Sistem informasi E-auction berbasis web (studi kasus: kantor cabang pengadaian Syariah Cinere)

(1)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)

Oleh :

Asep Dadan NIM : 106044101364

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI) OLEH :

Asep Dadan NIM : 106044101364

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Jaenal Aripin, M.Ag. Kamarusdiana, S.Ag.,MH

NIP:197210161998031004 NIP: 197252001121003

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI

AHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(3)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI) OLEH :

Asep Dadan NIM : 106044101364

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Jaenal Aripin, M.Ag. Kamarusdiana, S.Ag.,MH

NIP:197210161998031004 NIP: 197407252001121003

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI

AHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(4)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI) OLEH :

Asep Dadan NIM : 106044101364

Di Bawah Bimbingan

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Jaenal Aripin, M.Ag. Kamarusdiana, S.Ag.,MH

NIP:197210161998031004 NIP: 197202241998031003

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI

AHWAL SYAKHSIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(5)

iii

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1(satu) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berada di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 14 Desember 2010

Asep Dadan NIM: 106044101364


(6)

iv

Alhamdulillâhirabbil’âlamîn. Seiring dengan rahmat Allah, ma’unah serta

barokah-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Kepada Allah swt. kita memanjatkan pujian, meminta pertolongan, dan memohon ampunan. Kepada-Nya pula kita meminta perlindungan dari keburukan diri dan kejahatan amal perbuatan. Dialah Tuhan Pencipta hukum yang tiada hukum paling tinggi malainkan hukum ciptaan-Nya. Telah Ia syariatkan ajaran-ajaran ketauhidan melalui kitab-kitab suci yang disampaikan para Rasul, manusia pilihan yang diutus-Nya.

Shalawat dan salam teriring mahabbah semoga senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah Muhammad saw., beserta keluarga, sahabat, dan orang-orang yang mengikuti ajaran beliau hingga hari akhir. Dialah Nabi utusan Allah yang terakhir dan tiada Nabi setelahnya. Kemuliaannya lebih utama dari pada manusia dan makhluk lainnya, Dialah manusia pilihan yang paling bertakwa dan paling taat akan perintah-perintah Allah, Rasul yang sangat mencintai umatnya, ridha Allah agar bisa hidup berdampingan dengan Rasulullah saw. di surga merupakan cita-cita para hamba-Nya.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, Penulis banyak menemui hambatan dan cobaan. Namun, Penulis berusaha menghadapi semuanya dengan ikhtiar dan

tawakkal. Penulis sadar dengan sepenuh hati bahwa skripsi ini hanyalah setitik debu jalanan untuk menitik jalan menuju orang-orang besar. Namun dalam


(7)

v

untuk memburu pencapaian-pencapaian berikutnya yang dianggap besar oleh orang-orang besar. Lebih dari itu, skripsi ini merupakan seteguk air dalam rentang kemarau studi yang Penulis tempuh selama ini.

Penulis juga sadar sepenuhnya bahwa diri ini berutang budi kepada banyak pihak yang telah berkontribusi langsung maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini. Penulis juga ingin menyampaikan ungkapan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada para pihak yang telah menanamkan jasa baik berupa bimbingan, arahan serta bantuan yang diberikan sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs., H. A. Basiq Djalil, SH., MA., selaku Ketua Program Studi dan

Kamarusdiana, S.Ag., MH., sebagai Sekretaris Jurusan Program Studi Ahwal Al-Syakhsyiah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Jaenal Aripin, M.Ag dan Kamarusdiana, S.Ag., MH., selaku Dosen Pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga,


(8)

vi

telah membantu proses kelancaran dalam memperoleh data-data yang diperlukan untuk penelitian ini.

5. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur dan jajarannya yang telah membantu proses kelancaran dalam memperoleh data-data yang diperlukan untuk penelitian ini.

6. Seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum, terima kasih atas ilmu dan bimbingannya. seluruh Staf Akademik, Jurusan, Kasubag. Keuangan dan Perpustakaan terima kasih atas bantuan dalam upaya membantu memperlancar penyelesaian skripsi ini. 7. Ayahanda dan Ibunda tercinta atas pengorbanan dan cinta kasihnya baik

berupa moril dan materil, serta doa yang tak terhingga sepanjang masa untuk keberhasilan studi Penulis, segala hormat Penulis persembahkan. 8. Seluruh keluarga besarku, adik-adikku yang senantiasa memberi

dorongan dan motivasi agar Penulis tetap semangat dalam menempuh studi di kampus tercinta ini.

9. Sahabat-sahabatku tercinta, teman-teman seperjuangan Peradilan Agama Arud Badruddin, Eko Pratama, Abdul khoir, Maulana hamzah, Firman, Anih Rabani, Lulu, Anis, Fitri dan semuanya yang tidak mungkin dapat Penulis sebutkan satu persatu, yang senantiasa menebarkan benih-benih keceriaan dalam bingkai kebersamaan, sahabat


(9)

vii silaturahmi.

Besar harapan bagi Penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang memerlukannya dan dapat memberikan khazanah baru dalam dunia akademik. Sebagai manusia yang dho’if, yang memiliki keterbatasan dan kekurangan, tentunya skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka dan kerendahan hati Penulis akan sangat berterima kasih apabila para pembaca yang budiman memberikan kritik dan saran yang membangun demi kebaikan dan perbaikan atas karya-karya yang lainnya.

Akrinya, hanya kepada Allah swt. juga kita memohon agar apa yang telah kita lakukan menjadi suatu investasi yang sangat berharga dan kelak dapat membantu kita di yaumil akhir .

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 14 Desember 2010


(10)

viii

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang ... 1

B. Perumusan masalah dan pembatasan masalah ... 9

C. Tujuan dan manfaat penelitian ... 10

D. Metode penelitian ... 11

E. Sistematika penulisan ... 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERKAWINAN DAN ISTERI HAMIL ZINA A. Dasar hukum dan tujuan perkawinan ... 16

B. Hak dan kewajiban dalam rumah tangga ... 29

C. Zina dan status anak dalam keluarga ... 36

BAB III PROFIL DAN KONDISI SOSIAL, EKONOMI DAN KEAGAMAAN RESPONDEN A. Profil Masyarakat Desa Mekarsari Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur ... 49


(11)

ix

Cianjur ... 52

D. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Keagamaan Responden ... 52

BAB IV PERSFEKTIF HUKUM ISLAM DAN POSITIF TERHADAP KEHAMILAN ISTERI KARENA MENJADI TENAGA KERJA WANITA A. Faktor-faktor penyebab kehamilan TKW ... 55

B. Sikap dan tindakan suami terhadap isteri yang hamil karena zina dan status anaknya ... 59

C. Alasan suami menerima anak dan isterinya yang hamil karena zina ... 62

D. Tinjauan hukum terhadap isteri Yang hamil zina, sikap dan tindakan suami terhadap isteri dan anak zinanya ... 64

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 72

B. Saran-Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 75


(12)

BAB I Pendahuluan

A. Latar belakang masalah

Pada masyarakat Jahiliah, wanita dipandang sebagai barang mainan, apabila hatinya sudah puas mempermainkan, maka dia diperlakukan sekehendak hatinya, sebagaimana dalam pribahasa “habis manis sepah di buang”. Begitulah nasib wanita pada masa Jahiliah, yang dikenal dengan masa kebodohan karena cahaya Islam belum memancar pada waktu itu.1

Agama Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT untuk hamba-Nya melalui pelantara Nabi Muhammad saw. yang lengkap berisi petunjuk dan pelajaran untuk pegangan hidup agar bahagia dunia dan akhirat. Agama Islam tidak menghinakan kaum wanita, sebagaimana pada masa Jahiliah, tidak pula memanjakan wanita dan tidak pula mempersamakan pria dan wanita, akan tetapi agama Islam menghormati kaum wanita dan mengangkat kepada derajat yang lebih tinggi.2

Dalam ketentuan-ketentuan yang telah disyari’atkan oleh Islam sejauh yang mengenai kewanitaan, tampak jelas betapa agama Islam telah mengangkat derajat kaum wanita dengan menyamakannya terhadap kaum pria dalam segala bidang kecuali dalam bidang khusus bagi masing-masing sesuai dengan sifat kudratinya.

1

Hidayah Salim, Wanita Islam Kepribadian dan Perjuangannya, (Bandung: Remaja Rosdakarya,1993), h.1

2


(13)

Faedah terbesar dalam pernikahan adalah untuk menjaga dan memelihara perempuan yang bersifat lemah, sebab seorang perempuan jika sudah menikah maka nafkahnya menjadi tanggung jawab suaminya. Pernikahan juga berfungsi sebagi pemelihara kelangsungan anak cucu (keturunan), sebab jika tidak dengan jalan nikah siapa yang akan bertanggung jawab atas diri anaknya. Pernikahan juga dipandang sebagai kemaslahatan umum, sebab jika tidak ada pernikahan tentu manusia akan menuruti sifat binatang, dan dengan sifat tersebut akan menimbulkan bencana, permusuhan dan lain sebagainya.

Pandangan yang liar adalah langkah awal dari keinginan untuk berbuat zina, godaan untuk melakukan kemaksiatan di dunia ini sangat banyak dan beragam, suatu kondisi yang tidak menguntungkan bagi kehidupan yang beradab. Hal ini akan menggiring manusia ke jalan yang sesat, apalagi di zaman yang fasilitas kemaksiatan begitu mudah dan bertebaran, seolah-olah memanggil untuk memulai bergelimangan dosa.3

Dalam hal ini Islam sudah lebih dulu memperingatkan dan menetapkan hukuman bagi orang yang melakukan perbuatan zina, juga menetapkan anak yang dilahirkannya. Menurut Masfuk Juhdi, anak zina harus diperlakukan secara manusiawi, diberei pendidikan, pengajaran, dan keterampilan yang berguna untuk bekal hidupnya di masyarakat nanti yang bertanggung jawab untuk dicukupi kebutuhan hidupnya materil dan spirituil adalah terutama ibunya yang

3


(14)

melahirkannya dan keluarga ibunya. Sebab anak zina hanya mempunyai hubungan nasab dan perdata dengan ibunya saja.4

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seoranng pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Ungkapan ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Apabila akad sudah sah dan berlaku, maka ada beberapa akibat hukum yang harus dilaksanakan dalam kehidupan suami isteri. Yaitu, hak isteri atas suaminya, hak suami atas isterinya, hak bersama antara suami dan isteri. Apabila suami dan isteri melaksanakan kewajibannya dengan bijaksana, ikhlas, sebagai teman hidup, masing-masing merasa bertanggung jawab atas kewajibannya, maka suami isteri itu akan mendapat kebahagiaan yang sempurna, Insya Allah keduanya akan hidup dalam keridhoan Allah.

