Keragaman genetik dan virulensi isolat phytophthora palmivora asal kelapa dan asal kakao

(1)

KERAGAMAN GENETIK DAN VIRULENSI

ISOLAT

Phytophthora palmivora

ASAL KELAPA

DAN ASAL KAKAO

HIASINTA FRANSISCA JAQUELINE MOTULO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Keragaman Genetik dan Virulensi Isolat Phytophthora palmivora Asal Kelapa dan Asal Kakao adalah hasil penelitian saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka disertasi ini.

Bogor, Januari 2008


(3)

RINGKASAN

Hiasinta F.J. MOTULO, Keragaman Genetik dan Virulensi Isolat Phytophthora palmivora Asal Kelapa dan Asal Kakao. Dibimbing oleh Meity

SURADJI SINAGA, Alex HARTANA, Gede SUASTIKA, dan Hajrial

ASWIDINNOOR.

Untuk memaksimalkan potensi lahan dan meningkatkan pendapatan petani maka dilakukan diversifikasi tanaman kelapa dengan memanfaatkan lahan di bawah kelapa dengan tanaman kakao. Ditinjau dari aspek penyakit tanaman, hal ini mengkuatirkan karena tanaman kelapa dan kakao memiliki penyakit penting yang disebabkan oleh patogen yang sama Phytophthora palmivora. Patogen tersebut patogen menyebabkan penyakit gugur buah pada tanaman kelapa dan penyakit busuk buah pada tanaman kakaoyang sangat merugikan. Berdasarkan analisis morfologi, molekuler, dan virulensi serta inokulasi silang antara kedua isolat tersebut diketahui bahwa P. palmivora asal kelapa dan P. palmivora asal kakao berbeda. Bentuk sporangium antara P. palmivora asal kelapa dan asal kakao tidak berbeda, tetapi panjang dan lebar sporangium P. palmivora berbeda. Isolat asal kelapa lebih lebar dan lebih panjang dari isolat asal kakao. Semua isolat P. palmivora hasil koleksi memiliki sporangium dengan pedikel pendek, papila, percabangan miselium simpel simpodium, dan bersifat caducous. Tipe kawin A1 telah ditemukan pada isolat P. palmivora asal kakao, sehingga dua tipe kawin A1 dan A2 telah didapatkan dari isolat P. palmivora asal kakao. Isolat P. palmivora asal kelapa juga mempunyai tipe kawin A1 dan A2. Keragaman tipe koloni isolat P. palmivora asal kelapa tidak berbeda dengan isolat asal kakao. Terdapat tiga tipe koloni pada isolat asal kelapa dan asal kakao yaitu, stelate, cottony, dan rosaceous. Diameter koloni isolat P. palmivora asal kelapa berbeda dengan isolat P. palmivora asal kakao. Diameter koloni P. palmivora asal kelapa lebih lebar dari koloni isolat asal kakao. Fragmen DNA P. palmivora baik isolat P. palmivora asal kelapa maupun isolat asal kakao berukuran 900 bp. Berdasarkan perunutan fragmen ITS-DNA isolat P. palmivora asal kelapa berbeda dengan isolat P. palmivora asal kakao. Isolat P. palmivora dari Jawa Timur dan Sulawesi Utara berbeda dengan isolat P. palmivora yang berasal dari Taiwan, Puerto Rico, Ghana, dan Costa Rica. Berdasarkan analisis RAPD dengan lima primer OPA2, OPA-11, OPA16, OPB-1, OPB-5 nampak isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao sangat beragam dengan kemiripan genetik yang rendah yaitu 54% dan 56%. Jumlah pita polimorfik isolat P. palmivora asal kakao dan asal kelapa sebesar 52 dari 56 pita atau 92.8%. Umumnya isolat P. palmivora yang berasal dari kelapa lebih tinggi virulensinya pada buah kelapa dibandingkan dengan buah kakao. Hal yang sama terjadi pada isolat P. palmivora asal kakao virulensinya lebih tinggi pada buah kakao sendiri dibandingkan dengan buah kelapa. Inokulasi silang isolat P. palmivora asal kelapa bisa terjadi pada buah kakao dan sebaliknya isolat P. palmivora asal kakao pada buah kelapa.

Kata kunci : karakterisasi, morfologi, sekuensing ITS-DNA, virulensi, P. palmivora, kelapa, kakao, tumpangsari.


(4)

ABSTRACT

HIASINTA FJ MOTULO. Genetic Diversity and Virulence of Phytophthora palmivora Isolates from Coconut and Cocoa. Under direction of Meity

SURADJI SINAGA, Alex HARTANA, Gede SUASTIKA, dan Hajrial

ASWIDINNOOR.

Phytophthora palmivora as the causal of coconut nutfall and cacao black pod is the potentially destructive diseases. This study was conducted to differentiate the isolates of P. palmivora from coconut and cocoa pod based on morphology and molecular characters, diversity, virulence and cross inoculation. Comparative morphological : diameter of colony, length and width of sporangium, l/w ratio , type of colony and sequence ITS-DNA tests showed that all isolates of Phytophthora isolated from coconut and cocoa in Indonesia are Phytophthora palmivora. Morphological characters of pathogen isolated from cocoa were smaller and significantly different in length, width, length/width ratio of sporangium and diameter of colony compared to isolates from coconut. Sporangia of 22 isolates were caducous with short pedicel, but were variable in shape and size. The culture produce ovoid, limoniform, obturbinate, ellipsoid dan globose sporangia, average 40-62 µm in length and 28-43 µm in width. The colony type were stelate, cottony and rossaceous with average diameter of P. palmivora coconut’s isolates 54.8 cm and P. palmivora cocoa’s isolates 43.4 cm. New mating type A1 was found on P. palmivora isolates from cocoa. There are two mating types on P. palmivora isolates from cocoa were namely A1 and A2 mating types. P. palmivora isolates from coconut and cocoa have a amphigynous antheridium. Specific fragment of 900 bp was successfully amplify from coconut P. palmivora isolates and cocoa P. palmivora isolates. The DNA sequence analysis of the nuclear ribosomal internal transcribed spacer (ITS) region showed that the coconut isolates were not in the same cluster with the cocoa isolates. Based on sequence analysis, the P. palmivora isolates from Indonesia different were cluster from those of Taiwan, Ghana, Puerto Rico and Costa Rica isolates. The polimorphic band on P. palmivora isolates from coconut and cocoa was 92.8%. Isolates of P. palmivora from coconut and cocoa in the field have a high diversity. The genetic diversity analysis of all isolates employing RAPD showed that genetic similarity on isolates P. palmivora from coconut were 54% and on isolates P. palmivora from cocoa were 56%. There was a cross inoculation between isolate P. palmivora from coconut to cocoa pod and isolate P. palmivora from cocoa to coconut. The isolates showed different virulence on coconut and cocoa pod. Generally isolates P. palmivora from coconut were more virulence toward coconut than cocoa, and isolates P. palmivora from cocoa were more virulence in cocoa pod than coconut.

Key words: characterisation, morphological, ITS-DNA sequenzing, virulence, P. palmivora, coconut, cocoa, intercropping.


(5)

©Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau


(6)

KERAGAMAN GENETIK DAN VIRULENSI

ISOLAT

Phytophthora palmivora

ASAL KELAPA

DAN ASAL KAKAO

HIASINTA FRANSISCA JAQUELINE MOTULO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Entomologi dan Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(7)

Penguji pada ujian tertutup : Dr. Ir. Suryowiyono M.Sc.

Penguji pada ujian terbuka : Dr. Ir. Giyanto M.Si


(8)

Judul Disertasi : Keragaman Genetik Dan Virulensi Isolat Phytophthora palmivora Asal Kelapa dan Asal Kakao

Nama : Hiasinta Fransisca Jaqueline Motulo

NIM : A 426014011

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Alex Hartana Ketua Anggota

Dr. Ir. Gede Suastika, M.Sc. Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Entomologi dan Fitopatologi

Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro M.S


(9)

PRAKATA

Puji dan syukur kepada Allah Bapa di Surga Tuhan Yang Maha Kuasa dipersembahkan penulis atas semua berkat dan kasihNya sehingga karya ilmiah ini dapat dirampungkan. Karya ini merupakan hasil penelitian yang penulis kerjakan berdasarkan penelaahan lapangan dan laboratorium di daerah Jawa Timur dan Sulawesi Utara sejak Februari 2005 sampai Februari 2007. Subjek yang disajikan adalah keragaman P. palmivora asal kelapa dan asal kakao berdasarkan morfologi, molekuler, dan virulensinya pada lokasi tumpangsari kelapa-kakao dan monokultur kelapa atau kakao.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Meity Suradji-Sinaga M.Sc, Prof. Dr. Ir. Alex Hartana, Dr. Ir. Gede Suastika M.Sc, dan Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor selaku komisi pembimbing yang telah mengarahkan dan membantu menyelesaikan karya ilmiah ini. Di samping itu kepada Jean Marc Thevenin dan Dr. Panabiere penulis berterima kasih atas kesediaan mengirimkan artikel yang berkenaan dengan patogen P. palmivora. Demikian pula kepada Dr. Ir. Suryowiyono, penulis mengucapkan terima kasih atas kritik dan saran yang diajukan selama ujian tertutup. Kepada Dr. Ir. Dyah Manohara M.Si dan Dr. Ir. Giyanto M.Si yang juga berkontribusi dalam ujian terbuka, penulis menyampaikan terima kasih.

Selama penelitian lapangan dan laboratorium penulis dimudahkan atas kesediaan waktu membantu dari Dr. Ir. Dwinita, Ir. Firul, Tuti Legiastuti, Dadang, Ir. Jeanet Kumaunang M.Sc, Ir. Donata Pandin M.Si, Meity Kodong, Agus Palit, Anne Palit, Ir. Rizal M.Si, Ir. Rai MS, Dr. Ir. Siti Hapsa, Ir. Hasnia, dan Trasman. Bersama dengan teman-teman seprogram studi Dr. Ir. Eliza Rusli, Dr. Ir. Noor Aidawati, Dr. Ir. Lisnawita, Dr. Ir. Mohammad Taufik, Dr. Ir. Andi Khaeruni, Ir. Yunik Istikoma MS dan teman-teman seasrama di Bogor Baru II, penulis mengucapkan terima kasih. Selanjutnya kepada Ir. Joice Rimper M.Si , Ir. Josephine Saerang MS dan Ir. Ingerid Moniaga penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan doa dan kebersamaan dalam suka dan duka.

Dalam menyelesaikan studi penulis mendapatkan bantuan beasiswa dan dana penelitian. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kepala Balai Penelitian Tanaman


(10)

Kelapa dan Palma Lainnya, pengurus Asosiasi Perguruan Tinggi Katolik Indonesia (APTIK), dan Pemerintah Daerah Sulawesi Utara.

Rasa hormat dan terima kasih penulis ucapkan kepada kedua orang tua, papi Ferdinand Raymond Motulo dan mami Maria Josephine Leyley atas kasih sayang, bimbingan dan doa serta perhatian untuk anak dan suamiku selama mengikuti pendidikan S3. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada adik-adikku Meydi, Boy, Sandra, Anne, Reyfi, dan Frandy atas dukungan doa dan bantuan morilnya. Kepada mami dan papi mertua, kakak, dan adik-adik ipar penulis ucapkan terima kasih atas bantuannya.

