Analisis Pengaruh Inflasi Terhadap Tingkat Pengangguran Di Sumatera Utara.

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

SKRIPSI

ANALISIS PENGARUH INFLASI TERHADAP TINGKAT

PENGANGGURAN DI SUMATERA UTARA

D I S U S U N OLEH

NAMA : RIZA ISKAPRASANTI NIM : 030523065

JURUSAN : EKONOMI PEMBANGUNAN

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk

Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi


(2)

DAFTAR ISI

RINGKASAN ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Hipotesis ... 3

1.4. Tujuan Penelitian ... 4

1.5. Manfaat Penelitian ... 4

BAB II. URAIAN TEORITIS ... 5

2.1. Pembangunan Ekonomi ... 5

2.2. Inflasi ... 6

2.3. Kebijakan Moneter Dalam Pembangunan ... 19

2.4. Pengangguran ... 23

2.5 Hubungan Inflasi dengan Pengangguran... 29

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 35

3.1. Ruang lingkup Penelitian ... 35

3.2. Jenis dan sumber Data ... 35


(3)

3.4. Pengolahan data ... 36

3.5. Model analisis ... 36

3.6. Test Goodnes Of Fit ( Uji Kesesuaian ) ... 37

3.7. Definisi Operasional... 38

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39

4.1. Deskriptif Daerah Penelitian ... 39

4.2. Hasil Penelitian ... 44

4.3. Pembahasan ... 48

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

5.1. Kesimpulan ... 56

5.2. Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 59 LAMPIRAN


(4)

DAFTAR TABEL

No Judul tabel Halaman

Tabel 1 Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur

danJenis Kelamin Tahun 2006 ... 43

tabel 2 Perkembangan Inflas Dan TingkatPengangguran (%) Di Sumatera UtaraTahun 1986 s/d Tahun 2006 ... 46

Tabel 3 Deskriptive statistics ... 51

Tabel 4 Coefficients ... 52


(5)

DAFTAR GAMBAR

No Nama Gambar Halaman

Gambar 1 Inflasi Tarikan Permintaan ... 11

Gambar 2 Inflasi Dorongan Biaya ... 12

Gambar 3 Kurva Philips ... 29

Gambar 4 Natural Rate Of Unemployment ... 31

Gambar 5 Scatterplot antara inflasi terhadap tingkat Pengangguran ... 55


(6)

RINGKASAN

Salah satu kendala yang dihadapi oleh bangsa Indonesia khususnya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara adalah tingkat inflasi. Salah satu penyebab tingginya tingkat inflasi adalah keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak, pengangguran juga menjadi masalah yang harus diperhatikan oleh pemerintah untuk terciptanya pertumbuhan ekonomi yang baik.

Penelitian ini meliputi hasil penelitian yang dilakukan melalui data primer dan data skunder yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat inflasi terhadap tingkat pengangguran di Sumatera Utara.

Metodelogi yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui tinjauan pustaka dan tinjauan secara langsung terhadap objek, adapun metode analisis yang di gunakan adalah metode regresi linier sederhana. Dan hasil penelitian yang diperoleh bahwa ada peran nyata inflasi terhadap tingkat pengangguran di Sumatera Utara.


(7)

RINGKASAN

Salah satu kendala yang dihadapi oleh bangsa Indonesia khususnya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara adalah tingkat inflasi. Salah satu penyebab tingginya tingkat inflasi adalah keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak, pengangguran juga menjadi masalah yang harus diperhatikan oleh pemerintah untuk terciptanya pertumbuhan ekonomi yang baik.

Penelitian ini meliputi hasil penelitian yang dilakukan melalui data primer dan data skunder yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh tingkat inflasi terhadap tingkat pengangguran di Sumatera Utara.

Metodelogi yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui tinjauan pustaka dan tinjauan secara langsung terhadap objek, adapun metode analisis yang di gunakan adalah metode regresi linier sederhana. Dan hasil penelitian yang diperoleh bahwa ada peran nyata inflasi terhadap tingkat pengangguran di Sumatera Utara.


(8)

BAB I

P E N D A H U L U A N

1.1. Latar Belakang

Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang terjadi terus-menerus untuk menaikkan tingkat pendapatan per kapita dan berlangsung dalam jangka panjang. Dengan cara ini akan mewujudkan peningkatan dalam kegiatan ekonomi dan taraf kesejahteraan masyarakat dari satu tahap pembangunan ke tahap berikutnya.

Peningkatan kegiatan ekonomi atau sering disebut tingkat pertumbuhan ekonomi akan tercermin pada persentase perubahan Produk Domestik Bruto (PDRB) atau “Gross Domestik Produk (PDB)”, yang merupakan hasil produksi barang dan jasa dari tahun ke tahun dalam suatu negara.

Salah satu kendala yang dihadapi oleh bangsa Indonesia khususnya Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam pelaksanaan pertumbuhan ekonominya adalah tingkat inflasi. Salah satu hasil penyebab tingginya tingkat inflasi di Indonesia khususnya di Sumatera Utara adalah keputusan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), telah membuahkan hasil yaitu melonjaknya laju inflasi mencapai 8,7 persen pada Oktober tahun 2005. Akibatnya, laju inflasi Januari-Oktober 2005 mencapai 15,65 persen, sedangkan laju inflasi year-on-year (Oktober 2005 terhadap Oktober 2004) sebesar 17,89 persen.

Ada tiga yang menyebabkan laju inflasi menjadi tinggi dan akan terulang kembali. Pertama, Pendekatan yang dilakukan pemerintah dalam menekan laju inflasi adalah pendekatan moneter dan pengetatan fiskal.


(9)

Kedua, fungsi instrumentasi. Terjadinya lonjakan inflasi menggambarkan telah terjadi kekacauan hukum pasar, yaitu hukum permintaan dan penawaran. Artinya, permintaan dan penawaran tidak mencerminkan keadaan yang sesungguhnya.

