PARTISIPASI FORABI DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK TINGKAT KABUPATEN KOTA DI ERA OTONOMI DAERAH

(1)

commit to user

KEBIJAKAN PUBLIK TINGKAT KABUPATEN/KOTA DI ERA

OTONOMI DAERAH.

Disusun Oleh :

ANDI TYAS SURYA NUGRAHA

D 0305014

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan Sosiologi

JURUSAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET


(2)

commit to user

x

Bagiku tak ada yang lebih mahal daripada ucapan terima kasih di dunia ini. Dalam penelitian ini telah banyak pihak yang membantu terselesaikannya penulisan penelitian ini dari awal hingga akhir. Sekedar ucapan terima kasih penulis kepada :

· Keluarga dirumah yang selalu memberikan dorongan agar terselesaikannya penelitian ini. · Bapak H. Supriyadi SN, SU, yang telah menjadi pembimbing yang sangat baik dengan

arahan-arahannya.

· Bapak Y. Slamet, MSc dan Ibu LV. Ratna Devi, Msi, yang memberi telah menjadi penerang tentang penelitian dan penulisan laporan yang baik dan benar.

· Dosen – Dosen Sosiologi FISIP UNS (Bu Trisni, Bapak Drajat, Bapak Argyo, Bu Hilmi, Bu Lilik, Alm. Ibu Gerrada, Alm. Bapak Supriyadi, Ibu Suyatmi, Pak Ramdhon, Pak Mahendra dan banyak lainnya) yang telah banyak memberikan pelajaran bagi penulis selama menempuh perkuliahan selama ini.

· Kawan – kawanku seperjuangan sejak SMU, Irfan Fitriadi & Ahadian Tegar semoga kita terus berkawan sampai sudah tak ada lagi sisa oksigen di tubuh kita.

· Saudara – saudaraku Sosiologi Fisip UNS Angkatan 2005 ( Arief G, Herli K, Adrianus, Rizkie, Shoiem, Rohmad, Doni, Bram, Supri, Komeng, Sugeng, Isnaini, Angga, Ferdi, Galih, Aik, Fatwa, Fajar, Zunita, Miko, Betty, Lenny, Astri, Aming, Una, Marisa, Niken, Okta, Grina, dan banyak lagi ) yang selalu mendukung dan memotivasi setiap gerak saudara lain yang belum menyelesaikan studinya. Mari saudaraku buktikan pada Iwan Fals lagunya yang “Sarjana Muda” itu bukan untuk kita!!!.

· Teman-teman Sos 06 (Julian, Agus, Joko, Indah, Lida, Dila, Putri, Rafita, Ipho), kalian membuat saya merasa harus segera menyelesaikan penelitian ini dan terima kasih pinjaman bukunya.

· Sohib-Sohib Kontrakan ( Ujo, Kipli, Kuntho, Tholib, Othong, dan Ulin) terima kasih sudah diberi tempat ternyaman untuk singgah melepas penat. Juga terima kasih kepada Pircak dan Duana (SOS 04), yang telah banyak berbagi semoga cepat menjadi sarjana kawan.

· HIMASOS, dimana telah memberi banyak pelajaran bagi penulis sehingga serasa memiliki jiwa baru. Panggio, Dodik, Dian, Ganyong, Made, dan kawan-kawan lain (Tolong jaga Himasos ini baik-baik, buatlah lebih maju).

· Forabi beserta seluruh isinya (Mas Sinam, Pak Eko, Mas Suji, Pak Bawor, Mbak Sasanti, Alm. Pak Totok, dan kawan-kawan lain) terima kasih sudah diberi tempat untuk belajar lebih banyak tentang Boyolali, maaf kalau selama ini ngrepoti.

· Mbak Fitri dan Heni Catis yang sudah bersedia membantu penulisan laporan penelitian ini (transkrip wawancara dan bikin tabel).

· Mas Aryo, Tam-tam dan Mas Beni, yang sempat “direpoti” penulis dalam menyelesaikan penulisan ini.

· Serta pihak-pihak yang tidak bisa namanya disebutkan satu persatu, tetap penulis Ucapkan Terima kasih.


(3)

commit to user

iii

Skripsi Ini Diterima dan Disahkan oleh Panitia Ujian Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada Hari :

Tanggal :

Panitia Penguji

1. DrsY. Slamet M.Sc

NIP. 19480316 197612 1 001 (_____________________) Ketua

2. Dra. LV. Ratna Devi ,M.Si

NIP. 19600414 198601 2 002 (_____________________) Sekretaris

3. Drs. H. Supriyadi SN., SU

NIP. 19530128 198103 1 001 (_____________________) Penguji

Disahkan Oleh:

Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta

Dekan

Drs. Supriyadi, SN. SU NIP. 19530128 198103 1 001


(4)

commit to user

viii Assalamu’alaikum Wr Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan kenikmatan dan karuniaNya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “PARTISIPASI FORABI

(FORUM RAKYAT BOYOLALI) DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN

PUBLIK KABUPATEN BOYOLALI DI ERA OTONOMI DAERAH. Skripsi ini disusun

dan diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada Jurusan Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak yang membantu penulis

dalam menyelesaikan skripsi ini:

1. Drs. H. Supriyadi SN, SU selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta, sekaligus pembimbing yang penuh

kesabaran membimbing dan mengarahkan penulis untuk menyelesaikan skripsi

ini.

2. Dra. Hj. Trisni Utami, M.Si selaku Ketua Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Eko Bambang S selaku Koordinator Forum Rakyat Boyolali dan juga

kawan-kawan di Forabi.

4. Semua informan, baik itu anggota Forum; masyarakat ; dan Pemerintah

Kabupaten Boyolali (Mas Sinam, Mbak Deni, Bp. Sukandi, Bp. Drs. Seno

Samodro dan Bp.Suwardi).


(5)

commit to user

ix

memberikan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangannya. Untuk

itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi

kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan

menambah khasanah keilmuan bagi penulis sendiri dan bagi pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr Wb.

Surakarta, Oktober 2010


(6)

commit to user

iv

Jalan Hidup Merupakan Suatu Pilihan, Perlu Kekuatan Hati Memilih Langkah Mencari Suatu Yang Terbaik. Tak Akan Pernah Lelah Mengucap Syukurku Pada-Mu yaa Allah SWT, Yang Telah Memeberikan Nikmat Yang Begitu Banyak Ini. Serta Tak Akan Pernah Salah Jika Karya Kecil ini Dipersembahkan Pada :

Bp. Sugiarto dan Ibu. Sudarti (Orang Tuaku)

Untuk semua doa yang tak lelah terucap juga

arahan yang terbaik untuk jalan hidupku

serta keikhlasan dukungan Spirituil dan materiil yang sulit bisa terbalas

Deby dan Ibu. Surati (Adik dan Nenekku)

Akan kutunjukkan suatu hari nanti menempuh kuliah lama bukanlah penghambat kesuksesanku.

Kawan-Kawanku

Sekian lama bersama bukanlah kenangan semata tapi merupakan pelajaran berhaga

Boyolali

Kabupaten yang telah banyak memberi inspirasi,


(7)

commit to user

ii

Skripsi dengan judul :

PARTISIPASI FORABI (FORUM RAKYAT BOYOLALI) DALAM PROSES

PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK KABUPATEN BOYOLALI

DI ERA OTONOMI DAERAH.

Telah Disetujui Untuk Dipertahankan Di Hadapan Panitia Penguji Skripsi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Dosen Pembimbing

Drs. Supriyadi, SN. SU NIP. 19530128 198103 1 001


(8)

commit to user

vii

Ñ

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak

mempunyai

pengetahuan

tentangnya.

Sesungguhnya

pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta

pertanggungan jawabnya. (QS. AL-ISRAA’ : 36)

Ñ

Ajaklah hati nurani untuk berpikir agar bijak pilihan itu.

(Penulis)


(9)

commit to user

xi

Halaman Judul ... i

Halaman Persetujuan ... ii

Halaman Pengesahan ... iii

Halaman Persembahan ... iv

Abstract ... v

Abstrak ... vi

Motto ... vii

Kata Pengantar ... viii

Ucapan Terima Kasih ... x

Daftar Isi ... xi

Dartar Tabel dan Matriks ... .. xv

Daftar Bagan ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... A. LATAR BELAKANG ... 1

B. PERUMUSAN MASALAH ... 7


(10)

commit to user

xii

E. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

E.1. Batasan Konsep ... 9

E.2. Penelitian Terdahulu ... 23

E.3. Landasan Teori ... 26

F. KERANGKA BERPIKIR ... 30

G. METODE PENELITIAN ... 33

1. Jenis Penelitian ... 33

2. Lokasi penelitian ... 34

3. Sumber Data ... 34

4. Teknik Pengambilan Sampel ... 35

5. Teknik Pengumpulan Data ... 39

6. Validitas Data ... 42

7. Teknik Analisis Data ... 43

BAB II DESKRIPSI WILAYAH ... 46

A. Kondisi Wilayah Kabupaten Boyolali ... 46

1. Kondisi Geografis ... 46

2. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kabupaten Boyolali ... 49

B. Lembaga-Lembaga Yang Terkait Dengan Penelitian ... 53

1. FORABI (Forum Rakyat Boyolali) ... 54

2. DPRD Kab. Boyolali ... 62


(11)

commit to user

xiii

A. Proses Pengolahan Data ... 71

Profil Informan ... 72

B. Alur Pembuatan Kebijakan di Kabupaten Boyolali ... 74

C. Partisipasi Masyarakat Dalam Pengambilan Kebijakan - Tingkat Kabupaten Di Boyolali ... 78

C.1. Partisipasi Forabi Melalui Jalur Formal ... 80

C.2. Partisipasi Forabi Melalui Jalur Non-Formal ... 96

D. Partisipasi Forabi Dalam Pembangunan ... 104

E. Matrik Temuan ... 118

BAB IV PARTISIPASI FORABI DALAM PENGAMBILAN - KEBIJAKAN TINGKAT KABUPATEN BOYOLALI ... 120

A. Proses Pembuatan Kebijakan ... 114

B. Partisipasi FORABI Dalam Pengambilan Kebijakan Tingkat Kabupaten ... 122

C. Pengaruh FORABI Sebagai Civil Society Dalam Pembangunan- Pembangunan Kabupaten Boyolali di Era Otonomi... 130

D. Matrik Temuan ... 134

BAB V PENUTUP ... 138

A. Kesimpulan ... 138


(12)

commit to user

xiv

B.2 Implikasi Metodologis ... 145

B.3 Implikasi Empirik ... 146

C. Saran ... 148

Daftar Pustaka ... 149

Lampiran ... Lampiran I Interview Guide ... 153

Lampiran II Hasil Wawancara ... 156

Lampiran III Peta Kabupaten Boyolali ... 176

Lampiran IV Artikel Koran ... 177

Lampiran V Aturan Main FORABI ... 181

Lampiran VI Presentasi FORABI tentang DAD ... 185

Lampiran VII International Journal ... 201

Lampiran VIII Foto-Foto di Lapangan ... 228


(13)

commit to user


(14)

commit to user

vi

Andi Tyas Surya Nugraha, D0305014. 2010, FORABI (BOYOLALI PEOPLE'S FORUM) PARTICIPATION IN THE PROCESS OF MAKING BOYOLALI PUBLIC POLICY IN THE ERA OF REGIONAL AUTONOMY. THESIS: UNIVERSITY DEGREE PROGRAM SEBELAS MARET UNIVERSITY.

This study aimed to describe about public participation in policy-making level of the Regency / Municipality in Boyolali. The sample used was the People's Forum Boyolali. The research is qualitative research, as well as the main method of case studies, by taking the location in the city of Boyolali. The data in this study are primary and secondary data, primary data obtained directly from the results of in-depth interview to the informant, ie Forabi Working Committee, Member of the Forum, Boyolali Legislative, Executive Boyolali, and Society Boyolali ever come Forabi participation activities.

Sampling was done by purposive sampling in the field. Data collection techniques are not participating observation and interviews in depth. Analysis of data using an interactive model. The validity of the data was performed using data triangulation (source).

After the analysis found that there are two paths to be taken to express Forabi Participating in the district level, namely through the formal channels provided by the Government Boyolali and non-formal education path that is initiated Forabi own. For Weber that determines social action is the individual's relationship with the behavior of others with "a meaningful subjective", whereas in the theory of action developed by Parson, "action" implies an activity, creativity and process appreciation of the individual. Forabi social action in the form of participation for community voices to be heard Boyolali Government, so that in making a more pro-people policy. Initiative to pull through participation in "influencing" public policy is the result of netting Boyolali community votes, with the intention that an appropriate policy goal, especially in public. Forabi participation efforts into results, and there are also not accepted the Government. However, Forabi aspirations through the participation of a number are the subject of public development policy-making considerations.


(15)

commit to user

v

Andi Tyas Surya Nugraha, D0305014. 2010, PARTISIPASI FORABI (FORUM RAKYAT BOYOLALI) DALAM PROSES PENGAMBILAN KEBIJAKAN PUBLIK KABUPATEN BOYOLALI DI ERA OTONOMI DAERAH. Skripsi : Program Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan tentang partisipasi masyarakat dalam pengambilan Kebijakan tingkat Kabupaten/Kota di Boyolali. Sampel yang digunakan adalah Forum Rakyat Boyolali.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, serta metode utamanya studi kasus, dengan mengambil lokasi di Kabupaten Boyolali. Data pada penelitian ini merupakan data primer dan sekunder, data primer diperoleh langsung dari hasil wawancara mendalam kepada para informan, yaitu Badan Pekerja Forabi, Anggota Forum, Legislatif Kabupaten Boyolali, Eksekutif Kabupaten Boyolali, dan Masyarakat Boyolali yang pernah ikut kegiatan partisipasi Forabi. Pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling. Pengumpulan data dilakukka dengan teknik observasi tidak berpartisipasi dan wawancara secara mendalam. Analisa data menggunakan model interaktif. Validitas data dilakukan dengan teknik trianggulasi data (sumber).

Setelah dilakukan analisis ditemukan bahwa ada dua jalur yang ditempuh Forabi untuk mengekspresikan Partisipasinya di taraf Kabupaten, yaitu melalui jalur formal yang disediakan oleh Pemerintah Kabupaten Boyolali dan jalur non-formal yang diinisiasi Forabi sendiri. Bagi Weber yang menentukan tindakan sosial adalah hubungan individu dengan tingkah laku orang lain dengan “penuh arti subyektif”, sedangkan dalam teori aksi yang dikembangkan Parson, “action” menyatakan secara tidak langsung merupakan aktivitas, kreativitas dan proses penghayatan dari individu. Forabi melakukan tindakan sosial yang berupa partisipasi untuk menyuarakan aspirasi masyarakat agar didengarkan Pemerintah Boyolali, sehingga dalam pembuatan suatu kebijakan lebih pro pada rakyat. Inisiatif untuk melalukan partisipasi dalam “mempengaruhi” kebijakan publik merupakan hasil dari penjaringan suara masyarakat Boyolali, dengan maksud agar suatu kebijakan tepat sasaran terutama pada masyarakat. Upaya partisipasi Forabi ada yang menjadi hasil dan juga tidak di terima Pemerintah. Namun, aspirasi melalui partisipasi dari Forabi tidak sedikit yang menjadi bahan pertimbangan pembuatan kebijkan publik.


(16)

commit to user

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Demokrasi dan demokratisasi di Indonesia telah sejak lama dibicarakan

oleh banyak pihak terutama di kalangan akademisi, praktisi politik, mahasiswa,

praktisi, lembaga Swadaya Masyarakat, Instansi pemerintahan, bahkan

dikalangan masyarakat akar rumput. Istilah tersebut menguat ketika muncul

wacana reformasi era pasca jatuhnya Pemerintahan Orde Baru. Salah satu

perwujudan demokrasi dan demokratiassi adalah tentang keterlibatan masyarakat

dalam proses pengambilan keputusan kebijakan publik.

Tuntutan politik rakyat Indonesia yang sudah bulat membutuhkan

pencerahan pada masa itu. Mahasiswa dan rakyat bersatu menuntut hak mereka

untuk berdemokrasi, bukan sekedar demokrasi ‘buatan’ untuk melanggengkan

kepentingan politik tertentu. Demokrasi akan berjalan sesuai cita-cita dan

semangatnya apabila dilandasi kepekaan dan partisipasi masyarakat sebagai

pengontrol pemerintah.

Penciptaan ruang publik perlu didukung, warga masyarakat diharapkan

ikut menentukan keputusan-keputusan yang menyangkut kepentingan bersama


(17)

commit to user

2

tadinya dikuasai oleh negara. Indonesia merupakan negara yang pluralistik,

beraneka ragam budaya, etnis, agama, ras, Sumber Daya Alam dan Sumber Daya

Manusia yang berbeda-beda. Negara memiliki peran untuk menjaga ketertiban

dan nilai-nilai yang berada dalam kekuasaan negara tersebut.

Semangat otonomi daerah dan desentralisasi memang berhembus begitu

kuat di dalam masyarakat dan juga di lingkungan Pemerintahan, khususnya

kabupaten yeng menjadi basis dari pelaksanaan otonomi daerah. Otonomi daerah

merupakan sebuah pemikiran yang berasalkan dari konsep governance. Dimana dahulu proses Pemerintahan masih sentralistik, sekarang sudah diubah menuju

desentralistik dengan artian dahulu proses pemerintahan selalu dipegang dan dikontrol oleh Pemerintahan Pusat, namun sekarang Pusat telah dapat mengontrol

dan mengawasi daerah melalui pemerintah – pemerintah daerah yang berwenang.

Konsep governance sendiri berarti bentuk interaksi antara Negara dan masyarakat sipil (Leftwich,1994; Rhodes, 1997, dalam Ari Dwipayana, 2003). Persepektif

baru tentang pemerintah, yaitu perubahan peran pemerintah dalam masyarakat dan

kemampuannya mewujudkan kepentingan bersama di bawah batasan internal

maupun eksternal merupakan jantung governance. Intinya adalah melibatkan masyarakat dalam penyelenggaraan Negara.

Jika persepektif lama memandang Negara adalah segala – galanya, maka

persepektif governance mempunyai ortodoksi baru dalam mengelola Negara yang bersandar pada enam prinsip utama (Ari Dwipayana, 2003) :


(18)

commit to user

3

1. Negara tetap menjadi pemain kunci bukan dalam pengertian dominasi dan

hegemoni, tetapi Negara adalah aktor setara (primus inter pares) yang mempunyai kapasitas memadai untuk memobilisasi aktor –aktor masyarakat

dan pasar untuk mencapai tujuan besar.

2. Negara bukan lagi sentrum “ kekuasaan formal” tetapi sebagai sentrum

“kapasitas politik”. Kekuasaan Negara harus ditransformasikan dari

“kekuasaan atas” (power over) menuju “kekuasaan untuk” (power to).

3. Negara harus berbagi kekuasaan dan peran pada tiga level : “keatas” pada

organisasi internasional; “kesamping” pada NGO dan swasta; serta “kebawah”

pada daerah dan masyarakat lokal.

4. Negara harus melonggarkan kontrol politik dan kesatuan organisasinya agar

mendorong segmen – segmen di luar Negara mampu mengembangkan

pertukaran dan kemitraan secara kokoh, otonom dan dinamis.

5. Negara harus melibatkan unsur-unsur masyarakat dan swasta dalam agenda

pembuatan keputusan dan pemberian layanan publik.

6. Penyelenggaraan Negara harus mempunyai kemampuan responsif, adaptasi

dan akuntanbilitas publik.

Keenam prinsip itu sebenarnya identik dengan “ membawa Negara lebih dekat

dengan masyarakat” yang pernah di promosikan oleh Badan Dunia ( world development, 1997; dalam buku Ari Dwipayana, 2003).

Dalam konteks otonomi daerah, salah satu bentuk reformasi politik

dibidang pemerintahan adalah ditetapkannya kebijakan desentralisasi dan otonomi


(19)

commit to user

4

direvisi dengan UU No. 35/2004) dan UU No 25/1999 tentang pertimbangan

keuangan pusat dan daerah. Dewasa ini UU No. 35/2004 telah mengalami

penambahan tentang tugas perseorangan khususnya wakil kepala daerah dan

beberapa hal lain sebagainya yang diperbaharui dalam UU No 12/2008. Kebijakan

ini diharapkan dapat meningkatkan kehidupan demokrasi dan keadilan bagi rakyat

Indonesia, khususnya di daerah.

Prinsip semangat otonomi daerah sebenarnya menghendaki implementasi

asas demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan dengan

mempertimbangkan potensi keanekaragaman serta kearifan lokal. Hal ini

menuntut daerah dapat meningkatkan kemandirian dan kretivitasnya sendiri.

Untuk meningkatkan kualitas demokrasi dalam penyelenggaraan otonomi

daerah di wilayah kabupaten atau kota, setidaknya ada dua macam cara (Ichwan

Prasetyo, 24:2007). Pertama, membuka untuk ruang partisipasi publik

seluas-luasnya, khususnya pada ranah kebijakan daerah. Ruang untuk publik itu harus

ada manakala kebijakan itu diusulkan, dibahas, diserahkan, disahkan,

dilaksanakan, sampai kebijakan itu di evaluasi.

Kedua, mendorong terwujudnya akuntanbilitas publik. Setiap kebijakan

yang telah dibuat memiliki pertanggungjawaban terhadap publik. Artinya dampak

kebijakan yang diambil harus mampu memberikan rasa keadilan dan

kesejahteraan bagi masyarakat secara konkret. Untuk mewujudkan cita-cita

otonomi daerah tersebut diperlukan keterilabatan governance secara keseluruhan (Pemkab/Pemkot, DPRD, dan stakeholder masyarakat).


(20)

commit to user

5

Upaya penciptaan ruang publik tersebut salah satunya telah mendorong

terbentuknya Forum Warga, yaitu tempat untuk berembug, berkomunikasi,

mengambil keputusan, merumuskan dan menyelesaikan persoalan bersama secara

mandiri maupun untuk disampaikan kepada Pemerintah.

Hal ini berlaku juga untuk Kabupaten Boyolali dalam rangka men

sukseskan adanya otonomi daerah, dengan mewujudkan daerah yang demokratis

dengan masyarakat yang partisipatif. Secara administratif wilayah Boyolali terdiri

dari 19 Kecamatan yaitu: Kecamatan Boyolali, Musuk, Mojosongo, Teras, Ampel,

Selo, Cepogo, Banyudono, Sawit, Sambi, Ngemplak, Simo, Nogosari, Andong,

Klego, Wonosegoro, Karanggede, Kemusu, dan Juwangi. Sedangkan jumlah Desa

di semua wilayah tersebut sebanyak 267, jumlah dusun 890. Boyolali memiliki

Luas wilayah 1.015,101 km², dengan kepadatan penduduknya 927 jiwa/km².

Dalam mewujudkannya, diperlukan strategi-strategi untuk melaksanakan

hal itu. Namun untuk menghasilkan kebijakan yang berpihak pada rakyat, juga

diperlukan partisipasi masyarakat untuk ikut merancang besama-sama pemerintah.

Diperlukan partisipasi aktif dari masyarakat dan kepedulian lembaga-lembaga non

pemerintah sebagai media advokasi, pemberdaya, fasilitator dan “wacth dog”

pemerintah kabupaten dalam merancang maupun dalam pelaksanaan kebijakan.

Di Boyolali ada sebuah Forum non Pemerintah yang bisa digolongkan

sebagai NGOs yang diberi nama FORABI (FORUM RAKYAT BOYOLALI).

FORABI atau Forum Rakyat Boyolali adalah organisasi masyarakat sipil yang

elemenya plural. Lebih dari 20 elemen tergabung didalamnya, seperti NGO


(21)

commit to user

6

Guru Boyolali), P3TK (Paguyuban Petani Penggarap Tanah Karanggeneng),

MAPAN (Masyarakat Pengguna Mata Air Umbul Nyamplung), Paguyuban Sopir

Angkot, BAM (Boyolali Art Mission), KIPP (Komite Independent Pemantau

Pemilu), Mahasiswa Boyolali, Buruh (misal SPSI, SBSI, SPTSK, SBP), Pedagang

Pasar, Rohaniawan, Aktifis Pers, Asosiasi Pengrajin Genteng, FL-BPD, Parade

dan Asosiasi Perangkat Desa. Tiga komunitas terakhir membentuk organisasi sub

payung dibawah forabi dengan nama Forum Inovasi untuk Demokrasi (FIDE)

Ada tujuh kaukus yang tergabung dalam Forabi yakni kaukus pendidikan,

kaukus petani, kaukus buruh, kaukus seni budaya kaukus lingkungan hidup,

kaukus perempuan serta kaukus perangkat desa. Kaukus tersebut berdasarkan

pada tipical participant caucus maupun kepedulian partisipan terhadap issue kaukus. Jumlah anggota Forabi diperkirakan lebih dari 8000 orang.

Forum Rakyat Boyolali adalah sebuah media atau wahana tempat

berkumpulnya individu-individu dan kelompok masyarakat dalam rangka

mendefinisikan pendapat, merumuskan kesepakatan dan memperjuangkan aspirasi

bersama secara demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).

Melalui Forum Rakyat Boyolali, pemerintah daerah dan DPRD akan

diawasi/dimonitorkinerjanya oleh masyarakat, agar pemerintah daerah dan DPRD

benar-benar bekerja demi kepentingan rakyat. Melalui Forum Rakyat Boyolali

masyarakat memberikan gagasannya mengenai kepentingan masyarakat agar

pemerintah daerah dan DPRD berdaya melaksanakan amanah memperjuangkan

kepentingan dan prakarsa masyarakat berdasarkan aspirasi masyarakat. Melalui


(22)

commit to user

7

Swasta) akan diselenggarakan guna menggali, merumuskan, memformulasikan

kebijakan daerah yang lebih mementingkan pada hajat hidup orang banyak

sehingga tercipta keadilan dalam kebijakan dan anggaran di Boyolali.

Melalui lembaga independen seperti ini diharapkan masyarakat dapat

tanggap dan memiliki partisipasi aktif terhadap proses pembangunan dan

pengelolaan daerah. Dalam hal ini masyarakat sebagai warga daerah memiliki

media advokasi untuk mengakomodir aspirasi maupun keluhan kepada

pemerintah daerah dengan melalui FORABI ini. Hal ini berkaitan dengan, tulisan

yang akan diangkat oleh penulis sebagai karya skripsi dengan judul ; “Partisipasi FORABI (Forum Rakyat Boyolali) Dalam Proses Pengambilan Kebijakan Pemerintah Kabupaten Boyolali di Era Otonomi Daerah”

B. PERUMUSAN MASALAH

· Bagaimanakah partisipasi FORABI ( Forum Rakyat Boyolali) dalam

proses Pengambilan Kebijakan di tingkat Kota Boyolali?

C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan obyektif:

· Untuk mengetahui partisipasi FORABI ( Forum Rakyat Boyolali) dalam

proses Pengambilan Kebijakan di tingkat Kota Boyolali?

Tujuan subyektif:

· Secara Subyektif, penulisan penelitian ini merupakan awalan untuk


(23)

commit to user

8

publik Pemerintah Boyolali yang dilihat dari perspektif masyarakatnya

sendiri melalui Forum Rakyat Boyolali.

· Selanjutnya dari penelitian ini bisa menjadi input untuk lembaga yang

terkait, yang berguna untuk evaluasi demi kemajuan yang lebih baik.

· Melakukan kajian tentang FORABI (Forum Rakyat Boyolali) dalam

partisipasinya terhadap kebijakan publik yang dikeluarkan oleh

Pemerintah.

D. MANFAAT PENELITIAN

1. Manfaat Teoritis

· Bagi institusi pendidikan, hasil penelitian ini diharapkan dapat

memberikan tambahan keilmuan dalam bidang sosial.

· Penelitian ini dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan serta kepustakaan

untuk penelitian sejenis.

2. Manfaat praktis

· Diharapkan mampu menambah wawasan berfikir dalam memahami

kehidupan sosial politik di daerah masing-masing, dalam hal ini tentang

Partisipasi FORABI (Forum Rakyat Boyolali) dalam proses pengambilan

Kebijakan Publik Kabupaten Boyolali di Era Otonomi Daerah

· Untuk memberikan masukan atau input guna mempelajari dan

memecahkan masalah-masalah yang ada jika suatu saat akan mendapati


(24)

commit to user

9 E. TINJAUAN PUSTAKA

E.1 Batasan Konsep a. Partisipasi

Perkataan partisipasi berasal dari perkataan Inggris “to partyicipate” yang mengandung pengertian “to make part” yang dalam bahasa Indonesia berarti mengambil bagian. Sedang participation

berarti “the act participating”. Seseorang dikatakan berpartisipasi terhadap sesuatu usaha atau organisasi apabila secara sadar ia ikut

aktif mengambil bagian di dalam kegiatan-kegiatan dari usaha tersebut.

Menurut Sudharto P. Hadi (1995) partisipasi merupakan

proses dimana masyarakat turut serta mengambil bagian dalam

pengambilan keputusan. Keikutsertaan publik membawa pengaruh

positif, mereka akan bisa memahami atau mengerti berbagai

permasalahan yang muncul serta memahami keputusan akhir yang

akan diambil. Pada hakikatnya pelibatan masyarakat merupakan

bagian dari proses perencanaan yang dimaksudkan untuk

mengakomodasi kebutuhan, aspirasi, dan concern mereka. Tujuannya adalah untuk mengeliminir kemungkinan terjadi dampak negatif.

Partisipasi masyarakat bukan hanya sebagai cara untuk meredam dan

menghindari berbagai protes dikemudian hari, namun juga sebagai

perencana untuk memperoleh input dari masyarakat tentang segala


(25)

commit to user

10

Keikutsertaan itu meliputi keterlibatan warga dalam segala

tahapan kebijakan, mulai dari pembuatan keputusan hingga penilaian

keputusan, dan termasuk juga ikut serta dalam pelaksanaan keputusan.

Konsep partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam arus

pemikiran deliberative democracy atau demokrasi musyawarah.

Namun disaat ini penggunaan kata partisipasi (politik), sering

mengacu pada dukungan warga untuk pelaksanaan kebijakan yang

sudah ditentukan oleh pemerintah. Disini tidak terlihat partisipasi

masyarakat sebagai aktor utama dalam pembuatan keputusan. Konsep

semacam ini di era pasca runtuhnya orde baru sangat tidak relevan

dengan konsep reformasi yang menjunjung demokrasi. Menurut

Miriam Budiarjo (1998:1) partisipasi politik adalah kegiatan seseorang

atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan

politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara

langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah

(public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi

anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan

hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen dan sebagainya.

Menurut Herbert McClosky (dalam Miriam Budiarjo, 1998:2),


(26)

commit to user

11

“The term “political participation” will refer to those voluntary activities by which members of a society share in the selection of rules and, directly or indirectly, in the formation of public policy”.

“Kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara langsung dan tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum.”

