Komposisi dari keanekaragaman vegetasi bawah, sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti cahaya, kelembaban, pH tanah, tutupan tajuk dari pohon di
sekitarnya, dan tingkat kompetisi dari masing-masing jenis. Pada komunitas hutan hujan, penetrasi cahaya yang sampai pada lantai hutan umumnya sedikit sekali. Hal
ini disebabkan terhalangnya cahaya yang masuk ke dasar hutan oleh lapisan tajuk pohon disekitarnya. Ini menyebabkan tumbuhan bawah pengisi lantai hutan kurang
mendapat sinar, sedangkan sinar matahari sangat dibutuhkan untuk perkembangan dan pertumbuhan Gusmalyna, 1983.
Tumbuhan bawah berfungsi sebagai penutup tanah yang menjaga kelembaban sehingga proses dekomposisi dapat berlangsung lebih cepat, proses dekomposisi yang
cepat dapat menyediakan unsur hara untuk tanaman pokok, siklus hara dapat berlangsung sempurna dan guguran daun yang jatuh sebagai serasah akan
dikembalikan lagi ke pohon dalam bentuk unsur hara yang sudah diuraikan oleh bakteri Irwanto, 2006.
2.6 Sapling
Menurut Kadri et al., 1992 dalam Indriyanto 2008, sapihan atau pancang saplings, yaitu pohon yang tingginya lebih dari 1,5 meter dengan diameter batang
kurang dari 10 cm.
Kelimpahan vegetasi bawah di hutan pegunungan berbeda seiring bertambahnya ketinggian. Hal ini dipengaruhi oleh perubahan struktur pohon
pembentuk tajuk yang semakin ke atas akan semakin pendek, tajuk rata, batang dan cabang berlekuk, daun tebal dan kecil. Selain itu dengan bertambahnya ketinggian,
terjadi perubahan suhu yang drastis pula. Arus angin yang menuju ke arah pegunungan menyebabkan terjadinya pengembunan sehingga suhu di pegunungan
akan turun Anwar et al., 1984.
Universitas Sumatera Utara
2.7 Struktur dan Komposisi Hutan
Irwanto 2006 membagi struktur vegetasi menjadi lima berdasarkan tingkatannya, yaitu: fisiognomi vegetasi, struktur biomassa, struktur bentuk hidup,
struktur floristik, struktur tegakan.
Komposisi hutan merupakan penyusun suatu tegakan atau hutan yang meliputi jumlah jenis ataupun banyaknya individu dari suatu jenis tumbuhan Wirakusuma,
1980. Komposisi hutan sangat ditentukan oleh faktor-faktor kebetulan, terutama waktu-waktu pemancaran buah dan perkembangan bibit. Pada daerah tertentu
komosisi hutan berkaitan erat dengan ciri habitat dan topografi Damanik et al., 1992.
Menurut Irwanto 2006, struktur vegetasi terdiri dari 3 komponen, yaitu: 1. Stuktur vegetasi berupa vegetasi secara vertikal yang merupakan diagram profil
yang melukiskan lapisan pohon, tiang, sapihan, semai, dan herba penyusun vegetasi diatas.
2. Sebaran, horizontal jenis-jenis penyusun yang menggambarkan letak dari suatu individu terhadap individu lain
3. Kelimpahan abudance setiap jenis dalam suatu komunitas.
Pada ketinggian sekitar 2.000 meter mulai terlihat perubahan tajuk semakin rendah. Pohon yang menjulang di atas lapisan tajuk jadi menjarang dan diameter
batang pohonnya makin mengecil Rifai, 1993. Serta ketinggian pohon berkurang mulai dari kaki gunung sampai hutan pegunungan bawah dan hutan pegunungan atas.
Dalam hutan berikutnya, pohon-pohon menjadi kecil dan biasanya banyak terdapat epifit. Hutan ini selanjutnya diikuti oleh hutan kerdil atau hutan lumut yang rapat dan
pohon-pohon banyak ditumbuhi oleh lumut-lumut kerak. Hutan kerdil ini kemudian menjadi lebih rendah lagi dan diikuti oleh padang rumput pegunungan tinggi
Resosoedarmo et al., 1992.
