BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Adanya pelaksanaan reformasi perpajakan nasional atau tax reform pada tahun 1983, penerimaan negara dari sektor pajak semakin meningkat. Oleh karena
itu akan menjadi hal yang sangat menarik sekali untuk dibahas tentang perpajakan saat ini. Betapa tidak, pajak adalah sebagai salah satu unsur penerimaan negara
yang sangat besar untuk kepentingan pembangunan nasional disamping penerimaan dalam negeri lainnya. Disamping itu penerimaan dari sektor pajak ini
merupakan sumber pendanaan yang sangat potensial karena pemerintah dapat mengumpulkan dana-dana dari masyarakat secara cepat melalui pemungutan atau
pemotongan pajak berdasarkan undang-undang yang berlaku. Tingkat kepatuhan Wajib Pajak di Indonesia walaupun dari tahun ke tahun
terus mengalami peningkatan, namun dinilai masih sangat rendah. Hal ini dikarenakan oleh adanya rasa keengganan dan ketidakinginan para Wajib Pajak
dalam melaporkan kewajiban pajaknya dengan konsekuensi secara benar masih sangat tinggi. Kondisi ini makin diperparah dengan tingkat kesadaran wajib pajak
akan pengetahuan peraturan perpajakan yang juga masih sangat kurang. Hal ini menjadi suatu kendala dan potensi besar yang harus disikapi oleh Direktorat
Jenderal Pajak sebagai instansi pemerintah yang bertanggung jawab dan mencari penanggulangannya dalam menangani perpajakan. Jika kesadaran Wajib Pajak
dapat ditingkatkan, maka penerimaan pajak pun diharapkan akan meningkat 1
dengan pesat karena tingkat kepatuhan Wajib Pajak sangat memegang peranan penting dalam menentukan tingkat realisasi penerimaan pajak.
Untuk menanggulangi masalah-masalah tersebut, Direktorat Jenderal Pajak yang berada dibawah Departemen Keuangan telah melakukan usaha-usaha
baik yang bersifat preventif maupun represif. Usaha-usaha tersebut terutama adalah penyuluhan pajak, pelayanan pajak, dan pemeriksaan pajak yang
merupakan alternatif tindakan terakhir. Namun dengan kondisi tingkat kesadaran yang masih rendah itu, Indonesia dengan sengaja memakai sistem self assessment,
karena sistem pemungutan self assessment ini sendiri memberikan kepercayaan penuh kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan
melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang. Dengan cara ini maka kesadaran yang rendah dalam membayar pajak bisa ditingkatkan sehingga tercapainya
penerimaan pajak optimal, yakni berimbangnya tingkat penerimaan pajak aktual dengan penerimaan pajak potensial, dengan kata lain tidak ada selisih antara
penerimaan aktual dengan penerimaan pajak potensial, atau sering disebut sebagai tax gap
yang mencerminkan tingkat kepatuhan membayar pajak atau tax compliance
. Penerimaan pajak meliputi penerimaan dari pajak-pajak langsung dan
penerimaan dari pajak-pajak tidak langsung, namun seringkali negara-negara yang sedang berkembang terlalu tergantung pada penerimaan pajak-pajak tidak
langsung. Hal ini terjadi karena tingkat pendidikan yang masih rendah. Pada hakekatnya pajak tidak langsung ini sudah tidak tepat lagi untuk diterapkan pada
masa sekarang dikarenakan kurang mencerminkan keadilan bagi Wajib Pajak.