Selama mengikuti program S3 penulis mendapat pengertian yang dalam dari suami Ir. Benedictus Brahmaputra dan anak Brigitta Louise Brahmaputra. Kepada kedua orang yang dicintai tersebut, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas cinta dan pengorbanan, kekuatan doa dan dorongan semangat.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, dengan harapan semoga Tuhan Yang Maha Kuasa memberkati Bapak dan Ibu. Sebagai suatu hasil dari proses belajar, penulis menyadari karya ilmiah ini tidak lepas dari kekurangan dan keterbatasannya. Walaupun demikian penulis berharap semoga karya ini bermanfaat setidaknya dalam mendiskusikan dan mempertimbangkan kegiatan-kegiatan terpaut selanjutnya.

Bogor, Januari 2008 Hiasinta F.J. Motulo


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Manado pada 31 Maret 1964, sebagai anak sulung dari tujuh bersaudara dari ibu Maria Josephine Leyley dan ayah Ferdinand Raymond Motulo. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah pada tahun 1982 di Manado, penulis menempuh pendidikan sarjana di Jurusan Agronomi, Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado dan lulus tahun 1987. Pada tahun 1997, penulis diterima di Program Studi Fitopatologi pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dan menamatkannya pada tahun 2000. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun ajaran 2002.

Penulis bekerja sebagai peneliti di Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lainnya di Manado sejak tahun 1988. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab penulis adalah penyakit tanaman. Pendidikan dan pelatihan dalam bidang penyakit tanaman pernah dilakukan di Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology (SEAMEO-BIOTROP) Bogor-Indonesia pada tahun 1991 dan di Département des Culture Pérennes- Centre de Coopération Internationale en Recherche Agronomique pour le Développement (CIRAD-CP) Montpellier-Perancis pada tahun 1993.

Penulis menikah dengan Ir Benedictus Brahmaputra pada tahun 1993 dan dikaruniai seorang putri. Suami bekerja sebagai geologis pada Dinas Pertambangan Provinsi Sulawesi Utara. Anak, Brigitta Louise Brahmaputra berstatus pelajar pada SMP Rajawali di Makassar.

Satu artikel dari disertasi ini telah diterbitkan di Jurnal Penelitian Tanaman Industri Vol. 13 No.3 dengan judul “Karakter Morfologi dan Molekuler Isolat Phytophthora palmivora asal Kelapa dan Kakao”.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……… xiii

DAFTAR GAMBAR ……….. xvi

I. PENDAHULUAN ………..…..………. 1

Latar belakang ………..…….……… 1

Tujuan Penelitian ………..………..……….. 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ……….……….. 7

Penyakit pada tanaman kelapa ... 7

Penyakit pada tanaman kakao ….……….……..……….. 8

Pola tanam tumpangsari kelapa–kakao .…...……… 10

Sistimatika Phytophthora spp……… .………...………. 11

Identifikasi Phytophthora .. ….…………..………. 12

Biologi P. palmivora ………….………..………. 13

Keragaman antar spesies Phytophthora ... ………...……… 15

Identifikasi P. palmivora dengan teknik molekular runutan DNA ……. 17

Struktur DNA ribosom ………..………... 18

Random Amplified Polymorphic DNA …..……….. 19

Penggunaan PCR untuk mendeteksi Phytophthora ..……….. 20

Patogenisitas P. palmivora ..………. 21

III. METODOLOGI PENELITIAN ………….……….. 23

Tempat dan waktu ………..……….. 24

Survey penyakit gugur buah kelapa dan busuk buah kakao ………. 24

Isolasi dan koleksi P. palmivora ………..………… 24

Isolasi zoospora tunggal ……….……… 26

Karakterisasi morfologi P. palmivora ………..……… 27

Identifikasi P. palmivora berdasarkan tipe kawin ………..……… 29

Identifikasi P. palmivora secara molekuler ………….………. 30

Amplifikasi sekuen ITS-DNA ………….………. 31

Perunutan ruas ITS-DNA ………. 32

Analisis filogenetik ……….……… 34

Analisis keragaman genetik berdasarkan RAPD ……….…………. 34

Amplifikasi DNA menggunakan primer acak …………..……… 34


(13)

Persiapan inokulum ……….. 35

Metode inokulasi pada buah kelapa dan kakao ……… 35

IV. HASIL PENELITIAN Survey penyakit gugur buah dan busuk buah pada kelapa dan kakao …. 39 Isolasi P. palmivora ……….. 40

Morfologi P. palmivora ………..……… 42

Sporangium……….. 42

Klamidospora ……… 46

Koloni ………... 47

Tipe kawin ……… 49

Karakter molekuler isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao …… 51

Amplifikasi ruas ITS-DNA ……….. 51

Perunutan DNA ITS P. palmivora ……… 51

Keragaman genetik isolat P. palmivora berdasarkan ruas ITS-DNA … 55 Keragaman Genetik isolat P. palmivora berdasarkan RAPD ………… 56

Analisis filogenetik isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao … 58 Virulensi dan patogenisitas ……….. 60

V PEMBAHASAN ………. 64

VI SIMPULAN DAN SARAN ………. 75


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Campuran reaksi amplifikasi ITS-DNAdengan teknik PC……….. 31 2 Nomor asesi, inang, lokasi geografi dan kode isolat sekuen DNA- ITS P.

palmivora pada GeneBank dan koleksi isolat dalam penelitian... 33 3 Jenis primer dan susunan basa yang digunakan dalam reaksi implifikasi

(Invitrogen Live Technologies) ... 34 4 Kriteria penentuan tingkat virulensi isolat P. Palmivora pada penyakit

gugur buah kelapa dan busuk buah kakao ... 38 5 Gugur buah kelapa dan busuk buah kakao pada beberapa lokasi

perkebunan ………... 40

6 Koleksi Isolat P. Palmivora asal kelapa dan asal kakao yang digunakan dalam penelitian ………. 41 7 Bentuk sporangium, papila, pedikel, caducous, dan percabangan

sporangium P. palmivora ... 44 8 Ukuran panjang, lebar, dan rasio P/L sporangium, dan diameter koloni

isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao ... 45 9 Tipe kawin isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao ... 50 10 Jenis primer, susunan basa, total pita dan pita polimorfik isolat P.

palmivora asal kelapa dan asal kakao ………... 57 11 Rataan periode laten, keparahan Penyakit dan laju perkembangan

penyakit Isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao pada kelapa tahan (GSK), kelapa rentan (GKN) dan kakao ……… 61 12 Tingkat virulensi 22 isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao ... 63


(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Konidiosporangium dari Phytophthora……… 4 2 Penyakit busuk buah (black pod) pada kakao : di pohon (A) , di tanah

(B)………..…….………...

9 3 P. palmivora : Sporangium (A) dan klamidospora (B) .………….…… 14 4 Anteridium paragynous dari Phytium (A), anteridium amphigynous

dari P. cambivora (B)………... 15

5 Siklus hidup P. palmivora ….………....…….. 16 6 Gen yang mengkode subunit ribosomal RNA... 19 7 Alur penelitian keragaman genetik dan virulensi P. palmivora asal

kelapa dan asal kakao ………... 24 8 Buah kelapa yang diduga terserang penyakit gugur buah (A) dan buah

kakao yang terserang penyakit busuk buah (B) ..………. 25 9 Koloni P. palmivora yang diisolasi dari jaringan sakit ………... 25 10 Metode pemancingan P. palmivora buah kelapa GKN sehat (A),

wadah berisi tanah (B), buah yang terinfeksi (C) ………...

26 11 Proses produksi zoospora tunggal P. palmivora……… 27 12 Cara menentukan titik panjang dan lebar sporangium P. palmivora…. 28 13 Pengamatan tipe kawin P. palmivora... 29 14 Buah kelapa dan kakao yang diinokulasi dengan inokulum P.

palmivora………. 35 15 Cara pengukuran luas bercak……… 36 16 Bentuk sporangium P. palmivora isolat asal kelapa dan asal kakao : (1)

globose, (2) obturbinate, (3) ovoid, (4) ellipsoid, (5) limoniform ...

43 17 Bentuk sporangium P. palmivora dengan papila yang menonjol... 43 18 Rata-rata panjang dan lebar sporangium isolat P. palmivora populasi

asal kelapa dan populasi asal kakao ... 46 19 Bentuk klamidopora P. palmivora: Globose & terminate (A)

subglobose & intercalary (B)... 46


(16)

20 Tipe Koloni P. palmivora : Rossaceous (A),.(1-5) P05KoKlwgJT, P02KoKlTgJT, P19KoPglSU, P06KoKlwgJT, P09KoKlkptJT, Cottony (B), (6-7) P44KpByASU, P46KpByASU, Stelate (C) (8-22) P35KpMrwSU,

P34KpMrwSU, P04KoTrbslJT, P61KoSLorJT, P40KoMpySU,

P22KoMrwSU, P53KpTuSU, P58KpSdkSU, P42KpHbGrto, P43KpKdGrto,

P51KpSkjtiJT, P41KpHbGrto, P52KpTuSU, P12KpMpgSU,

P13KpMpgSU………..…… 47

21 Rata-rata diameter koloni populasi isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao .... ... 49 22 Oogonium globose (A), oospora (B) dan anteridium amphigynous P.

palmivora……….. 50

23 Hasil amplifikasi ruas ITS-DNA beberapa isolat P. palmivora menggunakan sepasang primer ITS 4F dan ITS 5R. Lajur 1 Penanda DNA 1 kb DNA ladder (Invitrogen), lajur 2 isolat kakao (P22KoMrwSU) , lajur 3 isolat kakao (P40KoMpySU), lajur 4 isolat kelapa (P44KpByASU) dan lajur 5 isolat kelapa (P53KpTuSU) ... 51 24 Perbandingan hasil perunutan DNA P. palmivora isolat asal kelapa

(P53KpTuSU) dan dua isolat asal kakao (P22KoMrwSU, dan P40KoMpySU ) dari Indonesia dan P. palmivora dari GeneBank... 52 25 Dendrogram isolat-isolat P. palmivora asal Indonesia (P53KpTuSU,

P22KoMrwSU, P40KoMpySU) terhadap isolat P. palmivora dari lokasi geografi lain yang ada di GeneBank (Ghana, Taiwan, Puerto Rico, dan Costa Rica) berdasarkan analisis urutan ITS-DNA menggunakan program

ClustalW 1.83……….…… 55 26 Pola pita isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao hasil

amplifikasi menggunakan primer OPA-11. 1) Marker 1 kb (Invitrogen), 2-23) isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao…………... 57 27 Dendrogram isolat P. palmivora asal kelapa berdasarkan RAPD……... 58 28 Dendrogram isolat P. palmivora asal kakao berdasarkan RAPD……… 59 29 Dendrogram isolat P. palmivora asal kelapa dan kakao………... 60


(17)

I. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tanaman kelapa dan kakao memiliki arti ekonomi yang sangat penting karena merupakan sumber pendapatan bagi sebagian masyarakat Indonesia. Data statistik perkebunan tahun 2006 menunjukkan bahwa sampai dengan tahun 2005 luas pertanaman kelapa di Indonesia sekitar 3.8 juta ha dengan produksi 3.096.845 ton. Dari luas pertanaman kelapa tersebut, sekitar 97% diusahakan sebagai perkebunan rakyat yang tersebar di seluruh Indonesia dengan melibatkan 7 404 284

keluarga tani (Direktorat Jenderal Perkebunan 2006a), sedangkan luas pertanaman kakao sebesar 1.167.046 ha dengan produksi kakao mencapai 748 827 ton (Direktorat Jenderal Perkebunan 2006b).

Di Sulawesi Utara, tanaman kelapa merupakan tanaman andalan dalam sektor perkebunan. Banyak petani menjadikan tanaman ini sebagai sumber pendapatan utama keluarga.