Syarat mutlak yang pertama untuk mendirikan gedung perkawinan yang kokoh dan kuat ialah usaha bersama, saling membantu dari kedua belah pihak, baik suami maupun isteri hendaklah bersama-sama menyadari bahwa usaha bersama yang menjadi sendi kehidupan berumah tangga itu tidak akan ada jika masing-masing hanya kenal akan dirinya sendiri dengan kata lain mementingkan kesenangannya sendiri. Dalam setiap perkawinan yang tentram dan damai, harus ada sikap memberi dan menerima (take and give) antara suami isteri yang bersangkutan.

4


(15)

Perkawinan bukanlah perjalanan kesenangan semata. Di dalam perkawinan terdapat hak yang harus diterima dan kewajiban yang harus dipenuhi. Itulah sebabnya, untuk memasuki kehidupan berumah tangga, selain dari perlengkapan lahir yang harus disediakan, diperlukan pula persiapan rohani berupa jiwa yang cukup matang dan dewasa untuk memikul tanggung jawab selaras dengan kewajiban masing-masing.

Rumah tangga dapat dianalogikan sebagai sebuah negara kecil yang didalamnya harus ada pembagian kerja yang teratur agar segala sesuatunya dapat berjalan dengan lancar dan rapi. Jika kita mengambil perumpamaan pembagian kerja antara suami dan isteri di dalam sebuah rumah tangga dengan sebutan yang lazim dipakai dalam negara yang sebenarnya, dapatlah dikatakan bahwa isteri memegang

portefeuille urusan (dalam negeri), pendidikan dan pengajaran, perburuhan dan sosial. Dalam hal ini, selain menjadi perdana menteri rumah tangga, suami memegang urusan luar negeri, pertahanan, pengamanan perekonomian dan pekerjaan umum.

Atas dasar pembagian kerja inilah diletakkan pertanggung jawaban masing-masing sehingga semua bagian merpukan kesatuan mesin yang berjalan sebagaimana mestinya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa suami adalah kepala bagi keluarga, sedangkan isteri laksana jantung bagi keluarga.5

Dalam pemenuhan kebutuhan rumah tangga, faktor ekonomi tidak bisa diabaikan begitu saja, karena merupakan kebutuhan sehari-hari. Suatu keluarga jika

5

H.S.M Nasrudin Latif, Ilmu Perkawinan (Problematika Seputar Keluarga Dan Rumah Tangga), Pustaka Hidayah, Bandung 2001.


(16)

tidak memiliki fungsi ekonomi akan goyah, karena bagaimanapun ekonomi adalah penunjang secara materil bagi tegaknya rumah tangga. Hal ini diuraikan dalam pasal 80 ayat4 KHI (Kompilasi Hukum Islam) yaitu:6

Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung; a. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;

b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya perawatan bagi isteri dan anak;

c. Biaya pendidikan anak.

Kebutuhan rumah tangga dapat dipenuhi apabila suami mempunyai pendapatan, dan pendapatan itu akan terwujud jika mempunyai pekerjaan karena suami adalah pemimpin keluarga, maka suami wajib memenuhi dari segala apa yang dibutuhkan dalam rumah tangga.

Berdasarkan ayat di atas, dapat dipahami bahwa salah satu kewajiban suami adalah memberikan nafkah dengan sebaik-baiknya. Selain itu, perkawinan juga dapat membentuk figur kepemimpinan yang baik bagi seorang laki-laki, yang pada gilirannya dapat dijadikan teladan oleh generasi selanjutnya.

Namun ketika adanya trend tentang Tenaga Kerja Wanita dapat menimbulkan masalah dalam keluarga yang menyangkut antara hak dan kewajiban suami-isteri. Bagi sebagian ibu rumah tangga di Desa Mekarsari Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur ketika masalah ekonomi terasa tidak tercukupi, maka menjadi Tenaga Kerja

6

Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994)


(17)

Wanita menjadi pilihan alternatif, walaupun dengan resiko yang cukup berat yaitu harus menanggung atau memenuhi kebutuhan keluarga selama ada di luar negeri.

Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas bahwa di Desa Mekarsari seperti sudah menjadi sebuah kesepakatan bersama antara suami dan isteri, bahwa setiap ibu rumah tangga yang memilih menjadi TKW itu berarti harus menanggung kebutuhan keluarga selama berada di luar negeri.

Pada dasarnya dalam kehidupan berumah tangga, antara suami dan isteri mempunyai hak dan tanggung jawab secara bersama. Hal ini sebagaimana teretuang dalam KHI yaitu:

a. Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

b. Suami isteri wajib saling mencintai, menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin.

c. Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasan dan pendidikan agamanya.

d. Suami isteri wajib memelihara kehormatannya.

e. Jika suami isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama.

Nafkah sering kali menimbulkan problem dalam kehidupan berumah tangga sehingga berakhir dengan perceraian. Sebagai salah satu akibat dari kurang atau


(18)

bahkan tidak terpenuhinya nafkah, maka tidak sedikit pihak isteri mencari jalan keluar, salah satunya dengan cara menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW) sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi. Pengiriman Tenaga Kerja Wanita akhir-akhir ini semakin marak dan mayoritas mereka berasal dari berbagai pelosok pedesaan. Akibat dari keputusan nekadnya itu mereka akhirnya mencapai apa yang dicita-citakannya dengan nasib yang berbeda-beda.

Desa Mekarsari Kec. Naringgul Kab. Cianjur, merupakan salah satu daerah yang terpengaruhi dengan maraknya pemberangkatan Tenaga Kerja Wanita ke Arab Saudi dengan tujuan ingin meningkatkan tarap kehidupan ekonomi yang lebih baik dari sebelumnya.

Berikut ini jumlah Tenaga Kerja Wanita (TKW) dari tahun 2001-2006:

Tabel I7

No Tahun Jumlah TKW Negara tujuan Keterangan

1 2001 61 orang Arab saudi

2 2002 52 orang Arab saudi

3 2003 48 orang Arab saudi

4 2004 39 orang Arab saudi

5 2005 31 orang Arab saudi

6 2006 18 orang Arab saudi Awal Agustus

Jumlah 249 orang

80% berkeluarga, 15% lajang dan 5%

janda Sumber data: Bagian Kesra Desa Mekarsari

7


(19)

Maka menurut data di atas, setiap tahun, dari tahun 2001 s/d awal April 2006 rata-rata penduduk yang menjadi TKW adalah sebanyak 41 orang. Walaupun dalam tabel menunjukkan jumlah yang menurun dari tahun ke tahun, akan tetapi ada kemungkinan adanya TKW yang berangkat ke luar negeri namun tidak terdata atau tidak mau didata. Sebagian TKW tersebut sudah berkeluarga, artinya mempunyai tanggung jawab terhadap anak dan suaminya.

Dari beberapa TKW sebagaimana dalam tabel di atas, terdapat tiga TKW ketika mereka kembali dari Arab Saudi sudah dalam keadaan hamil. Seperti halnya yang dialami oleh tiga pasangan keluarga yang isterinya pulang dalam keadaan hamil, di antara mereka sempat terjadi percekcokan tapi tidak sampai ketingkat perceraian. Bahkan sampai sekarang mereka masih tetap sebagai pasangan suami isteri yang hidup rukun dan suami menerima anak dari isterinya yang hamil ketika pulang dari Arab Saudi dengan lapang.

Peristiwa di atas telah menarik perhatian penulis untuk melakukan penelitian lebih lanjut sebagai objek penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul: STATUS ANAK ZINA TKW DI KALANGAN SUAMI (DI DESA MEKARSARI KECAMATAN NARINGGUL KABUPATEN CIANJUR).


(20)

B. Perumusan dan Pembatasan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Dalam pembahasan skripsi ini penulis memilih Desa Mekarsari Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur sebagai obyek penelitian, mengingat banyaknya TKW yang berangkat ke Arab Saudi, maka penulis melakukan pembatasan yakni hanya pada penyebab diterimanya anak hasil zina TKW oleh suaminya.

Sehubungan dengan banyaknya kasus TKW yang hamil akibat zina, maka dalam skripsi ini penulis membatasi hanya pada kasus di atas yang difokuskan pada argumentasi dan pandangan suami terhadap penerimaan anak hasil zina isterinya.

2. Perumusan Masalah

Rumusan masalah dari skripsi ini adalah:

Menurut teori,dalam pasal 99 di sebutkan bahwa: Anak yang sah adalah:

a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;

b. Hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.

Anak dianggap sah apabila lahir dari perkawinan yang sah. Kenyataannya di Desa Mekarsari anak anak yang lahir dari perkawinan tidak sah dapat diakui sah karena pengakuan dari orang tua.


(21)

Rumusan tersebut penulis rinci dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimanakah sikap suami terhadap isterinya yang hamil ketika menjadi

TKW serta anak yang di lahirkannya?

2. Bagaimana persfektif hukum Islam dan positif tentang status anak zina karena isteri hamil ketika menjadi TKW?

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Sejalan dengan permasalahan yang telah digambarkan di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitin ini adalah sebagi berikut:

1. Untuk mengetahui sikap suami terhadap isterinya yang hamil ketika menjadi TKW serta anak yang di lahirkannya.

2. Untuk mengkaji persfektif hukum tentang status anak zina karena isteri hamil ketika menjadi TKW?

Sedangkan manfaat penelitian ini adalah:

a. secara teoritis diharapkan penelitian ini dapat memberikan khazanah keilmuan dalam bidang hokum keluarga islam, khususnya yang berkaitan dengan status anak hasil zina Tenaga Kerja Wanita.

b. Secara empiris diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang ingin mengetahui status anak zina TKW, baik kalangan Akademisi, Mahasiswa, Institusi, Ulama, bahkan mayrakat pada umumnya.


(22)

D. Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan kualitatif. Kualitatif berasal dari konsep kualitas “mutu” atau bersifat mutu. Pendekatan kualitatif berarti upaya menemukan kebenaran dalam wilayah-wilayah konsep mutu.8 yaitu dengan melakukan analisa terhadap kultur masyarakat Desa Mekarsari Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur dan alasan mereka menerima anak hasil zina. Kemudian menghubungkannya dengan masalah yang diajukan, sehingga ditemukan kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dikehendaki penulis dalam penelitian ini.

2. Sumber Data

a. Data primer

Sumber data primer yaitu merupakan data yang diperoleh dari tiga pasangan keluarga TKW, yaitu:

1. Pasangan Sarman dan Nia (nama disamarkan) 2. Pasangan Awo dan Ade (nama disamarkan) 3. Pasangan Arjun dan Anah (nama disamarkan)

Mereka berdomisili di Desa Mekarsari Kecamatan Naringul Kabupaten Cianjur.

8

Ipah Farihah, Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006) cet.1, h.37.


(23)

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang diajukan, dokumen-dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur’an, Hadits, buku-buku ilmiah, Undang-Undang perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta peraturan-peraturan lainnya yang erat kaitannya dengan masalah yang diajukan.

3. Teknik pengumpulan data

Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, maka penulis menggunakan metode sebagai berikut:

a. Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.9

b. Metode Interview

Metode interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara10. Dalam hal ini adalah wawancara dengan warga desa mekarsari khususnya keluarga yang mempunyai hubungan dengan para pelaku.

9

Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 1992), h.206

10


(24)

c. Observasi

Observasi yang dimaksud adalah observasi langsung terhadap tiga keluarga yang diteliti dan melihat dari dekat permasalahan yang dialami oleh keluarganya yang ada di desa Mekarsari, penulis dapat memperoleh data awal untuk menyiapkan proposal penelitian ini kemudian dijadikan kerangka awal bagi penelitian berikutnya.

4. Teknik Analisis Data

Analisa data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, data lapangan dan bahan-bahan lain sehingga dapat mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.11

Analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan analisa kualitatif, yaitu menganalisa dengan cara menguraikan dan mendeskripsikan kasus penerimaan anak hasil zina TKW oleh suaminya sehingga di dapat suatu kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai dengan tujuan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini.

11


(25)

5. Pedoman Penulisan Skripsi

Teknik penulisan skripsi ini berpedoman pada “Pedoman Penulisan Skripsi tahun 2008” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan beberapa pengecualian sebagai berikut:

a. Dalam daftar pustaka al-Qur’an ditempatkan pada urutan pertama

b. Terjemahan al-Quran dan Hadits ditulis 11/2 spasi walaupun kurang dari enam baris.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika yang digunakan untuk memahami alur pemikiran dan pembahasan dari setiap permasalahan yang ada menjadi beberapa bab dan kemudian diperinci ke dalam beberapa sub bab. Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini selengkapnya adalah sebagai berikut:

1. Bab pertama berisi pendahuluan yang meliputi penjelasan secara umum tentang latar belakang, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan.

2. Bab kedua berisi tinjauan tinjauan pustaka tentnag perkawinan dan isteri hamil zina yang meliputi dasar hukum dan tujuan perkawinan, hak dan kewajiban dalam rumah tangga, dan zina dan status anak dalam keluarga.

3. Bab ketiga berisi profil Masyarakat Desa Mekarsari, kondisi sosial, ekonomi dan pendidikan masyarakat Desa Mekarsari, profil responden dan kondisi sosial, ekonomi, dan pendidikan responden


(26)

4. Bab keempat mengenai tindakan suami terhadap kehamilan isteri karena menjadi TKW. bab ini meliputi faktor-faktor penyebab kehamilan TKW, sikap dan tindakan suami terhadap isteri yang hamil karena zina dan status anaknya, alasan suami menerima anak dan isterinya yang hamil karena zina, tinjauan hukum terhadap isteri hamil karena menjadi TKW dan sikap serta tindakan suami terhadap anak dan isterinya.


(27)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA TENTANG PERNIKAHAN DAN ISTERI HAMIL ZINA

A. Dasar Hukum dan Tujuan Pernikahan 1. Dasar Hukum Pernikahan

Hukum pernikahan dalam Agama Islam mempunyai kedudukan yang sangat penting, oleh karena itu peraturan-peraturan tentang pernikahan ini diatur dan diterangkan dengan jelas dan terperinci. Hukum pernikahan Islam pada dasarnya tidak hanya mengatur tata cara pelaksanaan pernikahan saja tetapi juga mengatur segala persoalan yang erat hubunannya dengan pernikahan. Namun dengan melihat pada sifatnya sebagai sunah Allah dan sunah Rasul, tentu tidak mungkin dikatakan bahwa hukum asal pernikahan itu hanya semata muabah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa melangsungkan akad pernikahan disuruh oleh agama dan dengan telah berlangsungnya akad pernikahan itu, maka pergaulan antara laki-laki dan perempuan jadi muabah.12

Adapun pentingnya pernikahan bagi kehidupan manusia, khususnya bagi orang Islam adalah sebagai berikut:

a. Dengan melakukan pernikahan yang sah dapat terlaksana pergaulan hidup manusia baik secara individual maupun kelompok antara pria dan wanita secara terhormat dan halal, sesuai dengan kedudukan manusia sebagai

12


(28)

makhluk yang terhormat diantara makhluk-makhluk Tuhan yang lain. b. Dengan melaksanakan pernikahan dapat terbentuk suatu rumah tangga

dimana dalam rumah tangga dapat terlaksana secara damai dan tentram serta kekal dengan disertai rasa kasih sayang antara suami-isteri.

c. Dengan melaksanakan pernikahan yang sah, dapat diharapkan memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat sehingga kelangsungan hidup dalam keluarga dan keturunannya dapat berlangsung terus secara jelas dan bersih. d. Dengan terjadinya pernikahan maka timbullah sebuah keluarga yang

merupakan inti daripada hidup bermasyarakat, sehingga dapat diharapkan timbulnya suatu kehidupan masyarakat yang teratur dan berada dalam suasana damai.

e. Melaksanakan pemenikahan dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam Al-Qur'an dan Sunah Rasul, adalah merupakan salah satu ibadah bagi orang Islam.

Di negara-negara muslim ketika merumuskan undang- undang perkawian melengkapi definisinya dengan penambahan hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan perkawinan itu. Di indonesia sendiri dirumuskaN DALAM pasal I undamg-undang perkawinan no.1 tahun 1974.13

Selain yang dijelaskan diatas, dalam ajaran Islam ada beberapa prinsip-prinsip dalam pernikahan, yaitu:

13


(29)

a. Harus ada persetujuan sukarela dari pihak-pihak yang mengadakan pernikahan. Caranya ialah diadakan peminangan terlebih dahulu untuk mengetahui apakah kedua belah pihak setuju untuk melaksanakan pernikahan atau tidak.

b. Tidak semua wanita dapat dinikahi oleh seorang pria sebab ada ketentuan larangan-larangan pernikahan antara pria dan wanita yang harus diindahkan.

c. Pernikahan harus dilaksanakan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, baik yang menyangkut kedua belah pihak maupun yang berhubungan dengan pelaksanan pernikahan itu sendiri.

d. Pernikahan pada dasarnya adalah untuk membentuk satu keluarga/rumah tangga yang tentram, damai dan kekal untuk selama-lamanya.

e. Hak dan kewajiban suami-isteri adalah seimbang dalam rumah tangga, dimana tanggung jawab pimpinan keluarga ada pada suami.14

Pernikahan merupakan perbuatan yang suci (sakramen), yaitu suatu ikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa. Agar kehidupan berkeluarga dan berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Jadi pernikahan itu sendiri adalah suatu 'perikatan jasmani dan rohani' yang membawa akibat hukum terhadap agama

14

Soemiyati, Hukum Pernikahan Islam dan Undang-Undang Pernikahan, (Yogyakarta: Liberty, 1996). H. 3.


(30)

yang dianut kedua calon mempelai beserta keluarga kerabatnya.15

Ada beberapa ayat al- Qur'an dan hadis Rasulullah Saw, yang menjadi dasar hukum untuk melakukan pernikahan.

Diantaranya adalah surat an-Nisa ayat 1

Artinya: “Wahai sekalian manusia bertakwalah kepada tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan diciptakannya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) Nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah

selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS. An-Nisa:4:1).

Ada beberapa pendapat mengenai kedudukan hukum pernikahan, segolongan ulama berpendapat bahwa hukum pernikahan adalah mandub (sunah). Ulama

Dzahiriah berpendapat bahwa menikah hukumnya wajib sedangkan golongan Malikiyah berpendapat bahwa hukum menikah bagi sebagian orang adalah wajib tetapi bagi sebagian lainnya adalah sunah dan mubah (boleh). Hal tersebut, menurut mereka disesuaikan dengan kekhawatiran seseorang untuk berbuat zina.16

Penyebab perbedaan pendapat diantara mereka ialah apakah shighat amr

15

Hilman Hadikusuma, Hukum Pernikahan Indonesia Menurut Perundang-Undangan, Hukum Adat, Hukum Agama (Bandung: Mandarmaju, 2003) h.10

16


(31)

(bentuk kalimat perintah) menikah pada firman Allah SWT.

Artinya: “...maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat...” (Q.S. Al- Nisa/4: 3)

Selain itu, yang menjadi dasar perbedaan pedapat di kalangan ulama adalah

sighat amr pada sabda Nabi Saw.

Artinya: “Dari Mas’ud bin Zadan dari Muawiyah bin Qurrah dari Muaqqil bin

Yassar berkata: rasulullah SAW bersabda: Nikahilah wanita yang banyak anak (subur) dan penuh kasih sayang, karena aku merasa bangga atas banyaknya kaliani pada hari kiamat nanti.” (HR. Ahmad yang dinilai shahih oleh Ibnu Hibban)

Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa pemikahan itu wajib bagi sebagian orang, sunnat dan mubah untuk yang lainnya, maka pendapat ini di dasarkan atas pertimbangan kemaslahatan. Seperti yang disebut qiyas mursal, yakni suatu qiyas

17 Abu Daud, Sunan Abu Daud(babunnahri „an tazwiji man lam yalid minannisaa’i), (Bairut:


(32)

yang tidak mempunyai dasar penyandaran. Kebanyakan ulama mengingkari qiyas tersebat, tetapi mazhab Maliki berpegang pada qiyas tersebut.

Ulama Syafi'iyah yang mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah mubah, disamping ada yang sunat, wajib, haram dan makruh. Di Indonesia umumnya masyarakat memandang bahwa hukum asal melakukan pernikahan adalah mubah. Hal ini banyak dipengaruhi pendapat ulama Syafi'iyah.

Terlepas dari perbedaan pendapat ulama mazhab, berdasarkan nash-nash, baik al-Qur'an maupun al-Sunah, Islam sangat menganjurkan kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan pernikahan. Namun demikian, apabila dilihat dari kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan melaksanakanya, maka pernikahan itu dapat dihukumi wajib, sunah, haram, makruh ataupun mubah.

1. Melakukan Pernikahan yang Hukumnya Wajib

Bagi orang yang telah mempunyai kemampuan dan kemauan untuk menikah dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina jika tidak menikah, maka hukum melakuan pernikahan bagi orang tersebut adalah wajib. Hal ini didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang dilarang. Jika penjagaan diri itu harus dengan melakukan pernikahan, sedangkan menjaga diri itu wajib, maka hukum melakukan pernikahan itupun wajib sesuai dengan kaidah:


(33)

Artinya: "Sesuatu kewajiban yang tidak sempurna pelaksanaanya kecuali dengan adanya sesuatu hal, maka sesuatu hal tersebut hukumnya wajib pula" 18

Kaidah lain mengatakan:

Artinya “Hukum wasilah/sarana adalah sama dengan hukum tujuan”19

Hukum melakukan pernikahan bagi orang tersebut merupakan hukum sarana sama dengan hukum pokok yakni menjaga diri dari perbuatan maksiat.

2. Melakukan pernikahan yang hukumnya sunnat.

Orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan pernikahan, akan tetapi tidak dikhawatirkan akan berbuat zina apabila dia tidak menikah, maka hukum melakukan pernikahan bagi orang tersebut adalah sunnat.

3. Melakukan pernikahan yang hukumnya haram.

Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam

18

A. Djazuli, Kaidah- Kaidah Fiqih, (Jakarta: kencana, 2007) h. 32

19


(34)

rumah tangga sehingga apabila melangsungkan pernikahan akan terlantarlah dirinya dan isterinya, maka hukum melakukan pernikahan bagi orang tersebut adalah haram. al- Qur'an surat al- Baqarah ayat 195 melarang orang melakukan hal yang akan mendatangkan kerusakan:

Artinya “...Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam

kebinasaan...” (Q.S. Al-Baqarah/2: 195)

Termasuk haram melakukan pernikahan apabila seseorang menikah dengan tujuan untuk menelantarkan orang lain karena dia tidak rela orang tersebut menikah dengan orang lain.

4. Melakukan pernikahan yang hukumnya makruh.

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk menikah dan memiliki kemampuan untuk menahan diri dari kemungkinan berbuat zina apabila tidak menikah akan tetapi orang tersebut tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban suami isteri dengan baik.

5. Melakukan pernikahan hukumnya yang mubah.

Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan nikah, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan isteri. Maka pernikahan orang tersebut


(35)

hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera. Hukum mubah ini juga di tunjukan bagi orang yang antara pendorong dan penghambatnya untuk menikah itu sama, sehingga menimbulkan keraguan orang yang melakukan menikah, seperti mempunyai keinginan tetapi belum mempunyai kemampuan, mempunyai kemampuan untuk melakukan tetapi belum mempunyai kemauan yang kuat.20

2. Tujuan Pernikahan

Tujuan pernikahan pada umumnya tergantung pada masing-masing individu yang akan melakukannya, karena lebih bersifat subjektif. Namun demikian juga ada tujuan umum yang memang diinginkan oleh semua orang yang akan melakukan pernikahan, yaitu untuk memperoleh kebahagian dan kesejahtraan lahir batin dunia dan akhirat.

Selain itu, tujuan pernikahan adalah untuk menegakkan agama Allah dalam arti mentaati perintah dan larangan Allah, juga untuk mendapat keturunan yang sah, dan untuk mencegah maksiat, yang terjadinya perzinaan dan pelacuran. Sebagaimana dalam hadis Nabi:

20


(36)

Artinya “Dari Abdullah bin Mas'ud. Sesungguhnya Rasulallah SAW. Bersabda kepadaku, "Wahai kaum muda! Barang siapa yang sudah mampu memberi nqfkah, maka nikahlah. Karena sesungguhnya pemikahan itu dapat menjaga pandangan mata dan kehormatan faraj. Barang siapa yang tidak mampu, maka berpuasalah, karenapuasa merupakan benteng baginya. " (Muttafaq alaih).

Tujuan pernikahan menurut agama Islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir batinya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih sayang antara anggota keluarga.22

Dari penjelasan di atas, maka tujuan pernikahan itu dapat dikembangkan menjadi lima yaitu:

1. Mendapat dan melangsungkan keturuan.

Seperti yang telah diungkapkan di atas bahwa naluri manusia mempunyai

21

Abi al-Husain Muslim, Sahih Muslim, (Istihbabi an-Nikah), (Bairut: Dar el- Kutub 2003)h.519.

22


(37)

kecenderungan untuk mempunyai keturunan yang sah, dan keabsahanya diakui oleh dirinya, masyarakat, negara dan kebenaran keyakinan agama Islam memberi jalan untuk itu. Agama memberi jalan hidup manusia agar hidup bahagia di dunia dan akhirat.

al- Qur'an juga menganjurkan agar manusia selalu berdo'a agar dianugerahi anak yang menjadi mutiara dari isterinya, sebagaimana tercantum dalam surat al- Furqan ayat 74:

Artinya “Dan orang-orang yang berkata: Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenag hati(kami)”

(Q.S. al- Furqan: 74)

Anak sebagai keturunan bukan saja menjadi buah hati, tetapi juga sebagai pembantu dalam hidup di dunia. Bahkan anak akan memberi tambahan amal kebajikan di akhirat nanti, manakala dapat mendidiknya menjadi anak yang saleh, sebagaimana sabda Nabi Saw yang diriwayatkan Muslim dari Abu Hurairah:

23

Al- Imam al- Hafidz al- Faqih Ibnu Zakariyya, Riyadu as-Salihiin, (Surabaya: Dar al- Ilmi tt)h.118.


(38)

Artinya: "Dari Abu Hurairah RA berkata: Nabi salallahu alahi wasallam bersabda: Apabila manusia meninggal dunia maka putuslah amalnya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak yang saleh yang selalu mendo'akannya” (HR.Muslim dari Abu Hurairah).

Untuk memperoleh keturunan yang sah merupakan tujuan yang pokok dari pernikahan itu sendiri. Memperoleh anak dalam pernikahan bagi penghidupan manusia mengandung dua kepentingan, yaitu; kepentingan untuk diri pribadi dan kepentingan yang bersifat umum. Setiap orang melaksanakan pernikahan tentu mempunyai keinginan untuk memperoleh keturunan/anak. Bisa dirasakan bagaimana perasaan suami isteri yang hidup berumah tangga tanpa mempunyai anak, tentu kehidupannya terasa sepi dan hampa.

2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan rasa kasih sayang diantara mereka.

Sudah menjadi fitrah, manusia diciptakan berpasang-pasangan dan mempunyai keinginan untuk berhubungan antara pria dan wanita, sebagaimana dalam al- Qur'an surat al- Baqarah ayat 187 yang menyatakan:

Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka” (Q.S. al- Baqarah: 187)

3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan. Dorongan nafsu yang utama ialah nafsu seksual, oleh karena itu pernikahan


(39)

merupakan jalan terbaik untuk menyalurkan hasrat saksual tersebut. Pernikahan dapat mengurangi dorongan yang kuat atau dapat mengembalikan gejolak nafsu seksual.

4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.

Suami isteri yang pernikahannya didasarkan pada pengamalan agama, jerih payah dalam usahanya dan upayanya mencari keperluan hidupnya dan keluarga yang dibina dapat digolongkan ibadah dalam arti luas. Dengan demikian, melalui rumah tangga dapat ditimbulkan gairah bekerja dan bertanggung jawab serta berusaha mencari harta yang halal.

5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan kasih sayang.

Suatu kenyataan bahwa manusia di dunia tidaklah berdiri sendiri melainkan bermasyarakat yang terdiri dari unit-unit yang terkecil yaitu keluarga yang terbentuk melalui pernikahan, dalam hidupnya manusia memerlukan ketenangan dan ketentraman hidup. Ketenangan dan ketentraman yaitu untuk mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan masyarakat dapat dicapai dengan adanya ketenangan dan ketentraman anggota keluarga dalam keluarganya. Ketenangan dan ketentraman keluarga tergantung dari keberhasilan pembinaan yang harmonis antara suami isteri dalam satu rumah tangga. Keharmonisan diciptakan oleh adanya kesadaran anggota keluarga


(40)

dalam menggunakan hak dan pemenuhan kewajiban. Allah menjadikan unit keluarga yang dibina dengan pernikahan antara suami isteri dalam membentuk ketenangan dan ketentraman serta mengembangkan cinta dan kasih sayang sesama warganya.24

B. Hak danKewajiban Suami Isteri Dalam Keluarga

Apabila akad nikah telah berlangsung dan sah memenuhi syarat rukunnya, maka akan menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian akan menimbulkan pula hak dankewajibannya selaku suami isteri dalam keluarga.

Menurut hukum Islam suami dan isteri dalam membina keluarga/rumah tangga harus berlaku dengan cara yang baik (ma'ruf), maka kewajiban utama suami dalam keluarga/rumah tangga adalah berbuat sebaik mungkin kepada isteri. Pengertian berbuat yang ma'ruf ialah saling cinta mencintai dan hormat menghormati, saling setia dan saling bantu membantu antara yang satu dan yang lainnya.25

1. Pengertian Keluarga

Terdapat beragam istilah yang bisa dipergunakan untuk menyebut "keluarga". Keluarga bisa berarti ibu, bapak, anak atau seisi rumah, bisa juga disebut batih yaitu seisi rumah yang menjadi tanggungan dan dapat pula berarti kaum, yaitu sanak

24

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakkarta: Kencana, 2003),h.30.

25

Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundang-Undangan, Hukum Adat Dan Hukum Agama. (Bandung: Mandarmaju, 2003) h.115


(41)

saudara dan kaum kerabat.

Pengertian ini mengacu pada aspek antropologis, yaitu manusia dalam lingkungan keluarga. Istilah keluarga berbeda dengan rumah tangga. Rumah tangga berarti sesuatu yang berkenaan dengan urusan kehidupan dalam rumah, seperti belanja dan sebagainya. Oleh karena itu rumah tangga bersifat meterial dan ekonomis.

Namun demikian istilah rumah tangga juga dapat disamakan artinya dengan keluarga. Arti dari rumah tangga adalah kelompok sosial yang biasanya berpusat pada suatu keluarga batih, yaitu keluarga yang terdiri dari suami, isteri, dan anak yang belum menikah atau memisahkan diri.26

Keluarga adalah kelompok primer yang paling dasar yang merupakan gabungan individu yang alamiah. Definisi lain dari keluarga adalah suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang direkat oleh ikatan darah, pernikahan atau adopsi serta tinggal bersama.

Salah satu prinsip moral paling penting menurut pandangan Islam, adalah pernikahan dan pembentukan keluarga. Nabi Muhammad Saw. memandang keluarga sebagai sebuah struktur tak tertandingi dalam masyarakat. Beliau sendiri memberikan teladan mulia dalam hal ini dengan menganjurkan pengikut-pengikutnya untuk melakukan pernikahan serta melestarikan tradisi agung pernikahan.

Pernikahan mempersiapkan sepasang suami isteri bergerak menuju

26

Hendi Suhendi dan Ramdani Wahyu, Pengantar Studi Sosiologi Keluarga, (Bandung: Pustaka Setia, 2004) h.1


(42)

kesempurnaan moral dan mental serta kesejahteraan jiwa dan raga. Ini pada gilirannya mengakibatkan timbulnya kesejahteraan masyarakat.27

Lembaga keluarga dan pernikahan adalah diantara kondisi-kondisi dan bekal yang menyiapkan sarana untuk tumbuh dan lahirnya berbagai kemampuan manusia yang hebat. Umpamanya dalam Islam, apabila seorang pria dan seorang wanita berkenalan lewat pernikahan dan membentuk sebuah bagian kecil dan murni dari masyarakat yang disebut keluarga, mereka mengalami beberapa perkembangan baru dan berhadapan dengan tugas-tugas keagamaan tertentu dan juga baru bagi mereka. Meningkatkan hubungan, memperkuat rasa kasih sayang, meningkatkan rasa tanggung jawab dan pengelolaan, kesabaran, ketenangan, kesehatan spiritual, reproduksi, pengorbanan dan sebagainya, semuanya itu adalah bagian dari cerminan dan indikator pernikahan yang berhasil.

Atas dasar ini, para ulama dan terutama sekali Al-Qur'an Suci, menganjurkan pernikahan. Dalam hal ini Al-Qur'an surat An-Nuur ayat 32 menyatakan:

Artinya: “Dan menikahkanlah orang yang sendiri di antaramu, dan orang-orang yang saleh dari hamba-hamba sahayamu laki-laki atau perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan mencukupi mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) serta maha mengetahui. (QS. al- Nuur: 32).

27

Husain AliTurkamani, Bimbingan Keluarga Dan Wanita Islam, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992) h.37


(43)

Dalam ayat ini, di samping penegasan langsung mengenai pentingnya pernikahan bagi individu, masyarakat dan agama, pengabaian pernikahan lantaran alasan kemiskinan dan ketidakmampuan pun ditolak. Pernikahan menjanjikan kebaikan dan rahmat dalam kehidupan. Dalam ayat lain, pernikahan dan pasangan suami-isteri diketahui sebagai sebab timbulnnya kemudahan dan ketenanngan. Karena itu, secara alami, sikap tidak mau mengikuti ajaran al- Qur'an ini akan menyebabkan kesengsaraan serta gangguan jiwa dan raga.

Islam menegaskan bahwa kesejahteraan keluarga menjamin kesejahteraan masyarakat. Inilah sebabnya, Islam berulang kali menganjurkan pembentukan keluarga dan melestarikan kehidupan bersama yang bahagia oleh suami-isteri bersama anak-anak mereka. Pasangan suami isteri ini, setelah pernikahan, meletakkan pondasi bagi sebuah bangunan baru sebuah lembaga yang lebih unggul ketimbang lembaga-lembaga dan bangunan-bangunan lain. Masyarakat yang suci itulah tempat mendidik secara benar anak-anak masa kini yang kelak akan menjadi orang-orang besar di masa depan.28

Setelah sebuah keluarga terbentuk, anggota yang ada didalamnya memiliki tugas masing-masing. Suatu pekerjaan yang harus dilakukan dalam kehidupan keluarga inilah yang disebut fungsi. Jadi fungsi keluarga adalah suatu pekerjaan yang harus dilakukan didalam atau diluar keluarga.

Fungsi di sini mengacu pada peran individu dalam mengetahui, yang pada

28


(44)

akhirnya mewujudkan hak dan kewajiban. Mengetahui fungsi keluarga sangatlah penting sebab dari sinilah terukur dan terbaca sosok keluarga yang ideal dan harmonis. Munculnya krisis dalam rumah tangga dapat juga sebagai akibat tidak berfungsinya salah satu fungsi keluarga.

2. Hak dan Kewajiban Suami Isteri

Sebagaimana kita ketahui, pernikahan adalah perjanjian hidup bersama antara dua jenis kelamin yang berlainan untuk menempuh kehidupan rumah tangga. Semenjak mengadakan perjanjian melalui akad kedua belah pihak telah terikat dan sejak itulah mereka mempunyai kewajiban dan hak-hak, yang tidak mereka miliki sebelumnya.

Pada masa Jahiliyah, hak-hak wanita hampir tidak ada dan yang tampak hanyalah kewajiban. Hal ini karena status wanita dianggap sangat rendah dan bahkan hampir dianggap sebagai sesuatu yang tidak berguna.29

Jika suami dan isteri sama-sama menjalankan tanggungjawabnya masing-masing, maka akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan hati sehinga sempurnalah kebahagian hidup rumah tangga. Dengan demikian, tujuan hidup berkeluarga akan terwujud sesuia dengan tuntunan agama, yaitu sakinah, mawaddah warahmah.

a. Hak Bersama Suami Isteri

Dengan adanya akad nikah, maka anatara suami dan isteri mempunyai hak

29


(45)

dan tanggung jawab secara bersama, yaitu sebagai berikut:

1) Suami dan isteri dihalalkan saling bergaul mengadakan hubungan seksual. Perbuatan ini merupakan kebutuhan antara suami isteri yang dihalalkan secara timbal balik. Bagi suami halal melakukan apa saja terhadap isterinya, demikian pula bagi isteri terhadap suaminya. Mengadakan kenikmatan hubungan merupakan hak suami isteri yang dilakukan secara bersama. 2) Haram melakukan pernikhan, artinya baik suami maupun isteri tidak boleh

melakukan pernikahan dengan saudaranya masing-masing.

3) Dengan adanya ikatan pernikahan,maka kedua belah pihak saling mewarisi apabila salali seorang diantara keduanya telah meninggal meskipun belum bersetubuh.

4) Anak mempunyai nasab yang jelas bagi suami.

5) Kedua belah pihak wajib bertingkahlaku yang baik, sehingga dapat melahirkan kemesraan dan kedamaian hidup dala berrumah tangga.30

b. Kewajiban bersama suami isteri

Dalam Kompilasi Hukum Islam pada bagian umum pasal 77 disebutkan bahwa Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddahdan rahmah yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

Kewajiban pokok suami isteri adalah menciptakan dan membentuk rumah tangga yang bahagia, dimana dalam rumah tangga itu terasa ketenangan, ketentraman,

30


(46)

hidup rukun, damai, serta cukup makan pakaian dan keadaan suasana dalam rumah itu sehat sehingga menimbulkan kebetahan, isi rumah sebab teratur rapi, sehingga. bena-benar rumah itu merupakan tempat tinggal yang menyenangkan, tempat beristirahat yang harmonis.

Dan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 80:

Artinya: “Dan Allah menjadikan rumah-rumahmu sebagai tempat tinggalmu”

Perlu diketahui bahwa untuk mencapai rumah tangga bahagia itu tentu membutuhkan persyaratan-persyaratan diantaranya:

1) Mengetahui dan menyadari kewajiban dan kedudukan masing-masing suami isteri.

2) Saling mempercayai dan menghormati, tidak mudah terpancing emosi (terburu nafsu), tidak mudah cemburu dan sebagainya.

3) Bermusyawarah dalam menghadapi masalah yang dihadapi dengan penuh pengertian.

4) Bersabar dan rela atas kekurangan dan kelemahan masing-masing. 5) Saling menyayangi dan mencintai.

6) Menghormati keluarga kedua belah pihak.


(47)

8) Toleransi dan menjaga kerukunan dengan tetangga dalam hidup bermasyarakat.

9) Menjaga rahasia keluarga terhadap orang lain. Hal tersebut sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw.:

Artinya: "Dari Amar bin Hamzah berkata: sesungguhnya rasulullah SAW bersabda: Sesunggunya manusia yang paling jelek kedudukannya disisi Allah nanti pada hari kiamat, yaitu laki-laki yang menjima' isterinya dan isterinya pun menjima' laki-laki itu, kemudian salah seorangnya menyebarkan rahasia temannya." (HR. Muslim dan Bukhari).

c. Hak dan kewajiban suami terhadap isteri. 1) Hak suami atas isteri

Diantara beberapa hak suami terhadapa isterinya yang paling pokok adalah: a. Taat dalam perkara yang bukan maksiat.

b. Isteri dapat menjaga kehormatan dirinya dan harta suami. c. Menjauhkan diri dari sesuatu yang dapat menyusahkan suami. d. Selalu bersikap menyenangkan dihadapan suami

31

Al- Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Sahih Bukhari(bab tahrim


(48)

Penjelasan di atas sesuai dengan hadis Nabi saw.

Artinya: "Dari abi abbas sesungguhnya rasullullah SAW bersabda: Andaikata aku menyuruh seseorang sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan perempuan bersujud kepada suaminya, karena begitu besar haknya kepadanya." (HR. Abu Daud dan Turmudzi dan Ibn Majah dan Ibn Hibban).

