Amr ini akhirnya menimbulkan protes di kalangan masyarakat Mesir. Mereka menuntut Utsman agar memulikan kedudukannya kembali. Apalagi penggantinya,
Abdullah, bukan tipe pemimpin yang mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Di Bashrah, gubernur Abu Musa al-Asyari juga diberhentikan dan digantikan dengan
saudara sepupunya bernama Abdulah ibn Amir ibn Kuraiz. Sedangkan Muawiyah yang juga masih keluarganya tetap diberikan jabatan sebagai gubernur Syam,
sebagaimana di masa Umar.
8
Sedangkan pada masa pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib juga terjadi pemberhentian kepala daerah, ia memberhentikan gubernur-gubernur yang diangkat
Utsman. Ali memberhentikan Abdullah ibn Amir gubernur Bashrah digantikan oleh Utsman bin Junaif. Gubernur Kufah Sad ibn al-Ash diberhentikan dan digantikan
oleh Umarah ibn Syihab.
9
Khalifah Ali juga memberhenrikan gubernur Syam yaitu Muawiyah, tetapi Muawiyah menolak untuk turun dari jabatannya dan memberontak terhadap
pemerintahan khalifah Ali. Sehingga terjadilah Perang Siffin yang berlangsung selama tiga 3 hari sejak tgl 29 – 31 Juli 657 M, antara pasukan Khalifah Ali bin
Abi Thalib melawan pasukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan 602 – 680 M yang ketika itu sebagai gubernur berkuasa di wilayah Syria dan Mesir, merupakan peperangan di
kalangan umat Islam, menggulingkan pemerintahan yang berkuasa khilafah untuk merebut kekuasaan. Peperangan ini disebut perang Siffin karena secara geografis
8
Muhamad Iqbal, Fiqih Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Polotik Islam, h. 78.
9
Muhamad Iqbal, Fiqih Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Polotik Islam, h. 77.
medan pertempuran yang terjadi berada di kota Siffin daerah pinggiran sungai. Dalam peperangan ini pasukan Muawiyah telah terdesak kalah, sehingga menyebabkan
mereka mengangkat al-Quran sebagai tanda damai dengan cara tahkim. Khalifah diwakili oleh Abu Musa Al-Asyari, sedangkan Muawiyah diwakili oleh Amr bin
Ash yang terkenal cerdik. Dalam tahkim tersebut khalifah dan Muawiyah harus meletakkan jabatan, pemilihan baru harus dilaksanakan. Abu Musa pertama kali
menurunkan Ali sebagai khalifah. Akan tetapi, Amr bin Ash tidak menurunkan Muawiyah tapi justru mengangkat Muawiyah sebagai khalifah, karena Ali telah
diturunkan oleh Abu Musa. Peperangan Siffin yang diakhiri melalui tahkim arbitase, yang diselesaikan oleh dua orang penengah sebagai pengadil. Ternyata
tidak menyelesaikan masalah dan menyebabkan lahirnya golongan Khawarij, orang- orang yang keluar dari barisan pendukung Ali.
10
Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan bahwa pada masa awal Islam, gagasan pemakzulan kepala daerah belum dikenal dan tidak terdapat petunjuk
ataupun contoh tentang cara bagaimana mengakhiri masa jabatan kepala daerah. Waktu itu belum adanya konsep pembatasan kekuasaan atau pembatasan masa
jabatan kepala daerah, sehingga sejak zaman klasik sampai zaman pertengahan di dunia Islam tidak dijumpai pemikir politik yang menyatakan perlunya jabatan kepala
daerah dibatasi. Ukuran umum yang digunakan adalah tergantung dari kepala negara yang menjabat. Kalau kepala negara berpendapat harus diberhentikan, maka kepala
daerah tersebut akan diberhentikan atau kalau rakyat danatau anggota majelis umat
10
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2009, h. 111-112.
di wilayah yang dipimpinnya menunjukan sikap benci dan tidak ridha terhadap kepala daerah tersebut maka ia harus diberhentikan dari jabatannya.
C. Mekanisme Pemakzulan
Mengenai mekanisme pemakzulan, dalam Islam tidak ditemukan penjelasannya secara eksplisit dan meyakinkan. Namun dalam kitab-kitab fiqih
siyasah setidaknya ditemukan beberapa cara atau mekanisme pemberhentian kepala negara yang disinonimkan dengan pemakzulan kepala daerah. Karena kepala negara
dan kepala daerah sama-sama memiliki peranan yang penting dalam memimpin suatu wilayah, yang membedakan antara kepala negara dan kepala daerah yaitu batas
wilayah kekuasaannya. Kelompok Mutazilah, kalangan Khawarij, dan Zaidiyah bependapat bahwa
kepala daerah yang telah menyimpang dan tidak layak lagi menjabat, maka ia diberhentikan dengan paksa, diperangi, atau dibunuh. Golongan Khawarij
berpendapat, kepala daerah yang telah berubah perilaku baiknya dan menyimpang dari kebenaran, maka ia wajib dipecat atau dibunuh.
11
Sedangkan kelompok Mutazilah percaya bahwa kepala daerah dapat digantikan apabila berbuat fasik,
meskipun belum sampai pada tingkat murtad atau zalim.
12
Abu Bakr al-Asam, pemuka Mutazilah juga berpendapat menyingkirkan kepala daerah yang durhaka
11
Ridwan HR, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, Yogyakarta: FH UII Press, 2007 h. 276.
12
Mumtaz Ahmad, Masalah-masalah Teori Politik Islam, Penerjemah Ena Hadi, Cet. III, Bandung: Mizan, 1996, h. 104.
dengan kekuatan senjata adalah wajib, apabila telah ditemukan kepala daerah lainnya yang lebih adil sebagai penggantinya.
13
Salah satu kelompok Sunni ‘Abdul Ma’ali al-Juwaini, wafat 478 H – 1085 M. Menurutnya selain kematian, berakhirnya jabatan seseorang bisa terjadi karena
adanya penggeseran khal’u atau karena tergeser dengan sendirinya inkhila’ dan melalui sebuah pengunduran diri. Agak berbeda pandangannya dengan kalangan
Khawarij dan Mu’tazilah yang tidak lagi mengakui kepala daerah yang fasiq dan berusaha menggesernya. Sementara mayoritas ahl al-hadist dan ahl al-Sunnah
memilih untuk bersabar dalam menghadapi penguasa yang fasik atau zhalim.
14
Al-Mawardi berpendapat dalam kitabnya Al-Ahkam As-Sulthaaniyyah Fi Al- Wilaayaah Ad-Diiniyyah dalam pemberhentian kepala daerah perlu diperhatikan hal
berikut ini. Jika kepala negara telah mengangkatnya, maka menteri tafwidh mempunyai hak untuk memperlihatkan dan memeriksa hasil kerjanya, tetapi ia tidak
mempunyai hak untuk memberhentikannya atau memindahkannya dari satu wilayah ke wilayah lain, sedangkan jika menteri itu sendiri yang mengangkat kepala daerah
ada dua kemungkinan: 1.
Menteri mengangkat kepala daerah tersebut dengan seizin kepala negara. Dalam kasus ini, menteri tidak boleh menurunkannya atau memindahkannya
dari tugasnya ke tugas lainnya kecuali setelah mendapat izin dari kepala
13
Ridwan HR, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, h. 276.
14
Muhammad Ali Hanafiah selian,Pemakzulan Kepala Negara Menurut Hukum Islam Studi Kasus Presiden Abdurrahman Wahid, Disertasi S2 Sekolah PascaSarjana Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011, h.79-83.
negara dan turun instruksi darinya. Jika menteri itu berhenti, maka kepala daerah tidak turut berhenti.
2. Menteri mengangkatnya dengan inisiatif sendiri dan kepala daerah itu
bertugas sebagai perwakilan wewenangnya. Menteri dapat dengan sendirinya memecatnnya dan menggantinya dengan orang lain, sesuai dengan hasil
ijtihadnya dalam melihat yang terbaik dan paling cocok untuk menduduki jabatan itu.
Pada saat menteri itu berhenti, kepala daerah itu pun turut berhenti kecuali jika kepala negara mengesahkan jabatannya, sehingga hal itu menjadi pembaharuan
jabatannya dan permulaan pengkatannya, namun dalam peresmian jabatannya itu tidak lagi dibutuhkan syarat-syarat seperti yang harus dipenuhi saat akan diangkat
pada pertama kali. Kepala negara cukup berkata, Aku akui jabatan yang engkau pegang.
15
Jika kepala daerah diangkat oleh kepala negara, kepala daerah itu tidak diberhentikan dengan meninggalnya kepala negara yang mengangkatnnya, sedangkan
jika diangkat oleh menteri, maka kepala daerah harus diberhentikan dengan meninggalnnya sang menteri karena pengangkatan oleh kepala negara dilakukan atas
15
Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, Kamaluddin Nurdin Jakarta: Gema Insani Press,2000, h. 64-
65.