BAB I Pendahuluan
A. Latar belakang masalah
Pada masyarakat Jahiliah, wanita dipandang sebagai barang mainan, apabila hatinya sudah puas mempermainkan, maka dia diperlakukan sekehendak hatinya,
sebagaimana dalam pribahasa “habis manis sepah di buang”. Begitulah nasib wanita
pada masa Jahiliah, yang dikenal dengan masa kebodohan karena cahaya Islam belum memancar pada waktu itu.
1
Agama Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT untuk hamba-Nya melalui pelantara Nabi Muhammad saw. yang lengkap berisi petunjuk dan pelajaran
untuk pegangan hidup agar bahagia dunia dan akhirat. Agama Islam tidak menghinakan kaum wanita, sebagaimana pada masa Jahiliah, tidak pula memanjakan
wanita dan tidak pula mempersamakan pria dan wanita, akan tetapi agama Islam menghormati kaum wanita dan mengangkat kepada derajat yang lebih tinggi.
2
Dalam ketentuan- ketentuan yang telah disyari’atkan oleh Islam sejauh yang
mengenai kewanitaan, tampak jelas betapa agama Islam telah mengangkat derajat kaum wanita dengan menyamakannya terhadap kaum pria dalam segala bidang
kecuali dalam bidang khusus bagi masing-masing sesuai dengan sifat kudratinya.
1
Hidayah Salim, Wanita Islam Kepribadian dan Perjuangannya, Bandung: Remaja Rosdakarya,1993, h.1
2
Ibid, h.10
Faedah terbesar dalam pernikahan adalah untuk menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah, sebab seorang perempuan jika sudah menikah maka
nafkahnya menjadi tanggung jawab suaminya. Pernikahan juga berfungsi sebagi pemelihara kelangsungan anak cucu keturunan, sebab jika tidak dengan jalan nikah
siapa yang akan bertanggung jawab atas diri anaknya. Pernikahan juga dipandang sebagai kemaslahatan umum, sebab jika tidak ada pernikahan tentu manusia akan
menuruti sifat binatang, dan dengan sifat tersebut akan menimbulkan bencana, permusuhan dan lain sebagainya.
Pandangan yang liar adalah langkah awal dari keinginan untuk berbuat zina, godaan untuk melakukan kemaksiatan di dunia ini sangat banyak dan beragam, suatu
kondisi yang tidak menguntungkan bagi kehidupan yang beradab. Hal ini akan menggiring manusia ke jalan yang sesat, apalagi di zaman yang fasilitas kemaksiatan
begitu mudah dan bertebaran, seolah-olah memanggil untuk memulai bergelimangan dosa.
3
Dalam hal ini Islam sudah lebih dulu memperingatkan dan menetapkan hukuman bagi orang yang melakukan perbuatan zina, juga menetapkan anak yang
dilahirkannya. Menurut Masfuk Juhdi, anak zina harus diperlakukan secara manusiawi, diberei pendidikan, pengajaran, dan keterampilan yang berguna untuk
bekal hidupnya di masyarakat nanti yang bertanggung jawab untuk dicukupi kebutuhan hidupnya materil dan spirituil adalah terutama ibunya yang
3
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung : Pustaka Setia, 1999 h..28
melahirkannya dan keluarga ibunya. Sebab anak zina hanya mempunyai hubungan nasab dan perdata dengan ibunya saja.
4
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seoranng pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang
bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ungkapan ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Apabila akad sudah sah dan berlaku, maka ada beberapa akibat hukum yang harus dilaksanakan dalam kehidupan suami isteri. Yaitu, hak isteri atas suaminya, hak
suami atas isterinya, hak bersama antara suami dan isteri. Apabila suami dan isteri melaksanakan kewajibannya dengan bijaksana, ikhlas, sebagai teman hidup, masing-
masing merasa bertanggung jawab atas kewajibannya, maka suami isteri itu akan mendapat kebahagiaan yang sempurna, Insya Allah keduanya akan hidup dalam
keridhoan Allah. Syarat mutlak yang pertama untuk mendirikan gedung perkawinan yang
kokoh dan kuat ialah usaha bersama, saling membantu dari kedua belah pihak, baik suami maupun isteri hendaklah bersama-sama menyadari bahwa usaha bersama yang
menjadi sendi kehidupan berumah tangga itu tidak akan ada jika masing-masing hanya kenal akan dirinya sendiri dengan kata lain mementingkan kesenangannya
sendiri. Dalam setiap perkawinan yang tentram dan damai, harus ada sikap memberi dan menerima take and give antara suami isteri yang bersangkutan.