Pada hutan tropis terdapat pepohonan yang tumbuh membentuk beberapa stratum tajuk. Stratifikasi yang terdapat pada hutan hujan tropis dapat dibagi menjadi
lima stratum berurutan dari atas ke bawah, yaitu stratum A, Stratum B, stratum C,
Universitas Sumatera Utara
stratum D, dan stratum E Arief, 1994; Ewusie, 1990; Soerianegara dan Indarwan, 1982. Masing-masing stratum diuraikan sebagai berikut:
1. Stratum A A-storey, yaitu lapisan tajuk kanopi hutan paling atas yang
dibentuk oleh pepohonan yang tingginya lebih dari 30 m. Pada umumnya tajuk pohon pada stratum tersebut lebar, tidak bersentuhan kearah horizontal
dengan tajuk pohon lainnya dalam stratum yang sama, sehinga stratum tajuk itu berbentuk lapisan diskontinu. Pohon pada stratum A umumnya berbatang
lurus, batang bebas cabang tinggi, dan bersifat intoleran tidak tahan naungan. Menurut Ewusie 1984, sifat khas bentuk-bentuk tajuk pohon tersebut sering
digunakan untuk identifikasi spesies pohon dalam suatu daerah. 2.
Stratum B B-storey, yaitu lapisan tajuk kedua dari atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya 20-30 m. Bentuk tajuk pohon pada stratum B
membulat atau memanjang dan tidak melebar seperti pada tajuk pohon di stratum A. Jarak antar pohon lebih dekat, sehingga tajuk-tajuk pohonnya
cenderung membentuk lapisan tajuk yang kontinu. Spesies pohon yang ada, bersifat toleran tahan naungan atau kurang memerlukan cahaya. Batang
pohon banyak cabangnya dengan batang bebas cabang tidak begitu tinggi. 3.
Stratum C C-storey, yaitu lapisan tajuk ketiga dari atas yang dibentuk oleh pepohonan yang tingginya 4-20 m. Pepohonan pada stratum C mempunyai
bentuk tajuk yang berubah-ubah tetapi membentuk suatu lapisan tajuk yang tebal. Selain itu, pepohonannya memiliki banyak percabangan yang tersusun
dengan rapat, sehingga tajuk pohon menjadi padat. Pada stratum C, pepohonan juga berasosiasi dengan berbagai populasi epifit, tumbuhan memanjat, dan
parasit Vickery, 1984. 4.
Stratum D D-storey, yaitu tajuk paling bawah lapisan kelima dari atas yang dibentuk oleh spesies tumbuhan semak dan perdu yang tingginya 1-4 m. Pada
stratum itu juga terdapat dan dibentuk oleh spesies pohon yang masih muda atau dalam fase anakan seedling, terdapat palma-palma kecil, herba besar,
dan paku-pakuan besar. 5.
Stratum E E-storey, yaitu tajuk paling bawah lapisan kelima dari atas yang dibentuk oleh spesies-spesies tumbuhan penutup tanah Ground Cover yang
tingginya 0-1 m. Keanekaragaman spesies pada stratum E lebih sedikit dibandingkan dengan stratum lainnya. Meskipun demikian, spesies-spesies
Universitas Sumatera Utara
tumbuhan bawah yang sering ada, yaitu anggota family Commeliaceae, Zingiberaceae, Acanthaceae, Araceae, dan Marantaceae. Pada stratum ini,
tumbuhan paku dan Selaginella juga sangat dominan, rerumputan hampir tidak ada tetapi beberapa spesies yang berdaun lebar kadang-kadang ada, misalnya
spesies Olyra latifolia, Leptaspis cochleata, Mapania spp., dan Hypolytrum spp.
Universitas Sumatera Utara
BAB 3
BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat