Kebutuhan Air Tawar Tanaman Selama Pembibitan Jarak Pagar (Jatropha curas L.)

(1)

KEBUTUHAN A

JARAK PAGA

DEPARTEMEN

FAKULTAS TEKN

INSTITUT

KEBUTUHAN AIR TANAMAN SELAMA PEMBIBITAN

JARAK PAGAR (

Jatropha curcas

L.)

Oleh : RULY DUMA

F14050281

2009

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

N SELAMA PEMBIBITAN

TEKNIK PERTANIAN

OLOGI PERTANIAN


(2)

Ruly Duma. F14050281. Kebutuhan Air Tanaman Selama Pembibitan Jarak Pagar (Jatropha curcas L.). Di bawah bimbingan: Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS.

RINGKASAN

Permintaan akan bahan bakar minyak semakin meningkat namun persediaannya semakin berkurang karena bahan baku minyak tidak dapat diperbaharui. Ditemukan bahan bakar alternatif yang berasal dari tumbuhan seperti jarak pagar yang digunakan sebagai biodiesel. Jarak pagar dipilih sebagai

biodiesel karena mudah beradaptasi pada daerah marginal, mempunyai kandungan energi yang tinggi dan tidak dapat dikonsumsi. Namun terdapat kendala dalam bidang agribisnis jarak pagar, salah satunya ialah teknik budidaya jarak pagar di bagian pembibitannya. Pada tahap pembibitan, jarak pagar membutuhkan air yang cukup untuk membentuk organ yang penting di awal pertumbuhannya.

Tujuan penelitian ini adalah mengukur kebutuhan air tanaman jarak pagar selama pembibitan dan mengevaluasi pertumbuhan tanaman selama pembibitan.

Penelitian ini menggunakan rancangan acak kelompok dengan menggunakan tiga faktor perlakuan. Faktor perlakuan yang dimaksud ialah penempatan bibit (dalam dan luar greenhouse), penggunaan sistem irigasi (irigasi tetes dan irigasi curah) dan jumlah pemberian air irigasi (kurang, sama dan lebih dari kapasitas lapang, KL, media tanam). Media tanam yang digunakan berupa campuran antara 600 gr tanah, 200 gr pupuk kandang dan 200 gr pasir malang.

Irigasi tetes yang digunakan mempunyai nilai CU 72% dengan debit 0.18 – 2.58 lt/jam. Irigasi curah yang digunakan mempunyai nilai EU 77% dengan debit yang diterima tiap polybag1.45 lt/jam. Dari hasil uji lanjut Duncan pada α

5%, tinggi tanaman dipengaruhi oleh perlakuan sedangkan diameter batang dan jumlah daun tidak dipengaruhi oleh perlakuan. Perlakuan yang memberikan hasil terbaik ialah pemberian air secara irigasi tetes dengan jumlah air lebih dari KL karena selama pembibitan jarak membutuhkan banyak air dan air diberikan secara kontinu dan langsung menuju ke perakaran tanaman.

Kebutuhan air tanaman (KAT) berdasarkan perlakuan ialah 1.073 mm/hari untuk kurang dari KL secara tetes, 1.237 mm/hari untuk sama dengan KL secara tetes, 1.377 mm/hari untuk lebih dari KL secara tetes, 0.803 mm/hari untuk kurang dari KL secara curah, 1.194 mm/hari untuk sama dengan KL secara curah dan 1.74 mm/hari untuk lebih dari KL secara curah. Sedangkan KAT berdasarkan data iklim (Penman) ialah 1.602 mm/hari untuk tahap awal pertumbuhan dalam greenhouse (GH), 1.391 mm/hari untuk tahap perkembangan dalam GH, 1.189 mm/hari untuk tahap pertengahan dalam GH, 1.601 mm/hari untuk tahap awal di luar GH, 1.398 mm/hari untuk tahap perkembangan di luar GH dan 1 mm/hari untuk tahap pertengahan di luar GH. Berdasarkan data tersebut, terdapat perbedaan nilai KAT pada tiap tahap pertumbuhan. Oleh karena itu diperlukan penyesuaian lama operasi irigasi. Untuk irigasi tetes, lama operasi irigasi baru pada tahap awal, perkembangan dan pertengahan ialah 27.19 menit, 23.61 menit dan 20.18 menit. Untuk irigasi curah, lama operasi irigasi baru pada tahap awal, perkembangan dan pertengahan ialah 4.16 menit, 3.61 menit dan 3.1 menit. Interval irigasi tetes dan curah ialah 2 hari.


(3)

Kebutuhan air irigasi yang diperlukan per aplikasi untuk irigasi tetes pada tahap awal, perkembangan dan pertengahan ialah 1848 ml, 1793.4 ml dan 1793.4 ml. Sedangkan untuk irigasi curah, kebutuhan air irigasi pada tahap awal, perkembangan dan pertengahan ialah 1848 ml, 21427.2 ml dan 21427.2 ml. Pada irigasi curah terdapat kehilangan air sebesar 19548.27 ml.

Nilai EU pada irigasi tetes yang digunakan rendah sehingga perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai panjang pipa manifold dan lateral, spasi antar emitter dan dibutuhkan alat penyerut penyumbat yang presisi. Pada pengamatan, tidak ada yang air yang menetes dari polybag dengan perlakuan jumlah air lebih dari kapasitas lapang media tanam. Oleh karena itu perlu dihitung lagi berapa jumlah air yang tertampung dalam tanah sampai mencapai kondisi kapasitas lapang. Disarankan untuk menggunakan material berwarna hitam untuk jaringan perpipaan irigasi tetes dan curah karena dapat memperlambat tumbuhnya jamur pada pipa. Karena perbedaan diameter batang dan jumlah daun yang terlalu kecil antara perlakuan, maka perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara jenis, komposisi dan jumlah media tanam dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan jarak pagar selama pembibitan.


(4)

KEBUTUHAN AIR TANAMAN SELAMA PEMBIBITAN

JARAK PAGAR (

Jatropha curcas

L.)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh : RULY DUMA

F14050281

2009

DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN


(5)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

KEBUTUHAN AIR TANAMAN SELAMA PEMBIBITAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Intsitut Pertanian Bogor

Oleh : RULY DUMA

F14050281

Dilahirkan pada tanggal 19 Maret 1987 di Jakarta

Tanggal lulus:

Menyetujui, Bogor, Agustus 2009

Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS Dosen Pembimbing

Mengetahui,

Dr. Ir. Desrial, M. Eng Ketua Departemen Teknik Pertanian


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 19 Maret 1987 di Jakarta. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara dengan ayah bernama Ir. Daulat Simanjuntak dan Ibu Rosdiana Tampubolon. Penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK.Budi Jaya pada tahun 1993, sekolah dasar di SDN 09 Pagi Petukangan pada tahun 1999, sekolah menengah pertama di SLTPN 245 Jakarta pada tahun 2002 dan sekolah menengah atas di SMUN 90 Jakarta pada tahun 2005. Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk (USMI). Pada tahun 2006, penulis diterima di Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB melalui sistem mayor-minor.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai anggota di Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB dan Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian (HIMATETA) IPB. Selain di dalam kampus, penulis juga aktif di organisasi Forum Anggota Muda (FAM) Persatuan Insinyur Indonesia (PII) cabang Bogor sebagai ketua Badan Kejuruan (BK) Pertanian dan Pangan.

Pada tahun 2007, penulis pernah menjadi asisten praktikum fisika dasar di Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB. Pada tahun 2008, penulis telah melaksanakan praktek lapangan di PT. Gula Putih Mataram (GPM) Lampung Tengah dengan judul “Mempelajari Aspek Keteknikan Pertanian pada Pengelolaan Perkebunan Tebu dan Produktivitasnya di PT. Gula Putih Mataram, Lampung”. Penulis menyelesaikan skripsi pada tahun 2009 dengan judul “Kebutuhan Air Tanaman Selama Pembibitan Jarak Pagar (Jatropha curcas L)”.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kebutuhan Air Tanaman Selama Pembibitan Jarak Pagar (Jatropha curcas

L.). Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kepada :

1. Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto MS sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penelitian. 2. Chusnul Arif STP. M.Si dan Sutoyo STP. M. Si sebagai dosen penguji

yang telah memberi saran dan kritik kepada penulis.

3. Mitsubishi Coorporation yang telah membiayai penelitian ini.

4. Orangtua yang telah memberikan semangat dan bantuan secara moril dan material.

5. Abang (Dohar dan David), kakak (Donnarina) dan adik (Firman) atas dukungan dan doanya.

6. Bapak - bapak teknisi di Leuwikopo, LBP dan Lab. Mektan atas bantuannya.

7. Teman - teman TEP 42 yang telah memberikan dukungan, semangat dan pemikirannya, khususnya Acel, Triyanti, Mayang, Sarah, Marie dan Sofi. 8. Teman - teman di Wisma Seroja, Balio: Cia (MNH 42), Septriva dan

Kadek (HPT 42), Jessy (FISIKA 42)

9. Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan penelitian ini.

Bogor, Agustus 2009


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jarak Pagar (Jatropha curcas. L) ... 4

B. Konsep Irigasi ... 8

C. Kandungan Lengas Tanah ... 13

D. Kebutuhan Air Tanaman ... 15

E. Curah Hujan Efektif ... 18

F. Media Tanam ... 19

III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan ... 21

B. Alat dan Bahan ... 21

C. Prosedur Penelitian 1. Setting Sistem Irigasi Tetes ... 22

2. Setting Sistem Irigasi Curah ... 24

3. Mengukur Kapasitas Lapang Media Tanam ...24

D. Pengamatan dan Pengambilan Data ... 26

E. Pengolahan dan Analisis Data ... 26

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sistem Irigasi 1. Irigasi Tetes ... 29

2. Irigasi Curah ... 34


(9)

C. Laju Pertumbuhan Tanaman ... 38

D. Kebutuhan Air Tanaman ... 51

E. Selang Irigasi ... 57

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 58

B. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Perbandingan berbagai jenis tanaman bahan baku biodisel ... 2

Tabel 2. Klasifikasi kelembaban tanah dengan tegangan air tanah ... 15

Tabel 3. Panjang tahap pertumbuhan (hari) tanaman penghasil minyak ... 17

Tabel 4. Perbandingan antara metode pendugaan evapotranspirasi ... 18

Tabel 5. Kedalaman air minimum yang direkomendasikan ... 31

Tabel 6. Spasi antar emitter yang disarankan ... 32

Tabel 7. Kapasitas menahan air pada berbagai jenis tekstur tanah ... 32

Tabel 8. Nilai Ks ... 36

Tabel 9. Nilai Kc dari tanaman penghasil minyak pada tiap tahap pertumbuhan ... 52

Tabel 10. ETc pada jarak pagar dengan metode Penman ... 53

Tabel 11. Kebutuhan air selama pembibitan (per tanaman) berdasarkan ETc .... 53

Tabel 12. Nilai KAT (mm/hari) tiap perlakuan irigasi ... 54

Tabel 13. Kebutuhan air irigasi (ml) ... 55

Tabel 14. Waktu operasi baru sistem irigasi ... 56


(11)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Daun jarak pagar ... 4

Gambar 2. Bunga jarak pagar ... 5

Gambar 3. Buah jarak pagar ... 6

Gambar 4. Tahap petumbuhan tanaman ... 16

Gambar 5. Alur kegiatan prosedur penelitian ... 28

Gambar 6. Sistem irigasi tetes multi lajur ... 29

Gambar 7. Equilateral triangular spacing ... 35

Gambar 8. Square spacing ... 35

Gambar 9. Jumlah air dalam 1 kg media tanam ... 38

Gambar 10. Laju pertumbuhan jarak pagar ... 40

Gambar 11. Grafik pertumbuhan tinggi tanaman selama pembibitan (irigasi tetes) ... 41

Gambar 12. Grafik pertumbuhan tinggi tanaman selama pembibitan (irigasi curah) ... 41

Gambar 13. Grafik pertumbuhan tinggi tanaman selama pembibitan (kurang dari KL) ... 42

Gambar 14. Grafik pertumbuhan tinggi tanaman selama pembibitan (lebih dari KL) ... 42

Gambar 15. Grafik pertumbuhan tinggi tanaman selama pembibitan (sama dengan KL) ... 43

Gambar 16. Grafik pertumbuhan tinggi tanaman selama pembibitan (2 Maret – 31 Mei 2009) ... 44

Gambar 17. Grafik pertambahan diameter batang selama pembibitan (irigasi tetes) ... 44

Gambar 18. Grafik pertambahan diameter batang selama pembibitan (irigasi curah) ... 45

Gambar 19. Grafik pertambahan diameter batang selama pembibitan (kurang dari KL) ... 46

Gambar 20. Grafik pertambahan diameter batang selama pembibitan (sama dengan KL) ... 46


(12)

Gambar 21. Grafik pertambahan diameter batang selama pembibitan

(lebih dari KL) ... 47 Gambar 22 . Grafik pertambahan diameter batang selama pembibitan

(2 Maret – 31 Mei 2009) ... 47 Gambar 23. Grafik pertambahan jumlah daun selama pembibitan

(irigasi tetes) ... 48 Gambar 24. Grafik pertambahan jumlah daun selama pembibitan

(irigasi curah) ... 49 Gambar 25. Grafik pertambahan jumlah daun selama pembibitan

(kurang dari KL) ... 49 Gambar 26. Grafik pertambahan jumlah daun selama pembibitan

(sama dengan KL) ... 50 Gambar 27. Grafik pertambahan jumlah daun selama pembibitan

(lebih dari KL) ... 50 Gambar 28. Grafik pertambahan jumlah daun selama pembibitan


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Pluiviometer ... 63

Lampiran 2. Skema jaringan irigasi tetes multi lajur ... 64

Lampiran 3. Layout pipa sistem irigasi tetes multi lajur ... 65

Lampiran 4. Gambar isometric desain penetes ... 66

Lampiran 5. Gambar tampak depan desain penetes ... 67

Lampiran 6. Skema jaringan irigasi curah ... 68

Lampiran 7. Layout pipa sistem irigasi curah ... 69

Lampiran 8. Gambar detail mata sprinkler tipe spray ... 70

Lampiran 9. Perhitungan jumlah air yang sesuai dengan kapasitas lapang media tanam ... 71

Lampiran 10. Perhitungan nilai variasi debit emitter, v, dan EU irigasi tetes ... 73

Lampiran 11. Perhitungan kedalaman air irigasi curah berdasarkan perlakuan ... 75

Lampiran 12. Perhitungan nilai CU irigasi tetes ... 76

Lampiran 13. Data tinggi tanaman (cm) per minggu (perlakuan irigasi tetes dalam greenhouse) ... 77

Lampiran 14. Data tinggi tanaman (cm) per minggu (perlakuan irigasi curah dalam greenhouse) ... 78

Lampiran 15. Data tinggi tanaman (cm) per minggu (perlakuan irigasi tetes luar greenhouse) ... 79

Lampiran 16. Data tinggi tanaman (cm) per minggu (perlakuan irigasi curah luar greenhouse) ... 80

Lampiran 17. Data diameter batang (cm) tanaman per minggu (perlakuan irigasi tetes dalam greenhouse) ... 81

Lampiran 18. Data diameter batang (cm) tanaman per minggu (perlakuan irigasi curah dalam greenhouse) ... 82

Lampiran 19. Data diameter batang (cm) tanaman per minggu (perlakuan irigasi tetes luar greenhouse) ... 83


(14)

irigasi curah luar greenhouse) ... 84

Lampiran 21. Data jumlah daun tanaman per minggu (perlakuan irigasi tetes dalam greenhouse) ... 85

Lampiran 22. Data jumlah daun tanaman per minggu (perlakuan irigasi curah dalam greenhouse) ... 86

Lampiran 23. Data jumlah daun tanaman per minggu (perlakuan irigasi tetes luar greenhouse) ... 87

Lampiran 24. Data jumlah daun tanaman per minggu (perlakuan irigasi curah dalam greenhouse) ... 88

Lampiran 25. Hasil analisis sidik ragam tinggi tanaman ... 89

Lampiran 26. Hasil analisis sidik ragam diameter batang ... 91

Lampiran 27. Hasil analasis sidik ragam jumlah daun ... 93

Lampiran 28. Hasil uji lanjut tinggi tanaman dengan Duncan pada beda taraf 5% ... 95

Lampiran 29. Hasil uji lanjut diameter batang dengan Duncan pada beda taraf 5% ... 98

Lampiran 30. Hasil uji lanjut jumlah daun dengan Duncan pada beda taraf 5% ... 101

Lampiran 31. Perbandingan tinggi tanaman antara perlakuan pada minggu ke 12 (dalam greenhouse)... 104

Lampiran 32. Perbandingan tinggi tanaman antara perlakuan pada minggu ke 12 (luar greenhouse)... 105

Lampiran 33. Perhitungan nilai ETc jarak pagar bulan Maret 2009 ... 106

Lampiran 34. Perhitungan nilai ETc jarak pagar bulan April 2009 (dalam greenhouse) ... 108

Lampiran 35. Perhitungan nilai ETc jarak pagar bulan Mei 2009 (dalam greenhouse) ... 110

Lampiran 36. Perhitungan nilai ETc jarak pagar bulan April 2009 (luar greenhouse) ... 112

Lampiran 37. Perhitungan nilai ETc jarak pagar bulan Mei 2009 (luar greenhouse) ... 114


(15)

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Saat ini permintaan akan bahan bakar minyak semakin meningkat, tetapi persediaan terhadap bahan bakar minyak semakin berkurang. Hal ini disebabkan bahan baku minyak tidak dapat diperbaharui dan proses pembuatan bahan baku minyak bumi dari fosil binatang atau hewan sampai menjadi minyak bumi membutuhkan waktu ribuan tahun. Untuk menutupi kekurangan akan kebutuhan bahan bakar minyak dicari berbagai jenis bahan bakar alternatif seperti biodiesel.

Biodiesel merupakan salah satu jenis biofuel.Biodiesel adalah bahan bakar yang berasal dari minyak nabati (tumbuhan). Biodiesel biasanya digunakan sebagai campuran atau dioplos dengan solar atau sepenuhnya menggantikan petroleum diesel. Setidaknya ada 60 macam tumbuhan yang berpotensi sebagai bahan baku biodiesel di antaranya adalah jarak, kelapa sawit, randu, nyamplung, kelapa, jagung, singkong, nimba, kakao, kayu manis, kelor, kemiri, padi, pepaya, rambutan, sirsak, srikaya, wijen, kecipir, karet, kosambi. Namun yang sudah diteliti dan diterapkan sebagai bahan bakar adalah jarak dan kelapa sawit.

Untuk menjadi bahan bakar, minyak nabati yang dihasilkan karakteristiknya harus menyerupai solar. Kelapa sawit memang cukup melimpah di Indonesia, namun tidak terlalu diandalkan untuk bahan biodiesel karena selama ini minyak kelapa sawit dibutuhkan dalam industri pangan dan minyak kelapa sawit membeku pada suhu 16oC. Para ahli menyarankan minyak jarak pagar (Jatropha curcas) sebagai alternatif paling potensial sebab kadar minyaknya yang relatif tinggi yaitu 30% per kg biji kering dan minyak jarak tidak dapat dikonsumsi. Minyak jarak membeku pada suhu 3oC.

Untuk menutupi atau menggantikan bahan bakar minyak bumi, dibutuhkan produksi minyak jarak dalam jumlah yang besar. Menurut Nucholis (2007), pemilihan jarak pagar (Jatropha curcas) sebagai bahan baku biodiesel merupakan pilihan yang tepat karena tanaman ini bukan merupakan tanaman pangan dan mudah ditanam di berbagai lahan, budidayanya tidak membutuhkan biaya yang tinggi dan bijinya cepat dipanen. Berikut adalah perbandingan antara berbagai jenis tanaman sebagai sumber bahan baku biodiesel.


(16)

Tabel 1. Perbandingan berbagai jenis tanaman bahan baku biodisel.

Jenis tanaman Nama latin Produksi

Produksi

minyak Ekuivalen energi

(ton/Ha) (lt/Ha) (kWh/Ha)

Kelapa sawit Elais guineensis 18 - 20 3600 – 4000 33900 – 37700

Jarak pagar Jatropha curcasL 6 - 8 2100 – 2800 19800 – 26400

Kemiri cina Aleuritas fordii 4 - 6 1800 – 2700 17000 – 25500

Tebu Saccharum fficinarum 35 2450 16000

Jarak kepyar Ricinus communis 3 - 5 1200 – 2000 11300 – 18900

Ubi kayu Manihot enculenta 6 1020 6600

Sumber: J. A. Duke (1983)

Pada tabel diatas terlihat bahwa sebagai sumber energi, jarak pagar menempati posisi kedua setelah kelapa sawit. Sepintas perbedaan antara kelapa sawit dan jarak pagar terkesan cukup jauh namun jika dikaji lebih mendalam, jarak pagar lebih prosepektif untuk dikembangkan terutama pada lahan – lahan yang tergolong marginal (Prana, 2006). Hal itu disebabkan persyaratan ekologis untuk pengembangan jarak pagar lebih sederhana dibandingkan kelapa sawit yang membutuhkan persedian air dan kesuburan lahan yang tinggi dibandingkan dengan jarak pagar.

Pada saat ini jarak pagar telah banyak ditanam dan terus dilakukan pengembangannya, baik untuk mendapatkan varietas yang unggul ataupun teknik budidaya yang tepat. Sama halnya dengan tanaman yang lain, untuk menghasilkan produktivitas yang tinggi maka perlu diperhatikan kebutuhan akan unsur hara dan kebutuhan air tanaman.

Pemenuhan kebutuhan unsur hara bagi tanaman sudah sangat banyak dilakukan dengan memberikan pupuk secara intensif sedangkan pemenuhan kebutuhan airnya hanya mengandalkan dari curah hujan yang turun terutama pada lahan kering. Oleh karena itu, distribusi dan besarnya curah hujun yang turun serta kondisi lahan itu sendiri akan sangat menentukan besarnya ketersediaan air bagi tanaman.

Dalam pengembangan komoditas unggulan tanaman, air merupakan faktor yang paling penting dalam keberhasilan sistem budidaya. Argumennya, air merupakan komponen utama (lebih daari 80%) penyusun tanaman yang berperan penting dalam proses metabolisme. Itu sebabnya mengapa kekurangan air atau


(17)

pun kelebihan air pada tanaman dapat berdampak negatif terhadap pertumbuhan dan atau perkembangan tanaman bahkan dapat berdampak langsung terhadap kualitas dan kuantitas produk yang dihasilkan.

Walaupun jarak pagar termasuk kedalam tanaman yang kuat pada kondisi air yang kurang, akan tetapi ketersediaan air yang tidak memenuhi kebutuhannya akan sangat mempengaruhi produktivitas tanaman tersebut. Oleh karena itu, jika tanaman mengalami kekurangan air maka perlu diberikan pemberian tambahan air irigasi agar tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal.