4
Masfuk Juhdi, Masail Fiqhiyyah, Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997 h.39
Perkawinan bukanlah perjalanan kesenangan semata. Di dalam perkawinan terdapat hak yang harus diterima dan kewajiban yang harus dipenuhi. Itulah
sebabnya, untuk memasuki kehidupan berumah tangga, selain dari perlengkapan lahir yang harus disediakan, diperlukan pula persiapan rohani berupa jiwa yang cukup
matang dan dewasa untuk memikul tanggung jawab selaras dengan kewajiban masing-masing.
Rumah tangga dapat dianalogikan sebagai sebuah negara kecil yang didalamnya harus ada pembagian kerja yang teratur agar segala sesuatunya dapat
berjalan dengan lancar dan rapi. Jika kita mengambil perumpamaan pembagian kerja antara suami dan isteri di dalam sebuah rumah tangga dengan sebutan yang lazim
dipakai dalam negara yang sebenarnya, dapatlah dikatakan bahwa isteri memegang portefeuille urusan dalam negeri, pendidikan dan pengajaran, perburuhan dan sosial.
Dalam hal ini, selain menjadi perdana menteri rumah tangga, suami memegang urusan luar negeri, pertahanan, pengamanan perekonomian dan pekerjaan umum.
Atas dasar pembagian kerja inilah diletakkan pertanggung jawaban masing- masing sehingga semua bagian merpukan kesatuan mesin yang berjalan sebagaimana
mestinya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa suami adalah kepala bagi keluarga, sedangkan isteri laksana jantung bagi keluarga.
5
Dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga, faktor ekonomi tidak bisa diabaikan begitu saja, karena merupakan kebutuhan sehari-hari. Suatu keluarga jika
5
H.S.M Nasrudin Latif, Ilmu Perkawinan Problematika Seputar Keluarga Dan Rumah Tangga, Pustaka Hidayah, Bandung 2001.
tidak memiliki fungsi ekonomi akan goyah, karena bagaimanapun ekonomi adalah penunjang secara materil bagi tegaknya rumah tangga. Hal ini diuraikan dalam pasal
80 ayat4 KHI Kompilasi Hukum Islam yaitu:
6
Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung; a.
Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri; b.
Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya perawatan bagi isteri dan anak;
c. Biaya pendidikan anak.
Kebutuhan rumah tangga dapat dipenuhi apabila suami mempunyai pendapatan, dan pendapatan itu akan terwujud jika mempunyai pekerjaan karena
suami adalah pemimpin keluarga, maka suami wajib memenuhi dari segala apa yang dibutuhkan dalam rumah tangga.
Berdasarkan ayat di atas, dapat dipahami bahwa salah satu kewajiban suami adalah memberikan nafkah dengan sebaik-baiknya. Selain itu, perkawinan juga dapat
membentuk figur kepemimpinan yang baik bagi seorang laki-laki, yang pada gilirannya dapat dijadikan teladan oleh generasi selanjutnya.
Namun ketika adanya trend tentang Tenaga Kerja Wanita dapat menimbulkan masalah dalam keluarga yang menyangkut antara hak dan kewajiban suami-isteri.
Bagi sebagian ibu rumah tangga di Desa Mekarsari Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur ketika masalah ekonomi terasa tidak tercukupi, maka menjadi Tenaga Kerja
6
Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 1994
Wanita menjadi pilihan alternatif, walaupun dengan resiko yang cukup berat yaitu harus menanggung atau memenuhi kebutuhan keluarga selama ada di luar negeri.
Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa di Desa Mekarsari seperti sudah menjadi sebuah kesepakatan bersama antara suami dan isteri, bahwa
setiap ibu rumah tangga yang memilih menjadi TKW itu berarti harus menanggung kebutuhan keluarga selama berada di luar negeri.
Pada dasarnya dalam kehidupan berumah tangga, antara suami dan isteri mempunyai hak dan tanggung jawab secara bersama. Hal ini sebagaimana teretuang
dalam KHI yaitu: a.
Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar
dari susunan masyarakat. b.
Suami isteri wajib saling mencintai, menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin.
c. Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-
anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasan dan pendidikan agamanya.
d. Suami isteri wajib memelihara kehormatannya.
e. Jika suami isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat
mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama. Nafkah sering kali menimbulkan problem dalam kehidupan berumah tangga
sehingga berakhir dengan perceraian. Sebagai salah satu akibat dari kurang atau
bahkan tidak terpenuhinya nafkah, maka tidak sedikit pihak isteri mencari jalan keluar, salah satunya dengan cara menjadi Tenaga Kerja Wanita TKW sebagai
pembantu rumah tangga di Arab Saudi. Pengiriman Tenaga Kerja Wanita akhir-akhir ini semakin marak dan mayoritas mereka berasal dari berbagai pelosok pedesaan.
Akibat dari keputusan nekadnya itu mereka akhirnya mencapai apa yang dicita- citakannya dengan nasib yang berbeda-beda.
Desa Mekarsari Kec. Naringgul Kab. Cianjur, merupakan salah satu daerah yang terpengaruhi dengan maraknya pemberangkatan Tenaga Kerja Wanita ke Arab
Saudi dengan tujuan ingin meningkatkan tarap kehidupan ekonomi yang lebih baik dari sebelumnya.
Berikut ini jumlah Tenaga Kerja Wanita TKW dari tahun 2001-2006:
Tabel I
7
No Tahun
Jumlah TKW Negara tujuan
Keterangan
1 2001
61 orang Arab saudi
2 2002
52 orang Arab saudi
3 2003
48 orang Arab saudi
4 2004
39 orang Arab saudi
5 2005
31 orang Arab saudi
6 2006
18 orang Arab saudi
Awal Agustus
Jumlah 249 orang
80 berkeluarga, 15 lajang dan 5
janda
Sumber data: Bagian Kesra Desa Mekarsari
7
Bagian Kesra Desa Mekarsari, di Kantor Desa Mekarsari, 31 mei 2010.
Maka menurut data di atas, setiap tahun, dari tahun 2001 sd awal April 2006 rata-rata penduduk yang menjadi TKW adalah sebanyak 41 orang. Walaupun dalam
tabel menunjukkan jumlah yang menurun dari tahun ke tahun, akan tetapi ada kemungkinan adanya TKW yang berangkat ke luar negeri namun tidak terdata atau
tidak mau didata. Sebagian TKW tersebut sudah berkeluarga, artinya mempunyai tanggung jawab terhadap anak dan suaminya.
Dari beberapa TKW sebagaimana dalam tabel di atas, terdapat tiga TKW ketika mereka kembali dari Arab Saudi sudah dalam keadaan hamil. Seperti halnya
yang dialami oleh tiga pasangan keluarga yang isterinya pulang dalam keadaan hamil, di antara mereka sempat terjadi percekcokan tapi tidak sampai ketingkat perceraian.
Bahkan sampai sekarang mereka masih tetap sebagai pasangan suami isteri yang hidup rukun dan suami menerima anak dari isterinya yang hamil ketika pulang dari
Arab Saudi dengan lapang. Peristiwa di atas telah menarik perhatian penulis untuk melakukan penelitian
lebih lanjut sebagai objek penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul: STATUS ANAK ZINA TKW DI KALANGAN SUAMI DI DESA MEKARSARI
KECAMATAN NARINGGUL KABUPATEN CIANJUR.
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah