahan yang tidak datar dan berserat yang berbentuk dimpel yang menyerap cahaya dan berpenampilan buram. Dilihat dari rambatan, struktur permukaan dan nilai impak yang didapat maka jenis patahan yang dialami specimen akibat beban kejut yang diberikan adalah jenis patahan campuran yaitu patahan yang terjadi pada bahan yang cukup kuat namun ulet.


(20)

b. Specimen Dengan Kuat Arus 100 Ampere

Gambar 4.9 Spesimen UJi impak Dengan Kuat Arus 100 Ampere

Memperlihatkan jenis patahan impak dengan nilai K = 0,270 Joule/mm2. Hasil patahan memperlihatkan permukaan patahan yang tidak datar dan berserat yang berbentuk dimpel yang menyerap cahaya dan berpenampilan buram. Dilihat dari rambatan, struktur permukaan dan nilai impak yang didapat maka jenis patahan yang dialami specimen akibat beban kejut yang diberikan adalah jenis patahan campuran yaitu patahan yang terjadi pada bahan yang cukup kuat namun ulet.

c. Spesimen Dengan Kuat Arus 110 Ampere

Gambar 4.10 Spesimen UJi impak Dengan Kuat Arus 110 Ampere

Memperlihatkan jenis patahan impak dengan nilai K = 0,202 Joule/mm2. Hasil patahan memperlihatkan permukaan patahan yang datar yang mampu


(21)

memberikan daya pantul cahaya yang tinggi (mengkilat). Dilihat dari rambatan, struktur permukaan dan nilai impak yang didapat maka jenis patahan yang dialami specimen akibat beban kejut yang diberikan adalah jenis patahan getas.

Dari hasil foto mikro memperlihatkan bahwa semakin tinggi kuat arus maka butiran struktur mikro pada daerah HAZ semakin besar, hal ini yang menyebabkan dimana di daerah HAZ menjadi titik kritis. Dan dari hasil uji impak terbukti lebih rendah dibandingkan daerah Las.

4.5 Hasil Uji Metalografi

Struktur mikro adalah gambaran dari kumpulan fasa-fasa yang dapat diamati melalui teknik metalografi. Struktur mikro suatu logam dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop. Mikroskop yang dapat digunakan yaitu mikoroskop optik dan mikroskop elektron. Sebelum dilihat dengan mikroskop, permukaan logam harus dibersihkan terlebih dahulu, kemudian reaksikan dengan reagen kimia untuk mempermudah pengamatan. Proses ini dinamakan etching. (Wiryosumarto, 2000).

Pada pengujian struktur mikro, pengamatan dilakukan pada spesimen uji dengan mikroskop optik setelah spesimen uji dietsa dengan 2,5 % HNO3 dengan perbesaran 100x pada permukaan aluminium alloy 6061 dengan pengambilan gambar pada 2 titik yaitu,pada daerah Las dan daerah HAZ .

Al+Mg

α-Al Si (b)

(b)

Gambar 4.11 Struktur Mikro Spesimen Dengan Kuat Arus 90 Ampere Pada Bagian (a) daerah Las (b).daerah HAZ


(22)

Pada daerah las sebagai mana pada gambar 4.11 (a) magnesium dan aluminium pada daerah las terlihat mengkilap dengan strukturnya lebih rapat.

Gambar 4.11 (b). menunjukkan adanya struktur paduan Si primer diantara aluminium primer (α-Al). Hal tersebut dimungkinkan karena terjadinya difusi unsur Al dan Si akibat pengaruh panas pada saat proses pengelasan. Dengan adanya perubahan fisik butiran Si menjadi Si primer pada daerah HAZ tersebut juga dimungkinkan terjadi perubahan sifat mekanik pada kekerasan aluminium alloy 6061 sebagai mana pada hasil uji kekerasan. Dengan demikian menyebabkan tingkat kekerasan pada daerah HAZ lebih kecil dari daerah Las.

Al+Mg

Si

α-Al

(a) ((b)

Pada Gambar 4.12 Struktur Mikro Spesimen Dengan Kuat Arus 100 Ampere Bagian (a).daerah Las (b).daerah HAZ

Pada daerah las sebagai mana pada gambar 4.12 (a) magnesium dan aluminium pada daerah las terlihat mengkilap dengan strukturnya lebih rapat.

Gambar 4.12 (b). menunjukkan adanya struktur paduan Si primer diantara

aluminium primer (α-Al). Hal tersebut dimungkinkan karena terjadinya difusi

unsur Al dan Si akibat pengaruh panas pada saat proses pengelasan. Dengan adanya perubahan fisik butiran Si menjadi Si primer pada daerah HAZ tersebut juga dimungkinkan terjadi perubahan sifat mekanik pada kekerasan aluminium alloy 6061 sebagai mana pada hasil uji kekerasan. Dengan demikian menyebabkan tingkat kekerasan pada daerah HAZ lebih kecil dari pada daerah Las.


(23)

Al+Mg

Si

α-Al

(a) (b) Gambar 4.13 Struktur Mikro Spesimen Dengan Kuat Arus 110 Ampere Pada Bagian (a) daerah Las (b) daerah HAZ

Pada daerah las sebagai mana pada gambar 4.13 (a) magnesium dan aluminium pada daerah las terlihat mengkilap dengan strukturnya lebih rapat.

Gambar 4.13 (b). menunjukkan adanya struktur paduan Si primer diantara

aluminium primer (α-Al). Hal tersebut dimungkinkan karena terjadinya difusi

unsur Al dan Si akibat pengaruh panas pada saat proses pengelasan. Dengan adanya perubahan fisik butiran Si menjadi Si primer pada daerah HAZ tersebut juga dimungkinkan terjadi perubahan sifat mekanik pada kekerasan aluminium alloy 6061 sebagai mana pada hasil uji kekerasan. Dengan demikian menyebabkan tingkat kekerasan pada daerah HAZ lebih kecil dari daerah Las.

Dari hasil foto mikro memperlihatkan bahwa semakin tinggi kuat arus maka butiran struktur mikro pada daerah Las semakin rapat.


(24)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Dari hasil analisa yang dilakukan maka dapat diambil kesimpulan:

1. Dari hasil pengujian daerah Las, nilai impak dan energi yang diserap rata-rata tertinggi diperoleh pada kuat arus 110 ampere yaitu E = 68,048 Joule dan K = 0,680 Joule/mm². sedangkan terendah diperoleh pada kuat arus 90 ampere yaitu E = 20,214 Joule dan K = 0,201 Joule/mm².

2. Dari hasil pengujian HAZ, nilai impak dan energi yang diserap rata-rata tertinggi diperoleh pada kuat arus 90 ampere yaitu E = 34,266 Joule dan K = 0,342 Joule//mm². sedangkan terendah diperoleh pada kuat arus 110 ampere yaitu E = 20,214 Joule dan K 0,202 Joule//mm².

3. Dari hasil foto mikro memperlihatkan bahwa semakin tinggi kuat arus maka butiran struktur mikro pada daerah Las semakin rapat berbanding terbalik pada daerah HAZ semakin tinggi kuat arus maka butiran struktur mikro semakin besar.

4. Dari hasil pengujian, jenis patahan pada kuat arus 90 ampere adalah jenis patahan getas, patahan pada kuat arus 100 ampere adalah jenis patahan campuran dan patahan pada kuat arus 110 ampere adalah jenis patahan campuran.


(25)

5.2. Saran

Adapun saran dari penelitian yang telah dilakukan mengenai analisa ketangguhan dan struktur mikro pada daerah Las dan HAZ hasil pengelasan TIG aluminium alloy 6061:

1. Pada saat pengelasan perlu mengetahui posisi pengelasan, pemilihan Elektroda, kecepatan pengelasan, pengaturan besar Arus Listrik, Sudut Kemiringan Elektroda dan kerenggangannya, bentuk sambungan. 2. Perlu dilakukan uji metalografi dengan perbesaran yang hingga 1000X

untukmelihat kemungkinan terjadinya porositas akibat pengelasan. 3. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang perlakuan panas baik

sebelum pengelasan (preheat) atau sesudah pengelasan (PWHT / Post WeldHeat Treatment) untuk memperbaiki kekuatan sambungan las


(26)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Aluminium

2.1.1 Latar Belakang

Aluminium adalah logam yang memiliki rumus kimia Al dikenal sebagai logam yang ringan dan memiliki ketahanan korosi yang tinggi terhadap udara, air, oli dan beberapa cairan kimia. Massa jenis nya sekitar ½ dari baja atau tembaga (Cu). Masa jenisnya yaitu 2,7gr/cm3. Karena keistimewaan sifatnya itu, paduan aluminum banyak digunakan sebagai struktur suatu konstruksi untuk mengurangi beban atau beratnya. (Sunawon, 2006)

Aluminium dan paduan aluminium termasuk logam ringan yang mempunyai kekuatan tinggi, tahan terhadap karat dan merupkan konduktor listrik yang baik. Logam ini dipakai secara luas dalam teknik pengelasan busur listrik dengan gas mulia menyebabkan pengelasan aluminium dan paduannya menjadi sederhana dan dapat dipercaya.karena hal ini maka penggunaan aluminium dan paduannya didalam banyak bidang telah berkembang (Wiryosumarto, 2006)

Gambar 2.1 Aluminium

2.1.2 Sejarah Aluminium

Tahun 1825, ahli kimia Denmark “Orsted” berhasil memisahkan aluminium murni dengan cara memanaskan aluminium chloride dengan kalium amalgam dan kemudian memisahkan merkuri dengan cara destilasi.

Tahun 1886, mahasiswa Amerika Serikat: Charles Martin–Hall menemukan dengan cara melarutkan alumina (Al2O3) dalam lelehan kliorit


(27)

(Na3AlF6) pada temperatur 960 °C dalam bentuk kotak yang dilapisi karbon dan kemudian melewatkan arus listrik. Cara inidikenal dengan proses Hall– Heroult, karena bersama seorangPrancis bernama Paul Heroult.

