Pemberdayaan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Non Litigasi

(1)

PEMBERDAYAAN LEMBAGA ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA NON LITIGASI

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

NIM: 070200336

WAHYU SIMON TAMPUBOLON

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

PEMBERDAYAAN LEMBAGA ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA NON LITIGASI

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Disusun oleh :

WAHYU SIMON TAMPUBOLON NIM : 070 200 336

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN DISETUJUI OLEH :

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

MUHAMMAD HUSNI, S.H.,M.H. AZWAR MAHYUZAR, S.H.

NIP : 195808081988031004 NIP : 195112311985031006

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA MEDAN


(3)

ABSTRAK

Arbitrase merupakan salah satu usaha dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dengan berkembangnya zaman masyarakat pelaku usaha lebih cendrung menggunakan arbitrase didalam menyelesaian sengketa, karena dalam arbitrase proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase memiliki keunggulan dibanding pada proses di pengadilan, diantaranya terjaminnya kerahasiaan para pihak yang bersengketa dan proses penyelesaiaan sengketa relatif lebih cepat dibandingkan proses di pengadilan.

Dengan kelebihan – kelebihan dari lembaga ini yang membuat para pelaku usaha lebih memilih dan percaya menyelesaiakan sengketa melalui lembaga arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Kewenangan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) akan dapat dilihat bila mana para pihak yang bersengketa memilih penyelesaian sengketa mereka melalui lembaga arbitrase, dimana terdapat dalam kluasula arbitrase, jika dalam kluasula tersebut menyepakati menyelesaikan sengketa melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai lembaga yang akan menyelesaikan sengketa mereka, maka Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) lah yang berwenang sepenuhnya untuk memeriksa dan menyelesaikan sengketa-sengketa mereka tersebut termaksud bagaimana pelaksanaannya, dan lainnya.

Sehingga dengan kata lain perjanjian arbitrase timbul apabila adanya kesepakatan tertulis berupa klausula arbitrase dari para pihak untuk menyerahkan penyelesaian suatu sengketa perdata kepada lembaga arbitrase, dengan adanya klausula arbitrase yang dicantumkan dalam perjanjian memberikan kewenangan absolut kepada lembaga arbitrase untuk menyelesaikan sengketa dengan cara arbitrase.

Yang menjadi pusat perhatian dari skripsi ini adalah bagaimana pemberdayaan lembaga arbitrase dalam penyelesaian sengketa non litigasi, yang belakangan sangat banyak para pelaku usaha menggunakan cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini, dimana karena kelebihan-kelebihan yang dimiliki badan arbitrase tersebut yang membuat pelaku usaha lebih menggunakan arbitrase dalam sengketa bisnis yang terjadi dari pada melalui peradilan umum.

Tulisan yang ada dalam skripsi ini dilakukan dengan cara penelitian hukum secara normatif, dengan metode pengumpulan data melalui studi kepustakaan, dimana sumber data diperoleh dari bahan hukum primer berupa perundang-undangan, bahan hukum sekunder berupa karya akademik serta bahan hukum tertier berupa kamus.


(4)

Kata Pengantar

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmat-Nya penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini berjudul:”PEMBERDAYAAN LEMBAGA ARBITRASE DALAM PENYELESAIAN SENGKETA NON LITIGASI”.

Penulisan skripsi ini dibuat dalam rangka untuk memenuhi persyaratan -persyaratan untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Departemen Hukum Keperdataan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis, Doritz Bidould Tampubolon, SH/Rumina br. Manurung, buat bimbingan yang diberikan kepada penulis, semua perhatian, doa, kasih sayang dan dukungan yang diberikan kepada penulis. Terima kasih kepada abang saya Iman Samuel Tampubolon dan adik-adik ku Rahmat Daniel Tampubolon, Rutz Gloria Tampubolon, Kristiani Debora Tampubolon, yang selalu memberi segala dukungan dan doanya.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada:

- Bapak Prof.Dr. Runtung Sitepu, SH.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum USU.

- Bapak Prof.Dr. Budiman Ginting,SH.,M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum USU.


(5)

- Bapak Syafruddin, SH.,M.H. selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum USU.

- Bapak Muhammad Husni, SH.,M.H. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum USU dan selaku Dosen Pembimbing I yang membimbing dan banyak memberi masukan-masukan kepada penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

- Bapak Dr. Hasim Purba, SH.,M.Hum. selaku Ketua Departemen Keperdataan Fakultas Hukum USU

- Bapak Azwar Mahyuzar, SH. selaku Dosen Pembimbing II yang memberikan bimbingan dan membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

- Bapak Amsali Putera Sembiring, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing Akademik.

- Bapak/Ibu Para Dosen dan seluruh Staf Pegawai Administrasi di Fakultas Hukum USU dimana penulis menimba ilmu selama ini.

- Terima kasih juga kepada Bang Hamdani Parinduri, SH. Yang memberikan masukan-masukan kepada penulis selama ini. Makasi banyak ya bang.

- Terima kasih juga rekan rekan seperjuangan stanbuk 2007 di “tanah bersejarah” di Fakultas Hukum USU.

- Terima kasih buat teman-teman saya Guz Samz, Reza Facry, Reza Bopeng, Dirga, Batara, Jamron, Sarah Pulungan S.H, aLma S.H, Hilda Pohan, Lira Yuke.

- Terima kasih juga kepada Howard, Adrianto, Rudi, Udur, Gerhad, Diles. - Terima kasih buat para sarjana : Elsa, Eta , Miranda, Peyung, Fonger.


(6)

- Terima kasih juga buat Alfarius S.H., Febri Dermawan, Ridha Ajo, Satria Wicaksono, Heru, Mail, Rizky, Ilham, Bung Beri, Andi .

- Terima kasih untuk Van Piero Family : Eli, Erma, Egi, Pratica, Viola danYolanda.

- Terima kasih juga kepada rekan-rekan di PERMAHI : buat bang Dani, bang Jontri, bang Hengky, bang Mail, bang Maju, Gunster, Dika, mak beruang, Arif, Nawer, Koko, Alfa, Sakti.

- Terima kasih juga kepada teman-teman saya Lego Sitinjak, Max Dondo Debata Raja, Roki Sechi Nazara, Hardiansah, Stepanus Gultom, Ramot Siregar, Eva Kristina Manik, Loise Manik, Adriana Marpaung, Swarningsih, Zul Helmi, Pipit, Ester, Jhon, Andi Hakim, Budi, Yakub, Roger, Suli, Alga, Ayu, Andika, Dewi Sutanto, Veri, Wilman, Anes, Zimmy.

- Terima kasih juga buat Jhon Manurung, Rio Wijaya, Lilis Irene Sinambela, Laura, Harri, Aldi, Anes.

- Terimakasih juga buat Hilda Zahra, Terima kasih buat semua nya.

Demikianlah skripsi ini penulis buat agar dapat bermanfaat dan semoga skripsi ini dapat menambah wawasan bagi kita semua.


(7)

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK ... KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ...

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... B. Perumusan Masalah ... C Tujuan dan Manfaat Penulisan ... D. Keaslian Penulisan ... E. Tinjauan Kepustakaan ... F. Metode Penulisan ... G. Sistematika Penulisan ...

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ARBITRASE SEBAGAI

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA NON LITIGASI A. Latar Belakang Arbitrase ... B. Jenis-Jenis Arbitrase dan Objek Arbitrase ... C. Perjanjian dan Bentuk Klausula Arbitrase ... D. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase ...

BAB III BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA (BANI) SEBAGAI LEMBAGA ARBITRASE DI INDONESIA


(8)

A. Riwayat Singkat Berdirinya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) ... B. Lingkup Kegiatan Badan Arbitrase Nasional Indonesia

(BANI) ... C. Tata Cara Pengangkatan Arbiter ...


(9)

D. Hukum Acara Arbitrase Badan Arbitrase Nasional

Indonesia (BANI) ...

BAB IV PEMBERDAYAAN BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA (BANI) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA NON LITIGASI

A. Kewenangan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dalam Penyelesaian Sengketa Non Litigasi ... B. Pelaksanaan Putusan oleh Badan Arbitrase Nasional

Indonesia (BANI) ... C. Eksistensi dan Masa Depan Badan Arbitrase Nasional Indonesia

(BANI) sebagai Lembaga Alternatif

Penyelesaian Sengketa ...

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan... B. Saran ...


(10)

ABSTRAK

Arbitrase merupakan salah satu usaha dalam penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dengan berkembangnya zaman masyarakat pelaku usaha lebih cendrung menggunakan arbitrase didalam menyelesaian sengketa, karena dalam arbitrase proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase memiliki keunggulan dibanding pada proses di pengadilan, diantaranya terjaminnya kerahasiaan para pihak yang bersengketa dan proses penyelesaiaan sengketa relatif lebih cepat dibandingkan proses di pengadilan.

Dengan kelebihan – kelebihan dari lembaga ini yang membuat para pelaku usaha lebih memilih dan percaya menyelesaiakan sengketa melalui lembaga arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Kewenangan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) akan dapat dilihat bila mana para pihak yang bersengketa memilih penyelesaian sengketa mereka melalui lembaga arbitrase, dimana terdapat dalam kluasula arbitrase, jika dalam kluasula tersebut menyepakati menyelesaikan sengketa melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai lembaga yang akan menyelesaikan sengketa mereka, maka Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) lah yang berwenang sepenuhnya untuk memeriksa dan menyelesaikan sengketa-sengketa mereka tersebut termaksud bagaimana pelaksanaannya, dan lainnya.

Sehingga dengan kata lain perjanjian arbitrase timbul apabila adanya kesepakatan tertulis berupa klausula arbitrase dari para pihak untuk menyerahkan penyelesaian suatu sengketa perdata kepada lembaga arbitrase, dengan adanya klausula arbitrase yang dicantumkan dalam perjanjian memberikan kewenangan absolut kepada lembaga arbitrase untuk menyelesaikan sengketa dengan cara arbitrase.

Yang menjadi pusat perhatian dari skripsi ini adalah bagaimana pemberdayaan lembaga arbitrase dalam penyelesaian sengketa non litigasi, yang belakangan sangat banyak para pelaku usaha menggunakan cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini, dimana karena kelebihan-kelebihan yang dimiliki badan arbitrase tersebut yang membuat pelaku usaha lebih menggunakan arbitrase dalam sengketa bisnis yang terjadi dari pada melalui peradilan umum.

Tulisan yang ada dalam skripsi ini dilakukan dengan cara penelitian hukum secara normatif, dengan metode pengumpulan data melalui studi kepustakaan, dimana sumber data diperoleh dari bahan hukum primer berupa perundang-undangan, bahan hukum sekunder berupa karya akademik serta bahan hukum tertier berupa kamus.


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada masa sekarang ini banyak terjadi sengketa baik dalam kegiatan di dunia bisnis, perdagangan, sosial budaya, ekonomi dan lain sebagainya, namun dalam penyelesaiannya melalui proses pengadilan sering sekali dihindari, baik bagi pihak yang dirugikan ataupun pihak yang digugat. Penyelesaian sengketa melalui Pengadilan sering dianggap hanya memakan waktu, dengan biaya yang mahal, tidak efisien serta banyak oknum-oknum yang cenderung mempersulit pencarian keadilan. Karena hal-hal tersebut yang merupakan kelemahan dari badan Pengadilan dalam penyelesaian sengketa, oleh sebab itu banyak kalangan pengusaha lebih memilih cara yang lain dalam penyelesaiaan sengketa perdata.

Selain itu dengan dikeluarkannya keputusan pengadilan, tidaklah otomatis perkara bersangkutan telah selesai, sebab pihak-pihak kurang puas dengan keputusan yang dikeluarkan oleh pengadilan, memang masih ada pengadilan yang lebih tinggi jika salah satu pihak tidak puas terhadap putusan pengadilan yakni pada pengadilan tingkat banding, namun lamanya putusan yang dikeluarkan kemungkinannya sangat besar, jadi dari ini tampak gambaran bahwa proses perkara melalui peradilan umum sangat memakan waktu dan berlarut-larut.

Sebagai konsekuensi dari lamanya proses perkara melalui peradilan umum ini, maka biaya yang harus dikeluarkan untuk itu, misalnya untuk biaya ahli hukum dan ongkos-ongkos lainnya yang berhubungan dengan perkara tersebut


(12)

semakin bertambah terus. Akibatnya sangat merugikan pihak yang sedang bersengketa, misalnya berkurangnya waktu untuk berusaha (bekerja/bisnis). Ini akan sangat berpengaruh terhadap kelancaran dan produktivitas perusahaannya.Bertolak belakang dengan proses penyelesaian sengketa non litigasi misalnya oleh lembaga arbitrase, dimana keputusan yang dikeluarkan melalui badan arbitrase bersifat final dan mengikat.

Selain melalui Arbitrase ada cara lain menyelesaikan sengketa diluar Pengadilan. Meskipun tidak sepopuler lembaga arbitrase misalnya melalui cara mediasi maupun konsiliasi dan lain sebagainya. Keduanya merupakan suatu upaya untuk menyelesaikan sengketa dengan cara musyawarah dan mufakat yang diperantarai oleh seorang mediator atau konsiliator, akan tetapi sifat dari kedua cara dalam penyelesaian sengketa ini tidak final tetapi hanya sebagai sarana untuk mencari jalan penyelesaian ke arah yang lebih baik tanpa harus berperkara kepada arah yang lebih jauh lagi.

Karena pada dasarnya para pihak yang bersengketa dan menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase hanya ingin mencari keadilan dengan proses yang singkat dan dengan biaya yang murah. Jadi dengan adanya lembaga Arbitrase yang menangani sengketa perdata di luar pengadilan diharapkan dapat memberikan manfaat atau dampak yang positif bagi para pihak yang memperdayakan Lembaga arbitrase dalam penyelesaian sengketa non litigasi.

Oleh sebab itu Pemberdayaan Lembaga Arbitrase juga menjadi suatu pilihan utama untuk alternatif penyelesaian sengketa para pihak yang bersengketa dalam memecahkan suatu sengketa yang terjadi, karena keunggulan-keunggulan yang dimiliki Lembaga Arbitrase tersebut yakni umumnya pengadilan kurang mendapat kepercayaan (confidence) dari masyarakat pengusaha (bisnis)


(13)

sebaliknya arbitrase merupakan “pengadilan pengusaha” yang eksis untuk menyelesaikan sengketa sengketa diantara mereka dan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka (kalangan bisnis).1

1. Bagaimana kewenangan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dalam Penyelesaian Sengketa Non Litigasi.

Jadi dengan besarnya minat masyarakat pelaku usaha dalam memperdayakan lembaga arbitrase didalam menyelesaikan sengketa haruslah diambil sisi positif dimana ini merupakan suatu langkah yang baik bagi tumbuh berkembangnya lembaga arbitrase. Dalam kegiatan ini kemampuan dan integritas para arbiter sangat memberikan suatu dampak bagi masa depan lembaga arbitrase itu sendiri.

B. Perumusan Masalah

Permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi ini adalah tentang Pemberdayaan Lembaga Lrbitrase sebagai Penyelesaian Sengketa Non Litigasi, dirumuskan sebagai berikut :

2. Bagaimana prosedur penyelesaian sengketa melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

3. Bagaimana Pemberdayaan Lembaga Arbitrase terhadap penyelesaian sengketa dalam tata hukum Indonesia.

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

1


(14)

Tujuan penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui bagaimana kewenangan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai Lembaga Penyelesaian Sengketa Non Litigasi.

2. Untuk mengetahui bagaimana prosedur Penyelesaian Sengketa Non Litigasi melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

3. Untuk mengetahui dan memahami secara lebih dalam tentang pemberdayaan lembaga Arbitrase terhadap penyelesaian sengketa dalam tata hukum Indonesia.

Selain tujuan-tujuan diatas, penelitian dilakukan untuk tujuan pemenuhan terhadap salah satu syarat dalam memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara.

Adapun manfaat yang bisa didapat dari skripsi ini adalah: 1. Secara Teoritis

Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai pemberdayaan lembaga arbitrase dalam menyelesaikan sengketa non litigasi. Penulis juga berharap dari hasil yang dirumuskan dalam skripsi ini dapat menjadi bahan bacaan ataupun literatur bagi pembaca yang tertarik dengan keberadaan Lembaga Arbitrase sebagai Penyelesaian Sengketa Non Litigasi, khususnya keefektifan dan wewenang dari lembaga ini dalam penyelesaian sengketa di luar Pengadilan. 2. Secara Praktis

Menambah wawasan dan pengetahuan bagi kalangan masyarakat khususnya para pelaku usaha dalam menyelesaikan sengketa melalui Lembaga


(15)

Arbitrase serta mengetahui secara jelas mengenai prosedur pelaksanaan putusan arbitrase sesuai dengan perundang-undanganIndonesia.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini mengenai lembaga arbitrase memang cukup banyak yang diangkat dan dibahas, namun penulisan dengan judul Pemberdayaan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Non Litigasi belum ada yang menulis sebagai skripsi, dengan demikian maka penulisan skripsi ini tidak sama dengan penulisan skripsi-skripsi yang telah ada, sehingga penulisan skripsi ini masih asli serta dapat dipertanggung jawabkan secara moral dan akademik.

E. Tinjauan Kepustakaan

Salah satu cara penyelesaian sengketa diluar Pengadilan adalah dengan cara Arbitrase dalam pengertiannya arbitrase adalah merupakan salah satu metode penyelesaian sengketa diluar pengadilan. Pada pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan bahwa :

“arbitrase ialah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.”

Menurut Rv, arbitrase merupakan suatu bentuk peradilan yang diselenggarakan oleh dan berdasarkan kehendak serta etikad baik dari pihak – pihak yang berselisih agar perselisihan mereka tersebut diselesaikan oleh hakim yang mereka tunjuk dan angkat sendiri, dengan pengertian bahwa putusan yang


(16)

diambil hakim tersebut merupakan putusan yang bersifat final (putusan pada tingkat terakhir) dan mengikat kedua belah pihak untuk melaksanakannya.2

Menurut M.N. Purwosutitjipto, arbitrase atau perwasitan adalah : “suatu peradilan perdamaian, dimana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya, diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak, yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.3

“arbitrase adalah badan peradilan swasta diluar lingkungan peradilan umum, yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan. Arbitrase adalah peradilan yang dipilih dan ditentukan sendiri secara sukarela oleh pihak-pihak pengusaha yang bersengketa. Penyelesaian sengketa diluar pengadilan negara merupakan kehendak bebas para pihak. Kehendak bebas ini dapat dituangkan dalam perjanjian tertulis yang mereka buat sebelum atau sesudah terjadinya sengketa sesuai dengan azas kebebasan berkontrak dalam hukum perdata.”

Pengertian yang lebih jelas mengenai arbitrase dapat dilihat dari batasan yang diberikan oleh Abdulkadir Muhammad, yaitu :

4

“Arbitrase adalah cara-cara penyelesaian hakim partikulir yang tidak terkait dengan berbagai formalitas, cepat dalam memberikan keputusan, karena dalam instansi terakhir serta mengikat, yang mudah untuk dilaksanakan karena akan ditaati para pihak.”

Sementara itu, Sudargo Gautama memberikan batasan arbitrase :

5

2

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2001,Hukum Aritrase,Raja Grafindo Persada, Jakarta, halaman ; 16

3

Rachmadi Usman, 2002,Hukum Arbitrase Nasional, PT Grasindo, Jakarta, halaman ; 2

4

Rachmadi Usman loc. cit

5

Ibid, halaman 3

Dilihat dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa arbitrase adalah suatu cara penyelesaian sengketa berdasarkan kesepakatan dari para pihak yang dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis melalui suatu badan atau lembaga peradilan swasta diluar Peradilan Umum.

Adapun sengketayang dapat dilakukan dengan cara arbitrase tertuang dalam pasal5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang berbunyi :


(17)

“1. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. 2. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang

menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat dilakukan perdamaian.”

Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase ini biasanya dilakukan oleh para pihak melalui arbiter ataupun lembaga arbitrase. Definisi arbiter menurut pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, “Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih para pihak yang bersengketa ataupun yang ditunjuk oleh pengadilan negeri atau lembaga arbitrase, untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu yang diserahkan penyelesaiannya melalui arbitrase.

Dengan melembaganya arbitrase, membuat arbitrase menjadi suatu perwujudan dari kebebasan berkontrak yang dianut hukum perdata yang menjadi pilihan alternatif dalam menyelesaikan sengketa non litigasi.

Pada Pemberdayaan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Non Litigasi yang sering disebut atau dikenal dengan nama Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) penyelesaian sengketa melaluiLembaga ini terdapat prosedur-prosedur yang sama dengan proses Peradilan Umum, mulai dari masuknya surat permohonan dalam register BANI, prosedur pemeriksaan, dimana ketua BANI sudah merasa bahwa perjanjian yang menyerahkan pemutusan sengketa kepada arbiter atau badan arbitrase atau klausula arbitrase dianggap sudah mencukupi, maka prosedur pemeriksaan ini dapat dilakukan dan akhirnya


(18)

nanti akan sampai pada suatu putusan, dimana nantinya apabila ketua BANI menganggap pemeriksaan telah cukup, maka ketua akan menutup pemeriksaan itu dan menetapkan suatu hari sidang untuk mengucapkan putusan yang akan diambil.

Berbeda dengan putusan Lembaga Peradilan umum yang masih dapat mengajukan banding dan kasasi. Putusan arbitrase yang diputus oleh Lembaga Arbitrase adalah merupakan suatu putusan pada tingkat akhir (final) dan secara langsung mengikat (binding) bagi para pihak yang bersengketa.