Jumlah air yang diberikan ini tergantung pada faktor lingkungan (tanah dan iklim) dan faktor tanaman itu sendiri (jenis, umur dan fase perkembangnya).

B. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini ialah untuk:

1. Mengukur kebutuhan air tanaman selama pembibitan jarak pagar yang berasal dari biji jarak.

2. Mengevaluasi laju pertumbuhan tanaman (jumlah helai daun, diameter batang dan tinggi tanaman) antar tanaman yang mendapat perlakuan irigasi tetes dan irigasi curah


(18)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Jarak Pagar (Jatropha Curcas. L)

Di Indonesia banyak terdapat berbagai jenis tanaman jarak, antara lain jarak kepyar (Ricinus communis), jarak bali (Jatropha podagrica), jarak ulung (Jatropha gossypifolia L.) dan jarak pagar (Jatropha curcas L.). Namun diantara keempat jenis jarak tersebut, hanya jarak pagar saja yang memiliki potensi sebagai sumber bahan bakar alternatif yaitu biodiesel.

Tanaman jarak mempunyai tinggi sekitar 1 – 7 m, bercabang tidak teratur. Batangnya berkayu, silindris bila terluka dan mengeluarkan getah. Berikut klasifikasi dari jarak pagar :

regnum : Plantea divisio : Spermatophyta subdivisi : Angiospermae kelas : Dicotyledonae

ordo : Euphorbiaceae

genus : Jatropha spesies : Jatropha curcasLinn

Daunnya berupa daun tunggal, berlekuk, bersudut 3 atau 5. Tulang daun menjari dengan 5 – 7 tulang utama. Permukaan daun atas dan bawah berwarna hijau, permukaan bagian bawah lebih pucat disbanding permukaan atas. Daun lebar dan berbentuk jantung atau bulat telur melebar dengan panjang antara 5 – 15 cm. Helai daun bertoreh, berlekuk dan ujungnya meruncing. Daunnya dihubungkan dengan tangkai daun, panjang tangkai daun 4 – 15 cm.


(19)

Bunga tanaman berwarna kuning kehijauan,

benang sari dalam satu tanaman). Jumlah bunga betina 4 bunga jantan. Bunga jantan

cawan, muncul diujung batang atau ketiak daun. Bunga memiliki

lebih 4 mm. Benang sari putik pendek berwarna

kuning. Bunganya mempunyai terdapat lebih dari 15 bunga. T dan bunganya uniseksual. berwarna hijau kekuningan.

Buah jarak pagar berben buah sekitar 2 cm dengan masih muda dan berwarna atas 3 - 5 ruang dengan lonjong dan berwarna rendemen sekitar 30 dikonsumsi.

tanaman jarak pagar adalah bunga mejemuk berb kuning kehijauan, berkelamin tunggal dan berumah satu

benang sari dalam satu tanaman). Jumlah bunga betina 4 – 5 kali lebih banyak dari Bunga jantan dan bunga betina tersusun dalam rangkaian

muncul diujung batang atau ketiak daun.

memiliki 5 kelopak berbentuk bulat telur dengan panjang Benang sari mengumpul pada pangkal dan berwarna kuning.

berwarna hijau dan kepala putik melengkung keluar Bunganya mempunyai 5 mahkota berwarna keunguan.

dari 15 bunga. Tanaman jarak pagar termasuk tanaman uniseksual. Kadangkala muncul hermaprodit yang berb berwarna hijau kekuningan.

Gambar 2. Bunga jarak pagar

Buah jarak pagar berbentuk bulat telur dengan diameter 2 cm dengan ketebalan sekitar 1 cm. Buah berwarna dan berwarna kuning atau hitam jika sudah masak. Buah

dengan masing–masing ruang diisi 3 - 5 biji. Biji berbentuk berwarna coklat kehitaman. Biji jarak mengandung minyak sekitar 30 - 50% dan mengandung toksin sehingga

mejemuk berbentuk malai, berumah satu (putik dan

5 kali lebih banyak dari dalam rangkaian berbentuk

dengan panjang kurang dan berwarna kuning. Tangkai melengkung keluar berwarna keunguan. Setiap tandan tanaman monoecious yang berbentuk cawan

telur dengan diameter 2 – 4 cm. Panjang berwarna hijau ketika masak. Buah jarak terdiri biji. Biji berbentuk bulat mengandung minyak dengan sehingga tidak bisa


(20)

Gambar 3. Buah jarak pagar

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan menyatakan bahwa tipe iklim sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi jarak pagar. Jarak pagar tumbuh baik di lahan kering, dataran rendah beriklim kering dengan ketinggian tempat sekitar 500 mdpl. Curah hujan yang sesuai untuk tanaman jarak pagar sekitar 625 mm/tahun, namun masih dapat tumbuh pada kisaran curah hujan 300 - 2380 mm/tahun. Namun di Indonesia, jarak pagar dapat dijumpai pada daerah dengan curah hujan 3000 mm/tahun seperti Bogor, Sumatera Barat dan Minahasa. Suhu lingkungan tumbuh sekitar 20oC – 26oC, pada suhu ekstrim (dibawah 15oC atau diatas 35oC) akan menghambat pertumbuhan serta mengurangi kadar minyak dalam biji dan mengubah komposisinya.

Tanaman jarak pagar mempunyai sistem perakaran yang mampu menahan air dan tanah sehingga tahan terhadap kekeringan serta berfungsi menahan erosi. Jarak pagar dapat tumbuh pada berbagai ragam tekstur dan jenis tanah dan mampu beradaptasi pada tanah yang kurang subur atau tanah bergaram, memiliki drainase yang baik, tidak tergenang dan pH tanah 5.0 – 6.5

Jarak pagar dapat tumbuh pada semua jenis tanah tetapi pertumbuhan yang baik dijumpai pada tanah ringan atau lahan dengan drainase serta aerasi yang baik (terbaik mengandung 60% - 90%). Jarak dapat beradaptasi di lahan marginal, berbatu, berpasir dan pada lahan yang tererosi (Mal dan Joshi, 1991). Menurut Okabe dan Somabhi (1989), jarak pagar yang ditanam pada tanah bertekstur lempung berpasir akan menghasilkan biji lebih banyak. Namun menurut Jones dan Miller (1992) jarak pagar yang hidup di daerah marginal, berbatu, berpasir dan


(21)

tererosi berat mempunyai pertumbuhan yang kerdil dengan ketinggian sekitar 2 -3 m.

Jarak dapat diperbanyak melalui stek, biji dan kultur jaringan (in vitro). Jika diperbanyak menggunakan stek, maka dipilih batang yang berasal dari tanaman induk yang telah cukup berkayu. Sedangkan perbanyakan menggunakan biji, maka dipilih biji jarak yang telah cukup tua yaitu diambil dari buah yang telah masak (biasanya kulit buah berwarna hitam).

Pembibitan dapat dilakukan di polybag. Setiap polybagdiisi dengan media tanam berupa tanah lapisan atas (top soil) yang dicampur dengan pasir dengan perbandingan 3:1. Jika sifat tanah yang digunakan agak liat maka media tanam ditambahkan dengan arang sekam. Setiap polybag diisi satu benih. Selama pembibitan, bibit harus disiram setiap 2 - 3 kali sehari, penyiangan dan seleksi bibit. Waktu pembibitan ialah 2 - 3 bulan.

Setelah bibit berumur 2 - 3 bulan dengan ciri-ciri tinggi batang dari permukaan tanah sampai batang atas sekitar 30 - 40 cm dan jumlah daun lebih dari lima helai maka jarak bisa dipindahkan ke lahan. Lahan yang akan ditanami harus dibersihkan dari semak belukar terutama disekitar calon tempat tanam. Pengajiran dilakukan dengan menancapkan ajir (dari bambu atau batang kayu) dengan jarak tanam disesuaikan dengan jumlah tanaman yang akan direncanakan. Misalkan penanaman dengan jarak tanam 2 x 3 m maka untuk 1 Ha lahan terdapat 1660 pohon jarak. Pada areal yang miring sebaiknya digunakan sistem kontur dengan jarak tanam 1.5 m. Lubang tanam dibuat dengan ukuran 40 cm x 40 cm x 40 cm.

Pemupukan dapat dilakukan sesuai tingkat kesuburan tanah setempat. Jones dan Miller (1992) menyatakan bahwa untuk mendapatkan produksi yang tinggi pada tanah miskin hara dan alkalin, tanaman perlu dipupuk baik pupuk organik dan anorganik yang mengandung sedikit kalsium, magnesium dan sulfur. Saat ini rekomendasi dosis pemupukan untuk jarak pagar belum ada, oleh karena itu dosis pemupukannya disamakan dengan pemupukan pada jarak kepyar yaitu 80 kg N, 18 kg P2O5, 32 kg K2O, 12 kg CaO dan 10 kg MgO. Semua pupuk


(22)

pupuk nitrogen saja yang diberikan. Pada daerah dengan kandungan phospat (P) rendah, penggunaan mikoriza dapat membantu pertumbuhan tanaman jarak.

Selain pemupukan, perawatan yang dilakukan ialah pemangkasan yang bertujuan untuk meningkatkan jumlah cabang yang produktif. Pemangkasan batang dapat mulai dilakukan pada ketinggian sekitar 20 cm dari permukaan tanah. Serangan hama dan penyakit pada jarak pagar umumnya jarang terjadi karena sistem penanaman jarak pagar dicampur dengan tanaman lain seperti gamal (Glyrecidia maculta) dan waru.

Jarak mulai berbunga setelah berumur 3 - 4 bulan dan pembentukan buah mulai pada umur 4 - 5 bulan. Pemanenan dilakukan jika buah telah masak (biasanya berumur 5 - 6 bulan) dengan ciri kulit buah berwarna kuning dan mengering. Tanaman jarak pagar merupakan tanaman tahunan yang dapat berumur lebih dari 20 tahun jika dipelihara dengan baik. Produktivitas tanaman jarak berkisar 3.5 – 4.5 kg biji/ pohon/ tahun. Produksi akan stabil setelah tanaman berumur lebih dari satu tahun. Tingkat populasi tanaman antara 2500 -3300 pohon/ Ha. Jika rendemen minyak jarak sebesar 35% maka dari setiap hektar luas lahan diperoleh 2.5 - 5 ton minyak/ Ha/ tahun.

B. Konsep Irigasi

Irigasi adalah pemberian air pada tanah untuk mempertahankan kelembaban tanah yang optimum untuk pertumbuhan tanaman (Hansen et. al.,

1986). Pemberian air dapat dibedakan dalam empat cara yaitu : 1. Irigasi Permukaan (Surface Irrigation)

Sistem irigasi permukaan dapat dibedakan berdasarkan pemberian dan pembagian pada petak tanaman, yaitu diantara bedeng atau petak tanaman dan diantara lajur – lajur tanaman (Hansen et. al., 1986).

2. Irigasi Bawah Permukaan (Subsurface Irrigation)

Irigasi bawah permukaan dapat dilakukan dengan menggunakan saluran – saluran air di bawah permukaan tanah dan bermanfaat bagi daerah dengan topigrafi datar dan lapisan tanah yang tembus air (Hansen et. al., 1986).