Tahun 1888, ahli kimia Jerman Karlf Josef Bayern menemukan cara memperoleh alumina dari bauksit “disebut dengan proses Bayer”. (Davis, Jr, 1993), dan sampai saat ini masih digunakan untuk memproduksi alumina dari bauksit. (Sunawon, 2006)

Aluminium adalah logam yang berwaarna putih perak dan tergolong ringan yang mempunyai massa jenis 2,7 gr cm–3.

Sifat-sifat yang dimilki aluminium antara lain :

1. Ringan, tahan korosi dan tidak beracun maka banyak digunakan untuk alat rumah tangga seperti panci, wajan dan lain-lain.

2. Reflektif, dalam bentuk aluminium foil digunakan sebagai pembungkus makanan, obat, dan rokok.

3. Daya hantar listrik dua kali lebih besar dari Cu maka Al digunakan sebagai kabel pada tiang listrik.

4. Paduan Al dengan logam lainnya menghasilkan logam yang kuat seperti Duralium (campuran Al, Cu, mg) untuk pembuatan badan peswat.

5. Al sebagai zat reduktor untuk oksida MnO2 dan Cr2O3.

Aluminium terdapat melimpah dalam kulit bumi, yaitu sekitar 7,6%. Dengan kelimpahan sebesar itu, aluminium merupakan unsur ketiga terbanyak setelah oksigen dan silikon, serta merupakan unsur logam yang paling melimpah. Namun, aluminium tetap merupakan logam yang mahal karena pengolahannya sukar. Mineral aluminium yang bernilai ekonomis adalah bauksit yang merupakan satu-satunya sumber aluminium. Kriloit digunakan pada peleburan aluminium, sedang tanah liat banyak digunakan untuk membuat batu bata, keramik. Di Indonesia, bauksit banyak ditemukan di pulau Bintan dan di Tayan, Kalimantan Barat.


(28)

1. Sektor industri otomotif, untuk membuat bak truk dan komponen kendaraan bermotor, badan pesawat terbang.

2. Sektor pembangunan perumahan;untuk kusen pintu dan jendela. 3. Sektor industri makanan ,untuk kemasan berbagai jenis produk. 4. Sektor lain, misal untuk kabel listrik, perabotan rumah tangga dan

barangkerajinan.

2.1.3. Proses Pembuatan Aluminium

Aluminium yang sangat reaktif dengan oksigen Al2O3. Proses reduksi ini tidak semudah mereduksi besi (menggunakan batu bara), karena aluminium merupakan reduktor yang lebih kuat dari karbon. Produksi aluminium dimulai dari pengambilan bahan tambang (bauksit, corrundum, gibbsite, boehmite,diaspore, dan sebagainya). Diolah dengan proses Bayer dan juga proses Hall-Heroult. Namun ada pula proses pembuatan aluminium melalui proses daur ulang. (Harsono Wiryosumarto 2000)

1. Proses bayer

Bijih bauksit mengandung 50-60% Al2O3 yang bercampur dengan zat-zat pengotor terutama Fe2O3 dan SiO2. Untuk memisahkan Al2O3 dari zat-zat yang tidak dikehendaki, kita memanfaatkan sifat amfoter dari Al2O3.Tahap pemurnian bauksit dilakukan untuk menghilangkan pengotor utama dalam bauksit. Pengotor utama bauksit biasanya terdiri dari SiO2, Fe2O3, dan TiO2. Caranya adalah dengan melarutkan bauksit dalam larutan natrium hidroksida (NaOH),Al2O3 (s) + 2NaOH (aq) + 3H2O(l) ---> 2NaAl(OH)4(aq). Aluminium oksida larut dalam NaOH sedangkan pengotornya tidak larut. Pengotor-pengotor dapat dipisahkan melalui proses penyaringan. Selanjutnya aluminium diendapkan dari filtratnya dengan cara mengalirkan gas CO2 dan pengenceran.2NaAl(OH)4(aq) + CO2(g) ---> 2Al(OH)3(s) + Na2CO3(aq) + H2O(l) Endapan aluminium hidroksida disaring,dikeringkan lalu dipanaskan sehingga diperoleh aluminium oksida murni (Al2O3)2Al(OH)3(s) --->Al2O3(s) + 3H2O(g).


(29)

Gambar 2.2 Skema Proses Bayer

2. Proses Hall-Heroult

Selanjutnya adalah tahap peleburan alumina dengan cara reduksi melalui proses elektrolisis menurut proses Hall-Heroult. Dalam proses Hall-Heroult, aluminum oksida dilarutkan dalam lelehan kriolit (Na3AlF6) dalam bejana baja berlapis grafit yang sekaligus berfungsi sebagai katode. Selanjutnya elektrolisis dilakukan pada suhu 950 °C. Sebagai anode digunakan batang grafit.Setelah diperoleh Al2O3 murni, maka proses selanjutnya adalah elektrolisis leburan Al2O3. Pada elektrolisis ini Al2O3 dicampur dengan CaF2 dan 2-8% kriolit (Na3AlF6) yang berfungsi untuk menurunkan titik lebur Al2O3 (titik lebur Al2O3murni mencapai 2000 °C), campuran tersebut akan melebur pada suhu antara 850-950 °C. Anode dan katodenya terbuat dari grafit. Reaksi yang terjadi sebagai berikut:

Al2O3 (l) : 2Al3+ (l) + 3O2- (l)

Anode (+) : 3O2- (l) + 3/2 O2 (g) + 6e− Katode (-) : 2Al3+ (l) + 6e-+ 2Al (l)

Reaksi sel : 2Al3+ (l) + 3O2- (l) + 2Al (l) + 3/2 O2 (g)

Peleburan alumina menjadi aluminium logam terjadi dalam tong baja yang disebut pot reduksi atau sel elektrolisis. Bagian bawah pot dilapisi dengan karbon, yang bertindak sebagai suatu elektroda (konduktor arus listrik) dari sistem. Secara umum pada proses ini, leburan alumina dielektrolisis, di mana lelehan tersebut dicampur dengan lelehan elektrolit kriolit dan CaF2 di dalam


(30)

pot di mana pada pot tersebut terikat serangkaian batang karbon dibagian atas pot sebagai katoda. Karbon anoda berada dibagian bawah pot sebagai lapisan pot, dengan aliran arus kuat 5-10 V antara anoda dan katodanya proses elektrolisis terjadi. Tetapi, arus listrik dapat diperbesar sesuai keperluan, seperti dalam keperluan industri. Alumina mengalami pemutusan ikatan akibat elektrolisis, lelehan aluminium akan menuju kebawah pot, yang secara berkala akan ditampung menuju cetakan berbentuk silinder atau lempengan. Masing – masing pot dapat menghasilkan 66.000-110.000 ton aluminium per tahun(Anonymous,2009). Secara umum, 4 ton bauksit akan menghasilkan 2 ton alumina, yang nantinya akan menghasilkan 1 ton aluminium.

Gambar 2.3 Proses Hall-Heroult

2.1.4 Jenis Aluminium Paduan

1. Jenis Aluminium Murni (seri 1000)

Jenis ini adalah aluminium dengan kemurnian antara 99,0% - 99,9%. Aluminium seri ini bersifat tahan karat, konduksi panas dan konduksi listrik baik, mampu-las dan mampu-potong. Kekurangannya ialah kekuatan yang rendah

2. Jenis Paduan Al-CU (Seri 2000)

Jenis paduan Al-Cu adalah jenis yang dapat diperlaku-panaskan. Dengan penyepuhan sifat mekanik paduan ini dapat menyamai sifat dari baja lunak, tetapi daya tahan korosinya rendah bila disbanding dengan jenis paduan lainnya. Sifat mampu-lasnya juga kurang baik, karena itu paduan jenis ini


(31)

biasanya digunakan pada konstruksi pesawat terbang seperti duralumin (2017) dan super duralumin (2014)

3. Jenis Paduan Al-Mn (Seri 3000)

Jenis paduan ini tidak dapat diperlaku-panaskan sehingga penaikan kekuatannya hanya dapat diusahakan melalui pengerjaan dingin dalam proses pembuatannya. Dalam hal kekuatan, jenis paduan ini lebih unggul dari jenis Al murni.

4. Jenis Paduan Al-Si (Seri 4000)

Jenis paduan ini tidak dapat diperlaku-panaskan. Jenis ini dalam keadaan cair mempunyai sifat mampu-alir yang baik dan proses pembekuannya hampir tidak terjadi retak. Karena sifat-sifatnya, maka jenis paduan jenis Al-Si banyak digunakan sebagai bahan atau logam las dalam pengelasan paduan aluminium baik paduan cor maupun paduan tempa.

5. Jenis paduan Al-Mg (Seri 5000)

Jenis paduan ini tidak dapat diperlaku-panaskan, tetapi mempunyai sifat yang baik dalam daya tahan korosi, terutama korosi air laut, dan dalam sifat mampu-lasnya.Paduan Al-Mg banyak banyak digunakan tidak hanya dalam konstruksi umum, tetapi juga untuk tangki-tangki penyimpanan gas alam cair dan oksige cair.

6. Jenis Paduan Al-Mg-Si (Seri 6000)

Jenis paduan ini dapat diperlaku-panaskan dan mempunyai sifat mampu-potong, mampu-las dan daya tahan korosi yang cukup. Sifat yang kurang baik dari paduan ini adalah terjadinya pelunakan pada daerah las sebagai akibat dari panas pengelasan yang timbul.

