15
C. Waktu Pelaksanaan Hari Raya Idul Fitri
Pelaksanaan Hari Raya Idul Fitri dilaksanakan secara berulang dalam setiap tahunnya, namun membutuhkan sebuah sistem penanggalan untuk
menentukan hari terlaksananya Hari Raya Idul Fitri. Metode yang pertama adalah dengan menggunakan metode hisab dalam menentukan hilal
13
yang sebenarnya dapat dihitung secara akurat dengan perhitungan-perhitungan
astronomi. Sedangkan yang kedua adalah dengan menggunakan menggunakan metode rukyat yang selalu mengacu secara harfiah pada kebiasaan-kebiasaan
Nabi dalam menentukan awal Ramadhan dan 1 Syawal. Secara harfiah hisab diartikan dengan perhitungan
14
, dalam Al-Quran kata hisab banyak digunakan untuk menjelaskan hari perhitungan Yaumul
Hisab di mana Allah akan menghitungkan dan menimbang semua amal dan
dosa manusia dengan adil. Kata hisab dalam Al-Quran sebanyak 37 kali yang semuanya berarti perhitungan dan tidak memiliki ambiguitas arti.
Pengertian kata hisab ini untuk pengertian yang umum yang kemudian kita lanjutkan dengan dasar hukum yang menggunakan kata hisab dalam cara
menentukan hilal yang akan digunakan untuk menentukan awal bulan dalam kalender Islam
15
.
13
Menurut ahli linguistik Arab, hilal didefinisikan dengan sinar bulan pertama, ketika orang melihat dengan nyata bulan sabit pada awal sebuah bulan
. Kata hilal bisa berakar dari Halla
dia muncul dan juga bisa dari Uhilla dia kelihatan yang kedua-duanya merupakan proses menyaksikan. Sedangkan menurut ahli linguistik lainnya, hilal berarti dengan bulan yang khusus
kelihatan pada hari pertama dan kedua dalam sebuah bulan . Dalam penjelasan ini jelaslah bahwa
ada proses melihat secara visual dalam kaitan dengan bulan sabit hilal.
14
Farid Ruskanda, 100 Masalah Hisab dan Rukyat : Telaah Syariah, Sains dan Teknologi
Jakarta: Gema Insani, 1996, h. 29.
15
Tono Saksono, Mengkompromikan Rukyat dan Hisab Jakarta: PT. Amythas Publicita, 2007, h. 120.
16
Sedangkan pengertian rukyat secara harfiah adalah melihat
16
dan arti yang paling umumnya adalah melihat secara visual melihat dengan mata
kepala. Para ulama memberikan fatwa bahwa melihat secara visual harus dengan mata kepala telanjang dan tidak diperbolehkan menggunakan alat
bantu seperti teropong binekuler dan semacamnya, karena Nabi juga melakukannya dengan mata telanjang. Dan pada zaman Rasulullah, cara-cara
perhitungan permulaan bulan berdasarkan perhitungan astronomi memang belum berkembang baik, sehingga cara melihat dengan visual adalah sarana
dan metode yang paling mungkin dan paling mudah dilakukan sesuai dengan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan saat itu
17
. Sehingga sebagaimana telah ditentukan oleh Rasulullah SAW, penentuan Ramadhan
dan 1 Syawal adalah dengan menggunakan jalan rukyat melihat hilal atau dengan menghitung bilangan bulan Sya’ban yang digenapkan tigapuluh hari,
apabila hilal tidak tampak
18
. Dalam Al-Quran dikatakan tentang rukyat, namun hanya kutipan ayat
saja yang ditafsirkan sebagai dalil tentang rukyat, namun hal tersebut sudah cukup selain itu pula mengacu kepada kebiasaan Nabi pada waktu itu.
Pemerintah Republik Indonesia mempunyai hak dan wewenang untuk menetapkannya, khususnya masalah yang menyangkut dengan pelaksanaan
16
Farid Ruskanda, h. 41.
17
Tono Saksono, h. 184.
18
Achmad Suyuti, Nuansa Ramadhan, Puasa dan Lebaran Jakarta: Pustaka Amani, 1996, h. 10. kemudian, satu hal yang mesti diperhatikan bahwa sesuai dengan sunatullah, rukyat
hilal tidak mungkin sama di seluruh dunia. Sehingga bagaimana pun penyeragaman awal
ramadhan dan 1 syawal untuk seluruh dunia, jelas tidak mungkin diwujudkan, bahkan bisa dikategorikan menyimpang dari sunnah Rasulullah. Penyeragaman hanya mungkin diwujudkan
dalam satu wilayah atau negeri tertentu.
17
syariat Islam. Khusus untuk penetapan waktu pelaksanaan syariat Islam, pemerintah harus membentuk badan hisab-rukyat yang beranggotakan para
ulama dari Majelis Ulama Indonesia, Ormas-Ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan Persis, para pakar dari IAIN, praktisi atau tenaga
ahli dalam hisab-rukyat, staf Planetarium dan Observatorium Jakarta, staf Badan Meteorologi dan Geofisika, serta para pejabat Departemen Agama RI.
Keputusan akan diambil dalam suatu Sidang Itsbat, sedangkan Departemen Agama berfungsi sebagai fasilitator. Dalam merumuskan
keputusannya, Sidang Itsbat mengevaluasi semua data, baik data hisab maupun kesaksian rukyat. Kesaksian rukyat yang datang dari seluruh penjuru
Indonesia disahkan oleh Hakim Agama dari Pengadilan Agama sebelum disampaikan ke Jakarta pada Sidang Itsbat. Tidak sedikit pihak yang langsung
menyerahkan laporan hasil rukyat mereka kepada cabang-cabang Ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, Persis dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.
Biasanya, laporan ini dijadikan bahan pertimbangan oleh perwakilan Ormas Islam bersangkutan di dalam Sidang Itsbat.
Setelah Sidang Itsbat mencapai keputusan, maka Pemerintah dan Departemen Agama mengukuhkan lewat surat keputusan Menteri Agama
melalui Televisi. Memang tidak semua keputusan disepakati secara bulat, namun dengan asas musyawarah dan mufakat, hasil keputusan Sidang Itsbat
selalu berhasil dirumuskan demi kemaslahatan umat Islam Indonesia dan kecepatan waktu pelaksanaan syariat Islam
19
.
19
Farid Ruskanda, h. 91-92.
18
D. Tata Cara Pelaksanaan Hari Raya Idul Fitri