(23)

3. Irigasi Curah (Sprinkler Irrigation)

Pemberian air irigasi didistribusikan secara seragam dan efisein pada areal pertanian dengan menyerupai curah hujan dengan aliran yang rendah tapi berperiode (Benami dan Ofen, 1984). Sistem ini dapat diterapkan untuk areal pertanian dengan berbagai iklim dan topografi bergelombang kecuali di daerah dengan suhu dan kecepatan angin yang tinggi. Komponen penyusun sistem irigasi curah adalah sebagai berikut:

a. Sumber air irigasi

Sumber air irigasi dapat berasal dari mata air, sumber air yang permanent (sungai, danau, dsb), sumur atau suatu system suplai regional. Idealnya sumber air terdapat di atas hamparan, bersih (tidak keruh) dan tersedia sepanjang musim.

b. Sumber energi untuk pengairan

Sistem irigasi dapat dioperasikan dengan menggunakan sumber energi yang berasal dari gravitasi (jauh lebih murah), pemompaan pada sumber air, atau penguatan tekanan dengan menggunakan pompa penguat tekanan (booster pump).

c. Jaringan pipa

Jaringan pipa pada system irigasi curah adalah pipa lateral (pipa tempat diletakkannya sprinkler), pipa manifold(pipa yang menghubungkan pipa-pipa leteral), valve line (pipa tempat diletakkan katup air), mainline (pipa yang dihubungkan dengan valve line) dan supplay line (pipa yang menyalurkan air dari sumber air).

Beberapa keuntungan irigasi curah antara lain: i) efisiensi pemakaian air cukup tinggi

ii) dapat digunakan untuk lahan dengan topografi bergelombang dan kedalaman tanah (solum) yang dangkal, tanpa diperlukan perataan lahan (land grading). iii) cocok untuk tanah berpasir di mana laju infiltrasi biasanya cukup tinggi.

iv) aliran permukaan dapat dihindari sehingga memperkecil kemungkinan terjadinya erosi.

v) pemupukan terlarut, herbisida dan fungisida dapat dilakukan bersama-sama dengan air irigasi.


(24)

vi) biaya tenaga kerja untuk operasi biasanya lebih kecil daripada irigasi permukaan.

vii) dengan tidak diperlukannya saluran terbuka, maka tidak banyak lahan yang tidak dapat ditanami.

Sedangkan faktor pembatas penggunaan irigasi curah adalah:

i) kecepatan dan arah angin berpengaruh terhadap pola penyebaran air ii) air irigasi harus cukup bersih bebas dari pasir dan kotoran lainnya iii) investasi awal cukup tinggi

iv) diperlukan tenaga penggerak di mana tekanan air berkisar antara 0.5 - 10 kg/cm2.

Skema jaringan irigasi curah dapat dilihat pada Lampiran 6. Efisiensi irigasi sprinkler dapat diukur berdasarkan keseragaman penyebaran air dari sprinkler. Efesiensi irigasi sprinkler yang tergolong tinggi adalah bila nilai Coefficient of Uniformity (CU) lebih besar dari 75%. Berikut adalah rumus CU menurut Christiansen (1942) dalam A. F. Pillsburry (1968) :

      

   

n X

X Xi

CU 100 1 ... (1)

Keterangan :

i

X = nilai masing – masing pengamatan (mm), X = nilai rata – rata pengamatan (mm), n = jumlah total pengamatan.

4. Irigasi Tetes (Drip Irrigation)

Pemberian air dengan irigasi tetes dilakukan dengan menggunakan beberapa nozel yang diletakkan di permukaan tanah dekat tanaman dengan tekanan yang diberikan nilainya kecil dan debit kurang dari 1.3 lt//jam. Cara pemberian air dengan sistem ini ialah dapat mengurangi kehilangan air yang berlebihan karena daerah yang dibasahi terbatas pada daerah perakaraan.

Pemberian air pada irigasi tetes dilakukan dengan menggunakan alat aplikasi yang dapat memberikan air dengan debit yang rendah dan frekuensi yang tinggi (hampir terus-menerus) disekitar perakaran tanaman. Tekanan air yang masuk ke alat aplikasi sekitar 1.0 bar dan dikeluarkan dengan tekanan mendekati


(25)

nol untuk mendapatkan tetesan yang terus menerus dan debit yang rendah, sehingga irigasi tetes diklasifikasikan sebagai irigasi bertekanan rendah. Pada irigasi tetes, tingkat kelembaban tanah pada tingkat yang optimum dapat dipertahankan. Sistem irigasi tetes sering didesain untuk dioperasikan secara harian (minimal 12 jam per hari). Komponen penyusun sistem irigasi tetes adalah: a. Sumber air irigasi

b. Pompa dan tenaga penggerak c. Jaringan pipa

Jaringan pipa pada sistem irigasi tetes terdiri dari emitter atau penetes (komponen yang menyalurkan air dari pipa lateral ke tanah sekitar tanaman secara kontinu dengan debit yang rendah dan tekanan mendekati tekanan atmosfer), lateral(pipa dimana emitterditempatkan dan terbuat dari pipa PVC atau PE dengan diameter antara ½"- 1 ½"), pipa manifold (pipa yang mendistribusikan air ke pipa-pipa lateral dan terbuat dari pipa PVC dengan diameter 2" - 3"), pipa utama (komponen yang menyalurkan air dari sumber air ke pipa-pipa distribusi dalam jaringan dan terbuat dari pipa PVC atau paduan antara semen dan asbes) dan komponen pendukung lainnya yang terdiri dari katup-katup saringan, pengtur tekanan, pengatur debit dan sistem pengontrol lainnya.

Kelebihan irigasi tetes dibandingkan dengan metoda irigasi lainnya, ialah: i) Meningkatkan nilai guna air

Secara umum, air yang digunakan pada irigasi tetes lebih sedikit dibandingkan dengan metode lainnya. Penghematan air dapat terjadi karena pemberian air yang bersifat lokal dan jumlah yang sedikit sehingga akan menekan evaporasi, aliran permukaan dan perkolasi. Transpirasi dari gulma juga diperkecil karena daerah yang dibasahi hanya terbatas disekitar tanaman.

ii) Meningkatkan pertumbuhan tanaman dan hasil

Fluktuasi kelembaban tanah yang tinggi dapat dihindari dengan irigasi tetes ini dan kelembaban tanah dipertahankan pada tingkat yang optimal bagi pertumbuhan tanaman.


(26)

Pemberian pupuk atau bahan kimia pada metode ini dicampur dengan air irigasi, sehingga pupuk atau bahan kimia yang digunakan menjadi lebih sedikit, frekuensi pemberian lebih tinggi dan distribusinya hanya di sekitar daerah perakaran.

iv) Menekan resiko penumpukan garam

Pemberian air yang terus menerus akan melarutkan dan menjauhkan garam dari daerah perakaran.

v) Menekan pertumbuhan gulma

Pemerian air pada irigasi tetes hanya terbatas di daerah sekitar tanaman, sehingga pertumbuhan gulma dapat ditekan.

vi) Menghemat tenaga kerja

Sistem irigasi tetes dapat dengan mudah dioperasikan secara otomatis, sehingga tenaga kerja yang diperlukan menjadi lebih sedikit. Penghematan tenaga kerja pada pekerjaan pemupukan, pemberantasan hama dan penyiangan juga dapat dikurangi.

Sedangkan kekurangan sistem irigasi tetes ialah : i) Memerlukan perawatan yang intensif

Penyumbatan pada penetes merupakan masalah yang sering terjadi pada irigasi tetes, karena akan mempengaruhi debit dan keseragaman pemberian air. Untuk itu diperlukan perawatan yang intesif dari jaringan irigasi tetes agar resiko penyumbatan dapat diperkecil.

ii) Penumpukan garam

Bila air yang digunakan mengandung garam yang tinggi dan pada derah yang kering, resiko penumpukan garam menjadi tinggi.

iii) Membatasi pertumbuhan tanaman

Pemberian air yang terbatas pada irigasi tetes menimbulkan resiko kekurangan air bila perhitungan kebutuhan air kurang cermat.

iv) Keterbatasan biaya dan teknik

Sistem irigasi tetes memerlukan investasi yang tinggi dalam pembangunannya. Selain itu, diperlukan teknik yang tinggi untuk merancang, mengoperasikan dan memeliharanya.


(27)

Skema jaringan irigasi tetes dan contoh jaringan pipa dapat dilihat pada Lampiran 2. Efesiensi irigasi tetes yang tergolong tinggi adalah bila nilai Emission of Uniformity (EU) lebih besar dari 85%. Berikut adalah rumus EU menurut Keller dan Bleisner (1990) :

a

q q v N

EU 1.27 min

1

100

      

 ... (2)

a n q n q q q q

v ... / 1

2 2 3 2 2 2

1     

 ... (3)

Keterangan :

v = variasi debit emiter (mm), q1, q2, q3, …qn = debit setiap emiter (lt/jam), n =

jumlah emitter, qa = debit emitter rata –rata (lt/jam), qmin = debit emitter terendah

(lt/jam), dan N = jumlah emitter per tanaman.

C. Kandungan Lengas Tanah

Menurut Benami dan Ofen (1984) tanah merupakan penyimpan air yang digunakan oleh tanaman untuk pertumbuhannya. Sedangkan menurut Arsyad (1983), tanah merupakan suatu benda alami heterogen yang terdiri atas fase padat, cair dan gas. Sebagai produk alami yang heterogen dan dinamik, maka sifat dan perilaku tanah berbeda dari suatu tempat dengan tempat lainnya.

Air yang terkandung di dalam tanah diklasifikasikan menjadi air higroskopik, air kapiler dan air gravitasi. Pengelompokan ini didasarkan pada konsep dasar potensial air tanah yaitu berdasarkan perbedaan besarnya energi atau gaya yang menahan air (Richards dan Wadleigh, 1952 dalam Herlika Asriasuri, 1997).

Gaya yang menahan dan meresapkan airdalam tanah terdiri dari gaya adhesi, gaya kohesi dan gaya gravitasi. Air yang ditahan oleh gaya adhesi antara tanah dan air sehingga diserap oleh tanah dengan sangat kuat dan tidak dapat digunakan oleh tanaman disebut air higroskopik. Air kapiler adalah keadaan dimana gaya kohesi dan gaya adhesi lebih kuat dari gaya gravitasi sehingga air tertahan dalam pori – pori tanah. Sedangkan air gravitasi adalah air yang tidak dapat ditahan oleh tanah sehingga meresap kebawah karena gaya gravitasi


(28)

(Hardjowigeno, 1992). Tersedianya lengas tanah selain diperoleh melalui curah hujan, juga dapat melalui sistem irigasi.

Kapasitas lapang (field capacity) yaitu jumlah air yang ditahan oleh tanah terhadap gaya tarik bumi (gravitasi). Pada keadaan ini, kelembaban tanah diikat oleh partikel tanah dengan tegangan matriks kira – kira sebesar 1/3 atm atau pada pF 2.54. Air yang dapat ditahan oleh tanah tersebut terus menerus diserap oleh akar tanaman atau menguap sehingga tanah makin lama makin mongering dan pada suatu saat akar tanaman tidak mampu lagi menyerap air tersebut sehingga tanaman menjadi layu (kondisi titik layu permanen).

Titik layu permanen atau wilting pointyaitu keadaan air tanah diperakaran tananan dimana air tersebut sudah tidak bisa digunakan oleh tanaman sehingga terjadi layu permanen pada tanaman. Kelembaban tanah pada keadaan ini diikat dengan tegangan matriks kira – kira sebesar 15 atm atau pF 4.2.

Air tersedia yaitu bagian air tanah yang terdapat antara kapasitas lapang dan titik layu permanen. Antara kapasitas lapang dan titik layu permanen ini terdapat titik kritis lengas tanah. Apabila lengas tanah berada dibawah titik kritis maka air didalam tanah tidak dapat lagi diserap oleh akar tanaman. Lengas tanah tersedia antara kapasitas lapang dan titik kritis lengas tanah dinamakan lengas tanah segera tersedia atau RAM (Ready Avaiable Soil Moisture). Perbandingan antara kandungan lengas tanah tersedia total (TAM, Total Avaible Moisture) dengan RAM diberikan oleh factor deplesi (p) yang dipengaruhi oleh iklim, evapotranspirasi, jenis tanaman dan tahap pertumbuhan. Berdasarkan data diatas, air didalam tanah diklasifikasikan menjdi tiga kelompok yaitu air tanah tersedia, air berlebih dan air tidak tersedia (Hakim et al., 1986).

Menurut Hansen et al., (1992), ekstraksi tanaman terhadap air tanah umumnya mempunyai pola 40 – 30 – 20 – 10 % dari kebutuhannya terhadap air yang benar – benar tersedia untuk tanaman. Berikut adalah klasifikasi kelembaban tanah dengan tegangan airnya menurut Hardjowigeno (1992).


(29)

Tabel 2. Klasifikasi kelembaban tanah dengan tegangan air tanah

Klasifikasi kelembaban tanah Tegangan air tanah (pF)

Jenuh air 0

Air gravitasi

Kapasitas Lapang 2.54

Air Kapiler (dapat diserap tanaman)

Titik Kritis 3.8

Titik Layu permanen 4.2

Air Kapiler (tidak dapat diserap tanaman) Sumber : Hardjowigeno (1992)

D. Kebutuhan Air Tanaman

Kebutuhan air tanaman (crop water management) adalah besarnya jumlah air yang digunakan oleh tanaman untuk berproduksi atau secara umum menunjukkan jumlah evaporasi dari bahan yang digunakan oleh tanaman dan transpirasi yang terjadi pada tanaman. Kebutuhan air tanaman biasa disebut sebagai evapotranspirasi. Menurut Doorenbos dan Pruitt (1977), kebutuhan air tanaman merupakan jumlah air yang dibutuhkan untuk mengimbangi evapotranspirasi tanaman (ETc) yang tumbuh pada suatu lahan yang luas, kondisi air tanah dan kesuburan tanah tidak dalam keadaan terbatas serta dapat mencapai produksi potensial pada lingkungan tumbuhnya.

Besarnya kebutuhan air tanaman bisa dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti iklim, tanah, teknik budidaya dan irigasi yang digunakan. Menurut Hansen

et al., (1979) faktor cuaca yang mempengaruhi laju evapotranspirasi ialah intensitas radiasi surya, lama penyinaran, suhu udara, kelembaban relatif udara dan kecepatan angin. Selain faktor tersebut, Doorenbos dan Pruit (1977) menyatakan bahwa karateristik pertumbuhan dan perkembangan tanaman juga mempengaruhi nilai evapotranspirasi. Umumnya pada fase vegetatif, tanaman memerlukan air dalam jumlah yang relatif banyak.

Kekurangan air pada periode tertentu akan mengurangi hasil, contohnya pada awal pertumbuhan akan mengurangi hasil sampai 50%, awal fase pembungaan akan mengurangi hasil hingga 25%. Sedangkan kelebihan air dalam


(30)

tanah akan mengakibatkan buruknya aerasi sehingga mengurangi persediaan oksigen dalam tanah. Hal ini sangat mempengaruhi pernapasan akar yang berguna bagi aktivitasnya.

Selama tanaman terus tumbuh (berkembang) maka luas penutupan tanah oleh tanaman (ground cover), tinggi tanaman dan luas daun akan terus bertambah. Hal ini disebut sebagai laju pertumbuhan tanaman. Laju pertumbuhan tanaman selama pembibitan terbagi menjadi empat tahap, yaitu tahap awal pertumbuhan (intial stage), tahap perkembangan (development stage), tahap pertengahan (mid season) dan tahap akhir (late season). Untuk lebih jelasnya, keempat tahap pertumbuhan tanaman dapat dilihat dalam Gambar 4 dibawah ini.

Gambar 4. Tahap pertumbuhan tanaman (Sumber : Doorenbos dan Pruitt, 1977)

Panjang masing – masing tahap pertumbuhan jarak pagar berbeda – beda. Hal ini tergantung dari kondisi iklim, waktu penanaman dan leteak wilayah. Berikut adalah panjang tahap pertumbuhan tanaman menurut Doorenbos dan Pruit (1977).


(31)

Tabel 3. Panjang tahap pertumbuhan (hari) tanaman penghasil minyak

Tanaman

L ini (hari)

L dev (hari)

L mid (hari)

L late (hari) Total (hari) Bulan tanam Daerah Castor beans (jarak)

25 40 65 50 180 Maret

Indonesia

20 40 50 25 135 Nov

Safflower

20 35 45 25 125 April

California, USA

25 35 55 30 145 Maret

High Latitudes

35 55 60 40 190 Okt/ Nov Arid regions

Sunflower 25 35 45 25 130

April/ Mei

Mediterania, California

Sesame 20 30 40 20 100 Juni Cina

Sumber : Doorenbos and Pruitt (1977)

Kebutuhan air tanaman dapat dihitung dengan pengukuran secara langsung atau metode pendugaan (Arsyad, 1985). Menurut Hansen et., al., (1979) metode pengukuran secara langsung ialah percobaan tangki lisimeter, integrasi, aliran masuk dan aliran keluar, keseimbangan energi dan perpindahan panas dan massa, dan pengukuran perubahan kelembaban tanah. Sedangkan pengukuran secara tidak langsung ialah dengan metode penggunaan ETo. Menurut Doorenbos dan

Pruit (1977) ada empat cara menentukan nilai ETo yaitu: metode Blaney–Criddle,

metode Panci–Evaporasi, metode Radiasi, metode Penman dan metode Penman -Moeinth. Disamping itu terdapat metode lainnya yaitu metode Harvges, metode Thornwaite, metode Thornwaite – Mather, metode Meyer dan Metode Turclangbein.

Namun dari keempat metode ini, yang digunakan ialah metode Penman karena tingkat kesalahan dari metode ini hanya 10%. Metode penman digunakan apabila tersedia data suhu udara rata – rata harian, kelembaban udara rata – rata harian, kecepatan angin rata – rata harian dan lama (jam) penyinaran matahari rerata harian dengan persamaan sebagai berikut :

ETo= c [ W * Qn+ ( 1 – W ) * f(u) * ( ea-ed )] ... (4)

Qn = Qs * ( 1 – r ) - Qc ... (5)

Qc = 2.01*10-9* T4* (0.34 + 0.044 √ea) * (0.1 + 0.9 n/D) ... (6)

f(u) = 0.27 * (1 + U/100 ) ... (7) ETc = Kc x ETo ... (8)


(32)

dimana c ialah faktor koreksi yang nilainya tergantung pada kondisi cuaca siang dan malam hari, Qn ialah radiasi bersih ekuivalen dengan evaporasi (mm/hari), Qs

ialah radiasi gelombang pendek yang diterima bumi, r ialah nilai albedo (untuk Indonesia r = 0.29), Qc ialah radiasi gelombang panjang yang dipancarkan

kembali, T ialah suhu mutlak, ea ialah tekanan uap air nyata (mbar), n ialah lama

penyinaran nyata (jam), D ialah lama penyinaran maksimum (jam), U ialah kecepatan angin dua meter diatas permukaan tanah dan (ea - ed) ialah perbedaan

antara tekanan uap jenuh pada suhu udara rata-rata harian dan tekanan aktual, dan Kc ialah koefisien tanaman yang tergantung pada jenis dan periode pertumbuhan tanaman.

Selain data – data klimatologi diatas, kondisi lingkungan setempat juga mesti diperhatikan dalam pengukuran kebutuhan air tanaman. Yang termasuk kedalam kondisi lingkungan setempat ialah variasi iklim setiap saat, ketinggian tempat, ukuran lahan pertanian, air tanah tersedia, salinitas, metode irigasi dan budidaya pertanian (agronomi).

Tabel 4. Perbandingan antara metode pendugaan evapotranspirasi.

No Data Klimatologi Blaney-Criddle Radiasi Penmen Panci Evaporasi

1 Suhu * * *

2 Kelembaban udara 0 0 * 0

3 Kecepatan angin 0 0 * 0

4 Lama penyinaran 0 (*) (*)

5 Evaporasi *

6 Kondisi Lingkungan 0 0 0 *

Keterangan : * ialah data diukur (kuantitatif) 0 ialah data diduga (kualitatif)

(*) ialah jika tersedia, tidak begitu penting

E. Curah Hujan Efektif

Menurut Doorenbos dan Pruitt (1977) tidak semua curah hujan efektif karena sebagian dapat hilang sebagai aliran permukaan, perkolasi dan evaporasi. Hanya sebagian dari curah hujan dengan intensitas tinggi yang dapat masuk dan disimpan dalam daerah perakaran dan efektifitasnya sangat rendah. Curah hujan dengan frekuensi rendah yang tertahan oleh tumbuhan yang menutupi seluruh


(33)

permukaan tanah hampir 100% efektif. Dengan permukaan tanah yang kering dan sedikit atau sama sekali tanpa vegetasi, curah hujan sebesar 8 mm/hari dapat seluruhnnya hilang karena evaporasi, curah hujan sekitar 25 – 30 mm/hari hanya 60% efektif pada vegetasi rendah.

Curah hujan efektif adalah jumlah curah hujan yang secara efektif berguna untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman, tidak termasuk kehilangan sebagai aliran permukaan, perkolasi dan kelembaban yang tertinggal dan tidak dapat dipergunakan untuk periode selanjutnya (Dastane, 1974). Oldemen dan Sjarifuddin (1977) mengatakan bahwa jumlah curah hujan yang jatuh dan efektif untuk pertumbuhan tanaman tergantung pada intesitas hujan, topografi daerah, sistem penanaman dan tahap pertumbuhan tanaman.

F. Media Tanam

Media tanam merupakan komponen utama ketika akan bercocok tanam. Media tanam yang akan digunakan harus disesuaikan dengan jenis tanaman yang ingin ditanam. Menentukan media tanam yang tepat dan standar untuk jenis tanaman yang berbeda habitat asalnya merupakan hal yang sulit. Hal ini dikarenakan setiap daerah memiliki kelembapan dan kecepatan angin yang berbeda. Secara umum, media tanam harus dapat menjaga kelembapan daerah sekitar akar, menyediakan cukup udara, dan dapat menahan ketersediaan unsur hara.

Berdasarkan jenis bahan penyusunnya, media tanam dibedakan menjadi dua yaitu bahan organik dan anorganik. Media tanam yang termasuk dalam kategori bahan organik umumnya berasal dari komponen organisme hidup, misalnya bagian dari tanaman seperti daun, batang, bunga, buah, atau kulit kayu. Penggunaan bahan organik sebagai media tanam jauh lebih unggul dibandingkan dengan bahan anorganik. Hal itu dikarenakan bahan organik sudah mampu menyediakan unsur-unsur hara bagi tanaman. Selain itu, bahan organik juga memiliki pori-pori makro dan mikro yang hampir seimbang sehingga sirkulasi udara yang dihasilkan cukup baik serta memiliki daya serap air yang tinggi. Beberapa jenis bahan organik yang dapat dijadikan sebagai media tanam di


(34)

antaranya arang, cacahan pakis, kompos, moss, sabut kelapa, pupuk kandang, dan humus.

Sedangkan media tanam yang berasal dari bahan anorganik adalah bahan dengan kandungan unsur mineral tinggi yang berasal dari proses pelapukan batuan induk di dalam bumi. Proses pelapukan tersebut diakibatkan oleh berbagai hal, yaitu pelapukan secara fisik, biologi-mekanik, dan kimiawi. Berdasarkan bentuk dan ukurannya, mineral yang berasal dari pelapukan batuan induk dapat digolongkan menjadi 4 bentuk, yaitu kerikil atau batu-batuan (berukuran lebih dari 2 mm), pasir (berukuran 1 - 2 mm), debu (berukuran 2 – 50 µm), dan tanah liat (berukuran kurang dari 2 µm). Selain itu, bahan anorganik juga bisa berasal dari bahan-bahan sintetis atau kimia yang dibuat di pabrik. Beberapa media anorganik yang sering dijadikan sebagai media tanam yaitu gel, pasir, kerikil, pecahan batu bata, spons, tanah liat, vermikulit, dan perlit.


(35)

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Febuari 2009 – Mei 2009, bertempat di Greenhouse Kebun Percobaan Leuwikopo, Institut Pertanian Bogor.

B. Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini ialah :

1. Pluviometer yang digunakan untuk mengukur curah hujan. Alat ini dapat dilihat pada Lampiran 1.

2. Dua buah pasang thermometer bola basah dan bola kering untuk mengukur suhu dan kelembaban udara.

3. Anemometer yang digunakan untuk mengukur kecepatan angin.

4. GPS yang digunakan untuk menenetukan altitude dan latitude Greenhouse. 5. Mistar untuk mengukur ketinggian tanaman.

6. Jangka sorong untuk mengukur diameter batang. 7. Gelas ukur dengan volume 500 ml dan pipet.

8. Gelas plastik untuk mengukur nilai keseragaman sistem irigasi (EU dan CU).

9. Selang air yang berdiameter 3/4". 10.Stopwatchuntuk mengukur waktu.

11. Timbangan manual dengan kapasitas 10 kg dan ketelitian 10 gram. 12. Seperangkat sistem irigasi tetes modifikasi

Sistem irigasi tetes ini terdiri dari penetes yang terbuat dari acetal copolymers berwarna putih dan senar plastik berdiamter luar 2 mm berwarna hijau, pipa utama (manifold) dan pipa lateral yang terbuat dari PVC hose berwarna hitam, ember plastik berkapasitas 30 lt sebagai tangki air, ember plastik berkapasitas 10 lt sebagai dudukan ember air berkapasitas 30 lt, sock drat dalam dan drat luar, stopkran 0.5″ yang terbuat dari PVC, screen filter yang terbuat dari kain batis dan karet ban dalam sebagai perapat waktu pemasangan drat dalam dan drat luar,


(36)

sambungan T-joint sebagai penghubung jaringan pipa, tutup pulpen sebagai end-plug.

13. Seperangkat sistem irigasi curah.

Sistem irigasi curah ini terdiri dari pompa air untuk membawa air dari sumber air ke sprinkler, pipa manifold dan pipa lateral yang terbuat dari PE berdiameter 13 mm, mata sprinkler tipe spray jet, riser sebagai peninggi mata sprinkler, sambungan pipa berupa X-cross 13 mm dan Elbow 13 mm, end plug13 mm, red joiner13 mm, punchdan filterair dan

pressure gauge. 14. Kamera digital.

15. Komputer dengan program SAS, Microsoft Excel, Microsoft Word dan AutoCAD 2007 untuk mengolah data dan menggambar.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini ialah :

1. Biji jarak pagar IP-1P yang berasal dari Kebun Percobaan Pakuwon, Sukabumi dengan daya kecambah 84.4%.

2. 96 buah polybagdengan ukuran 20 x 20 cm.

3. Media tanam yang terdiri dari tanah, pasir malang dan pupuk kandang dengan perbandingan 3:1:1.

4. Sumber air irigasi.

C. Prosedur Penelitian

1. Setting Sistem Irigasi Tetes

Sistem irigasi tetes yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil rancangan dari Rina Wilastra STP., yang merupakan modifikasi dari sistem irigasi tetes komersial. Skema jaringan irigasi tetes dapat dilihat dalam Lampiran 2.

Sistem irigasi terdiri dari tiga subsistem yaitu sumber air, jaringan pipa dan penetes. Subsistem sumber air terdiri dari ember kapasitas 30 lt, penyangga ember berupa berukuran 15 lt yang dibalik, stopkran, sock drat dalam dan drat luar. Ember diletakkan 0.5 m diatas permukaan tanah. Drat dalam dan drat luar dipasang di tangki air yang berfungsi sebagai dudukan stopkran. Drat terbuat dari PVC. Untuk mencegah kebocoran antara dinding ember dengan drat dipasang seal


(37)

Subsistem jaringan pipa terdiri dari pipa manifold dan lateral yang terbuat dari PVC hose hitam 5/16" dengan panjang masing – masing 2 m dan 1.8 m. Pipa manifold dengan pipa lateral dihubungkan dengan T-joint kuningan yang telah dilapisi sealtip yang berfungsi mencegah kebocoran ditiap sambungan antara pipa dengan T-joint. Pada ujung pipa lateral dan manifold dipasang penutup (end plug) yang terbuat dari tutup pulpen plastik. Layout jaringan irigasi tetes dapat dilihat dalam Lampiran 3.

Subsistem penetes terdiri dari penetes dan penyumbat. Pada jaringan pipa lateral dilengkapi dengan microtube sebagai penetes. Agar pembagian air lebih merata, microtube dipasang menjadi dua lajur yaitu sebelah kiri dan sebelah kanan. Penyumbat berfungsi memberikan debit air yang rendah yaitu kurang dari 8 lt/jam dalam bentuk tetesan dan sebagai tongkat pengatur (regulating stick) pada saat penetes ditancapkan ketanah. Microtube berdiameter dalam 1 mm, panjang 60 cm dan salah satu ujungnya dipotong miring sekitar 45º - 60º. Penyumbat terbuat dari senar plastik berdiameter 2 mm, diameter penyumbat 1.8 mm, diameter serutan 1.6 mm, panjang serutan 1 cm yang meruncing ke ujung dengan tebal 0.2 mm, dan panjang penyumbat 5 cm. Gambar isometri dan detail dari subsistem penetes dapat dilihat pada Lampiran 4 dan 5.

Setelah ketiga subsistem penyusun irigasi tetes dipersiapkan berikut adalah urutan perakitan sistem irigasi ini:

a. Rakit subsistem sumber air berupa pemasangan ember air berkapasitas 30 lt, saringan, sock drat dalam, drat luar dan stopkran menjadi satu kesatuan dan diletakkan diatas ember plastik berkapasitas 15 lt.

b. Satukan rangkaian subsistem sumber air dengan subsistem jaringan pipa dan selanjutnya dengan subsistem penetes menjadi satu kesatuan.

c. Operasikan sistem irigasi tetes dengan mengisi ember air dan mengatur bukaan stopkran.

Jika sistem irigasi tetes sudah dirakit, maka selanjutnya diukur nilai keseragaman irigasi tetes atau coefficient uniformity dan variasi debit emitter

seperti yang ada pada rumus nomor 2 dan 3. Pengukuran nilai EU irigasi tetes dilakukan secara volume gravimetric yaitu air yang keluar dari emitterditampung


(38)

dalam gelas plastik selama 1 menit, kemudian air yang telah ditampung tersebut diukur menggunakan gelas ukur 10 ml.

2. Setting Sistem Irigasi Curah

Sistem irigasi curah yng digunakan terdiri dari beberapa komponen yaitu sumber air, pompa air, jaringan pipa, sprinkler dan komponen lainnya seperti

filter air dan pressure gauge.

Sistem jaringan pipa terdiri dari 2 pipa manifold dan 3 pipa lateral.

Panjang pipa manifold ialah 1.6 m dan pipa lateralialah 2 m. Antar pipa manifold

dihubungkan dengan sambungan X-cross dan diujung manifold lainnya dipasang

elbow yang dihubungkan dengan lateral. Di ujung lateral di pasang end plug. Diujung X-cross tersambung pipa PE dengan panjang 10 cm. Dari ujung PE yang lain terdapat red joiner yang menghubungkan PE dengan preesure gauge.

Filter air diletakan antara pressure gauge dengan selang air yang tersambung dengan pompa air. Hal ini dilakukan supaya kerikil yang ikut terbawa dalam aliran air tidak merusak pressure gauge. Antara filter air dengan pressure gauge terdapat pipa PE yang disambungkan dengan red joiner.

Setelah semua jaringan pipa tersambung, buatlah 2 lubang tiap lateral

menggunakan punch dimana jarak antar lubang 50 cm. Setelah lubang dibuat, tancapkan riser yang telah tersambung dengan mata sprinkler.

Langkah selanjutnya ialah menghitung besarnya CU dengan cara meletakkan beberapa gelas plastik pada jarak 40 cm x 40 cm. Ukur berapa volume air yang tertampung selama 3 menit. Hitung nilai CU dengan rumus nomor 1. Jika CU sistem dibawah 75%, ubahlah panjang pipa spasi antar lateral dan sprinkler. 3. Mengukur Kapasitas Lapang Media Tanam

Menurut hasil penelitian Heri Istiana dan Impron Sadikin (2008) dalam

Cara Pengujian Media Tumbuh pada Pembibitan Tanaman Jarak Pagar bahwa media tanam pembibitan jarak pagar yang baik ialah campuran antara tanah (topsoil) , pasir malang dan pupuk kandang dengan perbandingan 3:1:1.

Cara mengukur kapasitas lapang media tanam:

a. Campurkan 3 kg tanah yang sudah diayak, 1 kg pasir pasir malang dan 1 kg pupuk kandang kedalam suatu wadah.


(39)

b. Setelah ketiga komponen media tanam tercampur rata, bagi menjadi dua bagian campuran media tanam tersebut, bagian pertama digunakan untuk mengukur kadar air awal dan bagian kedua digunakan untuk mengukur kadar air pada kapasitas lapang.

c. Untuk mengukur kadar air awal, ambil 4 cawan aluminium dan ukur berat awal masing – masing cawan (m0) dalam timbangan digital setelah itu

masukan 10 g media tanam kedalam masing – masing cawan (m1).

d. Masukan cawan yang telah berisi media tanam kedalam oven yang telah di-set suhunya sebesar 150 0C.

e. Setelah 24 jam, masing – masing cawan dikeluarkan dari oven dan didinginkan selama 1 – 2 jam dalam eksikator, setelah itu timbang masing – masing berat cawan dan isinya (m2).

f. Setelah itu, lakukan langkah kelima sampai didapat berat cawan dan isinya stabil.

K. A. awal(% berat)= 100%

tan 

    oven ah berat air berat ... (9)

K. A. awal(% berat)= 100%

0 2 2 1         m m m m ... (10)

K. A. awal rata – rata =

4

. . ... .

.A awal1 K A awal4

K  

... (11)

g. Untuk mengukur kadar air pada kapasitas lapang hampir sama seperti mngukur kadar air awal, namun media tanam yang akan diukur harus direndam setengah bagiannya kedalam air selama 24 jam. Hal ini dimaksud agar seluruh pori tanah baik mikro atau makro seluruhnya terisi oleh air sehingga jenuh.

h. Setelah 24 jam direndam, angkat contoh tanah ini dan biarkan air merembes turun karena gaya gravitasi sampai air tidak merembes lagi (biasanya hal ini dicapai setelah 46 jam atau lebih).

i. Setelah tercapai keadaan kapasitas lapang, lakukan langkah ketiga sampai langkah keenam.

K. A. kl(% berat)= 100%

tan 

    oven ah berat air berat ... (12)


(40)

K. A. kl(% berat) = 100%

0 2

2 1

   

 

 

m m

m m

... (13)

K. A. kl rata – rata =

4

. . ... .

.A kl1 K A kl4

K  

... (14)

j. Jumlah air yang diberikan ialah :

(K. A. kl rata – rata) – (K. A. awal rata - rata) ... (15)

D. Pengamatan dan Pengambilan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer ialah data cuaca harian yang mesti diukur yaitu curah hujan, suhu maksimum pada pukul 13.00 WIB, suhu minimum pada pukul 07.00 WIB, RH maksimum, RH minimum, kecepatan angin, lama penyinaran matahari. Sedangkan data sekunder berupa data elevasi lahan, letak geografi lahan dan nilai Kc jarak pagar pada tiap fase pertumbuhan tanaman.

Sebelum penelitian dilaksanakan terdapat penelitian pendahuluan yaitu menset up sistem irigasi tetes dan curah dan menghitung kadar air media tanam pada kapasitas lapang. Set up sistem irigasi dilakukan untuk mendapatkan nilai keseragaman masing – masing sistem irigasi.

Parameter yang diamati dan diukur selama penelitian ialah jumlah daun, tinggi bibit dan diameter batang. Pengamatan dilakukan setiap minggu selama tiga bulan. Jumlah daun diamati dengan menghitung semua daun yang sudah terbentuk sempurna mulai dari daun terbawah sampai pucuk. Tinggi tanaman diukur mulai dari pangkal batang diatas permukaan tanah sampai titik tumbuh. Diameter batang diukur pada batang 1 cm diatas permukaan tanah. Alur kegiatan prosedur penelitian dapat dilihat dalam Gambar 5.

E. Pengolahan dan Analisis Data

1. Penentuan kebutuhan air tanaman

Kebutuhan air tanaman dihitung berdasarkan nilai evapotranspirasi acuan, ETo, dikalikan dengan koefisien tanaman itu sendiri pada tiap tahap pertumbuhannya. ETo dihitung menggunakan metode Penman.


(41)

KATperkembangan = ETc x Kcperkembangan ... (17)

KATtengah = ETc x Kctengah ... (18)

Sehingga kebutuhan air selama pembibitan :

KATtotal= KATinitial+ KATperkembangan + KATtengah... (19)

2. Mengevaluasi laju pertumbuhan tanaman

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ialah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga faktor perlakuan. Dari tiap perlakuan diambil lima sampel. Faktor 1 ialah penempatan bibit yaitu didalam dan diluar greenhouse. Faktor 2 ialah penggunaan sistem irigasi yaitu irigasi tetes dan irigasi curah. Faktor 3 ialah jumlah pemberian air irigasi yaitu kurang dari kapasitas lapang, sama dengan kapasitas lapang dan lebih dari kapasitas lapang.

Laju pertumbuhan tanaman dievaluasi menggunakan analsis sidik ragam (SAS) kemudian dilakukan uji lanjut Duncan pada beda taraf 5%. Uji lanjut Duncan digunakan untuk menentukkan mulai minggu keberapa perlakuan mempengaruhi tanaman. Jika nilai Pr > F dibawah 0.05 maka perlakuan mempengaruhi tanaman. Kurva pertumbuhan tanaman dianalisis menggunakan regresi linear (untuk diameter batang dan jumlah daun) dan logaritmik (untuk tinggi tanaman). Jika nilai R2 diatas 0.9 maka kurva laju pertumbuhan tanaman bagus.


(42)

(43)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sistem Irigasi 1. Irigasi Tetes

Sistem irigasi tetes terdiri dari beberapa komponen yaitu penetes (emiter), jaringan pipa (lateral dan utama), tekanan air dan saringan. Menurut Karmeli et al. (1985) bahwa semakin kecil debit penetes yang dihasilkan maka semakin baik karena debit penetes yang kecil akan memberikan laju aplikasi yang kecil. Diharapkan bahwa dengan laju aplikasi yang kecil tidak akan melebihi laju infiltrasi tanah yang akan menyebabkan terjadinya penggenangan di permukaan tanah. Pada penelitian ini dapat dilihat dalam Gambar 5, irigasi tetes ini tidak membutuhkan pompa namun memanfaatkan perbedaan ketinggian antara sumber air dengan tanah untuk menghasilkan tekanan sehingga air dapat menetes tepat di daerah perakaran. Perbedaan ketinggian antara sumber air dengan tanah yang digunakan ialah 0.5 m karena telah memberikan tetesan air (tidak efek memancur). Debit yang dihasilkan sekitar 3 – 4.3 ml/menit ≈ 0.18 - 0.258 lt/jam.

Gambar 6. Sistem irigasi tetes multi lajur.

Selain tidak menggunakan pompa, sistem irigasi ini juga dirancang dengan biaya yang mudah terjangkau oleh petani, dimana pipa lateral dan pipa manifold terbuat dari PVC hose hitam, emitter terbuat dari microtube berwarna putih dan penyumbat terbuat dari bahan senar plastik yang banyak tersedia di pasar lokal. Jaringan pipa yang digunakan terdiri dari dua pipa utama (manifold)


(44)

dan tiga pipa lateral yang terbuat PVC hitam berdiameter 5/16″. Pipa utama berfungsi menyalurkan air dari sumber air ke pipa lateral. Pipa lateral berfungsi sebagai penyalur air dari pipa manifold ke penetes. Pipa lateral juga merupakan tempat terpasangnya penetes. Panjang pipa manifold ialah 2 m dan panjang pipa

lateral 1.8 m. Antar pipa utama dengan pipa lateral dihubungkan dengan T-joint

yang terbuat dari kuningan. Skema jaringan irigasi tetes dapat dilihat dalam Lampiran 3.

Desain sistem irigasi tetes merupakan integrasi dari komponen – komponen (emitter, pipa, filter, dsb) menjadi satu susunan sistem yang mampu memberikan air kepada tanaman sesuai dengan kebutuhan. Pada penelitian ini dilakukan analsis yang berhubungan dengan kadar air pada sistem irigasi tetes yang sudah ada.

Menurut Rochester (1995) terdapat tujuh langkah dasar set up jaringan irigasi tetes yaitu menentukan jumlah air yang dibutuhkan tanaman per hari, jumlah emitter per tanaman, interval irigasi, volume air yang diberikan, lama aplikasi, hidraulik jaringan pipa dan komponen pendukung lainnya.

a. Set up jaringan irigasi tetes

 Jumlah air yang dibutuhkan tanaman per hari

Umumnya untuk menentukan jumlah air yang dibutuhkan tanaman per hari berdasarkan pada evapotranspirasi tanaman (ETc). ETc merupakan perkalian antara evapotranspirasi acuan (ETo) dengan koefisien tanaman (Kc). Perhitungan nilai ETo dan Kc dari jarak pagar dapat dilihat pada sub bab kebutuhan air tanaman di bagian pembahasan.

Jumlah air yang diberikan =

irigasi efisiensi

Etc x n terbasahka luas

... (20)

Luas terbasahkan ialah luas daerah yang terbasahkan oleh sebuah emitter sepanjang bidang horizontal pada kedalaman 30 cm dari permukaan tanah. Besarnya luas terbasahkan tergantung kepada laju dan volume pemberian air, tekstur dan strukstur tanah serta kemiringan lapisan tanah. Berikut adalah persamaan empiris yang digunakan untuk menghitung kedalaman , z (m), dan diameter, w (m), terbasahkan :


(45)

45 . 0 63 . 0

1( ) 

      q K V K z s w ………(19) 17 . 0 22 . 0 2( )

        q K V K

w w s ... (21)

Dimana K1 : koefisien (29.2), Vw: volume pemberian air (lt), Ks : konduktivitas

jenuh (m/s) dan K2 : koefisen (0.031), q : debit emitter (lt/jam).

Menurut Rochester (1995) efisiensi irigasi untuk daerah beriklim panas, tengah (hangat) dan dingin ialah 85%, 90% dan 95%. Namun dalam penelitian ini jumlah air yang diberikan berdasarkan jumlah air yang terkandung dalam media tanam pada kondisi kapasitas lapang (± 299.85 ml air dalam 1 kg media tanam) dikurang dengan jumlah air awal media tanam (± 223.214 ml air dalam 1 kg media tanam). Perhitungan kadar air media tanam dapat dilihat dalam Lampiran 9. Jumlah air yang diberikan ialah kurang, sama dan lebih dari kapasitas lapang media tanam untuk sistem irigasi tetes selama 21 menit ialah 44 – 66 ml, 66 – 88 ml dan 88 – 110 ml.

 Jumlah emitterper tanaman

Jumlah emitter per tanaman dihitung dengan menggunakan rumus dibawah ini :

Jumlah emitter/tanaman =

) 2 ( ) 2 ( % ft n terbasahka luas ft kanopi luas x n terbasahka luas ... (22)

Luas kanopi ialah luas permukaan bagian atas (kanopi) dari tanaman dan nilai luas terbasahkan pada berbagai jenis tanah dan kedalaman air yang berbeda dapat dilihat dalam Tabel 5 dibawah ini. Dalam penelitian ini tipe irigasi yang digunakan ialah line sourcedimana jumlah emitter per tanaman ialah satu.

Tabel 5. Kedalaman air minimum yang direkomendasikan

Jenis tanaman Kedalaman akar (in) Kedalaman air (in)

Groundcover 12 – 18 6 – 9

Shrubs 18 – 36 9 – 18


(46)

Jenis tanah Kedalaman air (in) Spasi emitter (in) Luas terbasahkan (ft2)

Kasar 6 -

-12 12 0.8

18 18 1.8

24 24 3.1

Medium 6 12 0.8

9 18 1.8

12 24 3.1

18 36 7.11

Halus 6 24 3.1

9 36 7.11

12 48 12.6

Sumber : Rochester (1995)

Tabel 7. Kapasitas menahan air pada berbagai jenis tekstur tanah

Tekstur tanah Air tersedia (in/ft)

Kasar (pasir) 1.0

Setengah kasar (lempung berpasir) 1.5 Medium (lempung, liat berpasir) 2.0 Setengah liat (liat lempung) 2.2

Liat 2.3

Sumber : Keller, J. dan R. D. Bliesner (1990)

 Interval irigasi

Interval irigasi ialah periode penyiraman antar irigasi pertama dan irigasi selanjutnya. Umumnya interval irigasi selalu tetap. Interval irigasi dihitung berdasarkan hubungan antara kedalaman akar atau kedalaman irigasi, kapasitas menahan air, MAD dan Eta.

Interval irigasi =

Eta

MAD x akar kedalaman x

irigasi kedalaman

... (23)

MAD (Management Allowable Depletion) ialah batas kedalaman air minimum yang diijinkan. Nilai MAD berkisar antara 0.4 – 0.6. MAD yang sering digunakan ialah 0.5. Dalam penelitian ini interval irigasi yang digunakan ialah 2 hari sekali sebab nilai ETc jarak belum diketahui.

 Lama operasi irigasi

Lama operasi irigasi tetes dapat dihitung dengan membagi volume air yang diberikan dengan jumlah emitter per tanaman dan debit emitter. Dalam


(47)

penelitian ini, debit pada kapasitas lapang digunakan sebagai kontrol untuk menentukan lama operasi irigasi tetes.