Ketiga, kesalahan dalam melihat dampak inflasi itu sendiri. Kenaikan tingkat suku bunga yang diterapkan BI jelas menyebabkan permintaan akan uang berkurang atau kegiatan investasi berkurang. Ini artinya produksi melemah. Ini menyebabkan pengangguran dan mengakibatkan semakin banyaknya jumlah penduduk miskin.

Pembangunan ekonomi yang mementingkan produksi sehingga dapat meningkatkan PDRB. Tapi harus disadari bahwa tingkat inflasi yang tinggi di satu sisi dan diikuti pula dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan struktur umur muda sangat mempengaruhi penyediaan lapangan kerja di masa-masa mendatang, karena salah satu aspek peningkatan produksi justru mengesampingkan perluasan kesempatan kerja yang menjadi sasaran penting bagi pembangunan jangka panjang.

Propinsi Sumatera Utara khususnya, menurut data statistik yang bersumber dari Badan Pusat Statistik Sumatera Utara, diperoleh bahwa struktur umur penduduk di Sumatera Utara tergolong usia muda. Dengan melihat kepada pertumbuhan angkatan kerja periode tahun 1991–1995 sebesar 2,9% menjadi 3,2% per tahun pada periode tahun 1995–2000, berarti terdapat peningkatan sebesar 0,3%. Sedangkan pertumbuhan kesempatan kerja pada periode tahun 2000–2005 sebesar 2,97% per tahun. Hal ini berarti laju pertumbuhan angkatan kerja lebih besar daripada laju pertumbuhan kesempatan kerja yang tersedia pada periode tahun yang sama.

Dengan terbatasnya perluasan kesempatan kerja maka angka pengangguran juga semakin terbuka dan hal tersebut dapat berakibat secara negatif apabila dihubungkan


(10)

dengan tingkat pemenuhan kebutuhan masyarakat itu sendiri khususnya para pencari kerja.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulisan Skripsi ini diberi judul “Analisis Pengaruh Inflasi Terhadap Tingkat Pengangguran di Sumatera Utara”.

1.2. Perumusan Masalah

Dalam suatu penelitian maka perihal masalah adalah suatu hal yang sangat penting, hal ini disebabkan dengan adanya identifikasi masalah maka akan dapat diberikan gambaran permasalahan awal yang ditemukan sebagai dasar pelaksanaan penelitian tersebut dilakukan.

Berdasarkan penelitian pendahuluan masalah dapat dirumuskan sebagai berikut : “Apakah inflasi memberikan pengaruh positif atau negatif terhadap tingkat pengangguran di Provinsi Sumatera Utara”.

1.3. Hipotesis

Hipotesis dapat didefinisikan sebagai berikut: “Hipotesis adalah perumusan jawaban sementara terhadap masalah yang dimaksud sebagai tuntutan sementara dalam penyelidikan untuk mencari jawaban sebenarnya”.

Berdasarkan masalah di atas, dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut: Apabila tingkat inflasi tinggi maka produksi akan turun berarti akan mengurangi tingkat pemakaian tenaga kerja. Dengan kata lain inflasi memberikan pengaruh terhadap tingkat pengangguran di Sumatera Utara.


(11)

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mencari tahu tingkat pertumbuhan inflasi dan tingkat pertumbuhan pengangguran di Provinsi Sumatera Utara.

2. Untuk mengetahui apakah tingkat pertumbuhan inflasi memberikan pengaruh terhadap tingkat pengangguran di Provinsi Sumatera Utara.

1.5. Manfaat Penelitian

Sedangkan manfaat penelitian ini adalah :

1. Untuk memberikan masukan dan wawasan kepada penulis bagaimana sebenarnya peranan inflasi terhadap pertumbuhan perekonomian suatu kawasan.


(12)

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1. PEMBANGUNAN EKONOMI

Rencana pembangunan jangka menengah (RPJM), visi Pemerintah Sumatera Utara adalah Terwujudnya masyarakat Sumatera Utara yang beriman, maju, mandiri, mapan dan berkeadilan di dalam Bhinekaan yang didukung oleh Tata Pemerintahan yang baik. Kemapanan masyarakat Sumatera Utara terwujud melalui agenda Pemerintah Daerah melalui upaya membangun ekonomi daerah termasuk pengentasan kemiskinan dan pengendalian inflasi.

Tingginya pertumbuhan penduduk di negara yang sedang berkembang dapat berakibat bagi kesejahteraan penduduk. Kesejahteraan tersebut dapat dilihat dari peningkatan pendapatan per penduduk. Bila terjadi kenaikkan penduduk yang lebih besar dari pada pertumbuhan ekonomi, maka tidak menutup kemungkinan kesejahteraan penduduk akan semakin kecil dengan arti tejadi pengurangan jumlah pendapatan per kapita.

1. Beberapa pengaruh negatif dari pertumbuhan penduduk

a. Pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang pesat akan menurunkan pendapatan perkapita.

b. Kemiskinan, dengan semakin tingginya pertambahan penduduk akan memebuat angka kemiskinan bertambah, dan menyebabkan pengaruh yang bururk.

c. Pendidikan, jumlah keluarga yang semakin besar akan mengurangi kesempatan bagi mereka untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi, karena minimnya dana.


(13)

d. Kesehatan, makin banyak anak akan mengancam keselamatan ibu yang melahirkan dan biaya yang akan dikeluarkan utuk berobat juga akan semakin besar bagi si anak. e. Makanan, semakin banyak jumlah penduduk, maka akan semakin besar pula jumlah

pangan yang harus disediakan.

f. Lingkungan,dengan bertambahnya penduduk maka akan semakin besar kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan yang berasal dari limbah rumah tangga.

g. Migrasi internasional, kebutuhan hidup yang semakin besar mengakibatkan sebahagian penduduk harus melakukan migrasi agar dapat memenuhi kebutuhan hidup.

2.2. INFLASI

1. Pengertian Inflasi

inflasi adalah suatu keadaan dalam perekonomian di mana terjadi kenaikan harga-harga secara umum. Kenaikan dalam harga barang dan jasa yang biasa terjadi jika permintaan bertambah dibandingkan dengan jumlah penawaran atau persediaan barang di pasar, dalam hal ini lebih banyak uang yang beredar yang digunakan untuk membeli barang dibanding dengan jumlah barang dan jasa.

Ada beberapa pemahaman dalam memahami pengertian inflasi ini, yaitu :

1. bahwa inflasi merupakan suatu proses kenaikan tingkat harga bukanlah bukan pertambahan jumlah uang beredar.

2. bahwa kenaikan tingkat harga tidak sama untuk seluruh sector ekonomi, ada yang naik cepat ada hyang naik lambat. Kenaikan harga di setiap sector dipengaruhi oleh elastisitas permintaan dan penawaran.


(14)

2. Model Teori Inflasi a. Teori Srukruralis

Menurut teori ini inflasi timbul disebabkan oleh adanya kelemahan dan hambatan structural dalam struktur ekonomi. Hambatan-hambatan structural tersebut bias berupa tidak elastisnya penawaran bahan makanan, yang disebabkan oleh cukup besarnya peran factor musim atau cuaca.di lain pihak dengan meningkatnya pendapatan juga akan mendorong kenaikan dari pada permintaan akan bahan makanan, padahal penawaran tidak mencukupi.

Menurut Bulmer-Thomas, jika suatu Negara mengalami kekurangan bahan makanan pemerintah boleh melakukan impor dari luar negeri guna mencegah tekanan kelebihan permintaan terhadap harga. Menurutnya untuk mengatasi situasi seperti ini pemerintah boleh melakukan impor dari luar negeri. Namun bagi Negara berkembang hal ini mungkin sulit karena keterbatasan devisa untuk mengimpor barang dari luar negeri.

H. Chenery dan A. Strout mengatakan bahwa hambatan-hambatan tersebut timbul akibat pesatnya permintaan impor yang tercermin dalam program pembangunan ekonoi berencana, mobililitas factor produksi yang tak sempurna, dan tidak cukup cepatnya peningkatan penerimaan devisa karena permintaan impor tidak diimbangi oleh ekspor. Sehingga hal ini mendorong kecenderungan terjadinya deficit dalam neraca perdagangan.

Dalam meningkatkan perolehan devisa ada beberapa alternative yang dapat di tempuh, yaitu : mengadakan pengawasan lalu lintas barang melalui pengawasan devisa dan melakukan devaluasi. Selain daripada itu golongan strukturalis mengemukakan bahwa suatu ketidakseimbangan neraca perdanganinternasional akan menimbulkan


(15)

keinginan untuk mendirikan industri dalam negeri yaitu industri substitusi impor. Meskipun seringkali produksi dalam negeri mempunyai onkos produksi yang lebih tinggi. Dan bila proses substitusi impor ini semakin meluas keberbagai barang, sehingga banyak lagi harga barang-barang lain yang naik. Dan akhirnya akan menyebabkan terjadinya inflasi.

b. Teori Kuantitas

teori ini merupakan teori yang paling tua dan merupakan teori yang mendekti inflasi dari segi permintaan. Teori ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh sekelompok ekonom dari Chicago University, yang juga dikenal sebagai kelompok monetaris.

Menurut teori kuantitas ada dua factor yang berperan dalam terjadinya inflasi, yaitu :

1. Jumlah uang beredar

Inflasi hanya akan tejadi kalauada pertambahan uang yang beredar baik uang kartal maupun uang giral. Kenaikkan harga karena kegagalan panen atau karena sebab lainnya hanya bersifat sementara. Bila jumlah uang tidak ditambah, inflasi akan berhenti dengan sendirinya.

2. Psikolog (harapan Masyarakat mengenai kenaikkan harga-harga pada masa yang akn dating)

Harapan masyarakat mengenai kenaikkan harga-harga pada masa yang dapat mempercepat laju inflasi. Ada tiga kemungkinan harapan masyarakat pada masa yang akan dating:


(16)

a. apabila masyarakat belum mengharapkan harga-harga untuk naik pada bulan mendatang, sehingga sebahagian besar dari penambahan jumlah uang beredar akan diterima masyarakat untuk menambah uang kas yang disimpannya. Hal ini berarti tidak akan meningkatkan permintaan masyarakat terhadap barang sehingga harganya tidak naik.

b. Masyarakat yang mengharapkan adanya kenaikkan harga pada masa yang akan dating mengakibatkan adanya pertambahan uang kas yang dipegang tetapi dipergunakan untuk membeli barang-barang yang diperkirakan akan naik pada masa yang akan dating sehingga dengan demikian masyarakat terhindardari kerugian.

c. Teori Keynes

Teori inflasi menurut pendekatan ini mengatakan bahwa inflasi terjadi karena sesuatu kelompok masyarakat ingin hidup diluar batas kemampuan ekonominya, sehingga proses inflasi merupakan proses tarik-menarik antar golongan masyarakat untuk memperoleh bagian dana masyarakat sendiri. Kalau hal ini selalu terjadi makan timbul kesenjangan inflasi. Tekanan dari golongan ini akan mengakibatkan kenaikkan biaya. Kesenjangan inflasi ini dapat ditimbulkan oleh pemerintah yang menjalankan devisit dalam anggaran belanja yang dibiayai untuk mencetak uang baru. Selain itu dapat ditimbulkan oleh pengusaha swasta yang ingin melakukan investasi baru dan memperoleh kenaikkan gaji yang melebihi produktifitas buruh.