Kewajiban taat kepada suami hanyalah dalam hal-hal yang dibenarkan agama, bukan dalam hal kemaksiatan kepada Allah SWT. Jika suami menyuruh isteri untuk berbuat maksiat, maka isteri harus menolaknya. Di antara ketaatan isteri kepada suami adalah tidak keluar rumah kecuali dengan seizinnya.33

Dalam Al-Qur'an surat an-Nisa ayat 34 dijelaskan bahwa isteri harus bisa menjaga dirinya. Baik ketika berada dihadapan suami maupun dibelakangnya. Hal tersebut merupakan salah satu ciri isteri shalihah.

2) Kewajiban suami terhadap isteri

Dalam Kompilasi Hukum Islam, kewajiban suami terhadap isteri dijelaskan dalam pasal 80 yang pada intinya adalah suami sebagai kepala keluarga yang wajib melindungi keluarganya dan memberikan nafkah serta mendidik isteri agar menjadi

32

Abu Daud, Sunan Abu Daud, (Mafasil Firraddi al- Assyubhati I’idail Islaa (bab al- khamis)), (Bairut: Daar el- Kutub)h.365.

33


(49)

isteri yang shalihah.

Kedudukan suami dalam rumah tangga adalah pemimpin, pelindung dan pembimbing anggota keluarga baik secara lahir maupun batin dan suami harus mempertanggungjawabkan keadaan keluarganya itu dunia dan akhirat. Firman Allah surat An-Nisa ayat 34:

Artinya: “Adapun kaum pria (suami) itu adalah pemimpin bagi wanita (isteri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka kepada sebagian lagi dan karena kaum pria itu telah memberi nafkah dari sebagian hartanya (kepada isterinya)." (QS. An-Nisa:34).

Perlu diketahui juga bahwa besar kecilnya pemberian nafkah itu tergantung pada kemampun suaminya dan disesuaikan dengan kebiasaan masyarakat di daerahnya. Adapun nafkah yang wajib suami penuhi meliputi sandang, pangan dan papan. Kewajiban suami tersebut sudah di atur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 81 yang menjelaskan tentang kewajiban suami untuk menyediakan tempat tinggal yang layak serta nafkah bagi keluarga sesuai dengan kemampuan.

d. Hak dan kewajibaan isteri terhadap suami 1) Hak isteri atas suami

Penjelasan hak isteri terhadap suaminya pada dasarnya tidak banyak yang harus dibahas karena sudah dijelaskan di atas, akan tetapi ada beberapa hal yang


(50)

memiliki hubungan erat antara hak-hak isteri terhadap suami. Di antaranya adalah: a. Hak kebendaan, yaitu seperti mas kawin dan uang belanja,

b. Hak bukan benda, yaitu perlakuan yang adil di samping isteri-isteri lainnya apabila suami memiliki isteri lebih dari satu.34

2) Kewajiban isteri atas suami

Diantara kewajiban seorang isteri terhadap suami adalah sebagai berikut: a. Taat dan patuh kepada suami;

b. Pandai mengambil hati suami melalui makanan dan minuman; c. Menata rumah dengan baik;

d. Menghormati keluarga suami;

e. Bersikap sopan, penuh senyum pada suami;

f. Tidak mempersulit suami,dan selalu mendorong suami untuk maju; g. Menerima dengan lapang atas apa yang diberikan suami;

h. Selalu berhemat dan suka menabung;

i. Selalu berhias, bersolek untuk atau di depan suami;

j. Jangan selalu cemburu buta.35

Akan tetapi dalam keterangan lain dijelaskan bahwa kewajiban isteri terhadap suami adalah:

a. Membina rumah tangga dengan sebaik-baiknya sehingga dapat menimbulkan ketenangan pada suami.

34

al- Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pusataka Amani 2002) h.129

35


(51)

b. Mentaati segala perintah suaminya, kecuali dalam hal-hal yang melanggar hukum.

c. Memelihara dan mendidik anaknya dengan baik. d. Memelihara nama baik suami dan keluarga.

e. Pandai menghibur suami apabila sedang mendapat kesulitan.

Dalam Kompilasi Hukum Islam juga telah dijelaskan tentang kewajiban isteri terhadap suaminya pada pasal 83 yang pada intinya adalah kewajiban isteri untuk berbakti terhadap suaminya dan mampu untuk mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan baik. Sedangkan pasal 84 menjelaskan tentang isteri yang tidak patuh terhadap suaminya dianggap nusyuz sehingga suami tidak wajib memberikan nafkah kecuali pada anaknya.

C. Zina dan Status Anak Dalam Keluarga

Sebagai seorang muslim yang taat akan ajarannya tentu akan memposisikan al-Qur’an sebagai pedoman hidup dan bergaul dengan orang lain sehingga tidak tergelincir pada prilaku yang tercela dan dapat merugikan orang lain. Memilih pasangan hidup yang sudah menjadi sunnah rasul dan diperintahkan dalam al-quran tentunya harus melalui pemikiran yang matang agar rumah tangga yang dibangun bisa memberikan ketenangan dan kebahagiaan.

Ada beberapa motifasi yang mendorong seorang laki-laki memilih seorang perempuan untuk menjadi pasangan hidupnya dalam perkawinan begitupula sebaliknya denagan perempuan. Yang pokok diantaaranya adalah: karena kecantikan


(52)

seorang perempuan atau kegagahan seorang laki-laki atau kesuburan daari kediuanya untuk mengharap keturunan; karena kekayaannay; karena kebangsawanannya dan karena keberagamaannay. Di antara alasan yang banyak itu, maka yang utama dijadikan motifasi adalah keberagamaannya.36

Dalam rangka pencarian tersebut tentunya kita berharap agar mendapatkan isteri yang shalihah. Isteri yang dapat menjaga keharmonisan dan kerukunan dalam rumah tangga. Bukan isteri yang memiliki citra negatif atau memiliki akhlak yang buruk. Mencari isteri yang baik demi kebahagiaan berumah tangga tersebut sesuai dengan firman Allah:

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih sayang...." (QS. al- Ruum: 21)

Beberapa ulama fiqh berpendapat bahwa penetapan hukuman zina itu bertahap sebagaimana penetapan pengharaman khamar dan penetapan kewajiban berpuasa. Untuk pertama kalinya larangan zina itu berkaitan dengan teguran resmi yang bernadakan ancaman. Hal ini terungkap dalam firman Allah surat an-Nisa ayat 16 sebagai berikut:

36


(53)

Artinya: “Dan terhadap dua orang di antara kamu yang melakukan perbuatan keji, maka sakitilah mereka. Kemudian jika mereka bertaubat dan memperbaiki dirinya, maka berpalinglah kalian dari keduanya." (QS. An-Nisa:16)

Pada tahap kedua, hukuman ini ditingkatkan dalam bentuk hukuman kurungan rumah (tahanan rumah).37 hal tersebut sebagaimana diterangkan dalam firman Allah surat an-Nisa ayat 15 sebagai berikut:

Artinya: “Dan terhadap para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu yang menyaksikannya. Kemudian apabila mereka telah memberikan persaksiannya. maka kurunglah mereka (wanita) di rumah, sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya." (QS. An-Nisa:15).

Apabila kita bandingkan antara KUHP dengan Hukum Pidana Islam mengenai kasus zina, maka kita dapat melihat banyak perbedaan pandangan, antara lain sebagai berikut:

1. Menurut KUHP, tidak semua pelaku zina diancam dengan hukuman pidana. Misalnya pasal 284 ayat (1) dan (2) KUHP menetapkan ancaman pidana penjara paling lama 9 bulan bagi pria dan wanita yang melakukan zina, padahal salah seorang atau keduanya sudah menikah dan pasal 27 BW berlaku baginya. Ini

37

Sayyid Sabiq. Fiqih Sunah 3, (Alih Bahasa: Ali Nursyid dan Hunaimah), Jakarta: Cempaka Putih, 2008, h.161


(54)

berarti bahwa pria dan wanita yang melakukan zina itu belum/ tidak menikah, tidak dapat diberi sanksi hukuman tersebut di atas, asal kedua-duanya sudah dewasa dan dilakukan atas dasar suka sama suka (tidak ada unsur perkosaan). Apabila ada unsur perkosaan atau wanitanya belum dewasa, dapat dikenakan sanksi hukuman (vide pasal 285 dan 287 (1). Sedangkan menurut Hukum Pidana Islam, semua pelaku zina baik pria atau wanita dapat diancam hukuman had dan pukulan tongkat, tangan atau sepatu. Sedangkan bagi pelaku yang telah menikah diancam dengan hukuman rajam (stoning to death) hal tersebut didasarkan pada sunah Nabi.

2. Menurut KHUP, perbuatan zina hanya dapat dituntut atas pengaduan suami/isteri yang tercemar (vide pasal 284 (2) KUHP); sedangkan Islam tidak memandang zina hanya sebagai klacht delict (hanya bisa dituntut atas pengaduan yang bersangkutan); tetapi dipandangnya sebagai perbuatan dosa besar yang harus ditindak tanpa menunggu pengaduan dari yang bersangkutan.

Sebab zina mengandung bahaya besar bagi pelakunya sendiri dan juga bagi masyarakat, antara lain sebagai berikut:

a. Bisa menimbulkan penyakit kelamin dan ketidakjelasan nasab bagi anak yang dilahirkannya, padahal Islam sangat menjaga kesucian/kehormatan kelamin dan kemurnian nasab. Oleh karena itu Islam membolehkan seorang suami menolak mengakui seoang anak yang dilahirkan isterinya setelah terjadi li'an


(55)

dan tebukti anak tersebut merupakan hasil hubungan gelap isteri dengan pria lain.

b. Penularan penyakit kelamin (veneral disease) yang sangat membahayakan kesehatan suami isteri dan dapat mengancam keselamatan anak yang lahir. Penularan penyakit HIV/AIDS yang sangat berbahaya itu juga bisa disebabkan oleh prilaku zina atau free sex;

c. Keretakan keluarga yang bisa berakibat perceraian karena suami atau isteri yang berbuat serong (zina) akan menimbulkan konflik besar dalam rumah tangganya;

d. Teraniayanya anak-anak yang tidak berdosa sebagai akibat ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab;

e. Pembebanan pada masyarakat dan negara untuk mengasuh dan mendidik anak-anak terlantar yang tidak berdosa itu, sebab apabila masyarakat dan negara tidak mau menyantuni mereka, maka mereka bisa menggangu stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat.38

3. Menurut KUHP, pelaku zina dincam dengan hukuman penjara yang lamanya berbeda (vide pasal 284 (1) dan (2); pasal 285; 286 dan 287 (1), sedangkan menurut hukum pidana Islam pelaku zina diancam dengan hukuman dera, jika ia belum menikah; dan diancam hukuman rajam jika ia telah menikah.