Namun dalam kenyataannya putusan arbitrase bisa di bantah atau perlawanan (challenge) terhadap putusan yang sudah di putus oleh lembaga arbitrase, yang didasarkan pada tuduhan tentang telah terjadinya penyelewengan, kecurangan atau kekilafan seorang atau beberapa arbiter, dan perlawanan atau bantahan ini tidak boleh dilepaskan oleh para pihak, jadi selalu dapat dilakukan. Adapun unsur-unsur sebagai berikut :6

a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.

b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan.

c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

F. Metode Penelitian

Penulisan skripsi ini menggunakan penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu studi yang dilakukan melalui kepustakaan dengan cara membaca dan mempelajari sumber bacaan berupa buku bacaan, majalah, peratuan perundang-undangan dan juga catatan lainnya yang berhubungan dengan masalah yang

6

Jimmy Joses sembiring, Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar Pengadilan;negosiasi, konsiliasi, dan arbitrase, 2011, Visimedia, Jakarta, hal. 96


(19)

dihadapi guna mendapatkan data-data dan bahan-bahan yang diperlukan. Sumber data diperoleh antara lain dari :

1. Bahan-bahan hukum primer

Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat seperti kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan penyelesaian sengketa.

2. Bahan hukum sekunder

Berupa buku-buku yang relevan dengan penulisan skripsi ini, dengan bahan ini ditingkatkan pemahaman peraturan-peraturan yang ditemukan dalam bahan buku primer. Contoh dari Bahan hukum sekunder ini adalah Kepustakaan.

3. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum ini berisi keterangan tentang hal-hal yang kurang atau belum dipahami mengenai data hukum primer dan data hukum sekunder sebagai bahan hukum penunjang, yaitu seperti kamus dan ensiklopedi. Jadi dengan menganalisis semua bahan-bahan dan data-data referensi secara sistematis maka dapat dihasilkan suatu tulisan ilmiah yang secara terstruktur.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini menjelaskan bagaimana Pemberdayaan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Non Litigasi yang tersusun secara sistemis dalam tahapan-tahapan tertentu yang dibagi dalam beberapa bab,


(20)

dan didalam bab dibagi lagi menjadi sub bab yang sistematikanya adalah sebagai berikut :

Bab I : yaitu merupakan suatu pendahuluan atau pengantar, kita memahami pembahasan-pembahasan yang selanjutnya akan dibahas, terdiri dari Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

Bab II : Pada Bab ini, penulisan skripsi menjelaskan Bagaimana Pemberdayaan Lembaga Arbitrase Dalam Penyelesaian Sengketa Non Litigasi yang didalamnya termuat latar belakang arbitrase, jenis-jenis dan objek arbitrase, perjanjian dan bentuk arbitrase, dan keunggulan dan kelemahan arbitrase.

Bab III : Pada Bab ini pembahasan mendasar dan merupakan bagian penting dari skripsi ini karena membahas secara lengkap dan khusus mengenai Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai Lembaga Arbitrase di Indonesia Dalam Penyelesaian Sengketa Non Litigasi. Yang memuat empat (4) sub bab; Riwayat Singkat Berdirinya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Lingkup Kegiatan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Tata Cara Pengangkatan Arbiter, dan Hukum Acara Arbitrase Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

Bab IV : Bab ini merupakan inti dari skripsi ini, dimana dalam bab ini dibahas/dikaji yang menjadi inti dari penulisan skripsi, di bab ini


(21)

memuat tiga (3) sub bab yang membahas tentang Kewenangan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dalam Penyelesaian Sengketa Non Litigasi, Pelaksanaan Putusan oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), dan Eksistensi dan Masa Depan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Bab V : Dalam Bab ini merupakan kesimpulan dari semua pembahasan pada bab I, II, III dan IV yang berisikan pokok-pokok kesimpulan dan semua permasalahan dan pembahasan yang dilakukan dalam penulisan skripsi ini, dan juga memberikan saran-saran yang dianggap penting dan bermanfaat.


(22)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA NON LITIGASI

A. Latar Belakang Arbitrase

Di Indonesia, Arbitrase bukan merupakan sesuatu hal yang baru dalam dalam penyelesaian sengketa, meskipun lembaga arrbitrase ini semulanya di peruntukan bagi penduduk golongan Eropa dan mereka yang dipersamakan dengan itu. Memang dalam kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk golongan Bumiputra, baik HIR maupun RBg, tidak mengatur tentang arbitrase.

Namun lewat pasal 377 HIR dan pasal 705 Rbg yang berbunyi “jika orang indonesia dan orang timur asing menghendaki perselisihan diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa eropa”.7

7

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.cit, hal.11

Jadi pada pasal tersebut jelas memberikan kemungkinan buat pihak pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya diluar pengadilan.

Dalam perkembangannya Arbitrase di Eropa mempunyai bentuk yang sederhana yaitu :

1. Bahwa pada masa itu orang baru menggunakan arbitrase setelah sengketa lahir. Jadi sebelumnya para pihak tidak dan belum menjanjikan terlebih dahulu bahwa apabila terjadi sengketa maka arbitraselah yang menjadi penyelesaian sengketanya.


(23)

2. Arbitrase tersebut digunakan untuk menyelesaikan sengketa diantara kerabat, tetangga atau mereka yang hidupnya bersama-sama dan yang berkepentingan agar hubungan mereka terjaga baik.

3. Arbitrator yang dipilihnya pun adalah mereka yang telah dikenal baik oleh para pihak dan tidak terikat pada adanya ikatan-ikatan tertentu.

Dalam Rv, pasal pasal mengenai arbitrase, diatur dalam buku Ketiga tentang Aneka Acara. Pada Bab Pertama diatur ketentuan mengenai putusan wasit (arbitrase) melalui pasal 615 sampai dengan pasal 651.8

1. badan arbitrase bagi badan ekspor hasil bumi Indonesia; Pasal-pasal ini meliputi lima bagian pokok, yaitu :

- Bagian Pertama (pasal 615-623) mengatur arbitrase dan pengangkatan arbitrator atau arbiter,

- Bagian Kedua (pasal 624-630) mengatur mengenai pemeriksaan dimuka badan arbitrase,

- Bagian Ketiga (pasal 631-640) mengatur mengenai Putusan Arbitrase, - Bagian Keempat (pasal 641-647) mengatur mengenai upaya-upaya terhadap

putusan arbitrase,

- Bagian Kelima (pasal 647-651) mengatur mengenai berakhirnya acara-acara arbitrase.

Pada zaman Hindi Belanda, arbitrase dipakai oleh para pedagang sebagai eksportir maupun importir dan pengusaha lainnya. Pada waktu itu ada tiga badan arbitrase tetap yang dibentuk oleh Pemerinta Belanda, yaitu :

8


(24)

2. badan arbitrase tentang kebakaran; 3. badan arbitrase bagi asuransi kecelakaan.9

Setelah itu pada masa penjajahan Jepang yang masuk menggantikan kedudukan Belanda, mengenai berlakunya arbitrase Pemerintah Belanda pernah mengeluarkan peraturan Pemerintah Balatentara Jepang yang menentukan bahwa “ semua badan-badan pemerintah dan kekuasaan hukum dan undang-undang dari pemerintah dahulu- Pemerintahan Hindi Belanda-tetap diakui sah buat sementara asal tidak bertentangan dengan aturan Pemerintah Militer Jepang.10

Maka oleh itu pada masa tersebut, untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase tetap masih berlaku ketentuan yang ada pada HIR, RBg dan Rv. Mengenai badan peradilannya di beberapa bagian Republik Indonesia yang dikuasai oleh Belanda sebagai pengganti peradilan zaman Jepang, diadakan landrechter untuk semua orang sebagai peradilan sehari-hari dan appelraad sebagai peradilan dalam perkara perdata tingkat kedua. Namun waktu terjadinya Republik Indonesia Serikat, landrechter ini menjadi Pengadilan Negeri, sedangkan Setelah Indonesia Merdeka untuk mencegah kevakuman hukum, maka pada masa itu dikeluarkan Peraturan Nomor 2 yang dalam pasal 1 menyatakan “segala badan badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 selama belum diadakan yang baru menurut UUD masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan Undan-Undang Dasar tersebut”.

9

Ibid, halaman 13

10


(25)

appelraad, menjadi Pengadilan Tinggi, sesuai dengan ketentuan yang berlaku di daerah-daerah yang tidak pernah dikuasai oleh Pemerintah Belanda.

Selanjutnya jika kita lihat ketentuan pada UUD sementara 1950, pasal 142-nya menyatakan bahwa “peraturan undang undang dan ketentuan ketentuan tata usaha yang sudah ada pada tanggal 17 agustus 1950 tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan RI sendiri, selama dan sekedar peraturan peraturan dan ketentuan ketentuan ini tidak dicabut, ditambah atau dirubah oleh undang undang dan ketentuan ketentuan tata usaha atas kuasa Undang Undang Dasar ini”.

Dari penjelasan yang tadi diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan yang menyatakan bahwa semua peraturan-peraturan yang sudah ada pada masa penjajahan Hindia Belanda dulu selama belum dirubah, ditambah atau diganti masih tetap berlaku. Jadi ketentuan tentang arbitrase yang diatur dalam Rv juga tetap berlaku. Dan secara Institusional sejarah perkembangan arbitrase di Indonesia mendapatkan momentumnya pada tahun 1977 dengan terbentuknya Badan Arbitrase Nasional pada tanggal 13 Desember 1977 Keadaan ini terus berlanjut sampai dikeluarkannya Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang merupakan pondasi bagi Penyelesaian Sengketa Alternatif Non Litigasi.

Dan dalam perkembangannya pada zaman sekarang sudah banyak digunakan khususnya para pelaku usaha yang lebih memilih menyelesaikan sengketa melalui jalur arbitrase ini daripada harus melalui proses Peradilan Umum yang sangat tidak efesian serta memakan waktu dan biaya yang besar.


(26)

Untuk lebih memahami badan arbitrase dimasa sekarang ini ciri-ciri arbitrase perlu untuk diketahui bagaimana peran badan arbitrase ini. Lembaga arbitrase yang mempunyai peran yang sangat penting dalam penyelesaian sengketa diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Bahwa badan arbitrase ini adalah suatu cara atau metode penyelesaian sengketa.

2. Sengketa tersebut diselesaikan oleh pihak ketiga dan pihak netral atau arbiter yang secera khusus ditunjuk.

3. Bahwa para arbiter mempunyai wewenang yang diberikan oleh para pihak yang bersengketa.

4. Para arbiter diharapkan memutuskan sengketa menurut hukum.

5. Arbitrase merupakan suatu sistem peradilan perdata artinya bahwa para pihaklah berwenang mengawasinya.

6. Keputusan yang dikeluarkan oleh badan arbitrase ini bersifat final dan mengakhiri persengketaan para pihak.

7. Keputusan para arbiter mengikat para pihak berdasarkan persetujuan diantara mereka untuk menyerahkan sengketanya kepada arbitrase bahwa mereka akan menerima dan secara sukarela memberikan kekuatan kepada keputusan tersebut.

8. Bahwa pada pokoknya proses berperkara melalui badan arbitrase dan putusannya terlepas dan bebas dari campur tangan negara.


(27)

B. Jenis-Jenis ArbitrasedanObjek Arbitrase 1. Jenis-Jenis Arbitrase

Klausula Arbitrase harus memuat pernyataan apakah arbitrase akan dilakukan secara lembaga/institusional atau ad hoc, disertai pernyataan atruran-aturan prosedural yang akan berlaku. Jadi secara umum ada dua macam arbitrase dalam praktek :

1. Arbitrase Ad-Hoc (Volunter arbitrase), 2. Arbitrase Instutisional (Lemabaga arbitrase)11

Arbitrase Ad hoc/valunter arbitrase disebut demikian karena sifat dari arbitrase ini tidak permanen atau insidentil. Arbitrase ini keberadaannya hanya untuk memutus dan menyelesaikan suatu kasus sengketa tertentu saja. Setelah sengketa selesai diputus, maka keberadaan arbitrase ad hoc ini pun lenyap dan berakhir sendirinya. Arbiter yang menangani penyelesaian sengketa ini ditentukan dan dipilih sendiri oleh para pihak yang bersengketa, demikian pula tata cara pengangkatan para arbiter, pemeriksaan dan penyelesaian sengketa, tenggang waktu penyelesaian sengketa tidak memiliki bentuk yangg baku. 12

Pada prinsipnya arbitrase ad hoc tidak terikat dan terkait dengan salah satu badan arbitrase. Pada arbiternya ditentukan dan dipilih sendiri berdasarkan kesepakatan para pihak. Oleh karena jenis arbitrase ad hoc tidak terkait dengan salah satu badan arbitrase, boleh dikatakan jenis arbitrase ini tidak memiliki aturan tata cara sendiri baik mengenai pengikatan arbiternya maupun mengenai tata cara pemeriksaan sengketa. Dalam hal ini arbitrase ad hoc tunduk sepenuhnya dengan aturan tata cara yang ditentukan dalam perundang-undangan.13

Sedangkan,Arbitrase Institusional adalah arbitrase yang melembaga yang didirikan dan melekat pada suatu badan (body) atau lembaga (institusion) tertentu. Sifatnya permanen dan sengaja dibentuk guna menyelesaikan sengketa yang terjadi sebagai akibat pelaksanaan perjanjian. Setelah memutus sengketa, arbitrase

11

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op. cit., halaman19

12

Ibid, halaman 20

13


(28)

institusional tidak berakhir. Pada umumnya, arbitrase instutisional memilki prosedur dan tata cara pemeriksaan sengketa tersendiri. Arbiternya ditentukan dan diangkat oleh lembaga arbitrase instutisional sendiri. Arbiternya ditentukan dan diangkat oleh lembaga arbitrase instutisional sendiri.

Akibat kesulitan yang dialami para pihak dalam melakukan negosiasi dan menetapkan aturan-aturan prosedural dari arbitrase serta dalam merencanakan metode-metode pemilihan arbiter yang dapat diterima kedua belah pihak, para pihak sering kali memilih jalan penyelesaian melalui arbitrase Instutisional.

Arbitrase instutisional tersebut menyediakan jasa administrasi arbitrase, yang meliputi pengawasan proses arbitrase, aturan-aturan prosedural sebagai pedoman bagi para pihak dan pengangkatan para arbiter. Karena arbitrase instutisional sangat mendukung pelaksanaan arbitrase, para pihak yang bersengketa dapat dan sering kali sepakat untuk menggunakan jasa-jasa lembaga arbitrase atau arbitrase institusional. Aturan-aturan umum tentang kebebasan dan otonomi para pihak juga diterapkan, bahkan para pihak yang menggunakan lembaga arbitrase dapat menyesuaikan proses arbitrase mereka.

Arbitrase instutisional merupakan lembaga yang menyediakan jasa arbitrase berdasarkan ruang lingkup keberadaan dan yurisdiksinya, yaitu :

a. Arbitrase yang bersifat nasional, yaitu arbitrase yang ruang lingkup keberadaandan yurisdiksinya hanya meliputi Negara yang bersangkutan, misalnya :

1. The Indonesian National Board of Arbitration atau Badan Arbitrase


(29)

2. The Japan Commercial Arbitration Association 3. Nederland Arbitrase Institute

4. The British Institute Of arbitrators 5. The American Arbitration association

b. Arbitrase yang bersifat internasional, yaitu arbitrase yang ruang lingkup keberadaandan yurisdiksinya bersifat internasional, misalnya :

1. Court of arbitration of the international Chamber of Commerce (ICC) 2. The International Centre For Settlement Of Investment Disputes (ICSID)

yang lazim disingkat “Center”. 3. Uncitral Arbitration Ruler (UAR)

c. Arbitrase yang bersifat regional, yaitu arbitrase yang ruang lingkup keberadaandan yursdiksinya berwawasan regional, misalnya : Regional Centre For Arbitration yang didirikan oleh Asia-Afrika Legal Consultative Committee (AAALC).

Di Indonesia, saat ini terdapat dua lembaga arbitrase yang memberikan jasa administrasi arbitrase, yaitu Badan Arbitrase Nasiona Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). Pendiri Badan Arbitrase Nasiona Indonesia (BANI) diprakarsai oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia guna menyelesaikan sengketa perdata, baik soal-soal perdagangan, industri dan keuangan yang bersifat nasional maupun internasional. Sedangkan pendirian Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI) diprakarsai Majelis Ulama Indonesia, yang mempunyai tujuan yang sama pula yaitu untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang terjadi dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa, dan lainya, yang terutama berdasarkan syariat Islam.14

14


(30)

2. Objek Arbitrase

Objek arbitrase merupakan permasalahan yang timbul karena sengketa antara para pelaku usaha, dan yang sering menjadi objek arbitrase adalah sengketa di bidang perdagangan, dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 pada pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa yang menjadi Objek arbitrase adalah hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Hanya saja tidak diberikan penjelasan yang termasuk dalam bidang perdagangan tersebut. Akan tetapi, jika ketentuan ini dihubungkan dengan Penjelasan pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka kita akan mengetahui ruang lingkup perdagangan tersebut adalah kegiatan kegiatan antara lain dibidang : perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak kekayaan intelektual.15

Dari rumusan yang telah dibahas dari beberapa pendapat sarjana tentang pengertian arbitrase dan juga pengertian arbitrase dari Undang- Undang Nomor 30

Jadi yang menjadi objek dari arbitrase adalah sengketa perdata yang meliputi diantaranya adalah mengenai perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, dalam bidang industri dan sengketa yang menyangkut hak kekayaan intelektual. Dan juga sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.

D. Perjanjian Dan Bentuk Klausula Arbitrase 1. Perjanjian Arbitrase

15


(31)

Tahun 1999, dapat kita ketahui bahwa arbitrase lahir karena adanya perjanjian arbitrase. Bagaimana dirumuskan dalam pasal 1 angka 1, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para yang bersengketa. Perjanjian yang dibuat secara tertulis oleh para pihak ini berisikan perjanjian untuk menyelesaikan suatu sengketa dibidang perdata non litigasi. Jika dihubungkan dengan ketentuan pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menentukan adanya dua sumber perikatan, maka arbitrase ini merupakan perikatan yang dilahirkan dari perjanjian.16

16

Rachmadi Usman, op. cit., halaman 19

Undang-undang mensyaratkan bahwa perjanjian arbitrase harus dibuat secara tertulis, perjanjian arbitrase merupakan suatu kontrak. Perjanjian arbitrase dapat merupakan bagian dari suatu kontrak ataupun merupakan suatu kontrak yang tersendiri. Perjanjian arbitrase dalam suatu kontrak biasanya disebut dengan klausula arbitrase. Perjanjian arbitrase dibuat para pihak sebelum terjadinya sengketa ataupun setelah terjadinya sengketa.

Lebih lanjut pasal 1 angka Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 mengartikan perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum didalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.


(32)

Dari rumusan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa perjanjian arbitrase timbul karena adanya kesepakatan berupa ;17

1. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa,

Atau

2. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa.

Dengan demikian, perjanjian arbitrase timbul karena adanya kesepakatan secara tertulis dari para pihak untuk menyerahkan penyelesaian suatu sengketa atau perselisihan perdata kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc. Dalam kesepakatan tadi dapat dimuat pula pilihan hukum yang akan digunakan dalampenyelesaian sengketa atau perselisihan para pihak tersebut. Perjanjian arbitrase dapat dicantumkan dalam perjanjian pokok atau pendahuluannya, ataupun dalam suatu perjanjian tersendiri setelah timbulnya sengketa atau perselisihan.

Pilihan sengketa di luar peradilan umum ini harus secara tegas dicantumkan dalam perjanjian. Pada umumnya, klausula atau perjanjian arbitrase dibuat secara tertulis. Di Indonesia, sesuai dengan isi Undang-Undang nomor 30 Tahun 1999, mensyaratkan klausula dibuat secara tertulis oleh para pihak. Dengan ada suatu perjanjian arbitrase tertulis ini, berarti meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaiaan sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. Selanjutnya, dengan sendirinya Pengadilan 17


(33)

Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Untuk itu, Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak ikut campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999.

Dengan demikian perjanjian arbitrase memberikan kewenangan absolut kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc untuk menyelesaikan sengketa atau beda pendapat di antara para pihak yang timbul atau mungkin timbul dari hubungan hukum tertentu, yang penyelesaiannya disepakati dengan cara arbitrase. Pengadilan Negeri dengan sendirinya tidak berwenang untuk mengadili suatu sengketa yang sebelumnya disepakati oleh para pihak untuk diselesaikan melalui cara arbitrase.

Ada dua teori mengenai kekuatan berlakunya perjanjian arbitrase, apakah bisa dikesampingkan oleh para pihak, yaitu :

1. Aliran yang menyatakan perjanjian arbitrase bukan publicpolicy.Putusan Hoge Read Belanda, 6 Januari 1925 misalnya. Disini ditegaskan, sungguhpun ada klausula arbitrase, tetapi pengadilan tetap berwenang mengadili sejauh tidak ada eksepsi dari pihak lawan, karena klausula arbitrase bukanlah openbaar orde. Aliran yang sangat reasonable dan flexible ini sayangnya tidak diikuti dalam praktik jurisprudensi Indonesia; 2. Aliran yang menekankan asas “pacta sunt servanda” pada kekuatan

klausula/perjanjian arbitrase. Aliran ini mengajarkan bahwa klausula/perjanjian arbitrase mengikat para pihak dan dapat


(34)

dikesampingkan hanya dengan kesepakatan bersama para pihak yang tegas untuk itu. Dalam hal ini, penarikan secara diam-diam atau praduga telah di “waive” tidak berlaku dan perjanjian/klausula arbitrase dianggap banyak dianut oleh pengadilan-pengadilan.