7. Jenis Paduan Al-Zn (Seri 7000)

Jenis paduan ini dapat diperlaku-panaskan. Biasanya dalam paduan ini ditambahkan Mg, Cu, Cr. Kekuatan tarik yang dapat dicapai lebih dari 50 kg/mm2, sehingga paduan ini dinamakan juga ultra duralumin. Sifat mampu-las dan daya tahannya, terhadap korosi kurang menguntungkan. Paduan Al-Zn-Mg banyak digunakan dalam konstruksi las, karena jenis ini mempunyai sifat mampu-las dan daya tahan korosi yang lebih baik dari pada paduan dasar Al-Zn


(32)

2.1.5 Sifat Mampu Las Aluminium

1. Sifat-sifat umum paduan aluminium

Dalam hal pengelasan, paduan aluminium mempunyai sifat yang kurang baik bila dibandingkan dengan baja. Sifat-sifat yang kurtang baik atau merugikan tersebut adalah:

a. karena panas jenis dan daya hantar panasnya yang tinggi maka sulit untuk memanaskan dan mencairkan di sebagian kecil daerah las

b. Paduan aluminium mudah teroksidasi dan membentuk oksidasi aluminium Al2O3 yang mempumyai titik cair tinggi. Karena sifat ini maka peleburan antara logam dasar dan logam las menjadi terhalang.

c. Karena mempunyai sifat koefisien muai yang besar, maka mudah sekali terjadi deformasi sehingga paduan-paduan yang mempunyai sifat getas akan cenderung membentuk retak-panas.

d. Karena perbedaan yang tinggi antara kelarutan hydrogen dalam logam cair dan logam padat, maka dalam proses pembekuan yang terlalu cepat akan terbentuk rongga halus bekas kantong-kantong hydrogen.

e. Paduan aluminium mempunyai berat jenis rendah, karena itu banyak zat-zat lain yang terbentuk selama pengelasan akan tegelam. Keadaan ini memudahkan terkandungnya zat-zat yang tidak dikehendaki ke dalamnya. f. Karena titik cair dan viskositasnya rendah, maka daerah yang kena

pemanasan mudah mencair dan jutuh menetes.

Namun akhir-akhir ini sifat yang kurang baik tersebut telas dapat diatasi dengan alat dan teknik las yang lebih maju dan dengan menggunakan gas mulia sebagai pelindung selama pengelasan. Dengan kemajuan ini maka sifat mampu las dari paduan aluminium menjadi lebih baik. (Harsono Wiryosumarto 2000)

2. Retak las pada paduan aluminium

Sebagian retak las yang terjadi pada paduan aluminium adalah retak panas yang termasuk dalam kelompok retak karena pemisahan. Retak las ini dapat terjadi pada proses pembekuan dan proses pencairan. Retak las yang terjadi pada proses pembekuan disebabkan karena adanya penyusutan logam yang membeku dan dapat membentuk retak manic membujur, retak manic


(33)

melintang dan retak kawah. Sedangkan retak yang terjadi pada proses pencairan disebabkan karena adanya pengendapan dari senyawa bertitik cair rendah seperti Mg, Si, Cu, Zn dan lain-lainnya.

Beberapa hal yang di perkirakan menjadi penyebab terjadinya retak las adalah penggunaan logam las yang tidak sesuai dengan logam induk, suhu antar lapis las, tegangan penahan dan juru las yang kurang terampil. Sebagai contoh terbentuknya retak manic membujur yang disebabkan oleh tidak sesuaianya logam las dan loigam induk adalah bila paduan Al-Mg-Si dilas dengan menggunakan logam las yang sama. Retak melintang terjadi karena adanya tegangan penahan arah memanjang yang besar. Sedangkan retak halus yang sukar untuk diperiksa walaupun dengan pemeriksaan radiografi biasanya sebebkan oleh terlalu tingginya suhu antar lapis. (Harsono Wiryosumarto 2000)

3. Lubang-lubang halus pada paduan aluminium

Lubang halus yang terjadi pada proses pengelasan aluminium di sebabkan oleh gas hydrogen yang larut kedalam aluminium cair. Karena batas kelarutan turun pada waktu pendinginan maka gas hydrogen keluar dari larutan membentuk gelembung halus seperti terlihat pada gambar 2.4 usaha yang piling baik untuk menhindarinya adalah menghilangkan sumber hydrogen baik yang berbentuk zat-zat organic seperti minyak yang berbentuk uap air. (Harsono Wiryosumarto 2000)

Gambar 2.4 Terjadinya lubang halus pada pengelasan aluminum (Harsono Wiryosumarto 2000)


(34)

4. Pengaruh panas pengelasan pada paduan aluminium

Panas pengelasan pada paduan aluminium akan menyebabkan terjadinya pencairan sebagian, rekristalisasi, pelarutan padat atau pengendapan, tergantung pada tingginya suhu pada daerah las. Karena perubahan struktur ini biasanya terjadi penurunan kekuatan korosi dan kadang-kadang daerah las menjadi getas. Struktur mikro daerah HAZ dari paduan dapat diperlaku-panaskan ditunjukkan pada gambar 2.5

Gambar 2.5 Struktur Mikro Daerah Las Dari Aluminium yang Dapat Diperlaku-Panaskan (Harsono Wiryosumarto2000)

Pada paduan yang dapat dikeras endapkan, akan terjadi butir-butir endapan yang kasar sehingga pada daerah ini terjadi penurunan kekuatan dan ketahan korosi yang paling besar. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa makin besar masukan panas makin besar pula sifat-sifat mekanik yang baik. (Harsono Wiryosumarto 2000)

2.2 Pengelasan

2.2.1 Ruang Lingkup Dan Defenisi Pengelasan

Lingkup penggunaan teknik pengelasan dalam konstruksi sangat luas, meliputi perkapalan, jembatan, rangka baja, bejanan tekan, pipa pesat, pipa saluran, kendaraan rel dan sebagainya.

Di samping untuk pembuatan, proses las dapat juga dipergunakan untuk reparasi misalnya untuk mengisi lubang-lubang pada coran, membuat lapisan keras pada perkakas, mempertebal bagian-bagian yang sudah aus dan macam-macam reparasi lainnya. Pengelasan bukan tujuan utama dari konstruksi, tetapi hanya merupakan sarana untuk mencapai ekonomi pembuatan yang lebih baik.


(35)

Karena itu rancangan las dan cara pengelasan harus betul-betul memperhatikan kesesuaian antara sifat-sifat las dengan kegunaan konstruksi serta keadaan di sekitarnya. (Harsono, 2000)

Pengelasan (welding) adalah salah satu teknik penyambungan logam dengan cara mencairkan sebagian logam induk dan logam pengisi dengan atau tanpa tekanan dan dengan atau tanpa logam tambahan dan menghasilkan sambungan yang kontinu. Dari definisi tersebut terdapat empat kata kunci untuk menjelaskan definisi pengelasan yaitu mencairkan sebagian logam, logam pengisi, tekanan dan sambungan kontinu. Dari definisi diatas, proses pengelasan dapat dibuat skemanya sebagai berikut:

Gambar 2.6 Skema Definisi Proses Pengelasan (Sonawan , 2006)

Berdasarkan definisi dari DIN (Deutsche Industrie Norman) las adalah ikatan metalurgi pada sambungan logam atau logam paduan yang dilaksanakan dalam keadaan lumer atau cair. Dari defines tersebut dapat dijabarkan lebih lanjut bahwa las adalah sambungan setempat dari beberapa batang logam dengan menggunakan energi panas (Wiryosumarto, 2000)

Las (welding) adalah suatu cara untuk menyambung benda padat dengan jalan mencairkannya melalui pemanasan. Untuk berhasilnya penyambungan diperlukan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi, yakni:

- Bahwa benda padat tersebut dapat cair/lebur oleh panas

- Bahwa antara benda-benda padat yang disambung tersebut terdapat kesesuaian sifat lasnya sehingga tidak melemahkan atau mengagalkan sambungan tersebut

- Bahwa sara-cara penyambungan sesuai dengan sifat benda padat dan tujuan penyambungannya (Widharto, 2006)


(36)

2.2.2 Sejarah Pengelasan

Berdasarkan penemuan benda-benda sejarah dapat diketahui bahwa teknik penyambungan logam telah diketahui sejak dari zaman prasejarah, misalnya pembrasingan logam paduan emas-tembaga dan pematrian paduan timbal-timah. Menurut keterangan yang didapat telah diketahui dan dipraktekkan dalam rentang waktu antara tahun 4000 sampai 3000 SM. Sumber energi panas yang dipergunakan pada waktu itu diperkirakan dihasilkan dari pembakaran kayu atau arang (Wiryosumarto, 2000)

Setelah energi listrik dapat dipergunakan dengan mudah, teknologi pengelasan maju dengan pesat sehingga menjadi suatu teknik penyambungan yang mutakhir. Cara-cara dan teknik-teknik pengelasan yang banyak digunakan pada waktu itu seperti las busur, las resistansi listrik, las termit dan las gas, pada umumnya diciptakan pada akhir abad ke-19 (Wiryosumarto, 2000).

Alat-alat dari busur dipakai secara luas setelah alat tersebut digunakan dalam praktek oleh Benardes dalam tahun 1985. Dalam penggunaan yang pertama ini Bernades memakai elektroda yang dibuat dari batang karbon atau grafit. dengan mendekatkan elektroda ke dalam logam induk atau logam yang akan dilas sejarak kira-kira 2 mm, maka terjadi busur listrik yang merupakan sumber panas dalam proses pengelasan. Karena panas yang timbul, maka logam pengisi yang terbuat dari logam yang sama dengan logam induk mencair dan mengisi tempat sambungan. Dalam tahun 1989, Zerner mengembangkan cara pengelasan busur yang baru dengan menggunakan busur listrik yang dihasilkan oleh dua batang karbon. Dengan cara ini busur yang dihasilkan ditarik ke logam dasar oleh gaya elektromagnet sehingga terjadi semburan busur yang kuat (Wiryosumarto, 2000).

Slavianoff dalam tahun 1892 adalah orang pertama yang menggunakan kawat logam elektroda yang turut mencair karena panas yang ditimbulkan oleh busur listrik yang terjadi. Dengan penemuan ini maka elektoroda disamping berfungsi sebagai penghantar dan pembangkit busur listrik juga berfungsi sebagai logam pengisi. Kemudian Kjellberg menemukan bahwa kualitas sambungan las menjadi lebih baik bila kawat elektroda logam yang digunakan dibungkus dengan terak. Penemuan ini adalah permulaan dari penggunaan las busur dengan


(37)

elektroda yang terbungkus yang sangat luas penggunaannya pada waktu ini (Wiryosumarto, 2000).