2
Oleh karena itu, di Indonesia diberlakukan sistem self assessment yang diharapkan dapat melaksanakan administrasi perpajakan dengan rapi, terkendali, sederhana
dan mudah untuk dipahami oleh masyarakat Wajib Pajak. Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Antariksa Budileksana
yang berjudul Pemeriksaan Pajak Sebagai Upaya Untuk Mendorong Kepatuhan Wajib Pajak berkesimpulan bahwa berdasarkan sistem self assessment Wajib
Pajak menghitung, membayar dan melaporkan kewajibannya perpajakannya. sebagai konsekuensi logis dari sistem tersebut, Direktorat Jenderal Pajak
melakukan pemeriksaan dengan tujuan utama untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka meningkatkan kepatuhan Wajib
Pajak. Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lea Endang
Wahyuningsih yang berjudul Keefektifan Pengawasan Pembayaran PPh Pasal 25 dan Pengaruhnya Terhadap Penerimaan Pajak KPP Kebayoran Lama yang
berkesimpulan bahwa penerimaan PPh Pasal 25 tahun 2000 untuk Wajib Pajak mengalami peningkatan sebesar 2,28 dari 7,33 pada tahun 2000 menjadi
10,21 pada tahun 2001. Dalam penelitian yang lain yang dilakukan oleh Sunarni yang berjudul
Pelaksanaan Pengawasan Pembayaran Pajak PPh Pasal 25 Badan dalam Upaya Meningkatkan Kepatuhan Wajib Pajak di KPP Kebayoran Lama berkesimpulan
bahwa tingkat kepatuhan pembayaran PPh Pasal 25 Badan masih sangat rendah, hal ini dapat dilihat dari rata-rata tingkat kepatuhan pembayaran PPh Pasal 25
pada tahun 2001 yaitu sebesar 52,29 dan pada tahun 2002 sebesar 57,54,
3
walaupun mengalami peningkatan, namun tingkat kepatuhan masih dikatakan sangat rendah karena belum memenuhi target atau rencana yang ditetapkan.
John Hutagaol dalam jurnal berjudul Self Assessment: Implementasi dan Kendalanya, menjelaskan bahwa dalam sistem self assessment, peran serta
masyarakat di dalam pemenuhan kewajiban perpajakan sangat penting dan bahkan menjadi faktor penentu di dalam keberhasilan pengumpulan pajak. Agar Wajib
Pajak membayar pajak sesuai ketentuan maka diperlukan alat monitoring yaitu data.
Dalam penelitian yang sama juga dilakukan oleh Waluyo yang berjudul Perhitungan PPh Pasal 25, yaitu menyebutkan bahwa:
1. Secara yuridis dasar hukum pembayaran pajak penghasilan Pasal 25
adalah undang-undang no.17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan yang menyebutkan angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus
dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan. Aturan pelaksanaannya sesuai dengan keputusan Menteri Keuangan No.
522KMK.042002 sebagaimana telah diubah dengan keputusan Menteri Keuangan No.84KMK.042002.
2. Besarnya angsuran pajak tersebut yaitu sebesar pajak penghasilan yang
terutang menurut SPT tahunan pajak penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
a. Pajak penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 dan pasal 23 serta pajak penghasilan yang dipungut sebagaimana
dimaksud dalam pasal 22.
4
b. Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 24 dibagi 12 atau
banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak. 3.
Perlu diketahui bahwa dalam SPT Tahunan juga harus diisi butir pajak penghasilan Pasal 25 yaitu : Angsuran pajak dalam tahun berjalan dalam
hal-hal tertentu dapat diimplementasikan sebagai berikut: a. Dalam hal tertentu seperti telah diatur pada Pasal 25 ayat 6 yang
memberikan kewenangan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk menentukan perhitungan besarnya angsuran pajak tahun berjalan
dalam hal-hal tertentu. Salah satu hal tertentu tersebut antara lain Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian.
b. Besarnya PPh Pasal 25 dalam wajib pajak berhak atas kompensasi kerugian yaitu sebesar pajak penghasilan yang dihitung dengan dasar
jumlah penghasilan neto menurut SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lalu setelah dikurangi kompensasi kerugian dikurangi dengan PPh
yang dibayar atau terhutang di luar negeri yang boleh dikreditkan dibagi 12 atau banyak bulan dalam bagian tahun pajak.
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, maka skripsi ini diberi judul
“Pengaruh Penerapan Sistem Self Assessment terhadap Optimalisasi Penerimaan PPh Pasal 25 Wajib Pajak Badan Studi Kasus pada KPP
Pratama Jakarta Kramat Jati.”
5
B. Perumusan Masalah