Dalam upaya meningkatkan pendapatan petani di Sulawesi Utara, maka tahun 1993 pemerintah melalui Direktorat Jenderal Perkebunan melakukan diversifikasi lahan dengan tumpangsari kakao di bawah kelapa. Hal ini dimungkinkan karena di dalam budidayanya kakao membutuhkan naungan. Disamping itu umumnya tanaman kelapa di Sulawesi Utara adalah kelapa Dalam yang telah berumur di atas 25 tahun dengan rata-rata tinggi tanaman telah mencapai 10-27 m dari permukaan tanah, sehingga dengan jarak tanam 7 m x 7 m memungkinkan ditumpangsarikan dengan kakao.

Gomes dan Gomes (1983) melaporkan bahwa efisiensi budidaya kakao di bawah tanaman kelapa sebenarnya merupakan langkah pemanfaatan sumber daya lahan dan energi matahari karena penyebaran terluas akar tanaman kelapa tua (umur > 20 tahun) hanya mencapai radius 2 m di sekitar pohon. Pada radius 2 m tersebut penyebaran akar kelapa berkisar pada 76-85%. Di luar batas itu lahan dapat dimanfaatkan oleh spesies tanaman lain yang tentunya toleran terhadap penaungan. Berdasarkan kajian ekonomis Prawoto et al. (2001) diketahui bahwa tumpangsari kelapa dengan kakao jauh lebih menguntungkan dari pada monokultur kakao. Oleh karena itu kebijakan pemanfaatan lahan dibawah tanaman kelapa


(18)

untuk pertanaman kakao dinilai sangat tepat. Kebijakan tersebut dapat mendatangkan keuntungan yang berlipat ganda karena dapat melakukan intensifikasi lahan sehingga sekaligus memperoleh tambahan keuntungan ekonomi yang lebih besar dibandingkan dengan hasil tanaman monokultur kelapa atau kakao. Namun dari sudut pandang epidemik penyakit, tumpang sari kakao di bawah tanaman kelapa mungkin akan terhambat oleh adanya penyakit penting yang disebabkan oleh patogen yang sama yang menyerang baik pada tanaman kelapa maupun tanaman kakao, yaitu Phytophthora spp.

Pada tanaman kelapa P. palmivora menyebabkan penyakit gugur buah dan busuk pucuk sedangkan pada tanaman kakao patogen yang sama menyebabkan penyakit busuk buah, kanker batang, dan bercak daun. Penyakit tersebut merupakan penyakit yang sangat merugikan bagi tanaman kelapa maupun tanaman kakao. Satu pertanyaan muncul : patogen P. palmivora menyerang terlebih dahulu tanaman kelapa atau tanaman kakao. Di Indonesia, tanaman kelapa pertama kali ditemukan oleh Marcopolo pada tahun 1292, namun adanya budidaya tanaman kelapa baru dilaporkan pada tahun 1880 di Minahasa (Sulawesi Utara) (Reyne 1948). Serangan penyakit gugur buah pada tanaman kelapa tidak pernah dilaporkan hingga masuknya kelapa Hibrida PB121 ke Indonesia. Pada tahun 1984 dilaporkan adanya epidemik penyakit busuk pucuk yang diikuti dengan gugur buah yang terjadi di lokasi demonstrasi plot kelapa Hibrida PB 121 di Desa Pandu (Sulawesi Utara). Di tahun yang sama juga dilaporkan epidemik penyakit gugur buah pada populasi Kelapa Genjah Kuning Nias (GKN) di kebun Percobaan Balitka Desa Paniki (Sulawesi Utara) (Bennett et al. 1985).

Tanaman kakao diperkenalkan oleh bangsa Spanyol pada tahun 1560 di Minahasa (Sulawesi Utara) (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao 2004). Di Sumatera Utara, pada tahun 1940-1970 merupakan areal pertanaman kakao. Pada masa itu belum pernah ada laporan mengenai epidemik penyakit busuk buah. Penyakit busuk buah mulai dilaporkan sebagai masalah pada budidaya kakao pada tahun 1971 setelah masuknya kakao lindak (Uper Amazone Hybrid) (Parnata 1983).

Genus Phytophthora terdiri dari beberapa spesies yang dapat menyebabkan penyakit gugur buah dan busuk pucuk pada tanaman kelapa. Sedangkan pada tanaman kakao patogen yang sama dapat menyebabkan penyakit busuk buah, kanker batang, dan bercak daun. Bennett et al. (1985) merupakan pelapor pertama


(19)

terjadinya epidemik penyakit gugur buah yang disebabkan oleh P. palmivora pada tanaman kelapa populasi Genjah Kuning Nias (GKN) di Kebun Induk Paniki, Sulawesi Utara. Hall dan Warokka (1992) melaporkan P. katsurae sebagai patogen gugur buah kelapa di Pantai Gading (Cote-d’Ivoire) sedangkan Garcia dan Blaha (1992) melaporkan P. nicotianae dan P. arecae penyebab penyakit gugur buah kelapa di Indonesia. Kedua peneliti ini, membedakan isolat P. palmivora tipe lambat (slow type) berdasarkan pola pita enzim phosphoglucose isomerase (PGI). Pada tanaman kakao dilaporkan P. megakarya merupakan spesies yang paling agresif di Afrika Barat (Griffin 1977), sedangkan P. capsici merupakan spesies yang dominan di Amerika Selatan, Amerika Tengah dan Caribbean, dan P. citrophthora dominan di Brazil (Campello & Luz 1981) dan di India (Chowdappa & ChandraMohanan 1996).

Franquevielle & Kouassi (1992) melaporkan bahwa di Pantai Gading, Afrika Barat penyakit gugur buah pada tanaman kelapa menyebabkan kehilangan hasil sebesar 30-40%. Di kebun koleksi Mapanget Sulawesi Utara, penyakit ini menyebabkan kehilangan hasil sebesar 23.6 - 25% pada populasi kelapa Genjah Kuning Nias (GKN) (Mangindaan et al. 1992). Sedangkan pada tanaman kakao di areal pertumbuhan yang beriklim basah dan lahan basah, penyakit busuk buah dapat menyebabkan kehilangan hasil sebesar 10 - 90% (Opeke & Gorenz 1974). Di Papua New Guinea, penyakit ini dapat menyebabkan kehilangan produksi kakao hingga 40% per tahun (Hicks 1975).

Keberadaan beberapa spesies Phytophthora pada kelapa dan kakao dapat menimbulkan epidemik penyakit yang sangat merugikan. Epidemik penyakit akan meluas dengan cepat karena beberapa spesies Phytophthora dapat melakukan kariogami antar spesies, sehingga dikuatirkan akan menyebabkan muculnya genotipe baru yang lebih virulen dari spesies asalnya. Fenomena terjadinya kariogami antar spesies Phytophthora di laboratorium melalui fusi zoospora dari P. capsici dan P. nicotianae telah dilaporkan oleh Silvar et al. (2006).

Pada tumpangsari tanaman kelapa dan kakao, kejadian dan keparahan penyakit yang disebabkan oleh patogen ini akan lebih sulit dikendalikan dibandingkan dengan pertanaman monokultur, karena populasi inokulum awal patogen selalu tinggi. Sumber inokulum selain dari tanah terdapat juga pada bagian pucuk dan buah kelapa serta batang dan buah kakao yang terinfeksi.


(20)

Pengendalian penyakit gugur buah kelapa dan busuk buah kakao semakin sulit karena patogen merupakan patogen tular tanah yang dapat disebarkan melalui angin, percikan air hujan dan dapat terbawa oleh serangga atau alat pertanian. Selain itu, kestabilan genetik Phytophthora diketahui sangat labil karena kemungkinan terjadinya variasi genetik sangat tinggi sehingga tingkat virulensi patogen sangat beragam di areal pertanaman kelapa dan kakao.

Berdasarkan hasil analisis RAPD, Motulo et al. (2004) melaporkan bahwa kemiripan genetik isolat P. palmivora asal kelapa mencapai 40.6% dengan virulensi dari avirulen hingga virulen. Sumber variasi genetik dapat terjadi melalui mutasi, rekombinasi mitotik, paraseksual, interspesifik, dan persilangan antar ras (Whissom et al. (1994), Goodwin (1997)).

Penyebaran penyakit selain didukung oleh kondisi iklim, juga ditentukan oleh karakter struktur morfologi patogen seperti miselium, sporangium, klamidospora, zoospora, dan oospora. Miselium P. palmivora yang mengandung banyak sporangium ditemukan pada permukaan kulit buah. Sporangium patogen ini dapat langsung berkecambah membentuk hifa, oleh karena itu kemudian dinamakan konidiosporangium (Gambar 1).

Gambar 1 Konidiosporangium dari Phytophthora (Hefler et al. (2002). Keterangan : tanda panah adalah kecambah sporangium

Konidiosporangium merupakan propagul utama Phytophthora spp. untuk penyebaran inokulum. Propagul tersebut mudah disebarkan oleh angin dan percikan air hujan. Konidiosporangium ditemukan pada kulit buah kakao terinfeksi yang telah tertumpuk lebih dari tiga bulan (Anonimous 1996). Pada tanaman kelapa, buah yang jatuh akan terinfeksi P. palmivora dari tanah dan dapat bertahan sampai empat bulan. Buah kelapa maupun buah kakao yang


(21)

terinfeksi dan masih berada di pohon merupakan sumber inokulum yang berkesinambungan.

Patogen ini dapat membentuk struktur klamidospora yang mampu bertahan sampai puluhan tahun. Selama periode musim hujan klamidospora di dalam tanah akan berkecambah untuk menghasilkan miselium, sporangium dan melepaskan zoospora. Zoospora dapat tersebar ke udara dengan bantuan percikan air hujan, dan dapat bertahan 15 menit sampai 24 jam dalam percikan air hujan sambil disebarkan oleh angin sehingga dapat menjadi sumber inokulum untuk buah yang sehat (Anonimous 2007b).

Selain klamidospora dan sporangium P. palmivora menghasilkan spora seksual (oospora) karena mampu membentuk anteridium (gamet jantan) dan oogonium (gamet betina), sehingga fusi antara keduanya akan menghasilkan oospora. Keberadaan dua tipe kawin tersebut dalam satu area bukan saja dapat membentuk struktur bertahan tetapi juga dapat menciptakan genotipe rekombinan baru yang lebih virulen, spesifik inang atau tahan terhadap fungisida (Legard et al. 1995 ; Gisi & Cohen 1995; Goodwin et al. 1995).

Di Indonesia tipe kawin A1 dan A2 dari isolat-isolat P. palmivora pada tanaman kelapa ditemukan pada buah kelapa yang terserang gugur buah, busuk pucuk, dan sampel tanah di bawah pohon kelapa (Warokka & Thevenin 1992). Sedangkan pada tanaman kakao kedua tipe kawin A1 dan A2 ditemukan pada buah yang terserang penyakit busuk buah yang didominasi oleh tipe A2 (Zentmyer et al. 1968). Selama ini di lapangan belum pernah ditemukan oospora pada tanaman kelapa maupun kakao, meskipun pada percobaan in vitro dengan memasangkan koloni tipe A1 dan A2 di laboratorium bisa menghasilkan oospora.

Dengan adanya karakter P. palmivora yang berpotensi membentuk keragaman genetik yang tinggi maka kekuatiran akan terjadinya epidemik gugur buah kelapa dan busuk buah kakao tentunya tidak berlebihan. Oleh karena itu, perlu dilakukan identifikasi spesies dari isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao di sentra produksi. Selain itu perlu dikaji keragaman isolat, virulensi, dan inokulasi silang antar isolat pada sentra produksi kelapa dan kakao serta tumpangsarinya.


(22)

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis perbedaan karakter morfologi, dan runutan ITS-DNA isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao pada pola tanam monokultur kelapa dan monokultur kakao serta tumpangsari kelapa-kakao.

2. Menganalisis keragaman DNA isolat P. palmivora asal kelapa dan asal kakao berdasarkan Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)

3. Menganalisis virulensi dan terjadinya inokulasi silang antar isolat P. palmivora asal kelapa ke buah kakao atau dari isolat P. palmivora asal kakao ke buah kelapa pada pola tanam monokultur kelapa dan monokultur kakao serta tumpangsari kelapa-kakao.


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Penyakit pada tanaman kelapa

Beberapa penyakit penting yang menyebabkan penurunan produksi kelapa di Indonesia adalah penyakit busuk pucuk, gugur buah, bercak daun pendarahan batang, dan berbagai penyakit layu yang disebabkan oleh fitoplasma (Bennett et al. 1985 ; Warokka et al. 2006). Penyakit busuk pucuk dan gugur buah merupakan penyakit yang sampai saat ini masih meresahkan petani kelapa.

Di Indonesia, penyakit ini disebabkan oleh beberapa spesies Phytophthora yaitu P. palmivora, P. nicotianae, dan P. arecae (Bennett et al. 1986 ; Hall & Warokka 1992). P. palmivora, dan P. arecae dapat diisolasi dari bagian pucuk tanaman dan buah kelapa di atas pohon. Sedangkan P. nicotianae umumnya dijumpai pada isolat-isolat dari tanah atau buah yang jatuh di tanah (Hall & Warokka 1992). Di Pantai Gading (Afrika Barat) penyakit yang sama disebabkan oleh P. heveae ( Quillec et al. 1984), di Jamaica, Philipines dan Hawaii penyakit ini disebabkan oleh P. katsurae, (Steer & Coates-Beckford 1990 ; Uchida & Aragaki 1992).

Pada pertanaman kelapa di Indonesia, penyakit busuk pucuk dan gugur buah menyerang tanaman kelapa hibrida PB121 dan kelapa induk GKN. Bahkan di Sulawesi Utara saat ini penyakit telah menyerang kelapa Dalam Lokal, yang sebelumnya varietas tersebut tergolong tahan terhadap penyakit busuk pucuk. Di Pantai Gading (Afrika Barat) kedua penyakit ini menyerang kelapa West African Tall (WAT) dan kelapa Hibrida PB 121 (Malayan Yellow Dwarf X West African Tall) (Quillec & Renard (1984). Di Filipina, penyakit ini menyerang kelapa Hibrida MAWA (Malayan Yellow Dwarf X West African Tall) (Concibido 2004). Kehilangan tanaman yang mati akibat penyakit busuk pucuk pada kultivar kelapa yang rentan dapat mencapai 50% setiap tahun. Sedangkan penyakit gugur buah menyebabkan kehilangan produksi 15-30% per pohon dan dapat mencapai 75% pada musim hujan (Renard 1992). Penyakit gugur buah menyerang buah kelapa umur 3-4 bulan (Kharie et al. 1992) dan kehilangan hasil dapat mencapai 4.2-34.4% pada kultivar kelapa hibrida PB 121(Renard & Darwis 1992).

Gejala serangan penyakit busuk pucuk dimulai dari daun tombak. Daun tombak mulai terkulai dan anak daun akan berubah warna menjadi kuning


(24)

kecoklatan. Selanjutnya daun tombak akan mengering yang diikuti oleh daun-daun di bagian bawah. Apabila tanaman ditebang dan diamati bagian pucuknya akan terlihat jaringan bagian pucuk yang lembek dan berbau busuk yang sangat tajam. Pada gejala lanjut daun tombak akan mengering yang diikuti dengan layunya seluruh daun dalam waktu 10-12 bulan. Gejala serangan pada buah yang terserang penyakit gugur buah dimulai dengan terlihatnya warna coklat yang dibatasi oleh warna hijau kekuningan pada bagian epikarp. Dalam beberapa hari bercak akan meluas dan permukaan buah akan ditutupi dengan miselium yang berwarna putih. Miselium tersebut mengandung sporangium dan zoospora. Jika ada air, sporangium dapat pecah dan melepaskan zoospora yang merupakan inokulum baru yang berpotensi untuk menginfeksi buah-buah lainnya. Bercak pada buah terus berkembang sampai pada daerah basal dan apikal buah kelapa. Pada serangan yang parah tanaman membentuk lapisan absisi pada bagian pangkal buah sehingga buah lepas dari tangkainya (Thevenin et al. 1992).

Patogen dapat menyebar melalui percikan air hujan atau angin, serangga dan alat-alat pertanian. Hasil penelitian Thevenin (1992) menunjukkan bahwa percikan air hujan dari tanah sampai ketinggian 75 cm masih mengandung propagul P. palmivora. Jumlah propagul P. palmivora lebih banyak pada percikan air hujan dengan ketinggian 25 cm dibandingkan 50 cm dan 75 cm. Patogen juga dapat menyebar dengan bantuan hama tanaman kelapa Oryctes rhinocerous dan Plesispa sp. O. rhinocerous dan Plesispa sp. yang dikurung dalam cawan petri yang mengandung miselium dan sporangium P. palmivora kemudian dipindahkan ke permukaan buah kelapa sehat maka buah tersebut akan terinfeksi dengan P. palmivora (Thevenin 1994).

Penyakit pada tanaman kakao

Beberapa penyakit penting yang menyebabkan penurunan produksi pada tanaman kakao adalah penyakit busuk buah, kanker batang, busuk akar dan bercak daun. Penyakit busuk buah yang disebabkan oleh Phytophthora merupakan penyakit yang paling banyak menyerang buah kakao di dunia dan menyebabkan kerugian yang cukup tinggi (Gambar 2).


(25)

Gambar 2 Penyakit busuk buah (black pod) pada kakao : di pohon (A), di tanah (B) (Anonimous 2007a). Keterangan:tanda panah menunjukkan busuk buah.

Secara umum penyakit ini menyebabkan penurunan hasil sebesar 20-30% pada pertanaman kakao dunia. Di Samoa Barat, penyakit busuk buah menyebabkan kehilangan hasil sebesar 60-80% terutama pada tahun-tahun yang curah hujannya tinggi (Keane 1992), di Papua New Guinea menyebabkan kehilangan hasil sebesar 17% (Holderness 1992) dan di Mexico menyebabkan kehilangan hasil hingga 80% (Rochas 1965).

Penyakit busuk buah kakao pertama kali dilaporkan tahun 1833 di Sri Lanka. Penyakit ini sebelumnya diketahui disebabkan oleh P. omnivora (Masse 1899), kemudian diketahui disebabkan oleh Pythium palmivorum (Butler 1907). Selanjutnya patogen tersebut diganti namanya oleh Butler (1919) menjadi P. palmivora (Butler). P. palmivora mempunyai kisaran inang yang sangat luas.

Beberapa spesies Phytophthora telah diisolasi dari buah kakao yang terserang penyakit busuk buah. Spesies-spesies tersebut adalah P. megakarya di Nigeria, P. capsici di Mexico, Venezuela dan Kamerun, serta P. megasperma di Venezuela (Zentmeyer 1987). Umumnya patogen yang menyerang kakao adalah P. palmivora dan sebagian lagi P. megakarya dan P. citrophthora (Brasier dan Griffin 1979). Selanjutnya isolat P. palmivora yang berasal dari Afrika Barat diidentifikasi mempunyai tiga bentuk morfologi yaitu : morphological form (MF)-1 adalah P. palmivora (Waterhouse 1974), MF3 P. megakarya (Griffin 1977, Brasier & Griffin 1979), dan MF-4 P. capsici (Tsao & Alizadeh 1988). Pengelompokkan menurut morphological form (MF)1, MF3, dan MF4 berdasarkan panjang pedikel (Zentmyer et al. 1977) , ukuran dan jumlah kromosom (Sansome et al. 1975) serta bentuk morfologi sporangium dan oogonium (Brasier et al. 1981).


(26)

Buah kakao merupakan bagian yang sangat rentan terhadap penyakit busuk buah terutama pada buah yang belum matang. Patogen dapat menginfeksi semua bagian permukaan buah, tetapi yang paling rentan adalah bagian pangkal buah. Jika buah sudah terinfeksi P. palmivora maka permukaan buah akan menunjukkan warna coklat kehitaman dan akan menyebar menutupi permukaan buah. Jika kelembaban sesuai maka seluruh permukaan buah akan ditutupi miselium yang berwarna putih dan mengandung sporangium.

Sumber inokulum P. palmivora dapat berasal dari akar, batang, dan alat-alat pertanian yang digunakan dalam proses panen. Pada akar dan batang yang terinfeksi dengan P. palmivora dalam keadaan tersedia air akan membentuk sporangium yang mengandung zoospora dan merupakan sumber inokulum yang potensial. Alat-alat pertanian seperti parang dan gunting stek yang digunakan pada tanaman yang terserang penyakit busuk buah dapat menyebarkan propagul P. palmivora jika digunakan pada tanaman sehat. Hujan yang disertai dengan angin dapat juga menjadi perantara bagi penyebaran penyakit busuk buah kakao pada tanaman kakao lainnya. Penyebaran inokulum dapat mencapai ketinggian empat meter. Semut dan tikus dapat menyebarkan sporangium, miselium, dan zoospora dari P. palmivora. Hasil penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa semut (Anoplolepsis longipes) dapat menyebarkan inokulum tetapi di lapangan tidak menunjukkan adanya peningkatan kejadian penyakit busuk buah kakao. Di Papua New Guinea golongan rayap (Technomyrmex albipes) dapat menyebarkan inokulum dan juga meningkatkan jumlah buah yang terserang penyakit busuk buah (McGregor & Moxon 1985).

Pola tanam tumpangsari kelapa-kakao

Karakteristik tanaman kelapa yang memiliki tinggi tanaman 10-27 meter ternyata berpotensi sebagai tanaman penaung pada tanaman kakao. Kajian agronomis dan ekonomis dari pemanfaatan tanaman kelapa sebagai penaung tanaman kakao ternyata dapat meningkatkan pendapatan petani dibandingkan dengan pola monokultur tanaman kelapa atau kakao.

Berdasarkan kajian ekonomis tumpangsari kakao-kelapa jauh lebih menguntungkan dari pada kakao monokultur. Dengan populasi kelapa 123 pohon/ha maka potensi tambahan pendapatan dari hasil kelapa buah sekitar 7.380


(27)

butir/tahun atau mencapai harga sekitar Rp 5 667 900 dan bila dipanen nira dengan sistim bagi hasil 1:1, hasil gula yang menjadi bagian pekebun sekitar 13.759 kg gula/ha/tahun atau senilai Rp 28 659 997. Dengan demikian pola tanam kelapa-kakao jauh lebih menguntungkan dari pada pola monokultur kelapa-kakao (Prawoto et al. (2001). Menurut Osei-Bonsu et al. (2002) tanaman kakao yang menggunakan penaung Gliricidia sepium mengalami stres kelembaban lebih tinggi dibandingkan dengan penaung kelapa sehingga produksi buah kakao lebih rendah pada kakao berpenaung G. sepium dari pada berpenaung kelapa. Hasil panen kelapa maupun kakao lebih menguntungkan pada pola tanam tumpangsari kelapa-kakao dari pada G. sepium –kakao.

Persaingan unsur hara pada pola tanam tumpangsari kelapa-kakao tidak mempengaruhi produksi asalkan jarak tanam kelapa 9 m x 9 m dan jarak tanam kakao diantara kelapa sebesar 3 m x 3 m. Jarak tanam kelapa 9 m x 9 m dan umur tanaman lebih dari 20 tahun, akar tanaman terkonsentrasi pada radius 2 m. Sedangkan dengan jarak tanam kakao 3 m x 3 m pada umur tanaman 13, tahun akar tanaman terkonsentrasi pada radius 2,1 m. Dengan jarak tanam tersebut tidak terjadi persaingan unsur hara.

Sistematika Phytophthora spp.

Awalnya Phytophthora yang tergolong dalam kelas Oomycetes dimasukkan dalam kelompok alga (Pringsheim 1858) karena beberapa sifat yang dimiliki oleh kelas Oomycetes seperti menyerap nutrisi dan mempunyai miselium maka para ahli penyakit memasukkannya dalam kelompok cendawan. Selanjutnya Kreisel (1969) dan Shaffer (1975) mengeluarkan Oomycetes dari cendawan dan mengelompokkan kembali ke dalam alga. Saat ini Oomycetes digolongkan dalam Kingdom Stramenopila atau Chromista berdasarkan sifat yang dimiliki oleh zoospora yang mempunyai dua jenis flagela (Patterson & Sogin 1992). Menurut Rossman & Palm (2006), beberapa sifat yang membedakan kelas Oomycetes dari cendawan yaitu semua genus dari kelas Oomycetes memiliki fase sexual yang menghasilkan oospora, sedangkan cendawan tidak memiliki oospora tetapi zigospora, basidiospora, dan askospora. Miselium Oomycetes adalah diploid sedangkan cendawan adalah haploid atau dikariotik. Sifat yang lain dari kelas Oomycetes adalah dinding sel terdiri dari ß-glukan dan selulosa sedangkan


(28)

cendawan mengandung kitin. Krista mitokondria Oomycetes berbentuk silinder sedangkan cendawan berbentuk datar. Selanjutnya kelas Oomycetes memiliki zoospora dengan dua flagela yaitu: tinsel dan whiplash sedangkan cendawan, jika memiliki flagela hanya terdiri dari whiplash flagella. Menurut Alexopoulos et al. (1996) sistematika P. palmivora adalah :

Kingdom : Stramenopila Filum : Heterokontophyta Class : Oomycetes Ordo : Peronosporales Famili : Pythiaceae Genus : Phytophthora Spesies : P. palmivora

Identifikasi Phytophthora

Identifikasi spesies P. palmivora adalah salah satu langkah awal yang harus dilakukan untuk mendapatkan metode pengendalian. Sampai saat ini identifikasi secara konvensional seperti pengamatan morfologi masih digunakan. Waterhouse (1963) mengidentifikasikan Phytophthora berdasarkan karakter morfologi sebagai berikut :

1. Tipe anteridium : amphygenous atau paragynous, dan pembentukkan oospora secara homotalik atau heterotalik.

2. Bentuk, ukuran, dan rasio panjang/lebar dari sporangium. Ada atau tidak ada papila pada sporangium.

3. Ada atau tidak ada sifat sporangium yang mudah lepas dari tangkai sporangium (caducity) dan panjang pedikel.

4. Proliferasi sporangium. 5. Tipe percabangan.

6. Ada atau tidak ada klamidospora. 7. Ada atau tidak ada pembengkakan hifa. 8. Suhu maksimum untuk pertumbuhan.

Selain itu, tipe koloni dan diameter koloni merupakan karakter yang penting dalam mengidentifikasi Phytophthora.


(29)

Identifikasi dan karakterisasi Phytophthora terutama menggunakan karakter morfologi seringkali bersifat subjektif dan sangat ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman seseorang, karena beberapa karakter saling tumpang tindih antar spesies. Identifikasi Phytophthora sampai pada tingkat spesies masih mungkin dilakukan melalui aspek-aspek morfologi. Tetapi kaitannya dengan perbedaan ras dan virulensi selain dilihat dengan kemampuan menginfeksi juga lebih akurat dengan menggunakan teknologi molekuler seperti penanda RFLP dan hibridisasi DNA. Pendekatan secara molekuler menyediakan metode yang akurat untuk mengidentifikasi dan mendeteksi suatu patogen, serta mendeteksi terjadinya variasi antar spesies pada tingkat perubahan satu basa (Schlik et al. 1994). Dalam kunci identifikasi Stamp et al. (1990) P. nicotianae var. parasitica berbeda secara morfologi dengan P. nicotianae var. nicotianae namun berdasarkan penanda DNA dan isozim diketahui kedua ras P. nicotianae tidak berbeda (Panabieres et al. 1989). Oleh karena itu penanda molekuler dikembangkan untuk menganalisis variasi dalam populasi ataupun mengidentifikasi isolat. Variasi molekuler di dalam spesies banyak dilaporkan oleh ahli-ahli fitopatologi (Sreenivasaprasad et al. 1992; Silvar et al. 2006).

Biologi P. palmivora

Secara umum Phytophthora spp. mempunyai ciri-ciri yang istimewa dibandingkan dengan cendawan tingkat tinggi. Seluruh kehidupan Phytophthora adalah diploid, dinding selnya terdiri atas selulosa dan β 1,3-glucan (Barnicki-Garcia & Wang 1983). Phytophthora spp. tidak menghasilkan sterol tetapi memerlukan β-hidroksi sterol untuk sporulasinya (Elliot 1983). Selain itu organisme ini tahan terhadap antibiotik seperti pimaricin. Menurut Stamps et al. (1990) P. palmivora dikelompokan ke dalam kelompok II yang telah dideskripsikan secara lebih rinci oleh Waterhouse (1970) dan Stamps (1985).

Miseliumnya tidak bersepta, tumbuh menembus ke dalam sel-sel tanaman inang dan membentuk haustorium untuk mengabsorbsi nutrisi. Bentuk sporangium sangat beragam bergantung kepada tiap isolat tetapi umumnya berbentuk lonjong sampai bulat. Sebanyak 20 sporangium dapat dihasilkan dalam satu tangkai sporangium. Sporangium bersifat mudah lepas dari tangkai (caducity) dan setelah sporangium terpisah terlihat tangkai spora atau pedikel yang sangat pendek


(30)

berukuran 5 µm. Panjang sporangium berkisar 40-60 µm dan lebar 25-40 µm serta ratio panjang lebar adalah 1.4-2 (Holiday 1980). Bentuk sporangium, klamidospora dan miselium P. palmivora ditampilkan dalam Gambar 3.

Satu sporangium mengandung 10-40 zoospora yang berflagela dan akan dilepaskan apabila diinkubasikan dalam air (Holliday 1980). Kemudian zoospora akan melepaskan flagela yang berubah menjadi kista dan berkecambah membentuk tabung kecambah. Zoospora merupakan salah satu inokulum penting bagi penyebaran penyakit. Selain zoospora dan sporangium Phytophthora juga membentuk klamidospora yang terletak di ujung atau di tengah miselium. Klamidospora berbentuk globose sampai ke subglobose, terletak interkalari pada miselium dengan diameter berukuran 32-42 µm (Mchau & Coffey 1994).

P. palmivora membentuk oogonium dan anteridium secara alami atau buatan. Oogonium dibentuk secara lateral atau terminal berdinding tipis dan tidak berwarna waktu masih muda. Setelah matang oogonium akan berdinding tebal dan berwarna coklat keemasan. Anteridium juga dibentuk secara lateral atau terminal, berdinding tipis, tidak berwarna pada waktu muda tetapi akan berwarna kuning hingga coklat keemasan apabila telah matang. Pada kelas Oomycetes terdapat dua tipe anteridiun yaitu amphigynous dan paragynous . Jika posisi anteridum berada

Gambar 3 P. palmivora : Sporangium (A) dan klamidospora (B) (Koleksi foto pribadi).

B

B

A


(31)

disamping oogonium dinamakan paragynous anteridium dan jika posisi anteridium terlihat mengapit pada bagian basal oogonium disebut amphigynous anteridium (Gambar 4).

Gambar 4 Anteridium paragynous dari Phytium (A), anteridium amphigynous dari P. cambivora (B) (Hefler et al. 2002). Keterangan : tanda panah menunjukkan anteridium.

Apabila oogonium dan anteridium dari P. palmivora berpasangan maka terjadi fertilisasi antara kedua tipe kawin tersebut sehingga terbentuk oospora (Brassier & Griffin 1979). Secara in vitro oospora dibentuk pada suhu rendah (20oC) dalam keadaan gelap dan nutrisi yang sesuai. Pada keadaan alami, oospora dibentuk pada jaringan berkayu atau sisa-sisa tanaman yang terhindar dari cahaya Perkembangan siklus hidup asexual maupun sexual P. palmivora ditampilkan dalam Gambar 5.

Keragaman antar spesies Phytophthora

P. palmivora tipe A2 biasanya diisolasi dari buah kakao, sedangkan tipe A1 diisolasi dari pucuk kelapa dan batang karet. Pada kakao kedua tipe kawin A1 dan A2 ditemukan, dengan A2 merupakan isolat yang dominan. Di Afrika Barat P. megakarya tipe A1 yang menjadi predominan pada buah kakao, sedangkan tipe A2 sejauh ini hanya ditemukan pada buah kakao di Kamerun. Dari 70 isolat P. palmivora yang dikoleksi oleh Appiah et al. (2003) dari pertanaman kakao di seluruh dunia hanya 16 isolat tipe A1 sedangkan yang lainnya adalah tipe A2. Sebaliknya P. palmivora yang dikoleksi dari inang di luar kakao terdapat 19 tipe A1 dari 29 isolat. Oospora hampir belum pernah ditemukan di lapang, namun oospora bisa didapatkan jika tipe kawin A1 dan A2 dipasangkan secara in vitro pada media V8.


(32)

Gambar 5 Siklus hidup Phytophthora palmivora (Alexopoulos et al. 1996)

Turner (1960) mendapatkan koleksi isolat P.palmivora dunia yang mempunyai karakter morfologi yang seragam. Brasier dan Griffin (1979) juga melaporkan karakter morfologi dari isolat P. palmivora yang ada di International Collection relatif seragam.

Penelitian tentang keragaman DNA dan virulensi antar spesies maupun antar isolat sudah dilakukan pada beberapa spesies Phytophthora, misalnya P. infestans (Gotoh et al. 2005), dan P. cinnamomi (Chang et al. 1996). Analisis variasi isolat menggunakan karakter morfologi dan bentuk koloni sudah biasa dilakukan. Menurut Appiah et al. (1999) karaker morfologi yang dapat

Perkecambahan sporangium

Percabangan sporangium

Sporangium Perkecambahan

sporangium

Zoospora Zoospora

Oospora

Pembentukan kista Pembentukan kista

Percabangan sporangium

Kariogami

Plasmogami

Oogonium

Anteridium

Meiosis

Anteridium

Oogonium

Perkecambahan Perkecambahan

Miselium Miselium

Gametangium


(33)

membedakan spesies adalah bentuk koloni. Selanjutnya Appiah membedakan spesies Phytophthora antara P megakarya yang bentuk koloninya seperti kapas (cottony), P. palmivora yang berbentuk stelate dan P capsici yang berbentuk rosette.

