1. salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451.
2. salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang- undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut
perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan diancam dengan pidana.
2. Penuntutan perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika tertuduh menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.
e Pasal 6 berbunyi “Berlakunya pasal 5 ayat 1 butir 2 dibatasi sedemikian
rupa sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut perundang- undangan negara dimana perbuatan dilakukan, terhadapnya tidak
diancamkan pidana mati”.
f Pasal 7 berbunyi “Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia
berlaku bagi setiap pejabat yang di luar Indonesia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab XXVIII Buku Kedua Pasal 8
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nahkoda dan penumpang perahu Indonesia, yang diluar Indonesia, sekalipun
di luar perahu, melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab XXIX Buku Kedua, dan BAb IX Buku ketiga; begitu pula yang
tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal di Indonesia, maupun dalam Ordonansi Perkapalan”
g Pasal 9 berbunyi “Diterapkannya pasal-pasal 2-5, 7, dan 8 dibatasi oleh
pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum internasional”
G. SUMBER HUKUM PIDANA DI INDONESIA
Sumber hukum merupakan asal atau tempat untuk mencari dan menemukan hukum. Tempat untuk menemukan hukum, disebut dengan
sumber hukum dalam arti formil. Adapun sumber-sumber hukum pidana di Indonesia itu antara lain sebagai berikut:
1. Kitab Undang-Undang Pidana KUHP dan penjelasan = M.v.T yang terdiri dari buku I tentang aturan umum, buku II tentang kejahatan dan
buku III tentang pelanggaran 2. Hukum Adat, yaitu Di daerah-daerah tertentu dan untuk orang-orang
tertentu hukum pidana yang tidak tertulis juga dapat menjadi sumber
hukum pidana. Hukum adat yang masih hidup sebagai delik adat
masih dimungkinkan menjadi salah satu sumber hukum pidana, hal ini didasarkan kepada Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951 L.N.
1951-9 Pasal 5 ayat 3 sub b. Dengan masih berlakunya hukum pidana adat meskipun untuk orang dan daerah tertentu saja maka
sebenarnya dalam hukum pidana pun masih ada dualisme. Namun harus disadari bahwa hukum pidana tertulis tetap mempunyai peranan
yang utama sebagai sumber hukum. Hal ini sesuai dengan asas legalitas yang tercantum dalam Pasal 1 KUHP.
3. Undang-Undang di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana seperti: · Undang-undang Tindak Pidana Korupsi
· Undang-undang Tindak Pidana Terorisme UU No. 15 tahun 2003 · Undang-undang Pidana Pencucian Uang UU No. 15 tahun 2002
· Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi UU DRT No. 7 tahun 1955 dan UU No. 8 tahun 1958, PP No. 1 tahun 1960
· Undang-undang Narkotika dan Undang-undang Psikotropika UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika dan UU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika
H. JENIS-JENIS PIDANA
Menurut Pasal 10 KUHP ada 2 jenis pidana yaitu pidana pokok dan pidana tambahan. Adapun pidana pokok itu antara lain sebagai berikut :
a Pidana mati, b Pidana penjara, c Pidana kurungan, d Pidana
denda. Sedangkan pidana tambahan yaitu a Pidana pencabutan hak- hak tertentu, b Pidana perampasan barang-barang tertentu, dan c
Pidana pengumuman putusan hakim
Selanjutnya ada juga pidana pokok menurut UU No. 20 tahun 1946 yaitu berupa pidana tutupan.
Antara pidana pokok dan tambahan tentu mempunyai beberapa perbedaan. Perbedaan-perbedaan itu antara lain:
1. Penjatuhan salah satu pidana pokok bersifat keharusan
imperatif, sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif, maksudnya apabila dalam persidangan tindak pidana yg
didakwakan oleh jaksa penuntut umum menurut hakim telah terbukti
secara sah dan meyakinkan hakim harus menjatuhkan satu jenis pidana pokok sesuai dengan jenis dan batas maksimum khusus yg
diancamkan pada tindak pidana yg bersangkutan. Menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan pada tindak
pidana yang dianggap terbukti adalah suatu keharusan artinya imperatif.
2. Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus bersamaan dengan
menjatuhkan pidana tambahan berdiri sendiri, sedangkan menjatuhkan pidana tambahan tidak diperbolehkan tanpa
dengan menjatuhkan pidana pokok, maksudnya yaitu sesuai dengan namanya pidana tambahan, penjatuhan pidana tambahan
tidak dapat berdiri sendiri, lepas dari pidana pokok melainkan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim apabila dalam suatu putusannya itu telah
menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yg diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan. Artinya jenis
pidana tambahan tidak dapat dijatuhkan sendiri secara terpisah dengan jenis pidana pokok, melainkan bersama dengan jenis pidana
pokok. Walaupun jenis pidana tambahan mempunyai sifat yg demikian, ada
juga pengecualiannya, yakni dimana jenis pidana tambahan itu dapat
dijatuhkan tidak bersama jenis pidana pokok tetapi bersama tindakan maatregelen seperti pasal 39 ayat 3 dan 40.
3. Jenis pidana pokok yang dijatuhkan bila telah mempunyai
kekuatan hukum tetap in kracht van gewijsde zaak diperlukan suatu tindakan pelaksanaan executie.
Jenis pidana pokok yang dijatuhkan bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap in kracht van gewijsde zaak diperlukan suatu tindakan
pelaksanaan executie tidak berlaku apabila pidana yg dijatuhkan itu adalah jenis pidana pokok dengan bersyarat Pasal 14a dan syarat yang ditetapkan
dalam putusan itu tidak dilanggar. Hal ini berbeda dengan sebagian jenis pidana tambahan misalnya pidana pencabutan hak-hak tertentu sudah
berlaku sejak putusan hakim telah mempunyai kekuatan hukum tetap pasal 38 ayat 2. Oleh karena itu, berjalannyadijalankannya putusan antara jenis
pidana pokok dengan pidana pencabutan hak tertentu berdasarkan pasal 38 ayat 2 tidak sama.
Selain itu juga ada prinsip dasar pidana pokok yaitu tidak dapat dijatuhkan secara kumulasi menjatuhkan 2 pidana pokok secara
bersamaan. Hal ini dapat dilihat sebagaimana tercantum dalam buku II kejahatan dan buku III pelanggaran dimana dijelaskan bahwa :
1. Dalam rumusan tindak pidana hanya diancam dengan satu jenis pidana pokok saja.
2. Dalam beberapa rumusan tindak pidana yg diancam dgn lebih dari satu jenis pidana pokok ditetapkan sbg bersifat alternatif misal pasal 340, 362 dll
dengan menggunakan kata atau. Prinsip dasar jenis pidana pokok ini hanya berlaku pada tindak pidana
umum KUHP. Bagi tindak pidana khusus diluar KUHP, prinsip dasar ini ada penyimpangan seperti UU No 7 drt 1955 UU tindak pidana ekonomi, UU
No. 31 tahun 1999 UU tindak pidana korupsi, UU Narkotika UU No. 22 tahun 1997, UU Perbankan UU No. 10 tahun 1998, dll
I. PENGERTIAN KRIMINOLOGI Menurut W.A. Bonger kriminologi adalah Ilmu pengetahuan yang
bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. Herman Manheim,
seorang Jerman berpendapat bahwa Kriminologi dalam pengertian sempit adalah kajian tentang kejahatan sedangkan dalam pengertian luas juga
termasuk di dalamnya adalah penologi, kajian tentang penghukuman dan metode-metode seupa dalam menanggulangi kejahatan, dan masalah
pencegahan kejahatan dengan cara-cara non-penghukuman. untuk sementara, dapat saja kita mendefinisikan kejahatan dalam pengertian
hukum yaitu tingkah laku yang dapat dihukum menurut hukum pidana. Sementara itu,
Taft dan England merumuskan definisi kriminologi sebagai
berikut: “Istilah kriminologi dipergunakan dalam pengertian secara umum
dan pengertian khusus. Dalam pengertian yang luas, kriminologi adalah kajian bukan ilmu yang lengkap yang memasukkan ke dalam ruang
lingkupnya berbagai hal yang diperlukan untuk memahami dan mencegah kejahatan dan diperlukan untuk pengembangan hukum, termasuk
penghukuman atau pembinaan para anak delinkuen atau para penjahat, mengetahui bagaimana mereka melakukan kejahatan. Dalam pengertian
sempit, kriminologi semata-mata merupakan kajian yang mencoba untuk menjelaskan kejahatan, mengetahui bagaimana mereka melakukan
kejahatan. Apabila yang terakhir, yaitu pengertian sempit diterima, kita harus mengkaji pembinaan pelaku kejahatan yang dewasa, penyelidikan
kejahatan, pembinaan anak delinkuen dan pencegahan kejahatan”
J. R UANG LINGKUP KRIMINOLOGI