38


(56)

Islam mensyariatkan bentuk hukuman di dunia dalam dua jenis, yaitu an-nashiyah atau hudud yaitu bentuk hukuman yang sudah ada nash-Nya. Sedangkan yang kedua adalah at-Tafwidiyah atau ta’zir yaitu bentuk hukuman yang ditetapkan menurut keputusan hakim.

Adapun tujuan dari hukuman bagi orang yang melakukan zina adalah:

Pertama, mempersiapkan manusia untuk menjadi warga yang baik dan produktif bagi pembinaan kesejahteraan masyarakat. Kedua, Memberikan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Kebahagiaan tersebut akan terwujud apabila ada jaminan atas hak-hak individu dan masyarakat secara adil dan saling berwasiat tentang kebaikan dan mencegah kejahatan.39

Adapun anak zina adalah anak yang lahir di luar pernikahan yang sah, sedangkan pernikahan yang diakui di Indonesia ialah pernikahan yang dilakukan menurut masing-masing agama dan kepercayaanya dan dicatat menurut peraturan undang-undang yang berlaku (vide pasal 2 (1) dan (2) UU No. 1/1974). Pencatatan pernikahan dilakukan oleh pejabat KUA untuk mereka yang melangsungkan pernikahanya menurut hukum Islam; sedangkan untuk mereka yang melangsungkan pernikahannya menurut hukum agamanya dan kepercayaannya selain Islam, maka pencatat pernikahannya dilakukan oleh pegawai pencatat pernikahan pada Kantor Catatan Sipil (vide pasal 2(1) dan (2) PP No. 9/1975 tentang pelaksanaan UU No. 1/1974 tentang pernikahan).

39

Fauzan Al-Anshari dan Abdurrahman Madjrie, Hukum Bagi Pezina dan Penuduhnya


(57)

Berdasarkan ketentuan pasal dan ayat tersebut di atas, maka pernikahan warga negara Indonesia yang dilakukan menurut Hukum Islam, tetapi tidak dicatat oleh pegawai pencatat nikah dari KUA, atau pernikahan yang dicatat oleh pegawai pencatatan sipil, tetapi pernikahan tersebut tidak dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya, maka pernikahan tersebut tidak sah menurut negara dan anak yang lahir diluar pernikahan yang sah itu hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (vide pasal 43 (1) UU No. 1/1974).

Dalam hukum Islam, anak zina itu suci dari segala dosa orang yang menyebabkanya di dunia ini. Hal tersebut sesuai dengan Hadis Nabi Muhammad Saw:

Artinya: "Dari Abi Qurrah R.A. berkata: Bersabda Rasulullah SAW: Semua anak dilahirkan atas kesucian/kebersihan (dari segala dosa/noda) dan pembawaan agama tauhid, sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anaknya menjadi Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi". (HR. Abu Ya'la dan Al-Baihaqi).

Selain hadis di atas, Allah firman dalam surat Al-Najm ayat 38:

Artinya: “Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa-dosa orang lain". (QS. Al-Najm:38)

40

Al- Imam Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Sahih Bukhari(bab kila fi aulaadi al- musyrikiin), (Bairut: Dar el- Kutub 2003)h.465.


(58)

Berlandaskan pada dalil naqli di atas, maka anak zina harus diperlakukan secara manusiawi, diberi pendidikan, pengajaran dan keterampilan yang berguna untuk bekal hidupnya di masyarakat nanti. Yang bertanggung jawab untuk mencukupi kebutuhan hidupnya baik materil atau spiritual adalah terutama ibunya yang melahirkan dan keluarga ibunya. Sebab anak zina hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya.

Apabila ibunya yang melahirkan tidak bertanggung jawab, bahkan sampai membuangnya untuk menutup malu/aib keluarganya, maka siapapun yang menemukan anak (bayi) zina tersebut wajib mengambilnya untuk menyelamatkan jiwanya atau diserahkan kepada Panti Asuhan Anak Yatim agar kehidupannya terjamin.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa negara mempunyai hak dan kewajiban untuk membina dan mengurus anak yatim dan fakir miskin agar mereka bisa hidup layak sebagaimana warga negara yang lainnya.

Mentalitas serta karakter dasar seorang anak, baik bersifat lahiriah maupun batiniah, akan menyerupai mentalitas dan karakter orang tuanya. orang tua adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap masa depan dan pendidikan anaknya dan mengajari mereka untuk selalu berbuat kebaikan dan menjauhi keburukan. Jika lingkungan keluarga dipenuhi dengan cinta, keikhlasan, keimanan, kesucian dan kesalehan, maka seorang anak akan mengikuti kultur lingkungan tersebut.

Kasih sayang dan kebaikan antara orang tua dan anak dalam keluarga dapat menjadi sarana yang baik untuk membimbing mereka. Nasihat yang diberikan dengan


(59)

baik mempunyai pengaruh sangat dalam pada diri seorang anak, dan tak ada yang bisa memberikan nasihat lebih baik ketimbang orang tua mereka.


(60)

BAB III

PROFIL DAN KONDISI SOSIAL, EKONOMI DAN KEAGAMAAN RESPONDEN

A. Profil Masyarakat Desa Mekarsari Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur

Desa Mekarsari merupakan desa yang sudah berdiri sejak 31 tahun silam. Desa tersebut merupakan hasil pemekaran dari Desa Wangunjaya. Adapun Desa Wangunjaya sendiri merupakan hasil pemekaran dari Desa Cikareo Kecamatan Cidaun yang memiliki potensi yang sangat banyak. Desa dengan luas 3.022,00 ha dan berpenduduk sekitar 4.103 jiwa dimana jumlah laki-laki sekitar 1.975 orang dan perempuan 2.310 orang, desa tersebut memiliki prospek ekonomi yang dapat diandalkan dari sumber daya alam yang sangat besar seperti gula merah, beras dan sapu ijuk yang merupakan ciri khas Kecamatan Naringgul.

Desa Mekarsari merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur. Desa Mekarsari terdiri dari lima dusun, tujuh rukun warga dan dua puluh lima rukun tetangga. Kelima dusun tersebut ialah Kampung Mekarmukti, Cikurutug, Ciawitali, Bungbulang dan Kampung Wanasari letaknya berada di sebelah selatan Kabupaten Cianjur. Desa tersebut dibatasi dengan empat desa yaitu Desa Cikareo, Cineang Sukabakti dan Wangunjaya.

Berdasarkan data tahun 2010, penduduk Desa Mekarsari mencapai 4103 jiwa, dengan diklasifikasikan antara laki-laki dan perempuan yang menurut data lebih


(61)

banyak perempuan, dimana laki-laki mencapai 1975 orang dan perempuan sebanyak 2128 orang. masyarakat setempat berkebudayaan Sunda dan menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Hidup dan bekerja secara bergotong-royong di Desa Mekarsari masih sangat kuat.

B. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Keagamaan Masyarakat Desa Mekarsari

1. Kondisi Sosial

Secara sosial masyarakat Desa Mekarsari rata-rata sudah menempuh pendidikan formal, artinya masyarakat setempat sudah tidak buta hurup. Di Desa tersebut terdapat beberapa Sekolah Dasar dan satu Sekolah Menengah Pertama walaupun mereka harus pergi ke Desa tetangga untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Akhir.

Kesehatan di Desa ini sangat kurang mendapat perhatian, hal ini terlihat dengan jumlah tenaga kesehatannya yang tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang ada di Desa Mekarsari. Tenaga kesehatan yang ada di Desa ini terdiri dari 1 dokter umum, 1 bidan, dan 3 perawat. Desa yang berjumlah penduduk lebih dari 4000 jiwa ini tidak memiliki dokter gigi dan dokter-dokter spesialis, sehingga pasien-pasien yang menderita penyakit-penyakit kronis (yang memerlukan perlakuan khusus) tidak dapat ditanggani di sini. oleh karena itu para pasien tersebut harus di rujuk ke rumah sakit yang berada di luar desa ini.

Puskesmas di Desa ini juga hanya melayani pelayanan rawat jalan, hal ini juga terkait mengenai kurangnya fasilitas yang dimiliki oleh Puskesmas. Oleh karena itu


(62)

pasien-pasien yang harus menjalani pengobatan rawat inap harus kembali di rujuk ke rumah sakit.

2. Kondisi Ekonomi

Daerah Mekarsari ini merupakan dataran tinggi dan memiliki keadaan tanah yang subur. Desa ini memiliki beberapa sarana perhubungan seperti kendaraan umum, truk, kendaraan pribadi, dan sepeda motor. Karena sebagian besar lahannya berupa dataran. Masyarakat memanfaatkannya sebagai lahan pertanian/sawah dan perladangan.

Oleh karena itu mayoritas mata pencaharian penduduk desa ini adalah petani dan buruh tani, serta penyadap gula aren. Selain itu sebagian kecil lahan penduduk di desa ini digunakan untuk peternakan dan perikanan meskipun persentasenya sangat sedikit. Disamping itu mereka juga ada yang berprofesi sebagai buruh dan tukang ojeg dan sebagian lainnya membuat industri dalam skala mikro, diantaranya pabrik gula aren, pabrik kolang-kaling, pabrik ketan, dan pabrik kedelai.

3. Kondisi Keagamaan

Masyarakat di Desa Mekarsari Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur ini hampir seluruhnya beragama Islam. Tetapi ada sebagian kecil yang menganut agama Kristen. Di Desa Mekarsari ini terdapat beberapa Musholla dan terdapat pula Madrasah, dengan satu Masjid besar di pusat Desa Naringgul


(63)

C. Profil Responden Desa Mekarsari Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur

Responden terdiri dari 3 (tiga) pasangan suami-istri, mereka masing-masing berbeda dusun akan tetapi masih dalam satu Desa, yaitu:

1. Pasangan Sarman dan Nia (nama disamarkan) mereka berdomisili di Dusun Ciawitali Desa Mekarsari, kediaman mereka terletak di daerah dataran rendah dengan luas areal 145 Ha, dan 742 penduduk;

2. Pasangan Arjun dan Anah (nama disamarkan) mereka berdomisili di dusus Cikurutug Desa Mekarsari, mereka bertempat tinggal di daerah pegunungan dengan luas areal 165 Ha dan 715 penduduk;

3. Pasangan Awo dan Ade (nama disamarkan) mereka berdomisili di dusun Mekarmukti Desa Mekarsari, tempat tinggal pasangan ini terletak di daerah dataran tinggi dengan luas areal 131 Ha dan 641 penduduk.

D. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Keagamaan Responden

a. Kondisi Sosial Responden.

Desa Mekarasri yang merupakan wilayah pedesaan yang terletak di wilayah dataran tinggi dengan suasana yang masih alami, membuat mereka lebih bersikap ramah dan mengenal antara satu sama lainnya. Orang yang bertempat tinggal disekitar rumah responden merupakan kerabat responden tersebut. Mulai dari kakak, adik orang tua serta kerabat yang lainnya dari pihak isteri/suami.


(64)

menempuh pendidikan formal sampai Sekolah Lanjutan Pertama, dengan kata lain, responden mampu mengikuti perkembangan jaman karena sudah tidak buta huruf.

b. Kondisi ekonomi responden

Desa Mekarsari yang merupakan wilayah dataran tinggi dengan konstruksi tanah yang bagus dan subur sehingga memiliki potensi yang menjanjikan apabila dikelola dengan baik. Masuknya teknologi modern ketengah-tengah masyarakat Mekarsari membawa Masyarakat Mekarsari, terutama kaum muda, ke dalam budaya kemodernan. Budaya modern terus merambah dan menjadi budaya baru mengalahkan budaya lokal yang ada, namun tidak semua budaya lokal sudah tersisihkan dan mulai ditinggalkan oleh masyarakat setempat.

Seperti halnya masyarakat yang lain, para responden pun sudah mulai merasakan manfaat teknologi modern, dari banyaknya media informasi yang bisa diakses di daerah tersebut. Sementara penghasilan mereka masih di bawah rata-rata karena hanya mengandalkan bercocok tanam dan menjadi buruh atau tukang ojeg, keadaan tersebut memaksa mereka harus mencari usaha lain yang lebih menghasilkan. Usaha tersebutlah yang dilakukan oleh para responden, agar mereka bisa bangkit dari krisis finansial yang semakin hari beban mereka terasa semakin berat.

Untuk keluar dari jeratan krisis finansial itu, maka beberapa orang perempuan di daerah tersebut mengadu nasib dengan bekerja di luar negeri


(1)

72

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan

Dari beberapa uraian pada bab-bab sebelumnya, dapat diketahui bahwa rumah tangga yang baik adalah timbul dan tumbuh dari cara suami isteri mengambil setiap tindakan dan perbuatan dengan tidak merugikan satu sama lainnya, yang dalam hal ini suami isteri dapat mengerti dan memahami arti dan fungsi keduanya dalam keluarga sesuai dengan kedudukan suami isteri yang sebenarnya. Dalam kaitannya dengan penyebab diterimanya anak hasil zina TKW oleh suaminya di Desa Mekarsari Kecamatan Naringgul Kabupaten Cianjur, terdapat beberapa hal penting yang diperoleh sebagai hasil akhir penelitian yang dilakukan sejak awal hingga akhir sampai tersusunnya skripsi ini, yaitu:

1. Sikap suami terhadap isterinya yang hamil ketika menjadi TKW mereka sangat tidak menerima dengan keadaan isterinya dan suami pun langsung menginterogasi. Kemudian diantara mereka terjadi percekcokan tentang status mereka sebagai suami isteri. Pada awalnya suami tidak begitu perduli terhadap anak dari isterinya, namun seiring berjalannya waktu suami TKW tersebut menerima anaknya. Alasan suami menerima anak dan isterinya yang hamil karena zina diantaranya, yaitu: pertama, karena masih adanya rasa cinta terhadap isterinya. Kedua, menyanggupi menerima anak dan isrinya dengan imbalan dibuatkannya rumah dan dibelikan sepeda motor untuk salah satu sarana mencari


(2)

73

nafkah. Adapun penyebab terjadinya kehamilan pada isterinya, yaitu awal mulanya dengan keterpaksaan melayani laki-laki hidung belang dan selain itu karena diberi uang lebih yang cukup besar dari gaji pokok, karena sebelumya terbayang pasti keluarga akan bahagia jika di akhir nanti pulang dari luar negeri membawa uang yang banyak

2. Status hukum tentang anak dari isteri yang hamil karena zina ketika menjadi TKW adalah: anak tersebut hanya mempunyai satu nasab dari garis ibu saja dan jika anak tersebut perempuan yang menjadi wali ketika pernikahannya adalah wali hakim.

B. Saran- Saran

Adapun penulis melakukan penelitian ini, ingin mengkaji lebih dalam bahwa taidak selamanya kekuatan ekonomi jadi tujuan utama dalam mengarungi bahtera rumah tangga karena ada pengokoh lain yang bisa menguatkan rumahtangga, yaitu iman. Ketika materi jadi tujuan utama maka, yang terjadi adalah kehancuran dalam rumah tanga itu sendiri. Dari kesimpulan yang sudah penulis tuangkan, penulis ingin mengajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Bagi para suami yang isterinya ingin menjadi tenaga kerja wanita agar lebih berhati-hati dalam memberikan izin pada isterinya. Karena kita tidak tahu pasti keadaan tempat isteri bekerja, boleh jadi karena tidak ada kontrol dan keterbatasan pengetahuan itulah isteri jadi terjerumus kedalam jurang kenistaan.


(3)

74

2. Bagi para isteri yang memang menjadi tenaga kerja wanita di luar negeri itu adalah pilihan terakhir, maka mempertebal keimanan adalah jalan terbaik untuk membentengi diri dari cobaan yang akan menimpa.

3. Bagi kementerian Tenaga Kerja yang mengurusi masalah tenaga kerja wanita ke luar negeri, jangan hanya berdalih karena ada pemasukan devisa Negara atau demi keuntungan segelintir orang dengan mudahnya mengirim TKW ke luar negeri, tetapi tidak memperhatikan nasib tenaga kerja wanita tersebut di luar negeri.

4. Untuk pemerintah pusat dalam hal ini kementrian terkait dan koordinasinya dengan pemerintah daerah agar bisa menciptakan lapangan kerja yang lebih luas lagi, dengan cara menarik para investor agar berminat membuat perusahaannya berdiri di Indonesia. Dengan demikian akan menyerap lebih banyak lagi tenaga kerja pibumi. Otomatis pengiriman TKW akan lebih bisa di tekan.

5. Untuk para tokoh ulama atau Dai, agar lebih intens dalam berdakwah. Guna memperkuat masyarakat di bidang kerohanian. Bahkan secara eksplisit membahas hak dan kewajiban dalam berkeluarga.


(4)

75

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran Al-Karim dan Terjmemahannya Departemen Agama RI.

Abdullah, Abdul Gani. Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 1994.

Abi Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Mughirah al-Bukhari T.th Shahih al-Bukhari, Toha Putra, Semarang.

Abidin, Slamet dan Amirudin. Fikih Munakahat. Bandung: Pustaka Setia, 2000. Anshari, al-Fauzan dan Madjri, Abdurrahman. Hukuman Bagi Pezina dan

Penuduhnya, Jakarta: Khairul Bayan,2002

Ali Turkamaeni, Husain. Bimbingan Keluarga dan Wanita Islam, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992 .

Asqolani, al-Ibnu Hajar. Bulughul Maram Min Adillat al- Ahkam, Beirut: Daar el- kutub, 1998.

Anwar, Moh. Fikih Islam, Bandung: Al-Ma’arif 1988.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Bisri, Cik Hasan dkk, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos, 1999

---, Penuntun Penyusunan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi, Jakarta: Logos,1998

Daud Abu, Su a Abu Daud(babu ahri a tazwiji a la yalid i a isaa i) Bairut: Dar el Kutub 2003.

Djazuli, A. Kaidah- Kaidah Fiqih, Jakarta: kencana, 2007.

Farihah, Ipah. Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006. cet. Ke-1.

Fuad Abdul Baqi, Muhammad. al- Lu’lu wa al- Marjan, (Terjemah Salim Bahraesi) Surabaya: bina ilmu, 1995.


(5)

76

Gaos, A. Hasan dan Suhartini,Andewi . Dasar-Dasar Fiqh Jinayah, Bandung: Insan Mandiri, 2005.

Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqh Munakahat, Jakkarta: Kencana, 2003

Hadikusuma, Hilma. Hukum Pernikahan Indonesia (Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama), Bandung: Mandar Maju, 2003.

Hamdani, al-H.S.A, Risalah Nikah (Hukum Pernikahan Islam), Pustaka Amani, Jakarta. 2002

Hakim, Rahmat. Hukum Perkawinan Islam, Bandung : Pustaka Setia, 1999. Juhdi, Masfuk. Masail Fiqhiyyah, Jakarta: Toko Gunung Agung, 1997.

Latif, H.S.M Nasrudin. Ilmu Perkawinan (Problematika Seputar Keluarga Dan Rumah Tangga), Bandung: Pustaka Hidayah, 2001.

Moleong, Lexy J. Metodologi penelitian kualitatif, Bandung : Remaja rosdakarya, 2004.

Rahmat, Jalaluddin. Keluarga Muslim dan Masyarakat Modern, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.

Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid II, Bandung: Trigenda Karya, 1997.

Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunah 3, (Alih Bahasa: Ali Nursyidi dan Hunaimah), Jakarta: Cempaka Putih, 2008.

Salim, Hidayah. Wanita Islam Kepribadian dan Perjuangannya, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.

Soemiyati, Hukum Pernikahan Islam dan Undang-Undang Pernikahan, Yogyakarta: Liberty, 1996.

Soekanto, Soejono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992.


(6)

77

Suhendi, Hendi, dan Wahyu, Ramdani. Pengantar Studi Sosiologi Keluarga, Bandung: Pustaka Setia, 2000.

Syarifudin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2009. Husain Abi al-Muslim, Sahih Muslim, (Istihbabi an-Nikah), Bairut: Dar el- Kutub 2003.

Zakariyya Al- Imam al- Hafidz al- Faqih Ibnu, Riyadu as-Salihiin, Surabaya: Dar al- Ilmi tt.