3. Jenis-jenis inflasi


(17)

1. Demand Pull Inflation ( Inflasi Tarikan Permintaan )

Inflasi ini timbul karena adanya permintaan keseluruhan yang tinggi disuatu pihak, di pihak lain kondisi produksi telah mencapai kesempatan kerja penuh ( full employment ). Jika kondisi produksi telah berada pada kesempatan kerja penuh, maka kenaikan permintaan tidak lagi mendorong kenaikan output ( produksi ), tetapi hanya mendorong kenaikanharga-harga yang biasa akibatnya sesuai dengan hukum permintaan, bila permintaan banyak sementara penawaran tetap maka harga akan naik. Dan bila hal ini berlangsung terus menerus akan mengakibatkan inflasi yang berkepanjangan. Oleh karenanya untuk mengatasi itu diperlukan adanya pembukaan kapasitas produksi baru dengan menambah tenaga kerja yang baru.

Harga

S D1

P2 P1

D2


(18)

Q1 Q2 Gambar 1 : Inflasi Tarikan Permintaan

Karena permintaan masyarakat akan barang-barang bertambah maka kurva permintaan agregat bergeser dari D1 ke D2. bertambahnya permintaan ini mungkin disebabkan adanya kenaikan pengeluaran pemerintah yang dibiayai melalui percetakan uang atau kenaikan permintaan luar negeri akan barang-barang ekspor atau bertambahnya infestasi swasta akibatnya tingkat harga naik dari P1 ke P2.

2. Cost Push Inflation ( Inflasi Dorongan Biaya )

Cost Push Inflation ( Inflasi Dorongan Biaya ) adalah inflasi yang terjadi akibat pergeseran kurva penawaran agregat. Pada kondisi ini, tingkat penawaran lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat permintaan. Ini terjadi karena kenaikan harga factor produksi sehingga produsen terpaksa mengurangi produksinya sampai pada jumlah tertentu. Penawaran total terus menurun karena semakin mahalya biaya produksi. Apabila keadaan tersebut berlangsung cukup lama mak terjadilah inflasi disertai resesi. Kenaikan biaya produksi yang menimbulkan cost push inflation didorong oleh beberapa factor, yaitu :

a. adanya tuntutan kenaikan upah dari para pekerja yang biasanya dikoordinir oleh organisasi serikat buruh.

b. Adanya industri yang monopolis, yang memberi kekuatan kepada pengusaha untuk menguasai pasar dan selanjutnya menaikkan harga lebih tinggi.


(19)

Harga

S2 P2

P1 S1 D

0 Output Q2 Q1

Gambar 2 : Inflasi Dorongan Biaya

Apabila biaya produksi naik, maka kurva penawaran agregat bergeser dari S1 ke S2. jika dibandingkan dengan inflasi tarikan permintaan,inflasi penawaran kalau sudah terjadi relative lebih sulit diatasi. Yang paling berbahaya adalah apabila organisasi produk melibatkan diri secara langsung terutama serikat-serikat buruh. Dengan naiknya harga-harga barang mendorong biaya hidup semakin tinggi sehingga serikat buruh menuntut kenaikan upah. Akibatnya sector industri akan menaikkan harga jual barang-barang produksi sehingga akan mendorong kenaikan harga umum dan suatu saat jika keadaan yang seperti ini terus berlangsung, maka bisa mengakibatkan pengangguran semakin tinggi dan akhirnya kehidupan ekonomi bias jadi lumpuh sama sekali.

B. Berdasarkan Asal Terjadinya

1. Domestic Inflation ( Inflasi Domestik )

Inflasi Domestik ialah inflasi yang berasal dari dalam negeri. Kenaikan harga disebabkan karena adanya kejutan dari dalam negeri, baik karena perilaku masyarakat


(20)

maupun perilaku pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang secara psikologis berdampak inflatoar. Kenaikan harga terjadi secara absolut, akibatnya terjadilah inflasi atau semakin meningkatnya angka (laju) inflasi.

2. Imported Inflation

Imported Inflation adalah inflasi yang terjadi didalam negeri karena adanya pengaruh harga dari luar negeri, terutama barang-barang ipor atau bahan baku industri yang masih belum dapat diproduksi didalam negeri.

C. Berdasarkan Intensitasnya

1). Creeping Inflation atau Mild Inflation

Inflasi ini sering disebut sebagai merayap, yaitu inflasi yang terjadi dengan laju pertumbuhan berlangsung lambat.

2). Hyper Inflation atau Galloping Inflation

Inflasi ini sangat berat yang timbul akibat adanya kenaikan harga-harga yang umum yang berlangsung sangat cepat. Inflasi ini dapat merusak struktur perekonomian Negara.

D. Berdasarkan Sudut Bobotnya

a. Inflasi Ringan disebut juga creeping inflation, yaitu inflasi dengan laju pertumbuhan yang berlangsung secara perlahan dan berada pada posisi satu digit atau dibawah 10% per tahun.

b. Inflasi sedang adalah inflai dengan tingkat laju pertumbuhan berada diantara 10%-30% per tahun atau melebihi 2 digit dan sangat mengancam perekonomian Negara.


(21)

c. inflasi berat adalah inflasi dengan laju pertumbuhan berada diantara 30%-100% per tahun. Pada kondisi demikian sector-sektor produksi hamper lumpuh total kecuali yang dikuasai oleh pemerintah.

d. inflasi sangat berat merupakan inflasi dengan laju pertumbuhan melampaui100% per tahun yang pernah terjadi pada perang dunia ke II (1939-1945).

4. Efek Inflasi

Distribusi pendapatan, alokasi factor produksi dan produk nasional dapat dipengaruhi oleh inflasi. Efek terhadap distribusi pendapatan disebut juga dengan equity effect, sedang efek terhadap alokasi factor produksi dan produk nasional masing-masing disebut dengan efficiency dan output effect.

A. Efek Terhadap Pendapatan (Equity Effect)

Equity Effect adalah dampak inflasi terhadap pendapatan. Efek terhadap pendapatan sifatnya tidak merata, ada yang dirugikan tetapi ada juga yang diuntungkan oleh adanya inflasi. Seseorang yang memperoleh pendapatan tetap akan dirugikan oleh adanya inflasi. Misalnya seseorang yang pendapatannya tetap Rp. 500.000,00 per tahun sedangkan laju inflasi sebesar 20% akan menderita kerugian penurunan pendapatan rill sebesar laju inflasi tersebut, yakni Rp 100.00,00.

Selain itu,inflasi akan menyebabkan terjadinya perubahan pada distribusi pendapatan dan kekayaan masyarakat. Inflasi seolah-olah berfungsi sebagai pajak bagi seseorang dan merupakan subsidi bagi orang yang berpenghasilan rendah. Namun jika


(22)

keadaan tersebut tidak segera diatasi, dalam jangka panjang akan semakin memperlebar kesenjangan antara kelompok yang berpenghasilan menengah kebawah, antara kelompok kaya dan kelompok miskin dan antara kelompok konglomerat dan kelompok pengusaha menegah kebawah yang semakin lama akan merusak tatanan perekonomian dan melumpuhkan sector ekonomi.

B. Efficiency Effect

Inflasi selain berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat dan rumah tangga perusahaan karena lemahnya daya beli masyarakat, juga berpengaruh terhadap biaya produksi. Harga-harga factor produksi semakin meningkat sehingga dapat mengubah pola alokasi factor produksi. Perubahan tersebut dapat terjadi melalui kenaikan permintaan akan berbagai macam barang yang selanjutnya akan mendorong perubahan dalam produksi beberapa barang tertentu. Dengan adanya inflasi, permintaan barang-barang tertentu akan mendorong peningkatan prodiksi terhsdsp barang-barang tersebut. Kenaikan produksi yang demikian akan mengubah pola alokasi factor produksi barang-barang tersebut akan menjadi efisien yang disebut efficiency Effect.

5. Metode Penghitungan Inflasi

1. Indeks Harga Konsumen (IHK) adalah suatu indeks harga yang mengukur biaya

sekelompok barang-barang dan jasa di pasar, termasuk harga-harga makanan, pakaian, perumahan, transportasi, perawatan kesehatan, pendidikan, komoditi, yang dibeli untuk menunjang kehidupan sehari-hari.


(23)

2. Indeks Harga Produsen, adalah suatu indeks dari harga bahan baku, produk setengah

jadi, peralatan modal seperti mesin yang dibeli oleh sector bisnis atau perusahaan.

3. GDP Deflator, adalah suatu indeks yang merupakan perbandingan atau ratio antara

GDP nasional dan GDP rill dikalikan dengan 100. GDP rill adalah nilai barang dan jasa yang dihasilkan dalam perekonomian, yang diperoleh keika output dinilai dengan menggunakan harga tahun dasar. Sedangkan GDP nominal adalah GDP yang dinilai berdasarkan harga yang berlaku. Jadi singkatnya GDP deflator merupakan suatu ukuran tentang tingkat harga.

Inflasi di Indonesia diukur berdasarkan penggunaan berrbagai indicator yang disebutkan diatas walaupun sebagaimana di banyak Negara lainnya, IHK lebih sering menjadi basis perhitungan inflasi tersebut. IHK mengukur perkembangan harga barang dan jasa di daerah perkotaan dimana banyaknya barang-barang tergantung pada kota dan tahun dasar. Inflasi sebagai bagian dari keadaan perekonomian tentu akan dialami oleh setiap negara, hanya saja setiap negara memiliki tingkat inflasi yang berbeda-beda. Untuk mengukur tingkat inflasi dapat menggunakan indek harga konsumen.

Rumus untuk menentukan indek harga konsumen.

Harga sekarang x 100 IHK =

Harga pada Tahun Dasar Kegiatan Belajar 2 Contoh:

Harga suatu jenis barang pada tahun 2002 sebesar Rp. 6.000,- dan pada tahun dasar harga barang tersebut Rp. 4.000,-, maka Indek harga pada tahun 2002 adalah


(24)

Harga sekarang x 100 IHK =

Harga pada Tahun Dasar

Rp. 6.000,- x 100 = Rp. 4.000,-

= Rp. 150,00

Artinya pada tahun 2002 telah terjadi kenaikan harga sebesar 50%.

Dalam menyajikan IHK, jenis barang dan jasa yang disurvey tersebut, dikelompokkan menjadi 7 kelompok, yaitu :

1. Bahan makanan

2. Makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau 3. Perumahan

4. Sandang 5. Kesehatan

6. Pendidikan, rekreasi, dan olahraga 7. Transportasi dan komunikasi

Di Indonesia secara umum terdapat 4 kelompok barang yang mempunyai peran yang besar terhadap tingkat harga, yaitu :


(25)

1. Komoditi yang berpengaruh dalm menentukan tingkat upah seperti beras.

2. Komoditas yang harganya diatur oleh pemerintah seperti bahan baker minyak, tariff listrik, dan beberapa jasa public.

3. Barang-barang yang tergolong traded goods dimana harganya ditentukan melalui keseimbangan di pasar global. Sebagian barang-barang tersebut dikenakan tata niaga baik dalam bentuk hambatan tarif maupun non tariff.

4. barang-barang yang tergolong nontraded goods yang harganya merupakan keseimbangan permintaan dan penawaran dalam negeri.

2.3. KEBIJAKAN MONETER DALAM PEMBANGUNAN

Untuk memudahkan analisa permasalahan pengendalian inflasi dalam perspektif kebijakan moneter, maka penulis terlebih dahulu akan memabahas secara singkat berkaitan dengan pengertian moneter dan inflasi ini. Mengatakan kebijakan moneter (monetary policy) adalah suatu pengaturan di bidang moneter yang bertujuan untuk menjaga dan memelihara kestabilan nilai uang dan mendorong kelancaran produksi dan pembangunan dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat.

Inflasi adalah merupakan suatu proses dimana nilai uang semakin turun, dan untuk mengatasinya harus diperhatikan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan uang. Penyebab perubahan nilai uang dipengaruhi oleh tiga factor yaitu M, V dan T. factor M dan V adalah vaktor uang, sedangkan factor T adalah factor jumlah barang yang diperdagangkan. Kenaikan harga atau adanya inflasi disebabkan oleh


(26)

naiknya M dan V, ataupun mungkin karena kenaikan T tidak sebanding dengan kenaikan kedua factor M dan V. untuk mengatasi inflasi ini dapat dilakukan dengan mengurangi M atau V atau pula dengan menaikkan T.

Cara-cara mengatasi inflasi dengan kebijaksanaan moneter sebagian besar sebenarnya berhubungan dengan politik bank sentral. Tujuanyya adalah untuk mengurangi pengeluaran dari masyarakat seluruhnya.

Bank sentral dapat menyempitkan pemberian kredit atau mengurangi jumlah uang yang beredar dalm masyarakat dengan 3 cara, yaitu :

1. Politik Diskonto

Keinginan dari orang-orang atau badan-badan usaha untuk mengadakan pinjaman kepada badan-badan kredit berhubungan erat dengan keuntungan yang diharapkan dari investasi yang akan dijalankan dan besarnya bunga yang harus dibayar dari modal yang dipinjam. Jika bunga pinjaman semakin besar, maka ada kecenderungan tertahannya aktivitas yang besar yang pembiayaannya didasarka atas pinjaman dari badan kredit. Dengan demikian jika bank sentral menetapkan bunga kredit yang tinggi maka akan menyebabkan bank-bank umum mengurangi pinjamannya dari bank sentral. Hal ini akan menyebabkan pinjaman kemasyarakatpun akan berkurang dari bank-bank umum atau badan-badan kredit, yang berarti akan mengurangi tekanan inflasi.

2. Politik Pasar Terbuka

Salah satu cara umum yang dipergunakan untuk mengatasi inflasi oleh Bank Sentral adalah dengan mengadakan Politik Pasar Terbuka. Politik pasar terbuka yang digunakan untuk mengatasi inflasi ini kadang-kadang disebut juga sabagai “tight money policy”. Dengan kebijakan ini diharapkan bank sentral diharapkan akan menjual


(27)

surat-surat berharga seperti obligasi kepada masyarakat. Karena penjualan surat-surat-surat-surat berharga ini ditujukan pula kepada bank-bank umum maka hal ini mengakibatkan berkurangnya uang dari tangan masyarakat dan juga dari bank-bank tersebut.

3. Menaikkan Cash Ratio

Cash Ratio adalah perbandingan antara uang tunai bank-bank ditambah dengan dmand deposit pada bank sentral terhadap demand deposit daripada masyarakat terhadap bank yang bersangkutan. Menaikkan cast ratio daripada bank-bank dagang merupakan suatu tindakan anti inflasi, oleh karena hal ini selain mengurangi reserve yang berlebihan dari bank, juga dapat mengurangi kemungkinan memenuhi permintaan kredit daripada masyarakat.

Selain dari kebijaksanaan moneter usaha untuk mengatasi masalah inflasi dapat juga dilakukan dengan suatu kebijaksanaan fiscal, yaitu:

1. Penurunan Pengeluaran Pemerintah

Ada 2 sektor yang manimbulkan inflasi yaitu sector pemerintah dan sector swasta. Dalam mempengaruhi sector pengeluaran sector swasta ini dapat dilakukan dengan kebijaksanaan moneter. Tetapi upaya pengeluaran tersebut benar-benar dapat dikurangi kebijaksanaan tersebut harus dibarengi dengan kebijaksanaan fiscal berupa pengeluaran pemerintah, untuk bias menetralisir kenaikan pengeluaran swasta sehingga pengeluaran agregat dalam perekonomian bias dikendalikan.

2. Menaikkan Pajak

Dalam keadaan dimana dalam perekonomian jumlah uang beredar terlalu besar, sehingga menyebabkan terjadinya inflasi, sehingga dengan mengurangi jumlah uang beredar dengan jalan menaikkan pajak dapat mengurangi tingkat inflasi tersebut. Dengan


(28)

adanya kenaikkan pajak, berarti penghasilan seseorang akan berkurang oleh karena sebagian dari penghasilannya itu dalam bentuk pajak diberikan kepadapemerintah.

3. Mengadakan Pinjaman Pemerintah

Suatu cara untuk mengatasi masalah inflasi yang cukup efektif adalah dengan mengadakan pinjaman pemerintah, terutama pinjaman paksaan. Hal ini juga dianjurkan oleh Keynes dalam rencananya untuk membiayai peperangan, yaitu sebagian dari gaji pegawai dan buruh dipotong untuk disimpan menjadi pinjaman pemerintah selama jangka waktu yang ditentukan.

Kebijaksanaan Non-Moneter, Non-Fiskal juga merupakan kebijakan untuk menanggulangi inflasi, Kebijaksanaan Non-Moneter, Non-Fiskal yang ditujukan untuk mengatasi inflasi dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu :

1. Menaikkan hasil produksi

Salah satu cara untuk menaikkan nilai uang adalah dengan cara menaikkan T, yaitu menaikkan produksi. Cara ini cukup efektif karena inflasi pada dasarnya terjadi karena kenaikkan jumlah barang yang diperdagangkan tidak seimbang dengan banyaknya uang yang beredar di masyarakat. Untuk bias mencapai tujuan tersebut terutama dapat dilakukan dengan pengelolaan factor-faktor produksi pada kapasitas penuh, atau dengan jalan “reallocation of recources”, artinya menaikkan hasil barang yang sejenis dengan jalan menarik sebagian factor-faktor produksi dari sector lain untuk menghasilkan barang yang persediaannya sangat terbatas atau dapat juga dilakukan dengan cara system pemberian prioritas atau dengan memberikan subsidi atau bantuan kepada sector produksi yang sangat sensitive terhadap inflasi.


(29)

2. Kebijaksanaan upah

Kebijaksanaan ini menyangkut tidak dinaikkannya upah/ gaji. Setidak tidaknya kenaikkan gaji dapat dilakukan hanya apabila produktivitas umum bertambah. Jadi sejalan dengan naiknya hasil produksi para pekerja upah boleh dinaikkan sebanding dengan peningkaan produktivitas tersebut. Hal ini dapat juga dilakukan dengan menganjurkan kepada orghanisasi-organisasi buruh agar mereka tidak melakukan tuntutan kenaikkan upah.

3. Pengawasan harga dan distribusi barang-barang

Kecenderungan naiknya harga barang-barang dapat pula diatasi melalui penetapan dan pengawasan harga oleh pemerintah dengan sangsi yang cukup berat. Pengawasan harga oleh pemerintah sering kemudian menimbulkan pasar gelap. Dan untuk mengatasi kemungkinan timbulnya pasar gelap, pemerintah dapat mendistribusikan barang kebutuhan masyarakat, sebagaimana dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan didirikannya Bulog. Namun menurut Keynes cara ini tidak akan menghasilkan suatu keseimbangan antara permintaan dan penawaran.keynes lebih setuju jika pengendalian inflasi dilakukan dengan cara pemajakan dan simpanan paksaan untuk mengurangi daya beli masyarakat.

2.4. PENGANGGURAN

1. Pengertian Pengangguran

Pengangguran adalah suatu keadaan dimana seseorang yang tergolong dalam angkatan kerja ingin mendapatkan pekerjaan tetapi belum dapat memperolehnya.


(30)

Seseorang yang tidak bekerja tetapi tidak secara aktif mencari pekerjaan tidak tergolong sebagai pengangguran. Sebagai contoh, seorang ibu rumah tangga yang tidak ingin bekerja karena ingin mengurus keluarganya tidak tergolong sebagai pengangguran.

2. Sebab dan Akibat Buruk Pengangguran a. Sebab Pengangguran

Factor utama yang menyebabkan pengangguran adalah kekurangan pengeluaran agregat. Para pengusaha memproduksi barang dan jasa dengan maksud untuk memperoleh keuntungsn. Keuntungan tersebut hanya akan dapat di peroleh apabila para pengusaha dapat menjual barang yang mereka produksikan. Semakin besar permintaan semakin banyak barang dan jasa yang mereka wujudkan. Kenaikkan produksi yang dilakukan akan menambah penggunaan tenaga kerja. Dengan demikian terdapat perhubungan yang erat diantara tingkat pendpatan nasional yang dicapai dengan menggunakan tenaga kerja yang dilakukan. Semakin tinggi pendapatan nasional semakin banyak penggunaan tenaga kerja dalam perekonomian.

Pada umumnya pengeluaran agregat yang terwujud dalam perekonomian adalah lebih rendah dari pengeluaran agregat yang diperlukan untuk mencapai tingkat penggunaan tenaga kerja penuh. Kekurangan permintaan agregat ini adalah factor penting yang menimbulkan pengangguran.

Selain pernyataan diatas, ada beberapa factor-faktor lainnya yang menyebabkan pengangguran, yaitu :

1. Factor pendidikan


(31)

keterampilan.

2. Faktor Pembangunan

Dimana adanya anggapan bahwa pemerintah mengalami kegagalan dalam melakukan pembangunan disuatu Negara, padahal pemerintah merupakan agen of change yang seharusnya melaksanakan perubahan-perubahan.

3. Sikap Pekerja

Dimana mereka tidak lagi berjuang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi dasar mereka masing-masing tetapi berjuang menuntut persamaan hak terkadang sehingga mereka lebih baik memilih menganggur daripada bekerja.

Disamping factor-faktor lain yang menimbulkan pengangguran adalah : 1. Menganggur karena ingin mencari pekerjaan yang jauh lebih baik

2. Pengusaha menggunakan peralatan produksi moderen yang mengurangi penggunaan tenaga kerja

3. Ketidaksesuaian diantara keterampilan pekerja yang sebenarnya dengan keterampilan yang diperlukan dalam industri-industri

b. Akibat buruk pengangguran

Salah satu factor penting yang menentukan kemakmuran suatu masyarakat adalah tingkat pendapatannya. Pendapatan masyarakat mencapai maksimum apabila tingkat pengangguran tenaga kerja panuh dapat diwujudkan. Pengangguran mengurangi pendapatan masyarakat., dan ini mengurangi tingkat kemakmuran yang mereka capai.

Ditinjau dari sudut individu, pengangguran menimbulkan beberapa masalah ekonomi dan social kepada yang mengalaminya. Ketiadaan pendapatan menyebabkan


(32)

para penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya. Disamping itu juga mereka dapat menggangu taraf kesehatan keluarga. Pengangguran yang berkepanjangan menimbulkan efek psikologis yang buruk keatas diri penganggur dan keluarganya.

Apabila keadaan pengangguran di suatu Negara adalah buruk, kekacauan politik dan social selalu berlaku dan menimbulkan efek yang buruk pada kesejahteraan masyarakat dan prospek pengangguran ekonomi dalam jangka panjang.

Nyatalah masalah pengangguran adalah masalah yang sangat buruk efeknya kepada perekonomian dan masyarakat. Dan oleh sebab-sebab itu secara terusmenerus usaha-usaha harus terus dilakukan untuk mengatasinya.

3. Macam-macam Pengangguran

1. Pengangguran Struktural

Pengangguran structural adalah pengangguran yang terjadi karena adanya structural perekonomian, sebagai akibat dari gelombang conjungtur ( pasang surutnya perekonomian ), atau didunia pertanian produksi kurang sehingga menimbulkan terjadinya pengangguran.

2. Pengangguran Frictionil

Pengangguran Frictionil adalah pengangguran yang terjadi karena pada disuatu pihak disuatu lapangan pekerjaan terjadi pergeseran .