Disamping dua aliran tersebut, ada suatu perkembangan yang sebenarnya bersifat sempalan yang sangat bertolak belakang dengan aliran pacta sunt servanda, seperti yang diputus oleh Mahkamah Agung Nomor 1851 K/Pdt/1984.

Keputusan yang kontroversial ini masih belum jelas apakah akan diikuti oleh keputusan-keputusan yang lain nantinya, pada prinsipnya menyatakan bahwa sungguhpun ada klausula arbitrase dalam perjanjian para pihak, dan sungguhpun ada bantahan dari salah satu pihak ketiga harus diajukan ke Pengadilan Negeri, tetapi Pengadilan Negeri tetap menyatakan dirinya berwenang dan Mahkamah Agung membenarkan. Alasannya, karena para pihak tidak serius (istilah Pengadilan Negeri yang bersangkutan:”Dalam hati para pihak tidak ada niat untuk menggunakan arbitrase”)

Dalam pasal 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, disebutkan objek sengketa disebutkan bahwa yang menjadi Objek arbitrase adalah hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. Hanya saja tidak diberikan penjelasan yang termasuk dalam bidang perdagangan tersebut. Akan tetapi, jika ketentuan ini dihubungkan dengan Penjelasan pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka kita akan mengetahui ruang lingkup perdagangan tersebut adalah kegiatan kegiatan antara lain dibidang :


(35)

perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak kekayaan intelektual.18

Perjanjian ini tidak mempersoalkan masalah pelaksanaan perjanjian, tetapi hanya mempersoalkan masalah cara dan lembaga yang berwenang menyelesaikan ”perselisihan” atau ”sengketa” yang terjadi antara pihak yang berjanji. Sifat perjanjian arbitrase ini merupakan perjanijian accessoir dari perjajian pokoknya.

Dari ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 pada pasal 5 ayat 1 jika dihubungkan dengan penjelasan pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, maka objek sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase diberikan pengertian yang luas, yang tentunya objek sengketa tersebut termaksud dalam ruang lingkup hukum perdagangan. Sejalan dengan itu, pada pasal 5 ayat 2 (dua) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyebutkan, sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.

Secara penafsiran argumentum a cantratio, objek sengketa yang menjadi kewenangan lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc untuk menyelesaikannya adalah sengketa dibidang perdagangan dan hak yang menurut peraturan perundang-undangan dapat diadakan perdamaian. Sepanjang itu penyelesaian sengketa perdagangan dan hak tersebut dapat diserahkan kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc. Perjanjian arbitrase bukan perjanjian “bersyarat". Karenanya, pelaksanaan arbitrase tidak digantungkan kepada sesuatu kejadian tertentu dimasa yang akan datang.

18


(36)

Ini berarti perjanjian pokok menjadi dasar lahirnya klausula atau perjajian arbitrase.Pelaksanaan perjanjian pokok tidak tergantung pada perjanjian arbitrase. Sebaliknya pelaksanaan perjanjian arbitrase tergantung pada perjanjian pokoknya, jika perjanjian pokok yang tidak sah, maka dengan sendirinya perjanjian arbitrase batal dan tidak mengikat para pihak.

Perjanjian arbitrase ini dibuat dengan maksud menentukan cara dan pranata hukum yang akan menyelesaikan sengketa atau perselisihan yang timbul dalam pelaksanan perjanjian pokok. Dapat dilihat, tanpa perjanjian arbitrase, perjanjian pokok dapat berdiri sendiri dengan sempurna. Sebaliknya, tanpa adanya perjanjian pokok, para pihak tidak mungkin mengadakan ikatan perjanjian arbitrase. Perjanjian arbitrase tidak bisa berdiri sendiri dan tidak bisa mengikat para pihak jika perjanjian arbitrase tidak berbarengan dengan perjanjian pokok. Karena yang akan ditangani oleh perjanjian arbitrase adalah mengenai perselisihan-perselisihan yang timbul dari perjanjian pokok, bagaimana mungkin mengadakan ikatan perjanjian arbitrase jika perjanjian pokok tidak ada.19

Karena perjanjian arbitrase dapat dibuat sebelum atau sesudah timbul sengketa oleh para pihak, maka bentuk klausula arbitrase tersebut dibedakan atas dua bentuk klausula arbitrase, yaitu klausula yang berbentuk pactum de compromittendo dan klausula arbitrase yang berbentuk acta compromise. 2. Klausula Arbitrase

20

19

Harahap, M. Yahya. op. cit., halaman 96

20


(37)

Pactum de compromittendo

Istilah pactum de compromittendo secara harfiah berarti “ akta kompromis”, tetapi dalam beberapa literatur Indonesia membedakan antara keduanya. Perbedaannya hanya semata-mata pada pemakaiannya saja.21

Karena pemilihan arbitrase sebelum terjadinya sengketa dilakukan dalam bentuk suatu perjanjian, maka ketentuan hukum perjanjian yang umum berlaku. Perjanjian arbitrase sebagai perjanjian buntutan harus mengikuti prinsip-prinsip

Bentuk klausula pactum de compromirrendo dibuat oleh para pihak yang sebelum terjadi sengketa atau perselisihan secara nyata. Para pihak sebelumnya telah sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa atau perselisihannya yang mungkin akan terjadi di kemudian hari kepada lembaga arbitrase seperti ini dapat dimuat dalam perjanjian pokok atau dalam suatu perjanjia tersendiri.

Pengaturan bentuk klausula pactum de compromirrendo ini dapat dijumpai pada pasal 27 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999, yang menyatakan bahwa “ para pihak dapat menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau yang akan terjadi antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase”. Sebelumnya diatur dalam pasal 615 ayat 3 Rv yang menentukan “bahkan diperkenankan mengikat diri satu sama lain, untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari, kepada pemutusan seorang atau beberapa orang wasit. Juga dapat dijumpai dalam pasal II ayat (2) Konvensi New York 1958 yang antara lain menentukan”… the parties undertake to submit to arbitration all or any differences… which may arise between them…”.

21

Fuady, Munir. 2000. Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis). Bandung: PT Citra Aditya bakti. Halaman 117-118


(38)

hukum perjanjian buntutan, dimana isinya tidak boleh melampaui atau bertentangan dengan perjanjian pokoknya dan tidak ada tanpa adanya perjanjian pokok. Dengan hapusnya atau berakhirnya perjanjian pokok, tidak menyebabkan hapus atau berakhir pula perjanjian atau klausula arbitrasenya. Perkecualian ini ditegaskan dalam pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.

Pasal tersebut menegaskan suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan :22

Dalam pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 diatur persyarat pembuatan akta kompromis tersebut, dengan ancaman batal demi hukum jika tidak

a. meninggalnya salah satu pihak b. bangkrutnya salah satu pihak c. novasi ( pembaruan utang)

d. insolvensi ( keadaan tidak mampu membayar) salah satu pihak e. pewarisan

f. berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok

g. bilamana pelaksanaan perjanjiantersebut dialih tugaskan kepada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut

h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.

Akta Kompromis

Dalam bentuk yang lain klausula arbitrase adalah Akta Kompromis, bentuk klausula arbitrase ini merupakan klausula arbitrase yang dibuat dan disepakati setelah timbulnya perselisihan. Para pihak disini tidak membuat suatu perjanjian arbitrase saat mereka menyepakati perjanjian usaha mereka. Baru setelah sengketa atau perselisihan terjadi maka para pihak bersepakat untuk melakukan penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Untuk itu dibuatlah perjanjian baru tersendiri dan terpisah dari perjanjian pokok, yang berisikan penyerahan penyelesaian sengketa kepada arbitrase atau arbitrase ad hoc.

22


(39)

memenuhi persyatratan yang telah ditentukan tersebut. Adapun persyaratan pembuatan akta kompromis dimaksud sebagai berikut:

a. pemilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase oleh para pihak dilakukan setelah sengketa terjadi.

b. persetujuan mengenai cara dan pranata penyelesaian sengketa tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis, dan tidak boleh dengan persetujuan secara lisan.

c. perjanjian tertulis tadi harus ditandatangani oleh para pihak. Jika para pihak tidak dapat menandatanganinya, perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.

d. isi perjanjian harus memuat persyaratan yang ada dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.

Adapun isi dari Pasal 9 Undang-Undang-Nomor 30 Tahun 1999 :

“(1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatanganioleh para pihak.

(2) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus dibuat dalam bentuk akta notaris.

(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat : a. masalah yang dipersengketakan

b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak


(40)

d. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan e. nama lengkap sekretaris

f. jangka waktu penyelesaian sengketa g. pernyataan kesediaan dari arbiter

h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

(4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud ayat (3) batal demi hukum.

Sebelumnya, ketentuan mengenai akta compromise ini dapat dijumpai dalam pasal618 Rv yang menentukan bahwa persetujuan arbitrase harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak atau jika para pihak tidak dapat menandatangani, maka persetujuan arbitrase harus dibuat dihadapan notaris. Persetujuan arbitrase dalam akta compromise tersebut sekurang-kurangnya memuat pokok masalah yang menjadi sengketa, nama dan kedudukan para pihak, dan juga nama-nama dan kedudukan para arbiter yang ditunjuk, serta jumlah arbiter yang selalu dalam jumlah ganjil. Apabila persyaratan yang dimaksuddalam pasal 618 Rv tersebut tidak dipenuhi, maka persetujuan arbitrase yang dibuat oleh para pihak diancam dengan kebatalan secara hukum.

Selain itu, pengaturan mengenai akta compromise ini juga dapat dijumpai dalam pasal II ayat (1) konvensi new York 1958 yang menyatakan dengan kata-kata” …or any differences which have arisen…” (sengketa yang telah terjadi).


(41)

Perbedaan antara pactum de comproittendo dan akta compromise hanya terletak pada “saat” pembuatan perjanjian. Bila mana pactum de compromittendo dibuat sebelum perselisihan terjadi akta compromise dibuat setelah perselisihan atau sengketa terjadi. Dari segi perjanjian antara keduanya tidak ada perbedaannya.23

Secara umum menurut Gary Goodpaster, Felix Q. Soebagjo dan fatmah Jatim, klausula-klausula arbitrase mencakup :

Perjanjian arbitrase merupakan suatu kontrak. Seperti yang telah disebutkan diatas perjanjian tersebut dapat merupakan bagian dari suatu kontrak atau merupakan suatu kontrak yang terpisah. Perjanjian arbitrase dalam suatu kontrakbiasa disebut klausula arbitrase. Klausula arbitrase dapat berupa perjanjian yang sederhana untuk melaksanakan arbitrase, tetapi dapat juga berupa perjanjian yang lebih komprehensif, memuat syarat-syarat arbitrase. Klausula arbitrase ini penting karena akan menentukan berlangsungnya suatu arbitrase, bagaimana pelaksanaannya, hukum subtantif apa yang berlaku, dan lainnya.

24

Klausula arbitrase hurus disusun secara cermat guna mencegah prosedur litigasi tentang maknanya dan untuk menghindari kejutan kejutan yang tidak menyenangkan dikemudian hari. Klausula arbitrase harus memuat komitmen yang a. komitmen/kesepakatan para pihak untuk melaksanakan arbitrase

b. ruang lingkup arbitrase

c. apakah arbitrase akan berbentuk arbitrase institusional atau ad hoc, apabila memilih bentuk ad hoc maka klausula tersebut harus merinci metode penunjukan arbiter atau majelis arbiter.

d. aturan procedural yang berlaku.

e. tempat dan bahasa yang digunakan dalam arbitrase.

f. pilihan terhadap hukum subtantif yang berlaku bagi arbiterase.

g. klausula-klausula stabilisasi dan hak kekebalan (imunitas), jika relevan.

23

Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op. cit., halaman 49

24


(42)

jelas terhadap arbitrase serta pernyataan tentang sengketa apa yang diselesaikan secara arbitrase.

Isi klausula arbitrase harus sesuai dengan berbagai konvensi peraturan perundangan yang berlaku sehingga menjadi sah suatu perjanjian arbitrase tersebut, selain itu ada beberapa prinsip penting yang harus diperhatikan dalam sebuah klausula arbitrase, yaitu:25

1. Tidak melampaui isi perjanjian pokok

Klausula arbitrase tidak boleh melampaui isi perjanjian pokok, isi klausula arbitrase harus mengenai masalah penyelesaian perselisihan yang relevan dengan objek perjanjian. Semua sengketa yang terjadi haruslah sengketa yang timbul dari perjanjian pokok agar dapat diselesaikan melalui arbitrase.

2. Isi klausul boleh secara umum

Para pihak boleh membuat perjanjian arbitrase secara umum. Umum maksudnya disini yaitu bahwa didalam perjanjian arbitrase tidak ditentukan sengketa seperti apa yang disepakati untuk diselesaikan melalui arbitrase dan juga keadaan apa saja yang bisa digolongkan sebagai sebuah sengketa. Klausula yang dibuat secara umum mempunyai kelemahan yaitu bahwaklausula seperti ini dapat ditafsirkan berbeda oleh para pihak yang bersangkutan. Pihak yang tidak beretikad baik dapat menafsirkan klausula sesuai dengan keuntungan pribadi dirinya sendiri saja.

3. Klausula arbitrase secara terinci

Klausula seperti ini merupakan yang ideal untuk digunakan oleh para pelaku usaha yang bersengketa, dalam klausula ini ditentukan keadaan atau tindakan apa saja yang dilakukan salah satu pihak termasuk atau tidak kedalam kerangka perjanjian arbitrase. Dengan klausula sepertiini para pihak lebih memiliki kepastian mengenai hak dan kewajiban satu sama lain. Dengn demikian tindakan yang menyeleweng dari perjanjian yang dilakukan dapat langsung diproses melalui arbitrase tanpa harus menentukan lagi apakah betul tindakan tersebut tergolong suatu pelanggaran atau tidak.

Dalam perjanjian arbitrase, juga dapat dimuat ketentuan-ketentuan mengenai cara pengangkatan arbiter. Para pihak juga dapat menyepakati penunjukan arbiter

25


(43)

beserta dengan sistemnya yang akan bertugas untuk menyelesaikan sengketa para pihak.26

Perjanjian untuk berarbitrase haruslah jelas dan tegas (unequi vocal), serta tertulis. Klausula arbitrase mempunyai empat fungsi yang esensial, yakni :27

1. Untuk menghasilkan konsekuensi yang diperintahkan (mandatory consequences) bagi para pihak.

2. Untuk mencegah intervensi dari pengadilan dalam menyelesaaikan sengketa para pihak (sekurang kurangnya sebelum putusan dijatuhkan). 3. Untuk memperdayakan arbiter dalam penyelesaian sengketa.

4. Untuk menetapkan prosedur dalam menyelesaikan sengketa.

Berikut merupakan contoh-contoh dari klausula arbitrase (Model Arbitration clause):

1. Contoh sederhana :

“Apabila dikemudian hari timbul perselisihan yang menyangkut perjanjian ini perselisihan itu akan diselesaikan melalui cara arbitrase”.

2. Badan Arbitrase Nasional Indonesai (BANI) :

“Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini akan diselesaikan dalam tingkat pertama dan terakhir menurut peraturan dan prosedur BANI oleh arbiter-arbiter yang ditunjuk oleh atau menurut peraturan BANI tersebut.28

26

Rachmadi Usman, op. cit., halaman 35

27

Madjedi Hasan, Membuat Konsep Klausula Arbitrase, Indonesia Arbitration Querterly Newsletter, Nomor 7/2009 (Jakarta: Badan Arbitrase Indonesia, 2009)

28


(44)

D. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase Keunggulan Arbitrase

Dalam perkembangan era globalisasi ini banyak sengketa yang terjadi didalam dunia bisnis baik di bidang perdagangan, ekonomi, industri dan bisnis lainnya. Hal ini tidak bisa dihindarkan karena terjadinya beda tafsir, perubahan iklim ekonomi, pembagian untung yang tidak merata dan juga karena kerakusan salah satu pihak. Namun sering perselisihan, pertikaian dan silang sengketa bisnis tersebut tidak bisa diselesaikan dengan cepat dan memuaskan. Proses waktu yang berlarut-larut dan biaya yang mahal sering menjadi kendala yang menjadi penghambat bisnis tersebut, dan ini sering terjadi dalam proses peradilan umum.

Dimana mana termaksud Indonesia, proses peradilan umum itu sangat mahal biayanya, dan memakan waktu yang cukup lama dan berbelit-belit. Sehingga banyak parapelaku bisnis atau pengusaha lebih cendrung memperdayakan lembaga arbitrase dalam penyelesaian sengketanon litigasi di bandingkan harus melalui proses peradilan umum, karena alasan-alasan dan faktor-faktor yang tadi yang mendasari para pelaku bisnis lebih memilih menyelesaikan sengketa melalui lembaga arbitrase.

Selain itu pula dengan dikeluarkannya keputusan pengadilan, tidaklah otomatis perkara bersangkutan telah selesai, sebab pihak-pihak kurang puas dengan keputusan yang dikeluarkan oleh pengadilan, memang masih ada pengadilan yang lebih tinggi jika salah satu pihak tidak puas terhadap putusan pengadilan yakni pada pengadilan tingkat banding, namun lamanya putusan yang


(45)

dikeluarkan kemungkinannya sangat besar, jadi dari ini tampak gambaran bahwa proses perkara melalui peradilan umum sangat memakan waktu dan berlarut-larut.

Sebagai konsekuensi dari lamanya proses perkara melalui peradilan umum ini, maka biaya yang harus dikeluarkan untuk itu, misalnya untuk biaya ahli hukum dan ongkos-ongkos lainnya yang berhubungan dengan perkara tersebut semakin bertambah terus. Akibatnya sangat merugikan pihak yang sedang bersengketa, misalnya berkurangnya waktu untuk berusaha (bekerja/bisnis). Ini akan sangat berpengaruh terhadap kelancaran dan produktivitas perusahaannya.

Bertolak belakang dengan proses penyelesaian sengketa non litigasi misalnya oleh lembaga arbitrase, dimana keputusan yang dikeluarkan melalui badan arbitrase bersifat final dan mengikat.

Secara umum dalam alinea keempat pada Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa dalam lembaga arbitrase mempunyai kelebihan/keunggulan dibanding lembaga peradilan umum.

Kelebihan-kelebihan lembaga arbitrase diantaranya : 1. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak

2. dapat dihindarkan kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedur dan administratif.

3. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil.

4. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalah serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase.

5. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.29

29


(46)

Menurut Munir Fuady, kelebihan yang dimiliki Lembaga Arbitrase, antara lain:

1. prosedur tidak berbelit dan keputusan dapat dicapai dalam waktu relative singkat.

2. biaya lebih murah.

3. dapat dihindari expose dari keputusan di depan umum. 4. hukum terhadap prosedur dan pembuktian lebih rileks.

5. para pihak dapat memilih hukum mana yang akan diberlakukan oleh arbitrase. 6. para pihak dapat memilih sendiri para arbiter.

7. dapat dipilih para arbiter dari kalangan ahli dalam bidangnya. 8. keputusan dapat lebih terkait dengan situasi dan kondisi.

9. keputusan umumnya final dan binding (tanpa harus naik banding atau kasasi) 10. keputusan arbitrase umumnya dapat diberlakukan dan dieksekusi oleh

pengadilan dengan sedikit atau tanpa review sama sekali.

11. proses/prosedur arbitrase lebih mudah dimengerrti masyarakat luas. 12. menutup kemungkinan untuk dilakukan “Forum shopping”.30

Dari uraian diatas tentang dasar pertimbangan mengapa para pihak lebih memilih menyelesaikan sengketa melalui arbitrase di bandingkan melalui jalur peradilan umum, pada dasarnya ada tiga (3) hal pokok, yaitu dilakukan dengan cepat, oleh ahlinya dan secara rahasia.

31

Meskipun banyaknya keuntungan yang dimiliki arbitrase dalam menyelesaikan sengketa, namun didalam prakteknya ada ternyata kelemahan dari penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

Kelemahan Arbitrase

32

30

Munir Fuady, op. cit., halaman 94

31

R. Subekti, 1987, Hukum Perjanjian, Jakata: Intermas, halaman 5

32

Huala Adolf, 2002, Arbitrase Komersil Internasional, Jakarta: Rajawali Pers, halaman 18

1. bahwa untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa untuk membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah. Kedua para pihak harus sepakat, padahal untuk dapat mencapai kesepakatan atau persetujuan itu kadang-kadang memang sulit dan forum arbitrase mana yang dipilih.


(47)

2. tentang pengakuaan dan pelaksanaan keputusan arbitrase asing. Dewasa ini, dibanyak Negara, masalah tentang pengakuaan dan pelaksanaan keputusan asing ini masih menjadi soal yang sulit.

3. seperti telah dimaklumi, dalam arbitrase tidak dikenal adanya preseden hukum atau keterikatan kepada purtusan-putusan arbitrase sebelumnya. Jadi, setiap sengketa yang mengandung argumentasi-argumentasi hukum para ahli-ahli hukum kenamaan. Karena tidak adanya preseden ini, maka adalah logis kemungkinan timbulnya keputusan-keputusan yang saling berlawanan. Artinya fleksibilitas didalam mengeluarkan keputusan yang sulit dicapai.

4. arbitrase ternyata tidak mampu memberikan jawaban yang definitive terhadap semua sengketa hukum. Hal ini berkaitan erat dengan adanya konsep yang berbeda di setiap Negara.

5. bagaimanapun juga keputusan arbitrase selalu bergantung kepada bagaimana arbitrator mengeluarkan keputusan yang memuaskan para pihak.


(48)

BAB III

BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA (BANI) SEBAGAI LEMBAGA ARBITRASE DI INDONESIA

A. Riwayat Singkat Berdirinya Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) merupakan lembaga independen yang memberikan jasa beragam yang berhubungan dengan arbitrase, mediasi, dan bentuk-bentuk lain dari penyelesaian sengketa non litigasi. Badan ArbitraseNasional Indonesia (BANI) didirikan pada tahun pada tahun 1977 atas prakarsa tiga pakar hukum terkemuka, yaitu Prof. Soebekti, S.H., Haryono Tjitrosoebono, S.H., dan Prof.Dr. Priyantna Abdurrasyid.

Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dikelola dan diawasi oleh Dewan Pengurus dan Dewan Penasihat yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dan sektor bisnis. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) berkedudukan di Jakarta dengan perwakilan di beberapa kota besar di Indonesia, termaksud Surabaya, Bandung, Pontianak, Denpasar, Medan dan batam.33

Dalam memberikan dukungan kelembagaan yang diperlukan untuk bertindak secara otonomi serta independen dalam penegakan hukum dan keadilan, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) telah mengembangkan aturan serta tata cara sendiri, termaksud batasan waktu dimana Majelis Arbitrase harus memberikan putusan. Aturan ini dipergunakan dalam arbitrase domestik dan internasional yang dilaksanakan di Indonesia. Pada saat ini Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) memiliki lebih dari 100 arbiter berlatar belakang berbagai profesi, 30% diantaranya adalah asing.

33

Khotibul Umam, 2010, Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, halaman 49


(49)

Di Indonesia minat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase mulai meningkat sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa (UU arbitrase dan APS). Perkembangan ini sejalan dengan arah globalisasi, dimana penyelesaian sengketa non litigasi telah menjadi pilihan pelaku bisnis untuk menyelesaikan sengketa bisnis mereka. Selain karakteristik cepat, efesien, dan tuntas, arbitrase menganut prinsip win-win solution, serta tidak berbelit-belit karena tidak ada lembaga banding dan kasasi.

Biaya arbitrase juga lebih terjangkau karena prosesnya lebih cepat. Keunggulan lain dari Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) adalah putusannya serta merta (final) dan mengikat (binding), selain sifatnya yang rahasia karena proses persidangan dan putusan arbitrase tidak dipublikasikan. Berdasarkan asas timbal-balik putusan arbitrase asing yang melibatkan perusahaan asing, dapat dilaksanakan di Indonesia, demikian pula putusan arbitrase Indonesia yang melibatkan perusahaan asing, akan dapat dilaksanakan diluar negeri.34

Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai lembaga arbitrase pertama di Indonesia, didirikan dengan tujuan sebagai berikut:35

- Dalam rangka turut serta pada upaya penegakan hukum di Indonesia, menyelenggarakan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang terjadi diberbagai sektor perdagangan, industri, dan keuangan melalui arbitrase dan bentuk bentuk alternatif penyelesaian sengketa lainnya, antara lain dibidang-bidang korporasi, asuransi, lembaga keuangan, fabrikasi, hak kekayaan intelektual, lisensi, franchise, kontruksi, pelayaran/maritime, lingkungan

34

Ibid.

35


(50)

hidup, pengindraan jarak jauh, dan lain lain dalam lingkup peraturan perundang-undangan dan kebiasaan internasional.

- Menyediakan jasa-jasa bagi penyelenggaraan penyelesaian sengketa melalui arbitrase atau bentuk bentuk alternative penyelesaian sengketa lainnya, seperti negoisasi, mediasi, konsiliasi, pemberian pendapat yang mengikat sesuai dengan peraturan prosedur Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) atau prosedur lainnya yang disepakati oleh para pihak yang berkepentingan.

- Bertindak secara otonom dan independen dalam penegakan hukum dan keadilan.

- Menyelenggarakan pengkajian dan riset, serta program program pelatihan/pendidikan mengenai arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.

Selain itu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) juga telah mengadakan kesepakatan kerjasama dengan berbagai lembaga di Negara-Negara, sebagai berikut :36

7. The Fundation for International commercial Arbitration dan Alternative Dispute Resolution (SICA-FICA)

1 The Japan Commercial Arbitration Associaton. 2. The Netherlands arbitration Institute.

3. The Korean Commercial arbitration Board.

4. Australian Centre for International Commercial Arbitration. 5. The Philippines Dispute Resolution Centre.

6. Hong Kong International arbitration Centre. 37

Sejak awal para pihak harus mempertimbangkan jenis sengketa yang diselesaikan melalui arbitrase yaitu Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Jika mereka ingin membatasi arbitrase hanya untuk sengketa kontrak maka mereka dapat membuat klausula arbitrase yang sempit. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan frasa “semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini”. Dengan frasa singkat ini maka hanya sengketa yang berasal dari pelaksanaan B. Lingkup Kegiatan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)

36

Jimmy Joses sembiring, op. cit., halaman 100

wib


(51)

kontrak yang dapat diselesaikan untuk arbitrase tidak meliputi hal-hal yang berhubungan dengan kontrak/perjanjian.38

38

Khotibul Uman, op. cit., halaman 94

Namun dalam garis besarnya lingkup kegiatan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) adalah sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa non litigasi yang terjadi diberbagai sektor perdagangan, industri dan keuangan. Dan juga alternatif penyelesaian sengketa lainnya, antara lain dibidang-bidang korporasi, asuransi, lembaga keuangan, fabrikasi, hak kekayaan intelektual, lisensi, franchise, kontruksi, pelayaran/maritime, lingkungan hidup, pengindraan jarak jauh, dan lain lain dalam lingkup peraturan perundang-undangan.

Apabila para pihak dalam suatu perjanjian atau transaksi bisnis secara tertulis sepakat membawa sengketa yang timbul diantara mereka sehubungan dengan perjanjian atau transaksi bisnis yang bersangkutan ke arbitrase di hadapan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), atau menggunakan Peraturan Prosedur Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), maka sengketa tersebut diselesaikan dibawah penyelenggaraan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) berdasarkan Peraturan tersebut, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan khusus yang disepakati secara tertulis oleh para pihak, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang bersifat memaksa dan kebijaksanaan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).Penyelesaian sengketa secara damai melalui Arbitrase di Badan Arbitrase Nasional Indonesia(BANI) dilandasi itikad baik para pihak dengan berlandasan tata cara kooperatif dan non-konfrontatif.


(52)

C. Tata Cara Pengangkatan Arbiter

Pada dasarnya siapa saja dapat menjadi arbiter asal mempunyai keahlian yang diharapkan untuk menyelesaikan sengketa yang sedang terjadi. Seorang arbiter bisa seorang ahli hukum, bisa juga seorang yang ahli dibidang tertentu.39

Dahulu seorang wanita dilarang menjadi seorang arbiter atau wasit dimana ini berdasarkan pada isi pasal 617 ayat 2 Rv, tetapi kini wanita tidak dilarang untuk menjadi arbiter atau wasit asalkan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang. Sebagaimana ditegaskan pada pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang mengatur persyaratan arbiter.40

Seorang hakim, jaksa, panitera dan pejabat peradilan lainnya dilarang ditunjuk atau diangkat sebagai arbiter. Hal ini dimaksudkan agar terjamin adanya objektivitas dalam pemeriksaan serta pemberian putusan oleh arbiter atau majelis arbitrase.

a. cakap melakukan tindakan hukum. b. berumur paling rendah 35 tahun.

c. tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa.

d. tidak mempunyai kepentingan finansial atau kepentingan lain atas putusan arbitrase.

e. memiliki pengalaman serta menguasai secara aktif dibidangnya paling sedikit 15 tahun.

41

39

Munir Fuady, op. cit., halaman 67

40

Rachmadi Usman, op. cit., halaman 33

41

Ibid.

Namun dalam ketentuan pasal 13 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 menyebutkan bahwa dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis arbitrase.


(53)

Ketentuan ini menghindarkan terhadap kebuntuan apabila para pihak didalam syarat arbitrase tidak mengatur secara baik dan seksama tentang acara yang harus ditempuh dalam pengangkatan arbiter. Dari penjalasan pasal tadi dapat disimpulkan bahwa tujuan dari diberikannya wewenang kepada Pengadilan Negeri untuk menunjuk arbiter adalah untuk mencegah agar tidak terjadinya kebuntuan dalam memecahkan persoalan dalam hal penunjukan arbiter.42

Tata cara penunjukan arbiter yang ditentukan para pihak daalam perjanjian, merupakan cara yang paling baik dan efektif. Cara ini akan menghindari para pihak dari perbedaan pendapat mengenai penunjukan arbiter maupun mengenai jumlah arbiter. Dengan cara ini, proses pengangkatan arbiter dan pembentukan majelis arbiter akan lebih mulus, sehingga fungsi dan kewenangan pemeriksaan dan penyelesaian persengketaan, mungkin akan lebih cepat diselesaikan.

Terdapat beberapa cara pengangkatan arbiter yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999.

a. Penunjukan oleh para pihak

Cara pertama, pengangkatan arbiter dilakukan berdasarkan penunjukan para pihak, baik itu melalui akta compromise. Dalam perjanjian arbitrasenya, selain memuat ketentuan-ketentuan mengenai tata cara pengangkatan arbiter, para pihak juga dapat menyepakati penunjukan arbiter beserta dengan sistemnya yang akan bertugas untuk menyelesaikan sengketa para pihak. Jumlah arbiternya bisa seorang atau beberapa orang asalkan dalam jumlah ganjil.

43

Seandainya para pihak belum menentukan cara penunjukan arbiter, sebelum maupun sesudah sengketa terjadi, para pihak masih diberikan kesempatan untuk memilih arbiter secara langsung. Cara seperti ini, disimpulkan dari bunyi Pasal 13

42

Jimmy Joses Sembiring, op. cit., halaman 69

43


(54)

Ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang menyatakan “dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter, Ketua Pengadilan Negeri menunjuk arbiter atau majelis arbitrase”. Dari bunyi pasal ini jelaslah bahwa undang-undang masih memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menentukan sendiri arbiternya, walaupun setelah sengketa terjadi. Kalau tidak tercapai kesepakatan mengenai siapa yang menjadi arbiter, maka para pihak dapat meminta bantuan ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk arbiternya. Kelemahan cara ini bahwa para pihak sudah tidak kooperatif lagi, karena sengketa sudah terjadi, sehingga kesepakatan kehendak dalam memilih arbiter sudah sulit dicapai.

b. Penunjukan oleh Hakim

Cara lain pengangkatan arbiter dengan meminta bantuan Hakim atau Ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk arbiter atau majelis arbitrase, jika para pihak tidak mencapai kesepakatan dalam penunjukan arbiter. Cara pengangkatan arbiter dengan penunjukan hakim atau ketua Pengadilan Negeri ini diatur dalam Pasal 13,14 Ayat (3), dan Pasal 15 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Dengan adanya cara ini, maka praktik akan terjadi jalan buntu (dead lock) dapat dihindari apabila para pihak di dalam syarat arbitrase mengatur secara baik dan seksama tentang cara yang harus ditempuh dalam pengangkatan arbiter.

Kewenangan Hakim atau Ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk arbiter atau membentuk majelis arbitrase tersebut didasarkan permohonan para pihak atau salah satu pihak dengan menjelaskan kegagalan para pihak dalam mencapai kesepakatan mengenai pemilihan/penunjukan arbiter.


(55)

Penjelasan ini dibutuhkan oleh Hakim sebagai dasar untuk “mengintervensi” soal penunjukan arbiter yang merupakan kewenangan para pihak. Pengadilan Negeri hanya akan berwenang mengintervensi penunjukan arbiter apabila para pihak terbukti gagal memilih/menunjukan arbiternya.

Didalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 ditentukan, dalam hal para pihak tidak dapat mencapai kesepakatan mengenai pemilihan arbiter atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter, ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk arbiter atau majelis arbitrase. Untuk arbitrase ad hoc, yang ditentukan bagi setiap ketidaksepakatan dalam penunjukan seorang atau beberapa arbiter, maka para pihak dapat mengajukan permohonan kepada ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk seorang arbiter atau lebih dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak. Dari bunyi pasal 13 ini, dijelaskan bahwa pengadilan diberikan wewenang oleh undang-undang untuk mencapai kesepakatan mengenai pemilihan atau penunjukan arbiter atau majelis arbitrase atau tidak ada ketentuan yang dibuat mengenai pengangkatan arbiter. Itupun harus didahului dengan pengajuan permohonan oleh para pihak atau salah satu pihak yang bersengketa.

Disamping itu, Hakim atau Ketua Pengadilan Negeri dapat juga menunjuk para arbiter mana kala dalam kontrak menentukan demikian atau para pihak tunduk kepada suatu Rule Of Arbitration dari lembaga arbitrase tertentu, dimana peraturannya tersebut mensyaratkan penunjukan oleh hakim.

c. Penunjukan oleh lembaga arbitrase

Sering juga ketentuan arbitrase dilembaga arbitrase tertentu menentukan jika para pihak tidak berhasil memilih arbiternya atau juga arbiter ketiga tidak berhasil


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari pembahasan pembahasan yang telah diuraikan pada bab demi bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :

1. Belakangan ini sangat banyak penyelesaian sengketa dilakukan dengan cara arbitrase, karena kelebihan – kelebihan dari lembaga ini yang membuat para pelaku usaha lebih memilih dan percaya menyelesaiakan sengketa melalui lembaga Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Kewenangan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) akan dapat dilihat bila mana para pihak yang bersengketa memilih penyelesaian sengketa mereka melalui lembaga arbitrase, dimana terdapat dalam kluasula arbitrase, jika dalam kluasula tersebut menyepakati menyelesaikan sengketa melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sebagai lembaga yang akan menyelesaikan sengketa mereka, maka Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) lah yang berwenang sepenuhnya untuk memeriksa dan menyelesaikan sengketa-sengketa mereka tersebut termaksud bagaimana pelaksanaannya, dan lainnya. 2. Dalam Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999, hukum acara yang dipakai

untuk suatu arbitrase diserahkan kepada para pihak yang bersengketa, para pihak juga dapat memilih acara yang berlaku dari suatu lembaga arbitrase yang ada untuk menjadi acara arbitrase dalam penyelesaian sengketanya. Jadi sepenuhnya para pihak pihak mengikuti prosedur – prosedur penyelesaian


(2)

sengketa melalui proses Badan Arbitrase Nasioanal Indonesia (BANI),yang mana peraturan prosedur yang berlaku di Badan Arbitrase Nasioanal Indonesia (BANI) diambil garis besarnya sebagai berikut :

1. Permohonan arbitrase oleh pemohon 2. Pengangkatan arbiter

3. Pengajuan surat tututan oleh pemohon

4. Penyampaian satu salinan putusan kepada termohon 5. Jawaban tertulis dari termohon disarankan arbiter

6. Salinan jawaban diserahkan kepada termohon atas perintah arbiter 7. Perintah arbiter agar para pihak menghadap arbitrase

8. Para pihak menghadap arbitrase

- Tuntutan balasan (rekopensi) dari Termohon (jika ada) 9. Panggilan lagi jika termohon menghadap tanpa alasan yang jelas

10.Termohon tidak juga menghadap sidang, pemeriksaan diteruskan tanpa kehadiran termohon (verstek), dan tuntutan dikabulkan

11.Jika termohon hadir, diusahakan perdamaian oleh arbiter 12.Proses pembuktian

13.Pemeriksaan selesai dan ditutup (maksimum 180 hari sejak arbitrase terbentuk)

14.Pengucapan putusan

15.Putusan diserahkan kepada para pihak 16.Putusan diterima oleh para pihak


(3)

18.Penyerahan dan pendaftaran putusan ke Pengadilan Negeri 19.Permohonan eksekusi didaftarkan ke panitera pengadilan 20.Putusan dilaksanakan

21.Perintah Ketua Pengadilan Negeri jika putusan tidak dilaksanakan.

3. Pemberdayaan Lembaga Arbitrase menjadi suatu pilihan utama untuk alternatif penyelesaian sengketa para pihak yang bersengketa dalam memecahkan suatu sengketa yang terjadi, karena keunggulan-keunggulan yang dimiliki Lembaga Arbitrase tersebut yakni umumnya pengadilan kurang mendapat kepercayaan (confidence) dari masyarakat pengusaha (bisnis) sebaliknya arbitrase merupakan “pengadilan pengusaha” yang eksis untuk menyelesaikan sengketa sengketa diantara mereka dan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan mereka (kalangan bisnis). Jadi dengan besarnya minat masyarakat pelaku usaha dalam memperdayakan lembaga arbitrase didalam menyelesaikan sengketa haruslah diambil sisi positif dimana ini merupakan suatu langkah yang baik bagi tumbuh berkembangnya lembaga arbitrase. Dalam kegiatan ini kemampuan dan integritas para arbiter sangat memberikan suatu dampak bagi masa depan lembaga arbitrase itu sendiri.Selain melalui Arbitrase ada cara lain menyelesaikan sengketa diluar Pengadilan. Meskipun tidak sepopuler lembaga arbitrase misalnya melalui cara mediasi maupun konsiliasi dan lain sebagainya. Keduanya merupakan suatu upaya untuk menyelesaikan sengketa dengan cara musyawarah dan mufakat yang diperantarai oleh seorang mediator atau konsiliator, akan tetapi sifat dari kedua cara dalam penyelesaian sengketa ini tidak final tetapi hanya


(4)

sebagai sarana untuk mencari jalan penyelesaian ke arah yang lebih baik tanpa harus berperkara kepada arah yang lebih jauh lagi.Karena pada dasarnya para pihak yang bersengketa dan menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase hanya ingin mencari keadilan dengan proses yang singkat dan dengan biaya yang murah. Jadi dengan adanya lembaga Arbitrase yang menangani sengketa perdata di luar pengadilan diharapkan dapat memberikan manfaat atau dampak yang positif bagi para pihak yang memperdayakan Lembaga arbitrase dalam penyelesaian sengketa non litigasi.

B. Saran

Setelah melakukan penulisan ini dan telah membahas serta menarik kesimpulan yang telah disusun maka penulis mengemukakan saran-saran sebagai berikut :

1. Penulis berharap agar Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) melakukan penyuluhan atau mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai arbitrase. Agar masyarakat mengetahui bagaimana prosedur penyelesaian sengketa non litigasi, dan supaya setiap lapisan masyarakat tidak takut melakukan kerjasama didunia bisnis karena selama ini masyarakat merasa takut atau pesimis akan keadilan apabila terjadi sengketa.

2. Penulis berharap agar membentuk sumber daya manusia yang benar-benar mempunyai kualitas dan kuantitas bagi para arbiter yang nanti akan ditunjuk dalam menyelesaikan sengketa, karena peran arbiter sangat besar dalam hal menyelesaikan sengketa demi memberikan keadilan bagi kedua belah pihak yang bersengketa atau win win solution. Sehingga masyarakat akan semakin


(5)

memberikan kepercayaan untuk menyelesaikan sengketa khususnya di dunia usaha.

3. Penulis berharap agar para pihak pihak yang terlibat, baik itu para pihak yang bersengketa maupun arbiter yang bertugas menangani sengketa tersebut benar benar bersifat profesional guna menyelesaikan sengketa yang terjadi dan arbiter tidak boleh berpihak kepada salah satu pihak yang bersengketa karena apabila itu terjadi akan menodai kemurnian atau merusak citra lembaga Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) itu sendiri, sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa non litigasi.

4. Penulis berharap agar para para pihak yang bersengketa dan telah memilih arbitrase dalam penyelesaian sengketanya menghormati segala kebijakan arbiter mengenai perkara yang ditanganinya, karena arbiter juga merupakan penegak hukum dan tempat mencari keadilan. Sama halnya seperti hakim. Jadi diperlukan kesadaran para pihak yang bersengketa guna sama sama menjalankan apa yang telah disepakati.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku –buku :

Adolf , Huala. 2002. Arbitrase Komersil Internasional, Rajawali Pers, Jakarta.

Widjaja , Gunawan, dan Yani, Ahmad. 2001. Hukum Aritrase, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Usman, Rachmadi. 2002. Hukum Arbitrase Nasi onal, PT Grasindo, Jakarta.

Sembiring, Jimmy Joses, 2011. Cara Menyelesaikan Sengketa di Luar

Pengadilan;negosiasi, konsiliasi, dan arbitrase, Visimedia, Jakarta.

Fuady, Munir. 2000. Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis): PT Citra Aditya bakti, Bandung.

Harahap, M. Yahya. 1991. Arbitrase, Pustaka Kartini, Jakarta.

Hasan, Madjedi. 2009 Membuat Konsep Klausula Arbitrase, Indonesia Arbitration Querterly Newsletter, Nomor 7/2009 (Badan Arbitrase Indonesia), Jakarta.

R. Subekti. 1987. Hukum Perjanjian, : Intermas, Jakarta.

Rajagukguk, Erman. 2001. Arbitrase dalam Putusan Pengadilan,Chandra Pratama, Jakarta.

Umam, Khotibul. 2010. Penyelesaian Sengketa Diluar Pengadilan, Pustaka Yustisia, Yogyakarta.

Soebagjo, Felix. O. 1995. Seri Dasar-Dasar Hukum Ekonomi 2 Arbitrase di Indonesia, Jakarta.

Guatama, Sudargo. 1996. Aneka Hukum Arbitrase. Citra Adithya Bhakti, Bandung.

II. Internet

15.00 wib

III. Undang Undang

Undang - Undang Nomor 30 Tahun 1999 Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2004