2.2 Hutan Pegunungan
Anwar et al., 1984, menyatakan bahwa hutan pegunungan terbagi ke dalam zona-zona hutan, seiring dengan pertambahan ketinggian. Ketinggian rata-rata tempat
dari berbagai tipe hutan pegunungan di Sumatera adalah sebagai berikut ; 0-1200 m dpl
: Hutan dataran rendah 1200-2100 m dpl
: Hutan pegunungan bawah 2100-3000 m dpl
: Hutan pegunungan atas ≥ 3000 m dpl
: Subalpin
Di hutan pegunungan terdapat zona-zona vegetasi, dengan jenis, struktur dan penampilan yang berbeda. Zona-zona vegetasi tersebut dapat dikenali di semua
gunung di daerah tropis meskipun tidak ditentukan oleh ketinggian saja. Di gunung yang rendah, semua zona vegetasi lebih sempit, sedangkan di gunung yang tinggi,
atau di bagian tengah suatu jajaran pegunungan, zona-zona itu lebih luas MacKinnon et al., 2000.
Bentuk suatu vegetasi merupakan hasil interaksi faktor-faktor lingkungan seperti: bahan induk, topografi, tanah, iklim, organisme-organisme hidup dan waktu.
Waktu di sini dimaksudkan sebagai faktor sejarah pengelolaan atau umur dari lingkungan tersebut. Interaksi dari faktor-faktor lingkungan tersebut dapat digunakan
sebagai indikator dari lingkungan atau komponen-komponen penduga sifat lingkungan yang bersangkutan. Vegetasi adalah faktor atau komponen lingkungan yang paling
mudah digunakan untuk keperluan tersebut, sebab vegetasi dengan sifatnya yang inmobil sangat peka terhadap faktor-faktor lingkungan Setiadi et al., 1989.
2.3 Pengaruh Iklim
Perbedaan fisik dan biologi antara hutan dataran rendah yang lembab dan panas dengan habitat pegunungan yang terbuka menentukan jenis-jenis yang terdapat disana.
Semakin tinggi suatu tempat, iklim semakin sejuk dan lebih lembab MacKinnon et al., 2000. Hutan yang tumbuh dan berkembang, tidak terlepas dari faktor-faktor yang
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhinya, terutama lingkungan. Faktor-faktor tersebut menentukan variasi tumbuhan hutan, di mana hal ini juga berhubungan dengan keadaan atmosfer yang
ditentukan oleh sinar matahari, suhu, angin dan kelembaban. Di samping itu, suhu akan menurun mengikuti ketinggian tempat. Di daerah tropika misalnya suhu akan
turun 0.40°C setiap kenaikan ketinggian tempat 100 meter, hal ini menyebabkan terjadi pembagian zona dan spesies yang berubah seperti pada daerah iklim sedang
Arief, 1994.
Indonesia berdasarkan letak garis lintangnya termasuk daerah beriklim tropis. Namun, posisinya di antara dua benua dan di antara dua samudera membuat iklim
kepulauan ini lebih beragam Irwanto, 2006. Berdasarkan perbandingan jumlah bulan kering terhadap jumlah bulan basah per tahun, Indonesia mencakup tiga daerah iklim,
yaitu:
•
Daerah tipe iklim A sangat basah yang puncak musim hujannya jatuh antara Oktober dan Januari, kadang hingga Februari. Daerah ini mencakup Pulau
Sumatera; Kalimantan; bagian barat dan tengah Pulau Jawa; sisi barat Pulau Sulawesi.
•
Daerah tipe iklim B basah yang puncak musim hujannya jatuh antara Mei dan Juli, serta Agustus atau September sebagai bulan terkering. Daerah ini
mencakup bagian timur Pulau Sulawesi; Maluku; sebagian besar Papua.
•
Daerah tipe iklim C agak kering yang lebih sedikit jumlah curah hujannya, sedangkan bulan terkeringnya lebih panjang. Daerah ini mencakup Jawa
Timur; sebagian Pulau Madura; Pulau Bali; Nusa Tenggara; bagian paling ujung selatan Papua.
Selain faktor suhu di atas hutan pegungan juga dipengaruhi oleh oleh keawanan, kelembapan nisbi, embun beku, dan radiasi ultra violet. Telah diduga
bahwa radiasi ultra violet pada gunung-gunung di daerah tropik adalah yang paling kuat dibandingkan dengan daerah manapun di atas permukaan bumi. Hal tersebut
disebabkan oleh rendahnya kadar lapisan ozon pada lapisan stratosfer yang menyerap sinar ultra violet dekat khatulistiwa, dan atmosfer pada ketinggian rendah yang lebih
Universitas Sumatera Utara
keruh dan lebih padat sehingga lebih mampu untuk menyerap dan memantulkan radiasi Damanik et al., 1992.
2.4 Analisis Vegetasi