Gambar 2.7 Perkembangan Cara Pengelasan (Wiryosumarto , 2000)

2.2.3. Klasifikasi Pengelasan

Hingga saat ini terdapat sekitar 35 jenis pengelasan yang diciptakan oleh manusia. Dari keseluruhan jenis tersebut hanya dua jenis yang paling popular di Indonesia, yakni pengelasan dengan menggunakan busur nyala listrik (shielded metal arc welding/SMAW), dan las karbit (oxy acetylene welding/OAW). Di beberapa kegiatan industri yang mempergunakan teknologi canggih di Indonesia, telah dipakai jenis TIG (tungsten inert gas welding), MIG (metal gas welding atau CO2 welding), las tahan listrik (electric resistance welding/ERW), las busur terbenam (submerged arc welding/SAW) (Widharto, 2006).

2.2.4. Jenis-Jenis Pengelasan

1. Las berdasarkan panas tenaga listrik

a. SMAW (shielded metal arc welding), yaitu las busur nyala listrik terlindung, adalah pengelasan dengan memperguakan busur nyala listrik sebagai sumber panas pencair logam. Jenis las ini yang paling lazim


(38)

dipakai di mana-mana untuk hamper semua keperluan pengelasan. Untuk keselamatan kerja maka tegangan yang dipakai hanya 23 – 45 volt saja, sedang untuk pencairan pengelasan dipakai arus listrik hingga 500 ampere. Untuk mencegah oksidasi (reaksi dengan O2), bahan penambah las (elektroda) dilindungi dengan selapis zat pelindung (flux atau slag)yang sewaktu pengelasan ikut mencair. Karena berat jenisnya lebih ringan dari bahan metal yang dicairkannya, maka caran flux teresebut mengapung di atas cairan metal tersebut, sekaligus mengisolasi metal tersebut untuk beroksidasi dengan udara luar, dan sewaktu mendingin/membeku, flux tersebut juga ikut membeku dan tetap melindungi metal dari reaksi oksidasi (Widharto, 2006).

Gambar 2.8 SMAW (shielded metal arc welding), (Widharto, 2006).

b. SAW (submerged arc welding), yaitu las busur terbenam, adalah pengelasan dengan busur nyala listrik. Untuk mencegah oksidasi cairan meta dan metal tambahan, digunakan butir-butir flux atau slag, sehingga busur nyala terpendam di dalam urugan butir-butir tersebut. Karena panas busur-nyala, butir-butir flux mencair dan melapisi cairan metal guna menghindari oksidasi(Widharto, 2006).


(39)

Gambar 2.9 SAW (Submerged Arc Welding), (Sonawan , 2006)

c. ESW (electroslag welding), yaitu pengelasan busur terhenti. Pengelasan ini sejesnis dengan SAW namun bedanya demikian busur nyala mencairkan flux, busur terhenti dan proses pencairan flux berjalan terus dan menjadi bahan pengantar arus listrik (konduktif), sehingga elektroda terhubungkan dengan benda yang dilas melalui konduktor tersebut. Panas yang dihasilkan dari tahanan terhadap arus listrik melalui cairan flux/slag cukup tinggi untuk mencairkan bahan tambahan las dan bahan dasar yang di las. Karena volume slag dan cairan las sangat besar, maka jenis pengelasan ini hanya dipakai untuk pengelasan datar (flat) saja. Pada awal dan akhir pengelasan dipasang suatu penampung untuk memberikan waktu cukup untuk bagi flux untuk mencair cukup banyak dan menciptakan suatu cairan slag yang konduktif (Widharto, 2006).


(40)

d. Stud welding, yaitu las baut pondasi, berguna untuk menyambung bagian suatu konstruksi baja dengan bagian yang terdapat didalam beton (baut angker, shear connector dan lain-lain). Pengelasan dilaksanakan dengan menmpergunakan tang las khusus. Sebelum dilas, semua bahan harus bersih dari karat, cat, galvanis, cadmium plating, minyak dan lain-lain. Sewaktu pengelasan, tang las (welding gun) harus dijaga pada posisi tetap hingga jalur las mendingin. Jenis elektoda harus hydrogen (kandungan air rendah), bergaris tengah 5/32 atau 3/16 inchi (Widharto, 2006).

e. ERW (electric resistance weld), yaitu las tahanan listik. Dengan tahanan yang besar, panas yang dihasilkan oleh aliran listrik menjadi sedemikian tingginya sehingga mencairkan logam yang akan dilas. Contohnya pengelasan pelat-pelat dinding pesawat (Widharto, 2006). f. EBW (electron bearn welding), las pemboman electron, adalah suatu

pengelasan yang pencairan disebabkan oleh panas yang dihasilkan dari suatu berkas loncatan electron yang dikonsentrasikan/ dimanfaatkan dan diarahkan pada benda yang dilas. Pengelasan dilaksanakan di dalam ruang hampa, sehingga menghapus kemungkinan oksidasi atau kontaminasi dengan zat kimia lainnya (Widharto, 2006).

2. Las berdasarkan Panas dari Kombinasi Busur Nyala Listrik dan Gas Kekal a. GMAW (gas metal arc welding), yaitu pengelasan dengan gas. Nyala

yang dihasilkan berasal dari busur nyala listrik, yang dipakai sebagai pencair metal yang dilas dan metal penambah. Sebagai pelindung oksidasi dipakai gas pelindung yang berupa gas kekal (inert) atau CO2 oleh karena jenis las ini disebut pula CO2 welding (Widharto, 2006).


(41)

b. GTAW (gas tungsten arc welding) atau TIG (tungsten inert gas) welding, adalah pengelasan dengan memakai busur nyala yang dihasilkan oleh elektroda tetap terbuat dari tungsten. Sedangkan sebagai bahan penambah terbuat dari bahan yang sama atau sejenis dengan bahan yang dilas dan terpisah dari pistol las (welding gun). Untuk mencegah oksidasi dipakai gas pelindung yang keluar dari welding gun. Biasanya gas pelindung tersebut berupa gas mulia (99% Argon). Jenis las baik untuk penyambungan bahan metal dan bahan-bahan campuran yang tipis. Jenis las ini sangat baik untuk pengelasan pertama (jalan las pertama) atau root bead/stringer bead (Widharto, 2006).

Gambar 2.12 Gas Tungsten Arc Welding (Sonawan , 2006)

c. PAW (plasma arc welding), las listrik dengan plasma, adalah sejensi GTAW hanya beban gas pelindungnya berbeda, yakni campuran antara argon, nitrogen dan hydrogen yang lazim disebut plasma. Plasma pada hakekatnya terdiri dari molekul-molekul, electron-elektron dan berbagai ion sebagai hasil pemecahan atom atau molekul. Jenis las ini biasanya dipakai untuk pengisian kampuh-kampuh yang sangat besar untuk menyambung bahan yang tebal. Jika diperlukan kecepatan dan bukan kualitas, maka las plasma lebih ekonomis untuk pelat karbon/mildsteel dengan ketebalan 2 mm ke bawah. Plasma untuk gas pelindung ternyata juga sangat baik untuk pemotongan pleta stainless steel, karena hasil pemotongannya terhindar dari oksidasi


(42)

sehingga di samping tampak bagus dan halus juga tidak mengalami perubahan structural material yang berarti (Widharto, 2006).

d. EGW(electro gas welding) adalah jenis las MIG yang otomatis dan hanya dipakai untuk posisi pengelasan vertical saja (Widharto, 2006). 3. Las berdasarkan atas panas dari pembakaran campuran gas

OAW (oxy acetylene welding) biasa disebut gas karbit atau las autogen. Panas didapat dari hasil pembakaran gas acetylene (C2H2) dengan oksigen (O2). Karena panas yang dihasilkan tidak terlalu tinggi, maka jenis las ini hanya baik untuk pengelasan pelat baja tipis saja (3 mm). untuk pelat yang tebal diperlukan waktu pemanasan pendahuluan yang cukup lama sehingga tidak ekonomis. Jenis las ini baik pula untuk pemanasan pendahuluan untuk pelat-pelat baja yang sangat tebal sebelum dilas dengan listrik. Oleh karenanya jenis las ini sangat baik dipakai untuk pemotongan baja, kecuali baja paduan seperti stainless steel yang sangat peka terhadap oksidasi. Mutu las karbit pada umumnya kurang baik ditinjau dari segi kekuatannya mengingat banyaknya bahan las yang teroksidasi karena dipakainya oksigen sebagai bahan pemanasnya (Widharto, 2006).

Gambar 2.13 Oxy Acetylene Welding (Sonawan , 2006)

4. Las berdasarkan ledakan dan reaksi eksotermis

a. EXW (explosion weld atau CAD weld) adalah las yang sumber panasnya dapat dengan meledakkan obat mesiu yang dipasang dalam suatu mold/cetakan pada bagian yang disambung sehingga terjadi pencairan bahan pada bagian tersebut dan mengisi cetakan yang


(43)

tersedia. Cara ini praktis untuk menyambung kabel-kabel, kawat baja, wire rope atau seling, dan pelekatan arde pada tiang baja. Hasil sambungan ini cukup sempurna karena boleh dikatan hampir tidak terdapat proses oksidai yang melemahkan sambungan tersebut (Widharto, 2006)

b. TW (termit welding) adalah las yang mempergunakan proses reaksi kimia eksotermis yang menghasilkan suhu yang sangat tinggi untuk melebur metal yang dilas. Las ini dipakai untuk penyambungan benda-benda besar/tebal dan diperlukan waktu yang lebih lama dari las ledakan. (Widharto, 2006)

Gambar 2.14 Termit Welding (Sonawan , 2006)

2.2.5 Metalurgi Pengelasan

Dalam lasan terdiri dari tiga bagian yaitu logam las, daerah pengaruh panas (Heat Affected Zone) dan logam induk yang tak terpengaruhi. Logam las adalah bagian dari logam yang pada waktu pengelasan mencair dan kemudian membeku. Daerah pengaruh panas atau HAZ adalah logam dasar yang bersebelahan dengan logam las yang selama proses pengelasan mengalami siklus termal pemanasan dan pendinginan cepat. Logam induk tidak terpengaruhi adalah bagian logam dasar dimana panas dan suhu pengelasan tidak menyebabkan terjadinya perubahan perubahan struktur dan sifat. (Wiryosumarto, 2000).


(44)

Dalam pengelasan cair bermacam-macam cacat terbentuk dalam logam las, misalnya pemisahan atau segregasi, lubang halus dan retak. Banyaknya cacat yang terjadi tergantung pada kecepatan pembekuan. Semua kejadian selama proses pendinginan dalam pengelasan hampir sama dengan pendinginan dalam pengecoran. Perbedaan yang terjadi adalah kecepatan pendinginan dalam las lebih tinggi, Sumber panas dalam las bergerak terus, pencairan dan pembekuan terjadi secara teru menerus, Pembekuan logam las mulai dari dinding logam induk dan logam las harus menjadi satu dengan logam induk. Pada proses pembekuan logam las terjadi tiga proses reaksi metalurgi, prosestersebut adalah : (Wiryosumarto, 2000).

1. Pemisahan

Di dalam logam las terdapat tiga jenis pemisahan, yaitu pemisahan makro, pemisahan gelombang dan pemisahan mikro. Pemisahan makro adalah

perubahan komponen secara perlahan-lahan yang terjadi mulai dari sekitar garis lebur menuju ke garis sumbu las, Sedangkan pemisahan gelombang adalah perubahan komponen karena pembekuan terputus yang terjadi pada proses terbentuknya gelombang manik las. Pemisahan mikro adalah perubahan komponen yang terjadi dalam satu pilar atau dalam bagian dari satu pilar. 2. Lubang-lubang Halus

Lubang-lubang halus terjadi karena adanya gas yang tidak larut dalam logam padat. Lubang-lubang tersebut disebabkan karena tiga macam cara pembetukan gas sebagai berikut: Pertama adalah pelepasan gas karena perbedaan batas kelarutan antara logam cair dan logam padat pada suhu pembekuan, kedua adalah terbentuknya gas karena adanya reaksi kimia didalam logam las dan yang ketiga penyusupan gas ke dalam atmosfir busur. Gas yang terbentuk karena perbedaan batas kelarutan dalam material adalah gas hidrogen dan gas nitrogen, sedangkan yang terjadi karena reaksi adalah terbentuknya gas CO dalam logam cair dan yang menyusup adalah gas-gas pelindung atau udara yang terkurung dalam akar kampuh las. (Wiryosumarto, 2000).


(45)

3. Oksidasi

Aluminium adalah logam yang sangat aktif. Kalau berada di lingkungan yang menghasilkan oksigen, Logam ini bereaksi untuk membentuk sebuah selaput tipis oksida yang transparan di seluruh permukaan yang terbuka. Selaput ini mengendalikan laju korosi dan melindungi logam di bawahnya. Oleh karena itu, komponen-komponen yang terbuat dari aluminium dan paduannya bisa memiliki umur yang panjang. Jika selaput ini rusak, maka selaput tersebut tidak dapat dipulihkan lagi, korosi logam ini akan berlangsung cepat sekali. Pembentukan lapisan oksida (Al2O3) ditandai dengan perubahan visual dari permukaan aluminium (Al) yang mana warna semula mengkilap (perak) berangsur-angsur berubah lebih buram seiring laju pertumbuhan lapisan oksida yang disebabkan oleh kontak langsung dengan oksigen (O2). Ketika mill scale dari logam aluminium dibuka dan mengalami kontak langsung dengan udara (atmosfer) pembentukan aluminium oksida berlangsung sangat cepat sampai laju oksidasinya berjalan lambat setelah 10 hari. Laju penebalan ini dapat digambarkan berupa grafik logaritma di mana penebalannya suatu saat akan konstan. Lapisan aluminium oksida ini sangat berongga (porous) dan dapat menyerap embun atau sumber hidrokarbon lainnya dan tumbuh menebal menjadi Hydrated-oxid alumina (Al2O3.H2O) yang memiliki lapisan kimia bercampur air penyebab porosity. Aluminium oksida memiliki titik leleh yang besar yang mencapai 2038° C, yang mana tiga kali titik leleh paduan aluminiumnya. Jika lapisan ini tidak dibersihkan pada saat akan dilakukan pengelasan maka prose pengelasanya sulit dilakukan dan kualitas hasil lasanya menurun. (Anjar leksono,2005 )

Gambar 2.15 Metalurgi pengelasan (Anjar leksono,2005 )


(46)

2.3 Pengelasan TIG (Tungsten Inert Gas)

Las TIG (Tungsten Inert Gas) adalah salah satu pengelasanbusur listrik berpelindung gas mulia di mana elektroda tidak diumpankan. Las TIG dapat menjangkau pada proses pengelasan yang luas dan mempunyai kemampuan yang tinggi untuk menyatukan logam serta dapat pula mengelas pada segala posisi pengelasan dengan kepadatan yang tinggi, daya busurnya tidak tergantung pada bahan tambah yang diperlukan, sehingga las TIG dimungkinkan untuk mengelas berbagai jenis logam (Sukamto, 2009).

TIG (Tungsten Inert Gas) welding adalah jenis las listrik yang menggunakan bahan tungsten (wolfarm) sebagai elektroda yang tidak terkonsumsi, elektroda ini digunakan hanya untuk menghasilkan busur nyala listrik. (Widharto, 2006).

Bahan penambah berupa batang las (rod), yang dicairkan oleh busur nyala tersebut mengisi kampuh bahan induk. Untuk mencegah oksidasi digunakan gas mulai (seperti Argon, Helium, Freon) dan CO2 sebagai gas lindung. Jenis las ini dapat digunakan dengan atau tanpa bahan penambah, las ini menghasilkan sambungan las yang bermutu tinggi dengan peralatan yang relative lebih murah (Widharto, 2006).

Penggunaan jenis las ini diawali sekitar tahun 1920 dengan menggunakan helium sebagai gas pelindung. Namun setelah itu tidak ada tindak lanjutnya hingga pecah Perang Dunia II dimana diperlukan las TIG untuk mengganti paku-paku keeling pada pesawat tempur dengan pengelasan pada bahan yang reaktif seperti aluminum atau magnesium. Arus yang digunakan adalah arus rata dan elektroda di pihak negative untuk mendapatkan sumber panas yang stabil dan efisien sehingga dapat dihasilkan lajur las yang berkualitas tinggi. Belakangan dengan berkembangnya teknologi las, arus rata berpulsa atau arus bolak balik dapat digunakan untuk sumber arus. Demikian juga dikembangkan obor (torch) lasnya, yakni tipe water cooled (didinginkan dengan air) dan gas cooled (didinginkan dengan gas). Untuk meningkatkan daya emisinya bahan elektrodanya tungsten dicampur dengan beberapa elemen aktif. Hal yang dicapai adalah: sifat awal busur (arc starting), stabilitas busur (arc stability), dan usia elektroda tidak terkonsumsi (Widharto, 2006).


(47)

Gambar 2.16 Pengelasan TIG (Widharto, 2006)

2.3.1 Prinsip Kerja Pengelasan TIG (Tungsten Inert Gas)

Proses dari pengelasan TIG menggunakan gas lindung untuk mencegah terjadinya oksidasi pada bahan las yang panas(Widharto, 2006).

Busur nyala listrik dihasilkan dari arus listrik melalui konduktor dan mengionisasi gas pelindung. Busur terjadi antara ujung elektroda tungsten dengan logam induk. Panas yang dihasilkan busur langsung mencairkan logam induk dan juga logam las berupa kawat las (rod). Penggunaan kawat las tidak selalu dilaksankan (hanya jika dipandang perlu sebagai logam penambah) Pencairan kawat las dilaksanakan diujung kolam las sambil pengelasan berjalan (Widharto, 2006).

Terdapat 4 komponen dasar dari pengelasan TIG, yaitu : 1. Obor (torch)

2. Elektoda tak terkonsumsi 3. Sumber arus las


(48)

Gambar 2.17 Skema Pengelasan TIG (Widharto, 2006).

2.3.2 Keuntungan dan Kerungian Proses TIG (Tungsten Inert Gas) a. Keuntungan Proses

Berikut ini adalah beberapa keuntungan penggunaan TIG:

1. Mengahasilkan sambungan las bermutu tinggi, biasanya bebas cacat

2. Bebas dari terbentuknya percikan las (spatter)

3. Dapat digunakan dengan atau tanpa bahan tambahan (filler metal)

4. Penetrasi (tembusan) pengelasan akar dapat dikendalikan dengan baik

5. Produksi pengelasan tinggi dan murah

6. Dapat menggunakan sumber tenaga yang relative murah

7. Memungkinkan untuk mengendalikan variable las secara akurat 8. Dapat digunakan pada hamper semua jenis metal termasuk

pengelasan metal berbeda

9. Memungkinkan pengendalian mandiri sumber panas maupun penambahan filler metal (Widharto, 2006).

b. Kerugian proses

Berikut ini adalah beberapa keuntungan penggunaan TIG:

1. Laju deposisi material lebih rendah dibanding pengelasan dengan elektroda terkonsumsi


(49)

2. Memerlukan keterampilan tangan dan koordinasi juru las lebih tinggi dibanding dengan las GMAW atau SMAW (Widharto, 2006).

2.3.3 Sumber Arus Las

Sumber listrik yang digunakan untuk pengelasan TIG dapat berupa listrik DC atau listrik AC.Pada umumnya pada pengelasan TIG sumber listrik yang dipergunakan mempunyai karakteristik yang lamban, sehingga dalam hal menggunakan listrik DC untuk memulai menimbulkan busur perlu ditambah dengan listrik AC frekuensi tinggi. (Wiryosumarto, 2000).

1. Arus Bolak Balik (AC)

Proses las TIG arus AC dilaksanakan dengan menggunakan las AC. Proses ini memiliki dua keunggulan dibanding dengan proses TIG arus DC.

a. Aksi pembersihan (cleaning action)

Pembersihan yang dimaksud disini adalah menghilangkan atau mengelupas lapisan oksidasi yang ada di permukaan logam induk. Aksi ini berlangsung pada saat elektroda bermuatan positif dan logam induk bermuatan negatif. Arus listrik AC memiliki kurva sinusoidal. Pada saat tertentu, elektroda bermuatan positif di saat lain bermuatan negative. Kemudian pada saat elektroda bermuatan positif, disisi lain logam induk bermuatan negatif. Electron-elektron yang ada dilogam induk ini berakselerasi menuju elektroda. Pada awalnya, pergerakan electron berlangsung kurang mulus akibat adanya lapisan oksida yang bersifat isolator. Setelah lapisan oksida itu terkelupas akibat “desakan” electron, maka electron tadi dengan mudah bergerak ke arah elektroda. Terkelupasnya atau hilangnya lapisan oksida di permukaan logam induk inilah yang dikenal sebagai aksi pembersihan (Sonawan, 2006)


(50)

Gambar 2.18 Aksi Pembersihan Lapisan Oksida (Sonawan, 2006)

b. Aksi Penembusan

Jika saat elektorda bermuatan positif terjadi aksi pembersihan maka saat sebaliknya yaitu elektroda berrnuatan negatif akan terjadi aksi penembusan. Elektron sekarang bergerak dari elektroda ke arah permukaan logam induk tanpa adanya hambatan karena lapisan oksida telah terkelupas. Tingkat penembusan yang dihasilkan dengan aksi ini cukup dalam berbeda dengan aksi sebelumnya (aksi pembersihan). Kedalaman penembusan logam induk menjadi ciri dari aksi penembusan ini (Sonawan, 2006).

2. Arus Searah (DC)

Jika arus DC yang digunakan, maka elektroda tungsten dapat dihubungkan dengan terminal positif dan negatif. Namun pada umumnya digunakan adalah sistem elektroda negatif (DCEN). Dengan polaritas ini electron mengalir dari elektroda ke benda kerja, dan ion positif mengalir dari benda kerja ke elektroda. Polaritas ini disebut polaritas lurus (straight polarity). Jika elektroda pada posisi positif, maka elektronnya, merupakan kebalikan dari yang diuraikan diatas. Polaritas ini disebut polaritas terbalik (reverse polarity) (Widharto,2006).


(51)

Gambar 2.19 Diagram Rangkaian Listrik dari Mesin Las Listrik DC (Wiryosumarto, 2000)

Arus DC positif (polaritas balik) menghasilkan karakteristik aksi pembersihan dengan penetrasi dangkal dan arus DC negatif menghasilkan penembusan. Arus DC positif umumnya dipakai pada pengelasan pelat-pelat tipis, sedangkan arus DC negatif dipakai pada kasus pengelasan pelat tebal karena memanfaatkan dalamnya penetrasi/penembusan logam las. (Sunawon, 2006).

Gambar 2.20 Perbedaan Karakteristik Arus AC dan DC

Pemakaian Jenis Arus Dalam Pengelasan Beberapa Jenis Logam dapat dilihat pada table berikut:

Tabel 2.1 Penggunaan Mesin Las TIG untuk Beberapa Logam

Logam Listrik AC

frekuensi tinggi

Listrik DC polaritas lurus

Listrik DC polaritas terbalik

Baja Terbatas Sesuai -

Baja tahan karat Terbatas Sesuai -

Besi cor Terbatas Sesuai -

Aluminum dan panduannya

Sesuai - dapat untuk pelat

tipis Magnesium dan

paduannya

Sesuai - dapat untuk pelat

tipis Tembaga dan

paduannya

Terbatas Sesuai -


(52)

2.4 Struktur Mikro

Struktur mikro adalah gambaran dari kumpulan fasa-fasa yang dapat diamati melalui teknik metalografi. Struktur mikro suatu logam dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop. Mikroskop yang dapat digunakan yaitu mikoroskop optik dan mikroskop elektron. Sebelum dilihat dengan mikroskop, permukaan logam harus dibersihkan terlebih dahulu, kemudian reaksikan dengan reagen kimia untuk mempermudah pengamatan. Proses ini dinamakan etching. (Wiryosumarto, 2000).

Untuk mengetahui sifat dari suatu logam, kita dapat melihat struktur mikronya. Setiap logam dengan jenis berbeda memiliki struktur mikro yang berbeda. Dengan melalui diagram fasa, kita dapat meramalkan struktur mikronya dan dapat mengetahui fasa yang akan diperoleh pada komposisi dan temperatur tertentu. Dan dari struktur mikro kita dapat melihat:

a. Ukuran dan bentuk butir

b. Distribusi fasa yang terdapat dalam material khususnya logam c. Pengotor yang terdapat dalam material

Dari struktur mikro kita juga dapat memprediksi sifat mekanik dari suatu material sesuai dengan yang kita inginkan.


(53)

Gambar 2.21 Struktur Mikro pada Logam (Wiryosumarto, 2000).

2.4.1 Struktur Pada Daerah Las

Selama pendinginan dari logam cair sampai menuju suhu kamar, logam las mengalami serangkaian perubahan fasa. Baja karbon rendah (kandungan C < 0,1%) akan mengalami perubahan-perubahan fasa cair menjadi Ferrite δ ketika pembekuan berlangsung kemudian berubah menjadi Austenite γ dan akhirnya menjadi Ferrite α dan Pearlite. Struktur mikro yang akan terbentuk di tentukan pada saat pendinginan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi struktur mikro, sepertikomposisi akhir logam las, filler serta kondisi udara sekitar pengelasan. (Wiryosumarto, 2000).

Proses pendinginan pada las berlangsung secarakontinu, yaitu proses penurunan suhu berlangsung tanpa adanya penurunan suhu secara mendadak. Menurut Abson dan Pargeter (1986), struktur mikro yang mungkin terbentuk dari pengelasan adalah:

1. Proeutectoid Ferrrite, terdiri dari grain boundaryFerrite dan intragranular polygonal Ferrite pada suhu 1000-650 ℃.

2. Widmanstatten Ferrrite atau Ferrite with aligned second phase pada suhu 750-650 ℃.


(54)

4. Bainite, terbentuk pada suhu 400-500 ℃.

5. Martensite, terjadi jika pendinginan berlangsung sangat cepat.

Proses pendinginan hasil pengelasan pada umumnya berlangsung secara cepat sehingga untuk menganalisa struktur mikro hasil pengelasan tidak dapat digunakan diagram fasa. Diagram fasa hanya dapat dipergunakan untuk kondisi dimana laju pendinginan sangat lambat dan proses difusi atom berlangsung. Karena itu untuk menganalisa struktur mikro hasil pengelasan dapat digunakan diagram Continuous Cooling Transformation (CCT), berikut strukur mikro pada daerah Las dapat dilihat pada gambar 2.22.

Gambar 2.22 Struktur Mikro Daerah Las (Wiryosumarto, 2000)

2.4.2 Struktur mikro daerah HAZ (Heat affected Zone)

Adalah logam dasar yang bersebelahan dengan logam las yang selama proses pengelasan mengalami siklus termal pemanasan dan pendinginan cepat sehingga daerah ini yang paling kritis dari sambungan las. Secara visual daerah yang dekat dengan garis lebur las maka susunan struktur logamnya semakin kasar. Pada daerah HAZ terdapat tiga titik yang berbeda, titik 1 dan 2 menunjukkan temperatur pemanasan mencapai daerah berfasa austenit dan ini disebut dengan transformasi menyeluruh yang artinya struktur mikro baja mula-mula ferit+perlit kemudian bertransformasi menjadi austenite 100%. Titik 3 menunjukkan temperatur pemanasan, daerah itu mencapai daerah berfasa ferit dan austenit dan ini yang disebut transformasi sebagian yang artinya struktur mikro baja mula-mula ferit+perlit berubah menjadi ferit dan austenit


(55)

Gambar 2.23 Struktur Mikro Pada Daerah HAZ (Heat affected Zone) (Wiryosumarto, 2000).

2.5 Pengujian Hasil Pengelasan 2.5.1.Uji Impact

Uji impact adalah pengujian dengan menggunakan pembebanan yang cepat (rapid loading). Pengujian impak merupakan suatu pengujian yang mengukur ketahanan bahan terhadap beban kejut. Inilah yang membedakan pengujian impak dengan pengujian tarik dan kekerasan, di mana pembebanan dilakukan secara perlahan-lahan. Pengujian impak merupakan suatu upaya untuk mensimulasikan kondisi operasi material yang sering ditemui dalam perlengkapan transportasi atau konstruksi di mana beban tidak selamanya terjadi secara perlahan-lahan melainkan datang secara tiba-tiba, contoh deformasi pada bumper mobil pada saat terjadinya tumbukan kecelakaan.(Schonmetz, Alois)

Pada uji impak terjadi proses penyerapan energi yang besar ketika beban menumbuk spesimen. Energi yang diserap material ini dapat dihitung dengan menggunakan prinsip perbedaan energi potensial. Dasar pengujiannya yakni penyerapan energi potensial dari pendulum beban yang berayun dari suatu ketinggian tertentu dan menumbuk benda uji sehingga benda uji mengalami deformasi. Pada pengujian impak ini banyaknya energi yang diserap oleh bahan untuk terjadinya perpatahan merupakan ukuran ketahanan impak atau ketangguhan bahan tersebut.


(56)

Sifat keuletan suatu bahan dapat diketahui dari pengujian tarik dan pengujian impact, tetapi dalam kondisi beban yang berbeda. Beban pada pengujian impact seperti yang telah dijelaskan diatas adalah secara tiba-tiba, sedangkan pada pengujian tarik adalah perlahan-lahan. Dari hasil pengujian tarik dapat disimpulkan perkiraan dari hasil pengujian impact. Tetapi dari pengujian impact dapat diketahui sifat ketangguhan logam dan harga impact untuk temperatur yang berbeda-beda, mulai dari temperatur yang sangat rendah (-30oC) sampai temperatur yang tinggi. Sedangkan pada percobaan tarik, temperatur kerja adalah temperatur kamar.

Diagram uji impact dapat dilihat pada gambar 2.24.

Gambar 2.24 Diagram Uji Impak

2.5.2. Pengujian Impact Metode Charpy

Batang uji Charpy banyak digunakan di Amerika Serikat, Benda uji Charpy memiliki luas penampang lintang bujur sangkar (10 x 10 mm) dan memiliki takik (notch) berbentuk V dengan sudut 45o, dengan jari-jari dasar 0,25 mm dan kedalaman 2 mm. Benda uji diletakkan pada tumpuan dalam posisi mendatar dan bagian yang ber-takik diberi beban impak dari ayunan bandul, Serangkaian uji Charpy pada satu material umumnya dilakukan pada berbagai


(57)

temperature sebagai upaya untuk mengetahui temperatur transisi prinsip dasar pengujian charpy ini adalah besar gaya kejut yang dibutuhkan untuk mematahkan benda uji dibagi dengan luas penampang patahan.

Mula-mula bandul Charpy disetel di bagian atas, kemudian dilepas sehingga menabrak benda uji dan bandul terayun sampai ke kedudukan bawah Jadi dengan demikian, energi yang diserap untuk mematahkan benda uji ditunjukkan oleh selisih perbedaan tinggi bandul pada kedudukan atas dengan tinggi bandul pada kedudukkan bawah (tinggi ayun). Segera setelah benda uji diletakkan, kemudian bandul dilepaskan sehingga batang uji akan melayang (jatuh akibat gaya gravitasi). Bandul ini akan memukul benda uji yang diletakkan semula dengan energi yang sama.

Energi bandul akan diserap oleh benda uji yang dapat menyebabkan benda uji patah tanpa deformasi (getas) atau pun benda uji tidak sampai putus yang berarti benda uji mempunyai sifat keuletan yang tinggi.Permukaan patah membantu untuk menentukan kekuatan impact dalam hubungannya dengan temperatur transisi bahan. Daerah transisi yaitu daerah dimana terjadi perubahan patahan ulet ke patahan getas. Bentuk perpatahan dapat dilihat langsung dengan mata telanjang atau dapat pula dengan bantuan mikroskop.Alat metode charpy dapat dilihat pada gambar 2.25


(58)

Untuk mencari energi yang dibutuhkan untuk mematahkan sampel (energi yang diserap) dinyatakan dalam persamaan:

E = P.D (cos β– cos α) (2.1)

Keterangan:

E = Energi yang dibutuhkan untuk mematahkan sampel (Joule) P = Berat Palu x gravitasi yaitu 251,664 N

D = Jarak lengan pengayun yaitu 0,6490 Cos β = Sudut akhir pemukulan

Cos α = Sudut awal pemukulan yaitu konstan 147o

Sedangkan untuk mendapatkan nilai impak maka dapat dihitung menggunakan persamaan:

Ki = E/Ai (2.2)

Keterangan:

Ki = Nilai impak (Joule/mm2)

E = Energi yang dibutuhkan untuk mematahkan sampel (Joule) Ai = Luas penampang sampel (mm2)

2.5.3 Faktor Penyebab Patah Getas Pada Pengujian Impact

1. Notch

Notch pada material akan menyebabkan terjadinya konsentrasi tegangan pada daerah yang lancip sehingga material lebih mudah patah. Selain itu notch juga akan menimbulkan triaxial stress. Triaxial stress ini sangat berbahaya karena tidak akan terjadi deformasi plastis dan menyebabkan material menjadi getas. Sehingga tidak ada tanda-tanda bahwa material akan mengalami kegagalan.

2. Temperatur

Pada temperatur tinggi material akan getas karena pengaruh vibrasi elektronnya yang semakin rendah, begitupun sebaliknya.


(59)

sempat mengalami deformasi plastis, karena pergerakan atomnya (dislokasi). Dislokasi akan bergerak menuju ke batas butir lalu kemudian patah. Namun pada uji impak, strain rate yang diberikan sangat tinggi sehingga dislokasi tidak sempat bergerak, apalagi terjadi deformasi plastis, sehingga material akan mengalami patah transgranular, patahnya ditengah-tengah ato. Karena dislokasi tidak sempat bergerak ke batas butir. Kemudian, dari hasil percobaan akan didapatkan energi dan temperatur. Dari data tersebut, kita akan buat diagram harga impak terhadap temperatur. Energi akan berbanding lurus dengan harga impak. Kemudian kita akan mendapakan temperatur transisi. Temperatur transisi adalah range temperature di mana sifat material dapat berubah dari getas ke ulet jika material dipanaskan. Temperatur transisi ini bergantung pada berbagai hal, salah satunya aspek metalurgi material, yaitu kadar karbon. Material dengan kadar karbon yang tinggi akan semakin getas, dan harga impaknya kecil, sehingga temperatur transisinya lebih besar.

2.5.4 Jenis Jenis Patahan

1. Patahan Getas

Patahan yang terjadi pada benda yang getas, misalnya: besi tuang, dapat dianalisis Permukaan rata dan mengkilap, potongan dapat dipasangkan kembali, keretakan tidak dibarengi deformasi, nilai pukulan takik rendah. Bentuk patahan getas dapat dilihat pada gambar 2.27


(60)

2. Patahan Liat

Patahan yang terjadi pada benda yang lunak, misalnya: baja lunak, tembaga, dapat dianalisis Permukaan tidak rata buram dan berserat, pasangan potongan tidak bisa dipasang lagi, terdapat deformasi pada keretakan, nilai pukulan takik tinggi, patahan liat dapat dilihat pada gambar 2.28

Gambar 2.28 Patahan Liat (Wiryosumarto, 2000).

3. Patahan Campuran

Patahan yang terjadi pada bahan yang cukup kuat namun ulet, misalnya pada baja temper Gabungan patahan getas dan patahan liat, permukaan kusam dan sedikit berserat, potongan masih dapat dipasangkan, ada deformasi pada retakan, patahan campuran dapat dilihat pada gambar 2.29


(61)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengelasan adalah proses penyambungan material ferrous atau non ferrous dengan memanaskan sampai suhu pengelasan, dengan atau tanpa menggunakan logam pengisi ( filler metal). Dalam penelitian ini material ferrous yang disambung adalah aluminium. Ada beberapa macam jenis pengelasan yang sering digunakan untuk penyambungan aluminium diantaranya dengan las.

Oxy – acetylene dan las TIG ( Tungsten Inert Gas ). Kedua metodepengelasan tersebut dapat digunakan dalam pengelasan berbahan aluminium bila syarat dan metode terpenuhi (Wiryosumarto, H., 2004).

Penyambungan aluminium dengan proses las Oxy -Acetylene mempengaruhi susunan struktur mikro terutama daerah HAZ ( Heat Affected Zone ), dan daerah lasan yang berbeda terhadap logam induk. Perubahan susunan struktur mikro disebabkan karena siklus termal yang terjadi saat proses pengelasan. Bila susunan struktur mikro berubah maka sifat mekanis aluminium otomatis juga ikut berubah, sehingga mempengaruhi kekuatan sambungan las aluminium tersebut. Selain itu faktor lain yang memungkinkan mempengaruhi kekuatan sambungan las aluminium dengan las TIG (Tungsten Inert Gas) antara lain adalah kecenderungan adanya porositas (porosity) akibat gas hidrogen (H2) pada daerah kampuh lasannya (weld metal). Hal ini akan mengakibatkan cacat las dan menyebabkan menurunya kekuatan sambungan las aluminium (Winarno, A., 2005 ).

Pengelasan aluminium menggunakan las TIG (Tungsten Inert Gas) dengan pelindung gas mulia (Argon) diharapkan dapat memberikan hasil sambungan las aluminium yang bagus, baik secara fisis maupun mekanis, namun pada beberapa jenis paduan aluminium akan mengalami penurunan sifst mekanis setelah proses pengelasan selesai. Sifat mekanis tersebut salah satunya adalah kekuatan tarikakan sehingga akan mempengaruhi kekuatan sambungan las aluminium. Faktor yang memungkinkan mempengaruhi penurunan sifat mekanis sambungan las aluminium antara lain adalah ketidak sesuaian dalam pemilihan


(62)

kawat las (fillermetal ) dan kesalahan dalam penentuan parameter las TIG (Sulardjaka, 2005).

Untuk mendapatkan hasil sambungan las aluminium yang bagus perlu diperhatikan faktor –faktor penting antara lain :

1. Preparasi lasannya (before welding), terutama pembersihan permukaan aluminium yang akan di las.

2. Masukan panas (heat input) tertentu dan faktor parameter ini dipengaruhi oleh arus, tegangan dan kecepatan las. Juga jenis nyala api untuk pengelasan dengan proses Oxy- acetylene.

3. Pemilihan kawat las (filler metal) yang sesuai kecepatan pengelasan. 4. Penentuan jenis sambungan las (Sulardjaka, 2005)

Untuk mengetahui pengaruh variasi kuat arus pada pengujian impak daerah Las, HAZ dan Struktur Mikro pengelasan TIG (Tungsten Innert Gas) pada material alumunium alloy 6061 yang menghasilkan sifat mekanik yang paling baik, perlu dilakukan penelitian dan pengujian. Salah satu sifat mekanik yang paling penting dalam pengelasan adalah sifat ketangguhan impak. Berdasarkan latar belakang diatas maka penelitian ini mengambil judul : Analisa Ketangguhan dan Srtuktur Mikro Pada Pengelasan Tungsten inert gas (TIG) Pada Aluminium 6061.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini di harapkan nantinya mengetahui beberapa hal sebagai berikut:

1 Untuk mengetahui pengaruh kuat arus pada pengelasan TIG (tungsten inert gas) pada daerah Las, HAZ dan struktur mikro

2 Untuk mengetahui kekuatan impact aluminium 6061 setelah dilakukan pemyambungan dengan pengelasan TIG (Tungsten Inert Gas).

3 Untuk mengetahui perbedaan struktur mikro daerah HAZ (Heat AffactedZone), logam las, pada alumunium 6061 setelah dilakukan penyambungan masing- masing dengan las TIG (Tungsten Inert Gas). 4 Untuk mengetahui jenis patahan pada spesimen


(63)

1.3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana kualitas masing – masing sambungan las tersebut jika dilakukan pengujian fisis (struktur mikro pada daerah HAZ dan Las) dan mekanis (uji impak pada daerah HAZ dan Las) ?

2. Bagaimana kuat arus yang paling sesuai untuk pengelasan aluminium jenis 6061 ?

1.4. Batasan Masalah

Agar hasil penelitian dapat diterima dengan validitas seperti yang diharapkan, maka ditentukan batasan-batasan masalah guna mengendalikan model pelaksanaan penelitian yang dilakukan antara lain :

1. Material yang digunakan adalah aluminium jenis AL 6061.

2. Pengelasan dilakukan pada suhu dan kelembaban ruang pengelasan. 3. Pada pengelasan TIG (Tungsten Inert Gas) tegangan yang

direkomendasikan 20– 30 Volt (AC) dan arus 90 - 110 Ampere dengan gas pelindung Argon 90,99% laju aliran 5 bar L/menit, dan logam pengisi (filler) jenis ER 5356. Jenis sambungan kampuh V tunggal bersudut 600.

4. Pengujian fisis meliputi : pengujian struktur mikro (ASTM E3) 5. Pengujian mekanis meliputi : pengujian impak (ASTM -23)

6. Mengetahui pengaruh variasi kuat arus pada pengujian impact daerah Las, HAZ dan Struktur Mikro pengelasan TIG Tungsten Innert Gas pada material alumunium alloy 6061

1.5. Metode Penelitian

Penulis menggunakan metode penelitian laboratorium yaitu mengamati dan mencatat hasil pengujian yang dilakukan. Adapun tahapan-tahapan penelitian


(1)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

ABSTRAK ... iii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR NOTASI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Tujuan penelitian ... 2

1.3 Manfaat Penelitian... 3

1.4 Perumusan Masalah... 3

1.5 Batasan Masalah ... 3

1.6 Metode Penelitian ... 3

1.7 Sistematika Penulisan ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Aluminium ... 6

2.1.1 Latar Belakang Aliminium ... 6

2.1.2 Sejarah Aluminium ... 6

2.1.3 Proses Pembuatan Aluminium ... 8

2.1.4 Jenis Aluminium Paduan ... 10

2.1.5 Sifat Mampu Las Aluminium ... 12

2.2Pengelasan ... 14

2.2.1 Ruang Lingkup dan Defenisi Pengelasan ... 14

2.2.2 Sejarah Pengelasan ... 16

2.2.3 Klasifikasi Pengelasan... 17

2.2.4 Jenis-Jenis Pengelasan ... 17

2.2.5 Metalurgi Pengelasan ... 23

2.3 Pengelasan TIG ... 26

2.3.1 Prinsip Kerja Pengelasan TIG ... 27

2.3.2 Keuntungan dan Kerugian Proses TIG... 28


(2)

vi

2.4 Struktur Mikro ... 32

2.4.1 Struktur Mikro Pada Daerah Las ... 33

2.4.2 Struktur mikro daerah HAZ (Heat affected Zone)…………. 34

2.5 Pengujian Hasil Pengelasan ... 35

2.5.1 Uji Impak ... 35

2.5.2 Pengujian Impact Metode Charpy... 36

2.5.3 Faktor Penyebab Patah Getas Pada Pengujian Impact ... 38

2.5.4 Jenis-jenis Patahan ... 39

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 41

3.1 Tempat dan Waktu penelitian ... 41

3.2 Prosedur Penelitian ... 43

3.3 Alat dan Bahan ... 42

3.3.1 Alat ... 42

3.3.2 Bahan ... 43

3.4 Metodologi Penelitian ... 45

3.5 Variabel-Variabel Pengujian ... 46

3.6 Spesimen ... 46

3.6.1 Pembentukan Spesimen ... 46

3.7 Proses Pengujian ... 47

3.7.1 Pengujian Impact ... 47

3.7.2 Pengamatan Strukur Mikro ... 48

3.8 Diagram Alir Penelitian ... 50

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ... 51

4.1Uji Impak Pada Daerah Las ... 51

4.2 Patahan Pada Spesimen Daerah Las ... 54

4.3 Uji Impact Pada Daerah HAZ ……….. 55

4.4 Patahan Pada Spesimen Daerah HAZ ... 58

4.5 Hasil Uji Melalografi ... 60

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 63

5.1 Kesimpulan ... 63

5.2 Saran... 64


(3)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 : Aluminium ... 6

Gambar 2.2 : Skema Proses Bayer ... 9

Gambar 2.3 : Proses Hall-Heroult ... 10

Gambar 2.4 : Terjadinya lubang halus pada pengelasan aluminum ... 13

Gambar 2.5 : Struktur Mikro Daerah Las Dari Aluminium yang Dapat Diperlaku-Panaskan ... 14

Gambar 2.6 : Skema Definisi Proses Pengelasan ... 15

Gambar 2.7 : Perkembangan Cara Pengelasan ... 17

Gambar 2.8 : SMAW (shielded metal arc welding) ... 18

Gambar 2.9 : SAW (Submerged Arc Welding) ... 19

Gambar 2.10 : Electro Slag Welding ... 19

Gambar 2.11 : Gas Metal Arc Welding ... 20

Gambar 2.12 : Gas Tungsten Arc Welding ... 21

Gambar 2.13 : Oxy Acetylene Welding ... 22

Gambar 2.14 : Termit Welding ... 23

Gambar 2.15 : Metalurgi pengelasan ... 25

Gambar 2.16 : Pengelasan TIG ... 27

Gambar 2.17 : Skema Pengelasan TIG ... 28

Gambar 2.18 : Aksi Pembersihan Lapisan Oksida ... 30

Gambar 2.19 : Diagram Rangkaian Listrik dari Mesin Las Listrik DC ... 31

Gambar 2.20 : Perbedaan Karakteristik Arus AC dan DC ... 31

Gambar 2.21 : Struktur Mikro pada Logam ... 33

Gambar 2.22 : Struktur Mikro Daerah Las ... 34

Gambar 2.23 : Struktur Mikro Pada Daerah HAZ (Heat affected Zone) ... 35

Gambar 2.24 : Diagram Uji Impak ... 36

Gambar 2.25 : Alat Pengujian Metode Charpy ... 37

Gambar 2.26 : Patahan Getas……… 41

Gambar 2.27 : Patahan Liat ... 41

Gambar 2.28 : Patahan Campuran ... 41

Gambar 3.1 : Mesin Las TIG ... 42


(4)

viii

Gambar 3.3 : Aluminium Alloy 6061 ... 44

Gambar 3.4 : Elektroda ER 5356 ... 45

Gambar 3.5 : Spesimen ... 47

Gambar 3.6 : Alat Pengujian Impak Metode Charpy ... 47

Gambar 3.7 : Alur Pengerjaan Skripsi ... 50

Gambar 4.1 : Grafik Energi Yang Diserap Pada Daerah Las Terhadap Kuat Arus ... 52

Gambar 4.2 : Grafik nilai Impak daerah Las Terhadap Kuat arus ... 53

Gambar 4.3 : Spesimen UJi impak Dengan Kuat Arus 90 Ampere ... 54

Gambar 4.4 : Spesimen UJi impak Dengan Kuat Arus 100 Ampere ... 54

Gambar 4.5 : Spesimen Uji Impak Dengan Kuat Arus 110 Ampere ... 55

Gambar 4.6 : Grafik Energi Yang Diserap Pada Daerah HAZ Terhadap Kuat Arus……….. 57

Gambar 4.7 : Nilai Impak Terhadap Kuat Arus Pada Daerah Las………. 57

Gambar 4.8 : Spesimen Uji Impak Dengan Kuat Arus 90 Ampere Daerah HAZ ………. 58

Gambar 4.9 : Spesimen Uji Impak Dengan Kuat Arus 100 Ampere Dearah HAZ ………. 59

Gambar 4.10 : Spesimen Uji Impak Dengan Kuat Arus 110 Ampere Daerah HAZ ………. 59

Gambar 4.11 : Struktur Mikro Spesimen Dengan Kuat Arus 90 Ampere Pada Bagian (a) daerah Las (b).daerah HAZ ... 60

Gambar 4.12 : Struktur Mikro Spesimen Dengan Kuat Arus 100 Ampere Bagian (a).daerah Las (b).daerah HAZ……… 61

Gambar 4.13 : Struktur Mikro Spesimen Dengan Kuat Arus 110 Ampere Pada Bagian (a) daerah Las (b) daerah HAZ ... 62


(5)

DAFTAR TABEL

Gambar 2.1 Penggunaan Mesin Las TIG untuk Beberapa Logam ... 31 Gambar 3.1 Komposisi Kimia Logam Yang Diendapkan (%) ... 44 Gambar 4.1 Data Hasil Uji Impak Aluminium Alloy 6601 Daerah Las ... 52 Gambar 4.2 Data Hasil Uji Impak Aluminium alloy 6061 Daerah HAZ


(6)

x DAFTAR NOTASI

Lambang Keterangan

E Energi yang dibutuhkan untuk mematahkan sampel J

Satuan

P Berat Palu x gravitasi N

D Jarak lengan pengayun mm2

Cos β Sudut akhir pemukulan (o)

Cos α Sudut awal pemukulan (o)

Ki Nilai impak J/mm2

Ai Luas penampang mm2