Rata – rata qkap.lapang=

7

5 . 3 6 . 3 8 . 3 6 . 3 8 . 3 6 . 3 8 .

3      

= 3.67 ml/menit

≈ 0.22 lt/jam

Jumlah air yang diberikan sampai tanah mencapai kondisi kapasitas lapang media tanam ialah 77 ml sehingga waktu aplikasi sistem irigasi tetes ialah 77/3.67 = 20.97 menit ≈ 21 menit.

 Volume air yang diberikan per aplikasi

Volume air yang diberikan dihitung dengan mengalikan jumlah air yang diberikan per aplikasi dengan interval irigasi dan dibagi dengan efisiensi irigasi. Dalam penelitian ini, volume air yang diberikan dihitung dengan menjumlahkan semua debit aliran tiap emitter dan hasilnya dikalikan dengan lama operasi irigasi. Sehingga dalam satu kali aplikasi irigasi tetes menghabiskan sekitar ± 1793.4 ml air.

 Rancangan hidrolika irigasi

Untuk mendapatkan desain hidrolika dari jaringan pipa yang diinginkan, dilakukan serangkaian perhitungan seperti penentuan spasi emitter, debit emitter rata – rata, tekanan emitter rata – rata, variasi tekanan yang diijinkan dan lama operasi. Karena sistem irigasi tetes dalam penelitian ini merupakan hasil rancangan dari Rina Wilastra, STP maka dalam penelitian ini perhitungan hidrolika jaringan pipa tidak dilakukan.

Dari pipa lateral terpasang penetes dua lajur (kiri dan kanan) dimana jarak antar penetes 20 cm. Penetes yang digunakan termasuk jenis long flow path, dengan diameter dalam 1 mm, panjang 60 cm dan penyumbat berdiameter luar 2 mm dan berdiameter dalam 1.8 mm, diameter serutan 1.6 mm, panjang serutan 1 cm yang diserut meruncing ke ujung dengan ketebalan 0.2 mm dan panjang penyumbat 5 cm. Penetes dibuat dengan panjang 60 cm supaya ekonomis dalam pemakaian bahan penetes dan semakin panjang penetes maka laju aplikasi semakin kecil. Pada salah satu ujung penetes dipotong miring dengan sudut 45o – 60o dengan tujuan untuk memudahkan dalam proses pemasangan ke pipa lateral dan memberikan efek memperluas permukaan air ke penetes. Penetes


(48)

dimasukkan sepanjang 2 cm ke dalam pipa lateral yang berlawanan dengan arah aliran air. Hal ini dimaksudkan agar penetes tidak mudah terlepas dari lateral. Gambar isometric dan ukuran penetes yang digunakan dapat dilihat dalam Lampiran 4 dan 5.

 Komponen pendukung irigasi

Komponen pendukung sistem irigasi tetes ialah filter air dan pengatur tekanan air. Sistem irigasi tetes ini dirancang dengan harga yang terjangkau oleh petani sehingga filter air dibuat dari kain batis yang diletakkan diatas ember dan pengatur tekanan air merupakan perbedaan ketinggian antara ember dengan tanah.

b. Keseragaman emitter

Emitter yang baik haruslah menghasilkan debit yang sama pada tekanan operasi yang sama. Akan tetapi setiap emitter tidak dapat dibuat persis sama. Tingkat variasi debit emitter ini dinyatakan dengan koefisien variasi pabrikasi

emitter, v. (rumus no 2). Nilai V yang dihasilkan ialah 0.1688. Berdasarkan klasifikasi v yang disarankan dalam Dedy K, dkk (2008), nilai v yang dihasilkan cukup yaitu antara 0.12 – 0.2.

Keseragam pemberian air dari setiap emitter pada keseluruhan sistem irigasi tetes dinyatakan dengan keseragaman emisi (Emission Uniformity, EU) yang dapat dilihat dari rumus no 3. Nilai EU irigasi tetes yang dihasilkan kecil yaitu 72% sedangkan menurut literatur nilai EU yang baik ialah 85% - 90%. Hal ini disebabkan dalam pemasangan microtube dan emitter yang tidak tepat dan ukuran emitteryang tidak sama besar (sebab pembuatan emitterdilakukan secara manual sehingga terjadi kesalahan dalam pembuatan).

2. Irigasi Curah

Pada metode irigasi curah, air diberikan dengan cara menyemprotkan air ke udara dan menjatuhkannya di sekitar tanaman seperti air hujan. Sistem irigasi curah menggunakan pompa air sebagai penghasil tekanan untuk air sehingga irigasi tetes diklasifikasikan sebagai irigasi bertekanan tinggi.

Menurut Rochester (1995) ada tujuh langkah dalam set up sistem irgasi curah yaitu menentukan batas tepi posisi irigasi, tipe posisi sprinkler, spasi antar


(49)

a. Set up irigasi curah

 Batas tepi posisi irigasi

Batas tepi posisi irigasi curah ditentukan berdasarkan jauh dekatnya lahan dengan jalan raya. Jika lahan dekat dengan jalan raya maka sprinkler diarahkan berlawan dengan arah angin dan menjauh dari jalan raya supaya semprotan air irigasi tidak mengenai pengguna jalan raya. Dalam penelitian ini, batas tepi posisi irigasi tidak diperhitungkan sebab irigasi curah yang digunakan berskala kecil dan letaknya jauh dari jalan raya.

 Posisi sprinkler

Posisi sprinkler merupakan hal yang terpenting dalam sistem irigasi curah karena akan mempengaruhi besarnya keseragaman air yang diterima tiap titik. Menurut Rochester (1995) terdapat dua posisi sprinkler irigasi yaitu triangular

dan square spasi. Triangular spacing harus disesuaikan dengan bentuk lahan. Dalam penelitian ini, posisi sprinkleryang digunakan ialah square spacingkarena batas tepi yang berbentuk segi-empat tetap dan sesuai dengan luas lahan yang digunakan.

Gambar 7. Equilateral triangular spacing Gambar 8. Square spacing

 Spasi antar sprinkler

Spasi antara sprinkler,S, merupakan interaksi dari radius penyiraman, Rt,

kecepatan angin dan tipe posisi sprinkler. Kecepatan angin dan tipe spasi digabung menjadi suatu konstanta,ks. Hubungan antara Rt, ksdan S ialah :


(1)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

KEBUTUHAN AIR TANAMAN SELAMA PEMBIBITAN JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian

Intsitut Pertanian Bogor

Oleh : RULY DUMA

F14050281

Dilahirkan pada tanggal 19 Maret 1987 di Jakarta

Tanggal lulus:

Menyetujui, Bogor, Agustus 2009

Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto, MS Dosen Pembimbing

Mengetahui,

Dr. Ir. Desrial, M. Eng Ketua Departemen Teknik Pertanian


(2)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 19 Maret 1987 di Jakarta. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara dengan ayah bernama Ir. Daulat Simanjuntak dan Ibu Rosdiana Tampubolon. Penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK.Budi Jaya pada tahun 1993, sekolah dasar di SDN 09 Pagi Petukangan pada tahun 1999, sekolah menengah pertama di SLTPN 245 Jakarta pada tahun 2002 dan sekolah menengah atas di SMUN 90 Jakarta pada tahun 2005. Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk (USMI). Pada tahun 2006, penulis diterima di Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB melalui sistem mayor-minor.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai anggota di Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB dan Himpunan Mahasiswa Teknik Pertanian (HIMATETA) IPB. Selain di dalam kampus, penulis juga aktif di organisasi Forum Anggota Muda (FAM) Persatuan Insinyur Indonesia (PII) cabang Bogor sebagai ketua Badan Kejuruan (BK) Pertanian dan Pangan.

Pada tahun 2007, penulis pernah menjadi asisten praktikum fisika dasar di Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB. Pada tahun 2008, penulis telah melaksanakan praktek lapangan di PT. Gula Putih Mataram (GPM) Lampung Tengah dengan judul “Mempelajari Aspek Keteknikan Pertanian pada Pengelolaan Perkebunan Tebu dan Produktivitasnya di PT. Gula Putih Mataram, Lampung”. Penulis menyelesaikan skripsi pada tahun 2009 dengan judul


(3)

i

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kebutuhan Air Tanaman Selama Pembibitan Jarak Pagar (Jatropha curcas

L.). Ucapan terima kasih juga penulis haturkan kepada :

1. Dr. Ir. M. Yanuar J. Purwanto MS sebagai dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan selama penelitian. 2. Chusnul Arif STP. M.Si dan Sutoyo STP. M. Si sebagai dosen penguji

yang telah memberi saran dan kritik kepada penulis.

3. Mitsubishi Coorporation yang telah membiayai penelitian ini.

4. Orangtua yang telah memberikan semangat dan bantuan secara moril dan material.

5. Abang (Dohar dan David), kakak (Donnarina) dan adik (Firman) atas dukungan dan doanya.

6. Bapak - bapak teknisi di Leuwikopo, LBP dan Lab. Mektan atas bantuannya.

7. Teman - teman TEP 42 yang telah memberikan dukungan, semangat dan pemikirannya, khususnya Acel, Triyanti, Mayang, Sarah, Marie dan Sofi. 8. Teman - teman di Wisma Seroja, Balio: Cia (MNH 42), Septriva dan

Kadek (HPT 42), Jessy (FISIKA 42)

9. Seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan penelitian ini.

Bogor, Agustus 2009


(4)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jarak Pagar (Jatropha curcas. L) ... 4

B. Konsep Irigasi ... 8

C. Kandungan Lengas Tanah ... 13

D. Kebutuhan Air Tanaman ... 15

E. Curah Hujan Efektif ... 18

F. Media Tanam ... 19

III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Pelaksanaan ... 21

B. Alat dan Bahan ... 21

C. Prosedur Penelitian 1. Setting Sistem Irigasi Tetes ... 22

2. Setting Sistem Irigasi Curah ... 24

3. Mengukur Kapasitas Lapang Media Tanam ...24

D. Pengamatan dan Pengambilan Data ... 26

E. Pengolahan dan Analisis Data ... 26

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sistem Irigasi 1. Irigasi Tetes ... 29

2. Irigasi Curah ... 34


(5)

iii

C. Laju Pertumbuhan Tanaman ... 38

D. Kebutuhan Air Tanaman ... 51

E. Selang Irigasi ... 57

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 58

B. Saran ... 60

DAFTAR PUSTAKA ... 61


(6)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Perbandingan berbagai jenis tanaman bahan baku biodisel ... 2

Tabel 2. Klasifikasi kelembaban tanah dengan tegangan air tanah ... 15

Tabel 3. Panjang tahap pertumbuhan (hari) tanaman penghasil minyak ... 17

Tabel 4. Perbandingan antara metode pendugaan evapotranspirasi ... 18

Tabel 5. Kedalaman air minimum yang direkomendasikan ... 31

Tabel 6. Spasi antar emitter yang disarankan ... 32

Tabel 7. Kapasitas menahan air pada berbagai jenis tekstur tanah ... 32

Tabel 8. Nilai Ks ... 36

Tabel 9. Nilai Kc dari tanaman penghasil minyak pada tiap tahap pertumbuhan ... 52

Tabel 10. ETc pada jarak pagar dengan metode Penman ... 53

Tabel 11. Kebutuhan air selama pembibitan (per tanaman) berdasarkan ETc .... 53

Tabel 12. Nilai KAT (mm/hari) tiap perlakuan irigasi ... 54

Tabel 13. Kebutuhan air irigasi (ml) ... 55

Tabel 14. Waktu operasi baru sistem irigasi ... 56