Bagi negara yang menegakkan demokrasi dalam menjalankan tata

pemerintahan, unsur penting yang tidak bisa dilepaskan adalah tentang

partisipasi. Pemerintahan yang baik adalah, jika aktifitas partisipasi

dari masyarakatnya meningkat di segala sektor kehidupan. Gaventa

dan Valderama dalam buku Ichwan Prasetyo (2007), merupakan tokoh

lain yang juga memberi definisi terhadap partisipasi, setidaknya ada

tiga macam partisipasi dalam pembangunan masyarakat demokratis

yaitu; partisipasi politik, partisipasi sosial,dan partisipasi warga.

Pertama, Partisipasi politik yang merepresentasikan demokrasi keterwakilan. Partisipasi politik, lebih dikaitkan dengan proses-proses politik formal, yaitu pertisipasi rakyat dalam Pemilihan Umum baik

tingkat daerah maupun nasional dan juga pada kegiatan

lembaga-lembaga negara. Partisipasi politik berorientasi pada “mempengaruhi”

dan “mendudukkan wakil rakyat” dalam Pemerintahan daripada

“partisipasi aktif” dan “langsung” dalam proses Pemerintahan itu

sendiri.

Kedua, partisipasi sosial sebagai keterlibatan Beneficiary dalam proyek pembangunan. Oleh Stiefel dan Wolfe dalam buku Ichwan Prasetyo (2007) mendefinisikan sebagai “…..upaya terorganisir untuk


(27)

commit to user

12

meningkatkan pengawasan terhadap sumber daya dan lembaga

pengatur dalam keadaan sosial tertentu oleh pelbagai kelompok dan

gerakan yang sampai sekarang dikesampingkan. Kelompok partisipasi

ini berada di luar lembaga formal atau pemerintah...”. Partisipasi sosial

ditempatkan sebagai keterlibatan masyarakat terutama yang dipandang

sebagai ‘benefeciary’ pembangunan dalam konsultasi atau

pengambilan keputusan dalam semua tahapan siklus proyek

pembangunan dari penilaian kebutuhan, perencanaan, pelaksanaan,

sampai pemantauan dan evaluasi program.

Ketiga, partisipasi warga sebagai pengambil keputusan langsung dalam kebijakan publik. Berbeda dengan kedua jenis partisipasi sebelumnya, oleh Gaventa dan Valderama ‘partisipasi warga’

mendapat perhatian lebih, dimana lebih menekankan pada ‘partisipasi

warga’ dalam pengambilan keputusan atau kebijakan pada lembaga

dan proses pemerintahan. Partisipasi aktif warga berubah, dari hanya

menjadi ‘penerima kebijakan’ menuju sebuah kepedulian warga itu

sendiri dengan keikutsertaannya dalam pengambilan keputusan atau

kebijakan di berbagai bidang kehidupan mereka.

Perlunya masyarakat terlibat langsung dalam kebijakan publik

ditunjukan selain sebagai warga masyarakat atau rakyat yang memiliki

hak sebagai masyarakat sosial dan politik untuk menjaga ruang

publiknya, mengagregasikan persoalan dan kepentingan di ruang publik, merancang agenda publik, dan terus menerus mengawasi agar


(28)

commit to user

13

kinerja wakil rakyat dan pemerintah supaya bekerja sesuai dengan

mandatnya. Apalagi jika berkaitan dengan kebijakan yang berimplikasi

terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat harus melibatkan

anggota masyarakat dan formulasi dan pengambilan keputusan. Oleh

Anthony Giddens (1999), dipandang sebagai satu perwujudan

demokrasi deliberatif atau sebagai langkah mendemokrasikan

demokrasi (Democratizing democracy).

Dalam penelitian ini konsep Gaventa dan Valderama tentang

partisipasi dapat digunakan sebagai indikator partisipasi Forabi.

Berikut ini indikator untuk melihat partisipasi Forabi,

1. Partisipasi politik yang merepresentasikan demokrasi keterwakilan.

2. Partisipasi sosial sebagai keterlibatan Beneficiary dalam proyek pembangunan.

3. Partisipasi warga sebagai pengambil keputusan langsung dalam

kebijakan publik.

b. Kebijakan Publik

Kebijakan dalam bahasa Inggris disebut dengan public policy. Wikipedia (dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_publik) mengartikan kebijakan publik merupakan keputusan-keputusan yang

mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersiafat garis


(29)

commit to user

14

Harold Laswell dan Abraham Kaplan (dalam buku HAR. Tilaar &

Riant Nugroho, 2008: 183) mendefinisikan sebagai suatu program

yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan tertentu, praktik-praktik

tertentu (a projected program of goals, values, and practices).

“Kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh Negara, Khususnya Pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan dari negara yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengawal masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju kepada masyarakat yang dicita-citakan”(HAR. Tilaar & Riant Nugroho, 2008: 182)

Kebijakan Publik (Inggris:Public Policy) adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau

bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai

keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah

dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari

publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan

untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan

publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan

oleh birokrasi pemerintah serta mencapai amanat konstitusi.

Kebijakan publik menunjuk pada serangkaian peralatan

pelaksanaan yang lebih luas dari peraturan perundang-undangan,

mencakup juga aspek anggaran dan struktur pelaksana. Siklus

kebijakan publik sendiri bisa dikaitkan dengan pembuatan kebijakan,

pelaksanaan kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Bagaimana

keterlibatan publik dalam setiap tahapan kebijakan bisa menjadi


(30)

commit to user

15

berdaulat atasnya. Dapatkah publik mengetahui apa yang menjadi

agenda kebijakan, yakni serangkaian persoalan yang ingin diselesaikan

dan prioritasnya, dapatkah publik memberi masukan yang berpengaruh

terhadap isi kebijakan publik yang akan dilahirkan. Begitu juga pada

tahap pelaksanaan, dapatkah publik mengawasi penyimpangan

pelaksanaan, juga apakah tersedia mekanisme kontrol publik, yakni

proses yang memungkinkan keberatan publik atas suatu kebijakan

dibicarakan dan berpengaruh secara signifikan.

Kebijakan publik menunjuk pada keinginan penguasa atau

pemerintah yang idealnya dalam masyarakat demokratis merupakan

cerminan pendapat umum (opini publik). Untuk mewujudkan

keinginan tersebut dan menjadikan kebijakan tersebut efektif, maka

diperlukan sejumlah hal: pertama, adanya perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan sehingga dapat diketahui publik apa

yang telah diputuskan; kedua, kebijakan ini juga harus jelas struktur pelaksana dan pembiayaannya; ketiga, diperlukan adanya kontrol publik, yakni mekanisme yang memungkinkan publik mengetahui

apakah kebijakan ini dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan

atau tidak.

Dalam masyarakat otoriter kebijakan publik adalah keinginan

penguasa semata, sehingga penjabaran di atas tidak berjalan. Tetapi

dalam masyarakat demokratis, yang kerap menjadi persoalan adalah


(31)

commit to user

16

yang mendapat dukungan publik. Kemampuan para pemimpin politik

untuk berkomunikasi dengan masyarakat untuk menampung keinginan

mereka adalah satu hal, tetapi sama pentingnya adalah kemampuan

para pemimpin untuk menjelaskan pada masyarakat kenapa suatu

keinginan tidak bisa dipenuhi. Adalah naif untuk mengharapkan bahwa

ada pemerintahan yang bisa memuaskan seluruh masyarakat setiap

saat, tetapi adalah otoriter suatu pemerintahan yang tidak

memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspirasi dan berusaha

mengkomunikasikan kebijakan yang berjalan maupun yang akan

dijalankannya. dalam pendekatan yang lain kebijakan publik dapat

dipahami dengan cara memilah dua konsepsi besarnya yakni kebijakan

dan publik. terminologi kebijakan dapat diartikan sebagai pilihan

tindakan diantara sejumlah alternatif yang tersedia. artinya kebijakan

merupakan hasil menimbang untuk selanjutnya memilih yang terbaik

dari pilihan-pilihan yang ada. dalam konteks makro hal ini kemudian

diangkat dalam porsi pengambilan keputusan.

Dalam pelaksanaannya, kebijakan publik ini harus diturunkan

dalam serangkaian petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang

berlaku internal dalam birokrasi. Sedangkan dari sisi masyarakat, yang

penting adalah adanya suatu standar pelayanan publik, yang

menjabarkan pada masyarakat apa pelayanan yang menjadi haknya,

siapa yang bisa mendapatkannya, apa persyaratannnya, juga


(32)

commit to user

17

(negara) sebagai pemberi layanan dan masyarakat sebagai penerima

layanan. Fokus politik pada kebijakan publik mendekatkan kajian

politik pada administrasi negara, karena satuan analisisnya adalah

proses pengambilan keputusan sampai dengan evaluasi dan

pengawasan termasuk pelaksanaannya. Dengan mengambil fokus ini

tidak menutup kemungkinan untuk menjadikan kekuatan politik atau

budaya politik sebagai variabel bebas dalam upaya menjelaskan

kebijakan publik tertentu sebagai variabel terikat.

c. Civil Society

Konsep tentang Civil Society di Indonesia telah marak terdengar dari awal tahun 90-an. Di negara Barat konsep Civil Society

sebenarnya berakar, namun setelah sekian lama telah terlupakan dalam

wacana perdebatan ilmu sosial dan kemudian mengalami revitalisasi

terutama setelah reformasi di Eropa Timur di pertengahan tahun 80-an

hingga 90-an.

Istilah Civil Society sendiri di Indonesia banyak memiliki perpadanan arti. Civil Society di Indonesia diartikan antara lain menjadi masyarakat sipil, masyarakat warga, masyarakat madani, masyarakat beradab, masyarakat berbudaya, atau masyarakat kewarganegaraan.

Banyak tokoh yang mepersepsikan arti dari istilah Civil Society

sama maupun saling berbeda bahkan bertentangan. Tokoh klasik


(33)

commit to user

18

dari political society (dalam artian bisa dimaknai sebagai negara atau

state) disamakan dengan civil society itu sendiri. Sedangkan pemikir lainnya seperti Hegel, Marx, Gellner, Cohe, dan Arato,

mempersepsikan kedua hal tersebut tidak sama dan bertentangan satu

sama lain. Hal ini dilihat dari representasi dari entitas yang berdiri

sendiri atau dua domain sosial politik yang berbeda. (Adi Suryadi

Culla: 1999)

Terjadi banyak kontroversi tentang pemaknaan dari civil society

dari para pemikir. Tokoh Indonesia yang memaknai civil society

sebagai masyarakat madani adalah Nurcholis Ma’jid. Nurcholis dalam

buku Andi Malarangeng merujuk pada kata Madani yang berasal dari

kata “Madinah”, sebuah kota di Arab dan pada jaman Nabi Muhammad SAW menjadi kota dengan peradaban yang tinggi dengan

menjunjung keberadaban warga di kota tersebut. “Madinah” sendiri berasal dari kata “Madaniyah” yaitu peradaban. Sehingga Nurcholis Ma’jid memaknainya sebagai masyarakat madani dan berasosiasi

menjadi “masyarakat beradab”.(Andi Malarangeng.Dkk, 2001)

Masyarakat madani mungkin sementara ini bisa saja menjadi

padanan sitilah bagi civil society. Masyarakat madani menggambarkan pola hidup dan tingkah laku masyarakat yang beradab, partisipatif, dan

demokratis. Di Barat ada beberapa tokoh yang mengkonsepkan tentang

masyarakat madani. Konsep ini pertama kali dimunculkan dan


(34)

(1723-commit to user

19

1816), dalam karya klasiknya An Essay History Of Civil Society

(1767), hingga perkembangan konsep masyarakat madani lebih lanjut

olehkalangan pemikir modern seperti Locke, Rousseau,, Hegel,

Marx,dan Tocqueville.

Tokoh lain yang memberikan penjelasan tentang konsep civil society (masyarakat madani) adalah Gellner. Gellner (dalam Adi Suryadi Cula, 1999) mengemukakan , bahwa kondisi sosial yang

didefinisikan sebagai masyarakat madani, sesungguhnya bermuatan

politis. Definisi paling sederhana dari konsep ini, menurut Gellner,

merujuk pada masyarakat yang terdiri atas berbagai institusi non

pemerintah yang otonom dan cukup kuat untuk dapat mengimbangi

negara. Mengimbangi, artinya bahwa kelompok ini memiliki

kemampuan untuk menghalangi dan membendung negara dalam

mendominasi kehidupan masyarakat. Meskipun demikian, tidak berarti

bahwa konsep ini mengingkari kegiatan negara dalam menjalankan

peranan sebagai penjaga perdamaian, dan peran negara sebagai

pengadil dalam berbagai konflik kepentingan besar yang dapat

menghancurkan tatanan sosial dan politik keseluruhan.

Dalam pengertian luas menurut Gellner, masyarakat madani

disamping merupakan sekelompok institusi atau lembaga dan asosiasi

yang cukup kuat mencegah tirani politik baik oleh negara maupun

komunal atau komunitas, juga cirinya yang menonjol adalah kebebasan


(35)

commit to user

20

penolakan dari segala domisasi atas dirinya, dan juga sebagai institusi

yang bersifat non-state. Pemikiran Gellner merupakan gaya dan produk Barat, hal ini ditunjukkan dengan individu yang sebagai aktor

sosial yang bebas (masyarakat moduler) dan menurutnya inilah

prasayarat membentuk masyarakat madani.

d. Forum

Penulis mencoba mendefinisikan tentang pengertian forum itu,

Forum adalah ruang intelektual yang terdiri dari seorang atau lebih,

satu lembaga atau lebih, yang dimaksudkan untuk menampung suatu

keseragaman visi dan misi para anggota forum. Di dalam Forum tidak

ada suatu ikatan yuridis yang membuat seseorang atau kelompok

menjadi terbebani dengan suatu tanggung jawab. Forum sifatnya

adalah terbuka, intinya selama seseorang atau kelompok memiliki visi

atau pandangan yang sama dengan forum yang ada bisa saja masuk

menjadi anggota forum.

Pengertian lain forum adalah suatu lembaga, badan, atau wadah

yang merupakan tempat untuk membicarakan keputusan bersama

(Kamus Besar Bahasa Indonesia, 243 : 1989). Sumber lain

menyebutkan forum adalah ruang untuk melaksanakan atau membahas

suatu serta bertukar pikiran secara bebas (JS. Badudu, 231 :1994).

Dalam Garis Besar Haluan Forum FORABI sendiri, telah

didefinisikan Forum Rakyat Boyolali adalah sebuah media atau


(36)

commit to user

21

masyarakat dalam rangka mendefinisikan pendapat, merumuskan

kesepakatan dan memperjuangkan aspirasi bersama secara demokratis

dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM). Melalui Forum

Rakyat Boyolali pemerintah daerah dan DPRD akan diawasi/dimonitor

kinerjanya oleh masyarakat, agar pemerintah daerah dan DPRD

benar-benar bekerja demi kepentingan rakyat.

Melalui Forum Rakyat Boyolali masyarakat memberikan

gagasannya mengenai kepentingan masyarakat agar pemerintah daerah

dan DPRD berdaya melaksanakan amanah memperjuangkan

kepentingan dan prakarsa masyarakat berdasarkan aspirasi masyarakat.

e. Otonomi Daerah

Otonomi daerah dalam Pasal 1 ayat 5 Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 (telah direvisi dalam UU No 12

Tahun 2008) tentang Pemerintahan Daerah adalah kewenangan daerah

otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau

"dengan pemerintahan sendiri", Sedangkan "daerah" adalah suatu

"wilayah" atau "lingkungan pemerintah" (KBBI Daring). Dengan

demikian pengertian secara istilah "otonomi daerah" adalah

"wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan


(37)

commit to user

22

Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada

suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan

wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan

pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial,

budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah

lingkungannya.

Pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh faktor-faktor yang

meliputi kemampuan si pelaksana, kemampuan dalam keuangan,

ketersediaan alat dan bahan, dan kemampuan dalam berorganisasi.

Otonomi daerah tidak mencakup bidang-bidang tertentu, seperti

politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal,

dan agama. Bidang-bidang tersebut tetap menjadi urusan pemerintah

pusat .Pelaksanaan otonomi daerah berdasar pada prinsip demokrasi,

keadilan, pemerataan, dan keanekaragaman.

Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang telah direvisi

dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2004 merupakan landasan

yuridis untuk pengembangan Otonomi daerah, desentralisasi

merupakan titik tekan yang diamanatkan dalam Undang-Undang

tersebut. Ada dua misi utama di dalamnya, pertama Desentralisasi Pemerintahan lebih menekankan pada terciptanya kehidupan

masyarakat yang demokratis di tingkat lokal, kedua Desentralisasi Fiskal tujuan utama adalah untuk menciptakan pemerataan pembangunan di seluruh daerah dengan mengoptimalkan kemampuan,


(38)

commit to user

23

prakarsa, kreasi, dan partisipasi masyarakat, serta kemampuan untuk

mengurangi dominasi pemerintah dalam pembangunan serta

pemerintahan.

E.2. Penelitian Terdahulu

Renee A Irvin dan John Stansbury dalam Journal of Public Administration Review; pada Jan/Feb tahun 2004 terbitan ABI/INFORM Global halaman 55 memberikan pandangan terkait

partisipasi publik melalui tulisannya yang bertajuk “Citizen Participation in Decision Making: Is It Wort the Effort?”. Dalam tulisannya tentang pengelolaan Sumber Daya Alam yaitu air dengan

melibatkan masyarakat dalam pembuatan setiap keputusan dari

Pemerintah dan dalam manajemennya pula. Berikut adalah kutipan

dari tulisan Irvin dan Stanbury,

“Is widely argued that increased community participation in goverment decision making produces many important benefits. Dissent is rare: it is difficult to envision anything but positive outcome from citizens joining the policy process, collaborating with others and reaching consensus to bring about positive social and enviromental change. This article, motivated by contextual problems encountred in a participatory watershed management initiative, reviews the citizen participation literature and analizes key considerations in determining wheter community participation is an effective policy-making tool. We list conditions under which community participation may be costly and ineffective and when it can thrive and produce the greatest gains in effective citizen governance. From the detritus of an un usuccesful citizen-participation effort, we arrive at a more informed approach to guide policy makers in choosing a decision-making process that is appropriate for a community's particular needs.”.


(39)

commit to user

24

“Secara umum dibantah bahwa meningkatkan keikut sertaan komunitas dalam pembuatan keputusan Pemerintah menghasilkan banyak manfaat penting. Jarang ada perdebatan : ini sulit untuk memimpikan apapun, kecuali hasil psitif dari warga menggabungkan proses kebijakan, bekerjasamalah dengan lain-lain

dan menjangkau konsensus untuk menyempurnakan

kemasyarakatan positif dan perubahan lingkungan. Artikel ini, dimotivasi oleh masalah yang dihadapi berdasarkan konteks inisiatif partisipasi dalam manajemen air, telaah daftar pustaka keikut sertaan warga dan analisis merupakan kunci bahan pertimbangan pada keikut sertaan komunitas sebagai satu alat pembuat kebijakan yang efektif. Telah didafrtar kondisi keikutsertaan komunitas mungkin mahal dan tidak efektif apabila menghasilkan keuntungan bag pemerintahan sipil. Dari ketidak suksesan upaya keikut sertaan warga, kita mencari informasi lebih pada pendekatan untuk memandu pembuat kebijaksanaan di dalam memilih satu proses pembuatan keputusan yang sesuai dengan kebutuhan komunitas.”

Sedangkan dalam penelitian lain, oleh Imran Buccus dan

kawan-kawan yang meneliti tentang partisipasi publik dan kaitannya

dengan Pemerintah Lokal di Afrika Selatan. Penelitian itu, disponsori

oleh The Centre for Public Participation (CPP). Afrika Selatan

merupakan satu negara berkembang yang memiliki kondisi hampir

sama dengan Indonesia. Setelah lepas dari problematika aphaerteid. Afrika selatan mencoba untuk mengembangkan sistem demokrasi

hingga desentralisasi. Afrika Selatan sedang memberi perhatian lebih

pada partisipasi publik dalam rangka mensukseskan demokrasinya

apalagi di tingkat Pemerintahan daerah. Afrika telah membuat suatu

landasan keikutsertaan publik dalam pemerintahan daerah dengan

melahirkan perundang-undangan seperti, Municipal Systems Act of 2000, Draft National Framework for Public Participation of 2005, dan Draft KZN Community Participation Framework of 2007. Melalui


(40)

commit to user

25

bingkai ini masyarakat lebih mudah mengarahkan aspirasinya kepada

Pemerintah, daripada hanya sekedar suatu program pemberdayaan.

Berikut adalah kutipan dari hasil penelitian Imran Bucuss, dkk:

“Public participation is receiving increasing attention in South Africa, especially at local government level. Notably, public participation is on the agenda globally and in Africa, as well as in South Africa. This is because public participation can help to (i) enhance development and service delivery, (ii) make governance more effective, and (iii) deepen democracy. In South Africa, the basis for public participation in local government is outlined in key legislation like the Municipal Systems Act of 2000, and key policies like the Draft National Framework for Public Participation of 2005 and Draft KZN Community Participation Framework of 2007. These frame public participation mostly as consultation rather than formal empowerment. Further, there is a significant policy development lag, with no final national or provincial policy some seven years after the enabling legislation. We investigated the implementation of public policy in this context, exploring both views ‘from above’ of officials and councillors, and ‘from below’ of members of civil society and the community. Respondents were drawn from the district municipalities of eThekwini, Ilembe, Mgungundlovu and Sisonke, and also some of the local municipalities within them. Our main finding was that while all parties seem committed to the idea of public participation, they lack the necessary resources to make it work. Hence, the impact of public participation on local governance ‘ends at the imbizo.”

“Partisipasi masyarakat adalah menerima perhatian yang meningkat di Afrika Selatan, khususnya di tingkat pemerintah daerah. Terutama, partisipasi publik dalam agenda global dan di Afrika, serta di Afrika Selatan. Hal ini karena partisipasi masyarakat dapat membantu untuk (i) meningkatkan pengiriman pembangunan dan pelayanan, (ii) membuat pemerintahan lebih efektif, dan (iii) memperdalam demokrasi. Di Afrika Selatan, dasar bagi partisipasi masyarakat dalam pemerintahan daerah diuraikan dalam undang-undang utama seperti Undang-Undang Sistem Kota Tahun 2000, dan kebijakan penting seperti Draft Kerangka Nasional untuk Partisipasi Publik tahun 2005 dan Draft Kerangka KZN Partisipasi Masyarakat tahun 2007. Ini partisipasi masyarakat kebanyakan sebagai bingkai konsultasi daripada pemberdayaan formal. Selanjutnya, ada lag kebijakan pengembangan yang signifikan, tanpa kebijakan nasional atau provinsi akhir sekitar


(41)

commit to user

26

tujuh tahun setelah undang-undang memungkinkan. Kami meneliti implementasi kebijakan publik dalam konteks ini, menjelajahi kedua pandangan 'dari atas' pejabat dan anggota dewan, dan 'dari bawah' dari anggota masyarakat sipil dan masyarakat. Responden ditarik dari kota Kabupaten eThekwini, Ilembe, Mgungundlovu dan Sisonke, dan juga beberapa dari kota setempat dalam diri mereka. Temuan utama kami adalah bahwa ketika semua pihak tampaknya berkomitmen untuk gagasan partisipasi masyarakat, mereka kekurangan sumber daya yang diperlukan untuk membuatnya bekerja. Oleh karena itu, dampak dari partisipasi masyarakat dalam pemerintahan lokal (end at the imbizo). "

E.3 Landasan Teori

Sosiologi sebagai salah satu ilmu sosial telah mencoba

memahami fenomena sosial yang terjadi di dalam masyarakat itu

sendiri. Pemahaman yang dilakukan mencakup pemahaman terhadap

perilaku baik secara individu ataupun secara kolektifitas. Fenomena

yang muncul menjadi begitu menarik ketika memerlukan penjelasan

dari ilmu ini. Politik sebagai salah satu disiplin ilmu memang tidak

bisa terlepas dari keberadaan ilmu lainnya yang berkembang.

Keberadaan cabang-cabang ilmu tersebut saling mendukung dan

saling bersinggungan. Singgungan antara politik dengan sosiologi

kemudian melahirkan apa yang dikenal dengan sosiologi politik yang

berusaha melakukan penelaahan terhadap masalah-masalah politik dan

masyarakat, antara struktur sosial dan struktur politik, antara tingkah

laku sosial dengan tingkah laku politik, (Rush dan Althroff, 1993:5).

Bidang subjek sosiologi politik dalam kerangka konseptual


(42)

commit to user

27

politik dan masyarakat, berfungsi sebagai jembatan teoritis maupun

metodologis antara sosiologi dan ilmu pengetahuan politik.

Hubungan-hubungan kausal yang terjadi dalam masyarakat,

dalam paradigma sosiologi masuk dalam kajian Weber. Weber

sebagai pengemuka dari paradigma Definisi Sosial mengartikan obyek

sosiologi adalah studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial.

Kedua hal itulah yang menjadi persoalan dalam sosiologi. Inti tesisnya

adalah “tindakan yang penuh arti” dari individu. (Ritzer, 2002: 38).

Dalam definisi ini terkandung dua konsep dasarnya, yaitu konsep

tindakan sosial serta konsep tentang penafsiran dan pemahaman.

Salah satu tujuan utamanya adalah untuk menganlisa hubungan yang

penting diantara pola-pola instrumental yang besar didalam

masyarakat. (Jhonson, 1986:207).

Jadi yang termasuk kategori tindakan sosial oleh Weber

bukanlah tindakan terhadap obyek-obyek bukan manusia, seperti

bertukang kayu; atau tindakan batiniah, seperti meditasi. Juga tidak

setiap bentuk kontak dengan orang lain merupakan tindakan sosial.

Tubrukan dua pengendara motor misalnya tidak dimasukkan sebagai

tindakan sosial, demikian pula tindakan yang dilakukan manusia

secara bersama-sama seperti membuka payung. Kelakuan dalam

massa dimana individu-individu dipengaruhi lainnya secara pasif,


(43)

commit to user

28

menentukan adalah hubungan individu dengan tingkah laku orang lain

dengan “penuh arti subyektif” .(Lacyndecker, 1983:316)

Talcot Parson merupakan pengikut Weber yang utama.

Teori Aksi yang dikembangnkannya mendapat sambutan yang luas.

Parson seperti pengikut Teori Aksi yang lainnya menginginkan

pemisahan antara Teori Aksi dengan dengan aliran behaviouralisme.

Dipilihnya istilah “action” bukan “behaviour” karena menurutnya mempuyai konotasi yang berbeda. “Behaviour” secara tidak langsung menyatakan kesesuaian secara mekanik antara perilaku (respon)

dengan rangsangan dari luar (stimulus). Sedangkan istilah “action”

menyatakan secara tidak langsung merupakan aktivitas, kreativitas

dan proses penghayatan dari individu. Parson dengan hati-hati sekali

membedakan antara Teori aksi/tindakan dengan Teori Behaviour atau perilaku. Menurutnya suatu teori yang menghilangkan sifat-sifat

kemanusiaan dan mengabaikan aspek subjektif tindakan manusia tidak

termasuk dalam Teori Aksi.

Parson meyusun skema unit-unit dasar tindakan sosial

dengan karakteristik sebagai berikut.

1. Adanya individu sebagai aktor.

2. Aktor dipandang sebagai pemburu tujuan-tujuan tertentu.

3. Aktor mempunyai alternatif cara, alat serta teknik untuk mencapai


(44)

commit to user

29

4. Aktor berhadapan dengan sejumlah kondisi situasional yang dapat

membatasi tindakannya dalam mencapai tujuan. Kendala tersebut

berupa situasi dan kondisi, sebagian ada yang tidak dapat

dikendalika oleh individu.

5. Aktor berada di bawah kendala dari nilai-nilai, norma-norma dan

berbagai nilai abstrak yang mempengaruhinya dalam memilih dan

menentukan tujuan serta tindakan alternatif untuk mencapai tujuan.

Aktor mengejar tujuan dalam situasi dimana norma-norma

mengarahkannya dalam memilih alternatif cara dan alat untuk

mencapai tujuan. Norma-norma itu tidak menetapkan pilihannya

terhadap cara atau alat, tetapi ditentukan oleh kemampuan aktor untuk

memilih . (George Ritzer. 1985: 56-57).

Dalam hal ini FORABI memposisikan diri sebagai aktor,

walaupun berbentuk forum. Namun FORABI terdiri dari berbagai

unsur masyarakat di Boyolali. Mereka membentuk Forum ini karena

mereka merasa ada hak dan aspirasi yang perlu disampaikan dan di

tindaklanjuti oleh Pemerintahan dan para legislator pembuat

kebijakan. Keterlibatan Forabi dalam suatu pengambilan kebijakan

merupakan suatu tindakan, yang didalamnya memiliki

maksud-maksud tertentu yang tentunya telah mengalami berbagai proses

pemikiran dan dirasakan secara matang.

Pada penelitian tentang partisipasi masyarakat dalam


(45)

commit to user

30

membuat suatu model perumusan Kebijakan berbasis pada

keterlibatan masyarakat (active society model). Merujuk pada pemikiran Etzioni, partisipasi masyarakat menjadi sangat penting guna

membuat suatu keputusan publik agar tidak ada permasalahan disuatu

hari. Model Kebijakan yang ditawarkan Etzioni adalah keputusan

politik (publik) yang dibuat tidaklah dalam pengertian keputusan yang

bersandar pada kepentingan politik tertentu, melainkan keputusan

politik sebagai hasil dari kontrak daya tawar atas segala kekuatan yang

ada dalam masyarakat, peran dari masyarakat dalam hal ini, ia dapat

memasuki dan mewarnai setiap fase yang ada dalam proses tersebut,

baik dalam fase yang sangat umum (pandangan intelektual), fase

tengahan (pandangan ahli), maupun fase sempit (keputusan politik).

F. KERANGKA BERPIKIR

Di Boyolali permasalahan yang dihadapi hampir sama dengan

kota/kabupaten lain dalam mengaplikasi kebijakan Pusat tentang Otonomi dan

desentralisasi daerah tersebut. Partisipasi masyarakat adalah yang menjadi

permasalahan, kepasifan masyarakat dalam Pembangunan inilah yang sedikit

banyak mempengaruhi Pembangunan Daerah. Kebanyakan masyarakat merasa

perannya adalah hanya mengikuti peraturan Pemerintah dan menerima

kebijakan yang dikeluarkan. Tak banyak yang tahu ada peran lain meraka,

yaitu menentukan arah pembangunan atau menjadi kontrol bagi kebijakan


(46)

commit to user

31

Cita-cita otonomi salah satunya adalah menumbuhkan partisipasi

masyarakat daerah untuk menunjang kemajuan bangsa. Sebagian besar

masyarakat Boyolali menganggap partisipasi yang dimaksud hanyalah sekedar

keikutsertaan dalam Pemilihan Kepala Daerah, sebagai penerima manfaat dari

pembangunan, atau sebagai penerima dan pelaksana Perda (Peraturan Daerah)

yang dikeluarkan oleh pihak Kabupaten. Adapun forum-forum formal yang

dibentuk oleh Pemerintah Boyolali seperti MUSRENBANGDES

(Musyawarah Perencanaan Pembangunan tingkat Desa) hingga

MUSRENBANGKAB (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Tingkat

Kabupaten). Pada acara itu memang dihadiri tokoh-tokoh masyarakat, dan

juga aparat pemerintah tingkat Desa hingga Kabupaten di Boyolali untuk

memusyawaratkan perencanaan pembangunan Kabupaten Boyolali. Disini kita

bisa melihat usaha dari Pemerintah untuk mencoba menyerap dan

mengakomodasi aspirasi masyarakatnya. Namun tidak semua aspek bisa

sekaligus terakomodasi pada forum-forum tersebut, karena biasanya dalam

forum tersebut merupakan ruang untuk sosialisasi program dari Pemerintah

untuk masyarakat dan aparat-aparat Pemerintahan untuk menjalankan rencana

program pembangunan.

Dalam perundang – undangan telah dibutkan tentang hal-hal yang

mengatur keterlibatan masyarakat dalam segala hal terkait dengan

pembangunan. Namun dalam hal ini, tentang partisipasinya dalam pembuatan


(47)

commit to user

32 § Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah

- Pasal 1 ayat 5 & 6

“adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri

berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. “

- Pasal 139 ayat 1,

“Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis

dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan

undang-undang dan rancangan peraturan daerah.”

Cita-Cita Otonomi Daerah

“ Mewujudkan Pembangunan Daerah yang mandiri dan berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”

Bagan 1.1. Pola Pemikiran Otonomi Daerah Berbasis Keterlibatan

Masyarakat.

Partisipasi Masyarakat

- Keberdayaan

mayarakat

- Pengusulan

gagasan, Kekuatan tawar-menawar.

Kebijakan publik

- Keterlibatan

masyarakat

- Keputusan

berdasar opini publik atau tidak?

Pembangunan

Daerah


(48)

commit to user

33 G. METODE PENELITIAN

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan studi deskriptif kualitatif. Penelitian ini bermaksud

memberikan uraian mengenai suatu gejala sosial yang diteliti. Peneliti

mendekripsikan suatu gejala berdasarkan pada indikator-indikator

yang dia jadikan ada atau tidaknya suatu gejala yang ia teliti

(Y.Slamet, 2006:7). Berkaitan dengan hal ini FORABI (Forum Rakyat

Boyolali) merupakan sebuah ruang intelektual yang terdiri dari

beberapa kaukus kehidupan berasal dari daerah yang sama dan

memiliki perasaan atau visi yang sama terhadap perkembangan daerah

mereka.

Sebagaimana telah disebutkan dalam perumusan masalah dan

tujuan penelitian, penelitian ini untuk menggali sumber-sumber data

dan informasi yang berkaitan dengan permasalahan penelitian, yaitu

untuk mengetahui Partisipasi FORABI (Forum Rakyat Boyolali)

dalam proses pengambilan Kebijakan Publik Kabupaten Boyolali di

Era Otonomi Daerah. Berikut ini indikator untuk melihat partisipasi

Forabi,

1. Partisipasi politik yang merepresentasikan demokrasi keterwakilan.

2. Partisipasi sosial sebagai keterlibatan Beneficiary dalam proyek pembangunan.


(49)

commit to user

34

3. Partisipasi warga sebagai pengambil keputusan langsung dalam

kebijakan publik.

2. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan pada FORABI (Forum Rakyat Boyolali),

yang bertempat di Kota Boyolali, sekretariatnya beralamat di Jalan

Jalan Polo No 14, Kabupaten Boyolali. Alasan yang mendorong

dipilihnya lokasi ini adalah:

- Forabi merupakan satu lembaga yang merupakan Lembaga non

pemerintah yang terbentuk dari banyak bidang dan latar belakang, dan

sering menjadi pengawas kinerja PEMKAB Boyolali dalam

pembuatan kebijakan publik dan pembangunan.

- Dilihat dari lokasi, FORABI terletak di tengah kota Boyolali.

Mempunyai akses strategis untuk mengawasi aktifitas Kepemerintahan

di Boyolali.

3. Sumber Data · Data Primer:

Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari

narasumbernya. Data primer ini diperoleh melalui wawancara

dengan objek wawancara yaitu informasi dari yaitu FORABI, dan

masyarakat maupun instansi pemerintahan yang terkait untuk

digunakan dalam proses triangulasi data.


(50)

commit to user

35

Data sekunder adalah data yang diperoleh tidak langsung dari

sumber-sumber di lapangan. Dalam penelitian ini sumber data

sekunder adalah data tertulis, misalnya seperti dokumen yaitu

berupa data-data yang dimiliki FORABI, DPRD Kabupaten

Boyolali, Pemerintah Kabupaten Boyolali, kepustakaan yaitu

mempelajari buku-buku, majalah, koran, Web atau blog, dan juga

hasil penelitian yang telah ada yang berkenaan dengan masalah

yang sedang diteliti. Data bisa diperoleh dari notulensi pertemuan,

catatan-catatan, atau peundang-undangan.

Populasi

Populasi merupakan keseluruhan dari subjek penelitian atau unit

analisis yang cirinya akan diduga dari seluruh penelitian yang

dilakukan. Dalam penelitian ini yang akan menjadi populasi adalah

FORABI.

4. Teknik Pengambilan Sampel

a. Sampel

Dalam penelitian kualitatif, sampel bukan mewakili populasi

sebagaimana dalam penelitian kuantitatif. Tetapi sampel berfungsi

untuk menggali beragam informasi serta menemukan sejauh mungkin

berbagai informasi penting. Dalam pengambilan sampel dilakukan

peneliti sesuai dengan fokus penelitian. Sampel dalam penelitian

kualitatif sering juga dinyatakan sebagai internal sampling yang berlawanan dengan sifat sampel yang ada pada penelitian kuantitatif,


(51)

commit to user

36

yang dinyatakan sebagai external sampling (Bogdan & Biken, 1982 dalam HB. Sutopo, 2002). Dalam sampel yang bersifat internal,

sampel diambil untuk mewakili informasinya, dengan kelengkapan

dan kedalaman yang tidak sangat perlu ditentukan oleh jumlah sumber

datanya, karena jumlah informan yang kecil bisa saja menjelaskan

informasi yang selengkapnya, detail, dan benar daripada jumlah

informan yang begitu banyak, yang mungkin saja tidak begitu

memahami informasi yang sebenarnya. Sampel dalam penelitian ini

adalah Pengurus harian dan anggota dari Forum Rakyat Boyolali

(FORABI).

b. Teknik Pengambilan Sampel

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik Purposive Sampling (sampel bertujuan) yaitu penulis cenderung memilih informan yang dipercaya dan dianggap mengetahui permasalahan yang

sedang diteliti dengan jelas, serta di mana pengambilan sampel tidak

ditekankan pada jumlah dan ukuran melainkan lebih ditekankan pada

kelengkapan dan kedalaman informasi terhadap masalah yang diteliti.

Jumlah sampel akan berkembang sampai informasi yang dibutuhkan

mencukupi (H.B. Sutopo,2002:36).

Pada penelitian ini digunakan beberapa jenis informan sebagai

sampel dalam pengambilan data yang diperlukan, yaitu : Pengurus

harian FORABI; Anggota FORABI; sedangkan Eksekutif, legislatif,


(52)

commit to user

37 Deskripsi Informan

a) Informan I, Eko Bambang S. Merupakan Ketua Badan Pekerja Forabi

periode 2008-2010. Dalam proses penggalian data informan ini

sangat kooperatif untuk membantu memberikan data kepada peneliti.

Alasan Eko ditunjuk sebagai informan, karena perannya sebagai

ketua Badan Pekerja Forabi diharapkan bisa memberikan data dengan

kualitas terbaik sesuai dengan kebutuhan penelitian.

b) Informan II, Sinam. Informan ini memang untuk saat ini berada

diluar koridor Badan Pekerja Forabi (semacam pengurus harian di

Forabi). Sinam dipilih untuk menjadi informan karena

informasi-informasi dari dalam Forabi yang merekomendasikannya untuk

membantu dalam penggalian data penelitian ini. Sinam termasuk

orang lama yang telah lama memiliki hubungan dekat dengan Forabi,

selain itu sebagai salah satu anggota sebuah LSM yang memiliki

peranan untuk membentuk Forabi dia mengetahui seluk beluk

internal Forabi sedari awal. Sebenarnya peran Informan I dan

Informan II dalam penelitian ini hampir sama, yaitu memberikan

informasi tentang internal Forabi dan kegiatan partisipasinya untuk

memberikan masukan pada Pemerintah Kabupaten Boyolali.

c) Informan III, Deni. Merupakan warga masyarakat Boyolali yang

pernah ikut bersama Forabi untuk mengadvokasi aspirasi ke

Legislatif. Informasi yang diberikan terkait dengan kinerja Forabi


(53)

commit to user

38

kesan terhadap Forabi oleh Masyarakat, juga tentang partisipasi

masyarakat Boyolali dalam kegiatan pemerintahan (pembangunan,

pembuatan kebijakan, aplikasi kebijakan).

d) Informan IV, Sukandi. Merupakan warga masyarakat Boyolali yang

pernah ikut bersama Forabi untuk mengadvokasi aspirasi ke

Eksekutif. Informasi yang diberikan memiliki kesamaan dengan

informan III yaitu terkait dengan kinerja Forabi dalam mengadvokasi

aspirasi masyarakat namun bedanya pada tataran eksekutif Boyolali,

kesan terhadap Forabi oleh Masyarakat, juga tentang partisipasi

masyarakat Boyolali dalam kegiatan pemerintahan (pembangunan,

pembuatan kebijakan, aplikasi kebijakan).

e) Informan V, Suwardi. Anggota DPRD Boyolali Komisi II Bidang

Anggaran ini ditunjuk sebagai informan, karena seperti fungsinya

sebagai DPRD untuk membuat legislasli terkait dengan kebijakan di

Kabupaten Boyolali. Selain itu juga untuk mengetahui peran dan

partisipasi masyarakat pada umumnya dan Forabi dalam pembuatan

kebijakan di Boyolali.

f) Informan VI, Seno Samudro. Kapasitasnya sebagai Wakil Bupati

Boyolali Periode 2005-2010 diharapkan bisa memberikan data

terhadap penelitian ini mengenai partisipasi masyarakat dalam

pengambilan kebijakan Kabupaten juga tentang pembuatan kebijakan


(54)

commit to user

39 5. Teknik Pengumpulan Data

Dalam suatu penelitian, teknik pengumpulan data yang digunakan

sangat berkaitan dengan strategi penelitian yang dipakai. Dalam hal ini

penelitian lebih menekankan pada proses yang ada sehingga bersifat

fleksibel, dalam artian peneliti sedapat mungkin bisa masuk di

dalamnya agar dapat merasakan sekaligus melihat secara langsung dari

apa yang sedang diteliti.

a. In-depthInterview (Wawancara Mendalam)

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.

Percakapan ini dilakukan oleh kedua belah pihak yaitu pewawancara

(interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan yang diwawancarai

(interviewce) yang memberikan atas pertanyaan ini. ( Moloeng, 2001:135). Dalam penelitian in yang diwawancarai adalah Pengurus

harian FORABI, Anggota FORABI, Eksekutif, legislatif, dan

masyarakat Boyolali. Sedangkan pertanyaan yang diajukan terkait

dengan perumusan masalah yaitu tentang partisipasi Forabi dalam

pengambilan kebijakan di Kabupaten Boyolali. Selain itu di dalam

pertanyaan juga diarahkan pada indikator-indikator partisipasi yang

telah dikerucutkan dalam konsep yang digunakan.

Maksud mengadakan wawancara seperti ditegaskan oleh Lincoln

dan Guba (dalam Moleong; 1989 : 135 ) antara lain : menkonsrtuksi

mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi,


(1)

commit to user

114

n Masa Inisiasi (Tahun 2002)

DAD pada masa ini banyak dipengaruhi oleh inisiatif lokal yang direspon oleh bupati dan DPRD

n Masa Setelah SEB Mendagri 140/640/SJ (Tahun 2003)

Surat Edaran Mendagri ini sedikit mendorong kesadaran politisi daerah untuk mengalokasikan DAD namun dalam prosestanse yang masih kecil

n Masa Setelah PP 72 Tahun 2005

Masa ini sudah mulai geliat dari pemkab dan DPRD namun masih sangat kecil dgn menggunakan standar minimal 10 % dari DAU non Gaji PNS.

Melalui ini kita bisa melihat kekuatan pergerakan civil society di

Boyolali untuk menyeimbangkan antara peran Pemerintah maupun masyarakat sehingga tidak ada dominasi dari salah satu pihak. Partisipasi Forabi yang merupakan bagian masyarakat dapat membantu Pemerintah dalam menentukan kebijakan yang lebih pro rakyat. Terbitnya Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Alokasi Dana Desa sehingga keluar implementasi Perda dengan adanya Peraturan Bupati Boyolali Nomor 3 Tahun 2009 tentang Petunjuk pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Boyolali, yang diatur dalam Peraturan Bupati tersebut adalah:


(2)

commit to user

115

- Besarnya ADD setiap Tahun Anggaran ditetapkan minimal 15%

dari bagian dana perimbangan keuangan pusat dan daerah.

- Perhitungan ADD untuk masing-masing desa dilakukan dengan

menggunakan asas Keadilan dan Pemerataan (sesuai rumus yang telah ditetapkan).

- Komponen ADD yang diterimakan desa setiap tahun terdiri atas

ADD Minimal (ADDM) sebesar 60% dari ADD dan ADD Proporsional (ADDP) sebesar 40% dari ADD.

b. Penggunaan ADD

- 30% dari ADD untuk operasional pemerintahan desa dan BPD.

- 70% untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat dan pelaksanaan

pembangunan digunakan antara lain sebagai berikut :

ü Pemugaran perumahan keluarga miskin;

ü Pemeliharaan/peningkatan prasarana irigasi, air bersih, jalan

dan jembatan;

ü Pehabilitasi balai desa /kantor desa;

ü Peningkatan tertib administrasi desa;

ü Peningkatan kegiatan kelembagaan kemasyarakatan;

ü Peningkatan kualitas SDM aparatur pemerintah desa;

ü Mendukung kegiatan musrenbangdes/musdes;

ü Dalam hal bidang pembangunan infrastruktur diaolkasikan


(3)

commit to user

116

dilaksanakan, untuk administrasi, honor, monitoring dan evaluasi.

c. Institusi pengelola dan mekanisme pengelolaan ADD,

Institusi pengelola ADD terdiri :

ü Tim fasilitasi pengelolaan ADD Tingkat Kabupaten;

ü Tim Fasilitasi pengelolaan ADD Tingkat Kecamatan;

ü Tim pengelola ADD Tingkat Desa.

Mekanisme penyaluran ADD diatur sebagai berikut :

1. Desa mengajukan permohonan penyaluran ADD kepada Camat

dengan dilampiri :

- Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Desa (LPPD) tahun

sebelumnya;

- Peraturan Desa tentang APBDesa yang sudah disahkan pada

tahun berkenaan;

- Daftar Rencana Kegiatan (DRK) penggunaan dana;

- Fotocopy nomor rekening Pemerintah Desa;

- Kuitansi penerimaan ADD yang ditanda tangani Kepala Desa

rangkap 5;

- Surat Pertanggungjawaban (SPJ) penggunaan ADD tahun

sebelumnya untuk pengajuan ADD Tahap Pertama atau Surat Pertanggungjawaban (SPJ) penggunaan ADD Tahap Pertama untuk pengajuan ADD Tahap Kedua.


(4)

commit to user

117

2. Permohonan penyaluran ADD diverifikasi kebenarannya secara

administratif dan teknis oleh Tim Fasilitasi Pengelolaan ADD Tingkat Kecamatan.

3. Camat mengajukan permohonan penyaluran ADD secara kolektif

kepada Bupati melalui Kepala Bagian Pemerintahan Desa dan Kelurahan Setda Kabupaten Boyolali dengan melampirkan semua persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.

4. Kepala Bagian Pemerintahan Desa dan Kelurahan Setda atas dasar

pengajuan dari Camat mengajukan SPP kepada Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) dan selanjutnya menyalurkan ke rekening ADD desa masing-masing desa secara bertahap.

d. Pertanggungjawaban, Pengendalian dan pengawasan ADD.

e. Besaran Alokasi Dana Desa

ADD Kab. Boyolali Tahun 2007 sebesar Rp. 17.301.885.789,-

ADD Kab. Boyolali Tahun 2008 sebesar Rp. 14.074.000.000,-

ADD Kab. Boyolali Tahun 2009 sebesar Rp. 10.144.647.450,-

Munculnya ide ataupun gagasan masyarakat yang terdelegasikan melalui Forabi, menunjukkan bahwa adanya usaha partisipasi masyarakat untuk memberikan masukan pada Pemerintah tentang kebijakan apa yang akan diambil. Diperlukan ruang-ruang publik agar ada sinergitas antara


(5)

commit to user

118

keinginan masyarakat dengan kebijakan yang akan diambil Pemerintah. Kebijakan tentang Alokasi Dana Desa merupakan salah satu usulan dari sekian banyak gagasan yang mungkin mereka berikan pada Pemerintah Kabupaten Boyolali. Namun bukan hanya itu saja peran yang harus mereka jalani, sebagai bagian dari masyarakat Boyolali tentunya mereka harus memonitor dan memberi evaluasi dalam perjalanan setiap kebijakan yang diambil oleh Pemerintah

E. Matriks Temuan

Untuk memudahkan memahami pembahasan pada Bab ini, telah dibuat semacam matriks temuan. Matriks ini berisi data dan fakta yang ada di lapangan selama penelitian, berikut matriks tersebut:

Matriks .3.1. Temuan di Lapangan Selama Penelitian

NO TEMUAN DI LAPANGAN

1

Pengaruh Forabi Sebagai

Civil Society dalam

Pembangunan Kabupaten Boyolali di Era Otonomi.

Forabi memberikan masukan tentang

pemerataan pembangunan dengan

mengusulkan program Alokasi Dana Desa pada tahun 2003 (dulu Dana Anggaran

Desa) kepada Pemerintah Daerah

Boyolali. Namun hingga saat ini sudah diundang-undangkan secara nasional, dan sudah diaplikasikan di berbagai Daerah di Indonesia.

2 Keikutsertaan Forabi

dalam Pengambilan

Kebijakan

1. Forabi sering dimintai masukan oleh

Pemerintah dan diharapkan membuat suatu rencana program untuk Kabupaten Boyolali.

2. Forabi bisa aktif berbicara dalam public

hearing, bahkan bisa masuk ke


(6)

commit to user

119

3. Masyarakat bersama Forabi ikut serta

berperan dalam pengambilan keputusan Pemerintah Kabupaten Boyolali.

4. Ada usaha dari Pemerintah untuk

membuka ruang partisipasi bagi

masyarakat melalui public hearing

sebelum ditetapkannya suatu kebijakan.

3 Mekanisme penyaluran

aspirasi Forabi.

Pertama, Forabi menampung aspirasi dari masyarakat Boyolali dan selanjutnya di diskusikan dalam Forum. Kedua, Forabi menggali issue-issue yang berkembang di

kota Boyolali, apa yang menjadi

kepentingan publik Boyolali di dicarakan dalam Forum. Selanjutnya dari kedua cara itu menghasilkan semacam rekomendasi kepada Pemerintah untuk diadvokasikan dan diperjuangkan.

4 Usaha Forabi membuka

ruang partisipasi

1. Forabi membuat ruang partisipasi

non-formal, dikarenakan terbatasnya ruang partisipasi yang disediakan Pemerintah

Daerah. Ruang partisipasi tersebut

diwujudkan menjadi :

5. Obrolan

6. Diskusi Multipihak

7. Lokakarya

8. Seminar

2. Selain itu untuk membuka ruang

partisipasi non-formal itu dilakukan juga melalui dunia internet, Forabi merilis setiap permasalahan dan aspirasi melalui

situs wordpressnya di

forabi.wordpress.com.

4 Hasil dari Partisipasi Usulan,aspirasi, dan gagasan Forabi

maupun masyarakat sendiri melalui

partisipasi dalam pengambilan kebijakan Daerah didengarkan oleh Pemerintah Daerah, namun untuk dijadikan dasar

suatu kebijakan itu masih belum.

Partisipasi Forabi biasanya dijadikan pertimbangan atau bahan pembanding

sebelum kebijakan itu di