Analisis genetik dengan penanda RFLP dan isozim dapat memberikan pemahaman tentang struktur populasi dan evolusi yang terjadi pada beberapa spesies Phytophthora (Fry et al. 1993). Goodwin et al. 1994 mengemukakan sebelum tahun 1980 isolat-isolat dari klon tunggal tipe A1 dan US-1 didominasi oleh P. infestans. Isolat US-1 merupakan isolat hasil propagasi asexual dari strain-strain P. infestans yang masuk pada tahun 1980 dari Mexico ke Amerika Utara dan menyebar ke seluruh dunia (Goodwin 1997). Tooley et al. (1986) telah membandingkan variasi genetik berdasarkan penanda isozim dan molekuler pada isolat asexual Phytophthora spp. dari Amerika Utara dan Mexico. Teridentifikasi bahwa terdapat 15 kelompok genotipe pada populasi Phytophthora dari Mexico yang mempunyai rekombinasi genetik yang tinggi. Sebaliknya pada tipe asexual dari Amerika Utara hanya terdapat empat kelompok genotipe dan tidak terdapat rekombinasi genetik.

Identifikasi P. palmivora dengan teknik molekuler runutan DNA

Fungsi-fungsi gen sering dapat diturunkan dari sekuen nukleotidanya, misalnya dalam membandingkan sekuen sampel dengan sekuen gen yang telah diketahui fungsinya. Informasi sekuen nukleotida sangat penting dalam bidang kloning molekuler sebab dengan mengetahui sekuen DNA maka dapat ditentukan situs enzim restriksi spesifik atau dapat memprediksi open reading frame (ORF) sekuen DNA yang bersangkutan.

Metode pertama yang dilakukan untuk merunut bentangan panjang DNA ialah dengan melakukan degradasi secara kimia. Metode ini melibatkan degradasi kimia terhadap fragmen DNA yang akan dirunut (Ilyas 2005). Akan tetapi metode ini menghasilkan ketidakstabilan beberapa reaktan sehingga menyebabkan hasil tidak konsisten. Selain itu, metode ini juga menggunakan bahan kimia yang berbahaya seperti hidrasin, piperidine, dan dimetylsulfat (Zyskind & Berastein 1992) sehingga metode ini jarang digunakan. Metode kedua adalah metode terminasi rantai atau juga disebut metode dideoksi. DNA yang akan dirunut


(34)

diinkubasi dengan DNA polimerase I, primer dan dNTP dengan melibatkan penanda radioaktif pada salah satu dNTPnya (Voot et al. 1999).

Saat ini perkembangan perunutan DNA dimudahkan dengan adanya bantuan komputer dalam menganalisis ruas basa-basa DNA secara otomatis. Metode ini merupakan satu variasi dari metode terminasi rantai dimana primer yang digunakan dalam reaksi perpanjangan rantai masing-masing dihubungkan dengan warna pendaran yang berbeda (Voot et al. 1999).

Analisis perunutan DNA hanya dilakukan pada sekuen DNA tertentu, dalam banyak analisis terutama dilakukan pada ruas ITS-DNA (Tan et al. 1996) dan ruas 5.8S rDNA (Bailey et al. 1996). Analisis ruas ITS-DNA dari RNA ribosom telah dilakukan untuk mendeterminasi keragaman di dalam spesies Phytophthora (Cook et al. 1996). Perbedaan runutan DNA telah digunakan untuk membedakan antar spesies Phytophthora (Ristaino et al. 1998). Runutan ruas DNA ITS telah digunakan untuk mempelajari hubungan kekerabatan dari banyak spesies Phytophthora (Lee & Taylor 1992). Berbagai teknik analisis DNA telah digunakan untuk mengetahui variasi di dalam dan antar spesies Phytophthora seperti analisis DNA mitokondria dan nukleus dengan teknik RFLP (Förster et al. 1987) dan analisis perunutan (sequencing) ribosom RNA (rRNA).

Struktur DNA ribosom

Ribosom sitoplasmik pada eukariot mengandung empat jenis rRNA. Identifikasi biasanya dilakukan berdasarkan perbedaan laju sedimentasi pada saat sentrifugasi yang diberi nilai S (Svedber value). Sekuen DNA yang menyandi rRNA banyak digunakan untuk studi hubungan taksonomi dan variasi genetik pada cendawan (Bruns et al. 1992). Kluster gen rRNA ditemukan dalam inti dan mitokondria, terdiri dari daerah yang sangat konservatif dan beragam yang meliputi gen-gen untuk pembentukkan rRNA berukuran kecil (5.8 S) dan besar (18 S) (White et al. 1990).

Dalam satu genom haploid gen rRNA pada cendawan tersusun secara tandem berulang 60-200 kali (Henson & French 1993) terdiri atas 3 ruas yaitu 5.8S, 18S dan 28S RNA ribosom (Mitchel et al. 1995) (Gambar 6). Ruas diantara 18S dan 5.8S, serta 5.8S dan 28S merupakan ruas yang dinamakan ruas internal


(35)

transcribed spacer (ITS) (Mitchel et al. 1995). Ruas yang memisahkan unit rRNA sepanjang kromosom dinamakan ruas non-transcribed spacer (NTS). Pada unit 18S terdapat ruas pendek yang dinamakan externally transcribed spacer (ETS) dan bersama-sama dengan NTS membentuk ruas intergenic spacer (Mitchel et al. 1995). Keragaman banyak terjadi pada ruas ITS diikuti oleh ruas NTS, meskipun yang paling banyak terjadi keragaman pada ruas intergenic transcribed spacer (Henson & French 1993). Pada ruas-ruas rRNA : gen struktural, transcribed spacer dan non transcribed spacer dapat dilakukan perunutan DNA untuk membedakan taxa pada tingkat yang berbeda (Sherriff et al. 1994). Gen struktural sangat stabil sehingga dapat digunakan untuk membedakan ordo (Mitchel et al. 1995).

Gambar 6 Gen yang mengkode subunit ribosomal RNA. (Anonimous 2006). Keterangan : 18S, 5.8S, 28S adalah ukuran rRNA ; ITS4 dan ITS6 adalah

nama primer.

Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)

Metode RAPD merupakan suatu cara untuk menganalisis keragaman genetik melalui amplifikasi DNA genom hanya dengan menggunakan satu primer acak tunggal 6-10 basa (Foster et al. 1993). Keragaman genetik suatu organisme dapat dilihat berdasarkan polimorfisme urutan nukleotida dari pita DNA hasil amplifikasi PCR. Dalam reaksi tersebut satu jenis primer tunggal akan berikatan dengan pasangan sekuen komplemennya didua tempat yang berbeda pada dua utas

Subunit susunan Tandem RNA

Salah satu subunit 11kb

Posisi primer

Produk amplifikasi 1300 bp


(36)

yang berlawanan dari DNA genom yang sebelumnya telah didenaturasi. Jika tempat penempelan primer yang satu dengan yang lainnya berada dalam jarak yang dapat diamplifikasi dan tersedia enzim polimerase, dNTP dan larutan penyangga maka produk PCR akan diperoleh berupa pita DNA.

Pita DNA hasil amplifikasi mempunyai homologi dengan urutan nukleotida pada DNA genom dan primer oligonukleotida. Rata-rata setiap primer akan secara bersamaan mengamplifikasi beberapa lokus yang diskrit dalam DNA genom, sehingga ini merupakan cara yang efisien untuk memeriksa polimorfis dari urutan nukleotida setiap individu.

Penggunaan PCR untuk mendeteksi Phytophthora

Dewasa ini untuk mengkarakterisasi maupun mendeteksi cendawan telah dikembangkan teknik molekuler Polymerase Chain Reaction (PCR). Teknik ini merupakan metode in vitro untuk mensintesis asam nukleat atau nukleotida dengan cara satu bagian DNA dapat diperbanyak dalam waktu singkat.

Pada dasarnya amplifikasi DNA dalam mesin PCR mengikuti pola sintesis DNA di dalam sel. Di dalam sel proses sintesis DNA meliputi penguraian utas ganda DNA menjadi utas tunggal yang disebut denaturasi. Kemudian sintesis rantai DNA baru dengan menggunakan utasan tunggal sebagai model atau cetakan. Sintesis DNA dimulai dengan penempelan primer pada utas tunggal DNA cetakan, dilanjutkan dengan pemanjangan rantai DNA dan pembentukan utas ganda kembali. Sintesis DNA mempunyai arah pertumbuhan 5 – 3 , yaitu dua nukleotida digabungkan satu dengan lainnya dengan cara merangkaikan karbon gula kelima (C5) yang mengandung fosfat dari satu nukleotida kepada karbon gula ketiga (C3) yang mengandung OH dari nukleotida lain membentuk ikatan fosfodiester.

Seperti halnya sintesis DNA di dalam sel, amplifikasi DNA pada mesin PCR secara in vitro membutuhkan enzim DNA polimerase, primer, basa


(37)

kofaktor enzim serta H₂O. Reaksi PCR melibatkan pengaturan suhu pada mesin

PCR selama pengulangan siklus. Setiap siklus terdiri atas tiga tahap : 1) Denaturasi dengan pemisahan DNA untai ganda menjadi untai tunggal pada suhu 94ºC, 2) Penempelan primer (anealing) dilakukan dengan menurunkan suhu reaksi sehingga primer dapat menempel pada DNA target sesuai dengan ruas komplemennya. Suhu annealing berkisar antara 50-60 ºC. 3) Sintesis DNA pada suhu 72 ºC sehingga memungkinkan enzim DNA polimerase bekerja lebih aktif. Selanjutnya primer secara langsung diperpanjang dengan bantuan DNA polimerase untuk mensintesis untai komplemen dari DNA target dengan adanya dNTP (Voot et al. 1999). Ketiga tahapan tersebut dilakukan dalam satu siklus, namun untuk memperoleh jumlah DNA yang banyak maka siklus PCR diulang 30-40 kali.

Penggunaan teknik PCR untuk deteksi dan analisis keragaman Phytophthora banyak dilakukan. Förster et al. (2000) telah mempelajari hubungan filogenetik beberapa spesies Phytophthora berdasarkan analisis ruas daerah ITS rRNA dengan membandingkan kelompok morfologi V dan VI dari Waterhouse. Hibridisasi secara alami antara P. nicotianae dan P. cactorum telah dideteksi melalui PCR-RAPD oleh Willem et al. (1998).

Salah satu faktor penting yang mempengaruhi kualitas PCR ialah

konsentrasi komponen reaksi (MgCl₂, buffer, enzim, DNA cetakan, primer,


(38)

pemanjangan primer, jumlah siklus, serta keutuhan dan kemurnian DNA cetakan (Halden et al. 1996).

Patogenisitas P. palmivora

Satu spesies Phytophthora dapat menyebabkan beberapa penyakit pada tanaman yang sama maupun yang berbeda. P. infestans dapat menyebabkan penyakit hawar daun pada tanaman kentang dan tomat. Berdasarkan karakterisasi DNA mitokondria, tipe isoenzim dan kepekaan terhadap metalaksil diketahui P. infestans asal kentang berbeda dengan P. infestans asal tomat (Wangsomboodee et al. (2002).

Pengujian patogenisitas 26 isolat P. palmivora asal durian pada tanaman durian, karet, dan lada menunjukkan dapat menyebabkan bercak coklat pada tanaman lada dan karet meskipun pada tanaman durian patogenisitasnya lebih tinggi (Pongpisutta & Sangchote (2004). Patogenisitas isolat P. palmivora asal kakao dapat menginfeksi bibit tanaman karet sehingga menyebabkan penyakit pada daun dan pucuk tanaman setelah 7-8 hari, sedangkan isolat P. palmivora asal karet tidak dapat menginfeksi tanaman kakao (Orellana 1959).

Kharie et al. (1992) melakukan pengujian patogenisitas P. palmivora, P. arecae dan P. nicotianae pada kelapa GKN. Hasil pengujian patogenisitas yang paling tinggi adalah P. palmivora. Berdasarkan hal ini di dalam penelitian ini penulis menggunakan P. palmivora sebagai penyebab penyakit gugur buah pada kelapa dan busuk buah pada kakao, meskipun kedua patogen P. arecae dan P. nicotianae dilaporkan juga sebagai penyebab penyakit gugur buah pada kelapa dan busuk buah pada kakao (Quillec et al. 1984).

Kellam dan Zentmyer (1981) telah mempelajari patogenisitas P. palmivora, P. citrophthora dan P. capsici pada bibit kakao. Tidak ada satupun bibit yang mati ketika diinokulasi dengan P.capsici setelah delapan minggu, tetapi bibit yang diinokulasi dengan P. palmivora dan P. citophthora menyebabkan kematian bibit sebesar 67% dan 53%.


(39)

III. METODE PENELITIAN

Sesuai tujuan, serangkaian kegiatan penelitian telah dilaksanakan. Kerangka pelaksanaan penelitian dalam upaya mencapai tujuan yang ditetapkan, secara ringkas diilustrasikan dalam Gambar 7.

KERAGAMAN GENETIK DAN VIRULENSI

ISOLAT

Phytophthora palmivora

ASAL

KELAPA DAN ASAL KAKAO

Gambar 7 Alur penelitian keragaman genetik dan virulensi P palmivora asal kelapa dan asal kakao.

SURVEY PADA PERKEBUNAN KELAPA DAN KAKAO

DI JAWA TIMUR DAN SULAWESI UTARA

ISOLASI PATOGEN

KOLEKSI ISOLAT

IDENTIFIKASI KARAKTER MORFOLOGI &

MOLEKULER P. palmivora

- Bentuk & diameter koloni

- Ukuran & bentuk sporangium

- Tipe Kawin

- PCR ITS-DNA

- Perunutan ITS-DNA

- Analisis filogenetik

ANALISIS KERAGAMAN

P. palmivora PADA KELAPA DAN KAKAO BERDASARKAN RAPD

- Ekstraksi DNA

- Seleksi primer

- PCR - RAPD

- Analisis filogenetik

VIRULENSI &

PATOGENITAS P.palmivora

PADA KELAPA DAN KAKAO

- Virulensi Isolat P. palmivora pada kelapa Salak, GKN, dan kakao


(40)

Tempat dan Waktu

Pengambilan sampel dilakukan di pertanaman kelapa dan kakao di Provinsi Jawa Timur dan Sulawesi Utara. Sedangkan pengujian laboratorium dilakukan di Laboratorium Mikologi dan Laboratorium Virologi, Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, IPB serta Laboratorium Hama dan Penyakit Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lainnya di Manado. Penelitian dilaksanakan mulai dari Februari 2005 sampai dengan Februari 2007

Survey penyakit gugur buah kelapa dan busuk buah kakao

Survey penyakit gugur buah kelapa dan busuk buah kakao dilakukan pada bulan Februari 2005 di Propinsi Sulawesi Utara dan bulan April 2005 di Provinsi Jawa Timur. Survey dilakukan di Perusahaan Swasta, PT Perkebunan dan perkebunan rakyat di Kabupaten Banyuwangi dan Jember (Jawa Timur), Kabupaten Minahasa dan Bolaang Mongondow (Sulawesi Utara). Pada masing-masing lokasi dipilih tiga tempat yang berbeda yaitu monokultur kelapa, monokultur kakao dan tumpangsari kelapa-kakao. Pengamatan dilakukan terhadap kejadian penyakit gugur buah kelapa dan busuk buah kakao. Kejadian penyakit dihitung dengan menggunakan rumus:

KjP = Kejadian penyakit (%)

n = Jumlah pohon yang menunjukkan gejala penyakit. N = Jumlah pohon yang diamati.

Isolasi dan koleksi P. palmivora

Pengambilan sampel buah kelapa yang menunjukkan gejala gugur buah dan buah kakao yang menunjukkan gejala busuk buah di lakukan di semua lokasi survey (Gambar 8).


(41)

Gambar 8 Buah kelapa yang diduga terserang penyakit gugur buah (A) dan buah kakao yang terserang penyakit busuk buah (B).

Isolasi dilakukan dengan mengambil bagian buah yang menunjukkan infeksi aktif seluas 3 x 3 mm2 lalu disterilkan dengan alkohol 70% selama 30 detik. Selanjutnya potongan-potongan tersebut diinokulasi pada media selektif V8 (Agar Bacto 15 gr, V8 Juice 200 ml yang telah dimurnikan dengan CaCO3 3 gr,

dan akuades steril sampai satu liter) (Miller 1955) yang ditambah antibiotik (Pimaricin 10 ppm, Ampicilin 250 ppm, Rifampicin 10 ppm, Pentachloronitrobenzen 100 ppm) (Papavizas et al. 1981) serta hymexazol 25 ppm (Masago et al. 1977 ; Tsao & Guy 1977). Cawan yang telah berisi potongan jaringan sakit kemudian diinkubasi selama tiga hari pada suhu kamar. Isolat P. palmivora yang tumbuh diisolasi hingga didapat biakan murni. Selanjutnya isolat diidentifikasi. Isolat yang telah diidentifikasi akan digunakan dalam pengujian-pengujian lebih lanjut (Gambar 9).

Gambar 9 Koloni P. palmivora yang diisolasi dari jaringan sakit.

A


(1)

Griffin MJ. 1977. Cocoa Phytophthora Workshop, Rothamstead. Experimental Station, England 24-26 May 1976. PANS 23:107-110

Halden HC, Hansen M, Nilsson NO, Hjerdin A. 1996. Competition as a source of errors in RAPD analysis. Theor Appl Genet 93:1185-1192.

Hall G, Warokka JS. 1992. Species of Phytophthora implicated in bud rot and nutfall of coconut in Ivory Coast and Indonesia. Coconut Phytophthora Workshop Proc. Manado 26-30 Oktober 1992. Hlm 69-70.

Hefler V, Powelson MR, Johnson KB. 2002. Oomycetes. The Plant Health Instructor. www.apsnet.org/education/LabExercises/oomycetes/Top.html (29 Januari 2008).

Henson JM, French R. 1993. The polymerase chain reaction and plant disease diagnosis. Annual Rev. of Phytopathology 31: 81-109.

Hicks PG. 1975. Phytophthora palmivora pod rot of cacao in Papua New Guinea: investigations 1962-1971. J. Papua New Guinea Agric. 26:10-16.

Holderness, M. 1992. Biology and control of Phytophthora diseases of cocoa in Papua New Guinea. Di dalam: Keanne PJ dan Putter CA, editor. Cocoa Pest and Disease management in Southeast Asia and Australia, Rome, Italy. FAO Plant Production and Protection Paper. No. 112

Holliday P. 1980. Fungus Diseases of Tropical Crops. Cambridge UK : University Press.

Ilyas J. 2005. Analisis Sekuen Daerah ITS DNA Ribosom (rDNA) dan Desain Primer Untuk Mendeteksi Phytophthora palmivora Butl. Pada Kakao, (Tesis). Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Irish,B., Goenage,R., Park,S. and Kang,S. Unpublished. First Report of Phytophthora palmivora, Causal Agent of Black Pod, on Cacao (Theobroma cacao L.) in Puerto Rico. (www.ncbi.nlm.nih). (13 February 2007)

Ivors KL, Hayden KJ, Bonants PJM, Rizzo DM, Garbelotto M. 2004. AFLP and phylogenetic analyses of North American and European populations of Phytophthora ramorum. Mycol. Res. 108 (Pt 4), 378-392.

Keanne PJ. 1992. Disease of pests and cocoa: an overview. Di dalam: Keanne PJ dan Putter CA, editor. Cocoa Pest and Disease management in Southeast Asia and Australia, Rome, Italy. FAO Plant Production and Protection Paper. No. 112.

Kellam MK, Zentmyer GA. 1981. Isolation of Phytophthora citrophthora from cocoa in Brasil. Phytopathology 71:230.

Kharie S, Thevenin JM, Motulo HFJ. 1992. Assesing coconut Phytophthora diseases tolerance in Indonesia : development of an inoculation method and first tests. Coconut Phytophthora Workshop Proc. Manado 26-30 Oktober 1992.

Kreisel H. 1969. Grunzuge eines naturlichen system der pilze. Di dalam : Alexopoulos CJ, Mims CW, Blackwell M. 1996. Introductory Mycology 4th Edition. John Wiley & Sons, Inc.

Lee SB, Taylor JW. 1992. Phylogenie of five fungus like prototistan Phytophthora species inferred from the internal transcribed spacers of ribosomal DNA. Molecular Biology and Evolution 9: 636-653.


(2)

Legard DE, Lee TY, Fry WE. 1995. Pathogenic specialization in Phytophthora infestans : Aggresiveness on tomato. Phytopathology 85: 1356-1361. Mangindaan HF, Thevenin JM, Kharie S, Motulo HFJ. 1992. The susceptibility of

coconut varieties to Phytophthora in Indonesia : the effect of environmental factors. Coconut Phytophthora Workshop Proc. Manado 26-30 Oktober 1992.

Masago H, Yoshikawa M, Fukada M., Nakanishi N. 1977. Selective inhibition of Pythium spp. On a medium for direct isolation of Phytophthora spp. from soil and plants. Phytopathology 67: 425-428.

Massee G. 1899. Cacao disease in Trinidad. Kew Bull. Hal. 1-6

McGregor AJ, Moxon JE. 1985. Potential for biological control of tent building species of ants associated with Phytophthora palmivora pod rot of cocoa in Papua New Guinea. Ann. Appl. Biol. 107:271-277.

Mchau GRA, Coffey MD. 1994. Isozyme diversity in Phytophthora palmivora : Evidence for Southeast Asia Centre of origin. Mycol. Res. 98 : 1269-1299. Miller PM. 1955. V8-Juice agar as general purpose medium for fungi and bacteria.

Phytopathology 45:461-462.

Mitchel JI, Roberts PJ, Moss ST. 1995. Sequence or structure? A short review on the application of nucleic acid sequence information to fungal taxonomy. Mycologist 9: 67-75.

Motulo HFJ, Suradji-Sinaga M, Mandang S, Tjahyoleksono A. 2004. Keragaman genetik beberapa isolat Phytophthora palmivora penyebab penyakit gugur buah pada kelapa berdasarkan penanda RAPD. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 10(4): 154-158.

Opeke LK, Gorenz AM. 1974. Phytophthora pod rot ; symptoms and and economic importance Di dalam: Gregory PH, editor. Phytophthora disease of cocoa. New York Longman.

Orellana RG. 1959. Variation in Phytophthora palmivora isolated from cacao and rubber. Phytopathology 49: 210-213.

Osei-Bonsu K, Opoku-Amayaw K, Amoah F, Oppong F. 2002. Cacao-coconut intercropping in Ghana: agronomic and economic perspectives. Agroverestry System 55(1):1-8.

Panabieres F, Marais A, Trentin F, Bonnet P, Ricci P. 1989. Repetitive DNA polimorphism analysis as a tool for identifying Phytophthora species. Phytopathology 79 : 1105-1109.

Papavizas GC, Bowers JH, Johnston SA. 1981. Selective isolation of Phytophthora capsici from soils. Phytopathology 71:129-133.

Parnata Y. 1983. The role of Phytophthora palmivora in the cocoa cultivation in North Sumatera. Konferensi Coklat Nasional II. Medan Oktober 1983. Patterson DJ, Sogin ML. 1992. Eukaryote origins and Protistan diversity. Di dalam

Hartman H dan Matsuno K, editor. The Origin and evolution of the cell. Word Scientific, Singapore.

Pongpisutta R, Sangchote S. 2004. Morphological and host range variability in Phytophthora palmivora from durian in Thailand. Di dalam: Drenth A dan Guest DI, editor. Diversity and Management of Phytophthora in Southeast Asia. ACIAR Monograph No.114. hlm 53-58.


(3)

Prawoto AA, Fauzan A, Suhartoyo. 2001. Kajian agronomis dan ekonomis penggunaan kelapa sebagai penaung tanaman kakao yang dipanen nira dan buah. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember.

Pringsheim N. 1858. Beitrage zur Morphologie und Systematik der Algen. Di dalam : Alexopoulos CJ, Mims CW, Blackwell M. 1996. Introductory Mycology 4th Edition. John Wiley & Sons, Inc.

Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. 2004. Panduan Lengkap Budidaya Kakao. Agromedia Pustaka.

Quillec G, Renard JL. 1984. Phytophthora rot of coconut. Oléagineux 39 (3): 143-147.

Quillec G, Renard JL, Chesquire G. 1984. Phytophthora heveae of coconut . Role in bud rot and nutfall. Oléagineux 39: 477-485.

Reinking, OA. 1923. Comparative study of Phytophthora palmivora on coconut and cacao in the Philipine Island. J. Agric. Res. 25:267-284. Di dalam Erwin dan Ribeiro. 1996. Phytophthora Diseases Worldwide. APS Press. Renard JL. 1992. Introduction to coconut Phytophthora diseases. Coconut

Phytophthora Workshop Proc. Manado 26-30 Oktober 1992.

Renard JL, Darwis SN. 1992. Report on the coconut Phytophthora disease seminar. Coconut Phytophthora Workshop Proc. Manado 26-30 Oktober 1992.

Reyne A. 1948. Kelapa. Semangun H dan Lahiya AA, penerjemah. Yogyakarta : Lembaga Pendidikan Perkebunan. Terjemahan dari : De Cocopalm.

Ristaino JB, Madritch M, Trout CI, Parra G. 1998. PCR amplification of ribosomal DNA for species identification in the plant pathogen genus Phytophthora. Applied and Environmental Microbiology 64: 948-954.

Rochas HM. 1965. Cacao varities resistant to Phytophthora palmivora (Butler): a literature review. Cacao (10): 1-9.

Rossman AY, Palm ME. 2006. Why are Phytophthora and other Oomycota not true fungi. USDA Agriculture Research Service, USDA Animal and Plant Health Inspection Service, Systematic Botany & Micology Laboratory,

Beltsville, Maryland 20705.

www.apsnet.org/education/IntroPlantPath/PathogenGroup/oomycetes/defau lt.htm (29 Januari 2008).

Runtunuwu SD, Sinaga MS, Hartana A. 1999. Seleksi ketahanan tanaman kelapa terhadap gugur buah (Phytophthora palmivora BUTLER). Bul. Hama dan Penyakit Tumbuhan 11(1):14-19.

Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning : A Laboratory Manual. Ed.2. Cold Spring Harbor Laboratory Press, Cold Spring Harbor, NY.

Sansome E, Brasier CM, Griffin MJ. 1975. Chromosome size differences in Phytophthora palmivora, a pathogen of cocoa. Nature (London) 255: 704-705.

Schlick A, Kuhls K, Meyer W, Lieckfeld E, Borner T, Messner K. 1994. Fingerprinting reveals gamma-ray induces mutation in fungal DNA, implications for the identification of patent strains of Trichoderma harzianum. Current Genetics 26: 74-78.


(4)

Shaffer RL. 1975. The major group of Basidiomycetes. Mycologia 67:1-18. Di dalam : Alexopoulos CJ, Mims CW, Blackwell M. 1996. Introductory Mycology 4th Edition. John Wiley & Sons, Inc.

Sherriff C, Whelan MJ, Arnold GM, Lafay JF, Brygoo Y, Bailey JA. 1994. Ribosomal DNA sequence analysis reveals new species groupings in the genus Colletotrichum. Experimental Mycology 18: 121-138.

Silvar C, Merino F, Diaz J. 2006. Diversity of Phytophthora capsici in North Spain : Analysis of virulence, metalaxyl response and molecular characterization. Plant Disease 90:1135-1142.

Sreenivasaprasad S, Brown AE, Mills PR. 1992. DNA Sequence variation and inter-relationship among Colletotrichum spesies causing strawberry antracnose. Physiological and Molecular Plant Pathology 41:265-281. Stamp DJ. 1985. Phytophthora palmivora. Commonw. Mycol. Inst. Descriptions

of Pathogenic Fungi and Bacteria No. 831.

Stamp DJ, Waterhouse GM, Newhook FJ and Hall GS. 1990. Revised tabular key to the species of Phytophthora. Common. Agric. Bur. Int. Mycol. Inst. Mycol. Pap. 162. 28 hlm.

Steer J, Coates-Beckford PL. 1990. Role of Phytophthora katsurae, P. palmivora, Thielaviopsis paradoxa and Enterobacter sp. in bud rot disease of coconut uin Jamaica. Oléagineux 45: 539-545.

Tan MK, Timmer LW, Broadbent P, Priest M, Cain P. 1996. Differentiation by molecular analysis of Elsinoe spp. causing scab diseases of citrus and its epidemiological implications. Phytopathology 86:1039-1044.

Thevenin JM. 1992. Coconut Phytophthora diseases in Indonesia etiological aspects. Coconut Phytophthora Workshop Proc. Manado 26-30 Oktober 1992.

Thevenin JM, Motulo HFJ, Kharie S. Mangindaan H, Warokka JS. 1992. Epidemiological Studies on Phytophthora diseases of coconut in North Sulawesi province in Indonesia. Coconut Phytophthora Workshop Proc. Manado 26-30 Oktober 1992.

Thevenin JM. 1994. Studies of coconut Phytophthora diseases, characterization of implicated species, epidemiology-control strategies. (Report of Activities 1990-1994). Coconut Research Institute-Centre Manado dan De Cooperation Internationale en Recherche Agronomique Pour le Development Monpellier.

Thompsom, A 1929. Phytophthora species in Malaya. Malay. Agric. J. 17:53-100 di dalam Erwin dan Ribeiro. 1996. Phytophthora Diseases Worldwide. APS Press.

Thorold CA. 1974. History up to 1930 of black pod disease and other cocoa diseases caused by Phytophthora palmivora. Di dalam: Gregory PH, editor. Phytophthora Diseases of Cocoa. Longman, London. Hlm 13-20.

Tooley PW, Sweigard JA, Fry WE. 1986. Fitness and virulence of Phytophthora infestans isolates from sexual and asexual populations. Phytopathology 76:1209-1212.

Tooley PW, Therrien CD, Ritch DL. 1989. Matyng type, race compotition, nuclear DNA content and isozym analysis of Peruvian isolates of Phytophthora infestans. Phytopathology 79 : 925-927.


(5)

Tsao PH, Guy SO. 1977. Inhibition of Mortierella and Pythium in a Phytophthora isolation medium containing hymexazol. Phytopathology 67: 796-801. Tsao PH, Alizadeh A. 1988. Recent advances in the taxonomy and nomenclatur of

the so-called ’Phytophthora palmivora’ MF4 occurring in cocoa and other tropical crops. 10th Int. Cocoa Res. Conf. Proc. Santo Domingo 17-23 Mei 1987. Hal. 441-445.

Trout CL, Ristaino JB, Madritch M, Wangsomboonde T. 1997. Rapid detection of Phytophthora infestans in late blight potatoes and tomatoes using PCR. Plant Dis.81:1042-1048.

Turner PD. 1960. Strains of Phytophthora palmivora (Butler) from Theobroma cacao L. I. Isolate from West Africa. Trans. Br. Myco. Soc. 43: 665-672. Uchida JY, Aragaki M. 1992 Phytophthora fruit and heart rot of coconut in

Hawaii. Plant Dis. 76: 925-927.

Umaya A. 2004. Keragaman Genetik P. palmivora pada Kakao di Indonesia Berdasarkan Pendekatan Molekuler. (Disertasi). Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Unterstenhıfer G. 1976. The Basic Principles of Crop Protection Field Trials. Pflazenschutz-Nachricten Bayer 29 : 84-180.

Voot D, Voot JG, Pratt CW. 1999. Fundamental of Bichemistry. New York. Improvement of Cocoa. hlm 9-18.

Wangsomboondee T, Trout-Groves C, Shoemaker PB, Cubeta MA, Ristaino JB. 2002. Phytophthora infestans populations from tomato and potato in North Carolina differ in genetic diversity and structure. Phytopathology 92 : 1189-1195.

Warokka JS, Thevenin JM. 1992. Phytophthora in Indonesia coconut plantation: population involved. Coconut Phytophthora Workshop Proc. Manado 26-30 Oktober 1992.

Warokka JS, Jones P, Dickinson MJ. 2006. Detection of phytoplasmas associated with Kalimantan wilt disease of coconut by polymerase chain reaction. Jurnal Penelitian Tanaman Industri 12 (4): 154-160.

Waterhouse GM. 1963. Key to the species of Phytophthora de Bary. Mycol. Pap. 92. Commonw. Mycol. Inst. Kew, UK.

Waterhouse GM. 1970. Taxonomy in Phytophthora. Phytopatholgy 60 : 1141- 1143.

Waterhouse GM. 1974. Phytophthora palmivora and some related species. Di dalam : Gregory, PH editor. Phytophthora Diseases of Cocoa. Longman London.

Waterhouse GM, Newhook FJ, Stamp DJ. 1983. Present criteria for classification of Phytophthora. Di dalam: Erwin DC, Bartnicki-Garcia S, Tsao PH, editor. Phytophthora: Its Biology, Taxonomy, Ecology, and Pathology. St Paul Minnesota, APS hlm: 139-147.

Whissom SC, Drenth A, Maclean DJ, Irwin JAG. 1994. Evidence for outcrossing in Phytophthora sojae and linkage of a DNA marker two avirulence genes. Current Genetic 27:77-82.

White TJ, Bruns T, Lee S, Taylor JW. 1990. Amplification and direct sequenzing of fungal ribosomal RNA genes for phylogenetics.p.315-322. Di dalam : Innis MA, Gelfand DH, Sninsky JJ, White TJ, editor. PCR Protocol: A Guide to Methods and Applications, Academic Pr. Inc. New York.


(6)

Willem A, Man in’t V, Wil J, Veenbaas R, Elena I, Arthur WAM, de Cock, Peter JM, Bonants, Rob P. 1998. Natural hybrids of Phytophthora nicotianae and Phytophthora cactorum demonstrated by isozyme analysis and Random Amplified Polymorphic DNA. Phytopathology 88:922-929.

Zadoks JC, Schein RD. 1980. Epidemiology and plant diseases management, the known and the needed. Di dalam Palti J, Kranz J, editor. Comparative Epidemiology, A Tool for Better Diseases Management. Centre for Agric. Publ. And Doc. Wageningen, The Netherlands.

Zentmyer GA. 1987. Taxonomic relationships and distribution of species of Phytophthora causing black pod of cacao. Proc. Tenth Int. Cocoa Res. Conf. Santo Domingo, Dominician Republic. 17-23 May 1987. Cocoa Prod. Alliance , London hlm:391-395.

Zentmyer GA, Mircetish SM, Mitchell DM. 1968. Tests for resistance of cacao to Phytophthora palmivora. Plant. Dis. Rep 52: 790-791.

Zentmyer GA, Kaosiri T, Idosu G. 1977. Taxonomic variants in the Phytophthora palmivora complex. Trans. Br. Mycol. Soc. 69:329-332

Zyskind JW and Berstein SI. 1992. Recombinant DNA Laboratory Manual. Ed.rev. San Diego Academic Press.