3. Pengangguran Seasonal


(33)

tertentu tidak dibutuhkan lagi tenaga tersebut. Ada 2 macam pengangguran musiman ini yaitu :

a. Natural

b. Artificial (buatan)

4. Pengangguran Potential

Pengangguran Potential,missal penemuan takhnik baru dalam pertanian akan menimbulkan pengangguran. Dimana tenaga penganggur ini adalah potential.

4. Upaya Mengatasi Pengangguran

Masalah pengangguran ini juga terjadi di Indonesia, tingginya jumlah pengangguran tentunya juga akan membawa pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi makro Indonesia. Pemerintah telah menargetkan dan mengupayakan adanya peningkatan aktifitas ekonomi di Indonesia. Dilihat secara ekonom biasanya menganalisis pertumbuhan ekonomi dengan melihat menggunakan Produk Nasional, yakni :

 Untuk konsumsi masyarakat ( C )

 Investasi ( I )

 Pengeluaran Pemerintah ( G )

 Ekspor ( X )

Dikurangi dengan Impor ( M ) atau disebut Ekspor Netto

Pernyataan ini sering disebut dibuat dengan sebuah persamaan identitas, yaitu Y = C + I + G + ( X – M )


(34)

termasuk kedunia industri, diantaranya inflasi akan mempengaruhi biaya produksi sehingga akan menyebabkan kenaikkan harga pokok produksi dan harga jual barang ataupun jasa. Naiknya harga di dua kelompok harga ini akan berpengaruh pada biaya angkutan barang ataupun orang, yang pada akhirnya akan mempengaruhi harga jual barang. Pengaruh-pengaruh ini mempunyai efek domino,yang akan terus melebar pada berbagai harga lainnya.

Proses kenaikkan harga ini tidak berjalan sekali tetapi berkali-kali sehingga persentase kenaikkan harga barang ataupun jasa akan lebih besar dari persentase kenaikkan harga BBM maupun listrik. Semua kenaikkan harga-harga ini tentu akan dipikul oleh konsumen, akhirnya masyarakat akan berupaya sendiri untuk mempertahankan hidupnya.

Komponen lain yang kurang mendapat perhatian adalah Investasi ( I ). Hal ini berkaitan dengan adanya penutupan perusahaan asing. Akibat hal ini juga beberapa rencana investasi dalam negeri justru akan semakin terganggu akibat hal itu. Hengkangnya beberapa perusahaan modal asing di Indonesia tersebut dan juga terhambatnya rencana investasi dari dalam negeri tentunya akan menyebabkan masalah baru yaitu masalah pengangguran.

Hilangnya daya dorong investor untuk berinvestasi akan mempersulit Indonesia memperkecil jumlah penganggur yang ada pada saat ini. Disamping mempengaruhi perekonomian masyarakat dan tingkat kesejahteraan rakyat adalah sangat potensial mengganggu stabilitas social dan keamanan.


(35)

2.5. HUBUNGAN INFLASI DENGAN PENGANGGURAN

1. Hubungan Inflasi dengan Pengangguran dalam ( Kurva Philips )

Menurut A. W. Philips terdapat suatu trade off antara tingkat inflasi dengan tingkat pengangguran, yaitu bila tingkat pengangguran tinggi maka laju inflasi akan rendah, sedang jika tingkat pengangguran rendah maka laju inflasi akan tinggi. Philips memperoleh penemuannya ini pada tahun 1958 dengan meneliti hubungan antara tingkat perubahan upah dengan tingkat perubahan kesempatan kerja.

I

Kurva Philips

0 U

Gambar 3 : Kurva Philips

Tingkat inflasi dicerminkan dari adanya kenaikkan tingkat upah. Menurut Philips ia menemukan keadaan jika tingkat upah naik tajam apabila tingkat pengangguran rendah, karena bila tidak banyak orang yang menganggur perusahaan akan sulit untuk mendapatkan tenaga kerja. Maka perusahaan harus menetapkan gaji yang tinggi. Gaji yang tinggi mencerminkan terciptanya inflasi yang tinggi pula. Kemudian, jika banyak orang yang menganggur maka tingkat upah akan semakin arendah, karena perusahaan sangan mudah untuk memperoleh kariawan. Dan orang akan mau bekerja walaupun dengan gaji yang rendah. Penurunan gaji mencerminkan adanya penurunan inflasi .


(36)

2. Dasar Teori Kurva Philips

Tujuan utama dari kebijakaan ekonomi makro adalah untuk memecahkan masalah inflasi sebagai penyebab terjadinya ketidakstabilan harga dan untuk memecahkan masalah pengangguran. Jadi kebijakan ekonomi makro harus dapat mencapai sasarannya, yaitu menciptakan stabilitas harga dan dalam waktu bersamaan menciptakan kesempatan kerja. Pandangan demikian berlangsung cukup lama dan berakhir sampai dengan tahun 1950-an.

Kurva Philips membuktikan bahwa antara stabilitas harga dan kesempatan kerja yang tinggi tidak mungkin terjadi secara bersamaan karena harus ada trade off. Jika ingin mencapai kesempatan kerja yang tinggi, berarti sebagai konsekuensinya harus bersedia menanggung beban inflasi yang tinggi. Demikian implikasi dari kurva philips yang mendasarkan teorinya pada hasil study empiric. Kemudian pada tahun 1960, Lipsey berusaha memperkuat landasan teori kurva Philips dengan menggunakan teori pasar tenaga kerja sebagai landasan dasarnya.

Dipasar tenaga kerja penurunan tingkat upah akan menyebebkan meningkatnya pengangguran karena adanya kelebihan penawaran tenaga kerja. Sebaliknya, tingkat upah akan naik jika terjadi kelebihan permintaan tenaga kerja. Jadi apabila dipasar terjadi kelebihan penawaran tenaga kerja atau jumlah pengangguran meningkat dan jumlah pencari kerja bertambah. Maka tingkat upah akan turun. Demikian pula sebaliknya jika penawaran tenaga kerja menurun upah tenaga kerja akan meningkat. Namun Lipsey berpendapat bahwa kenyataannya pasar tenaga kerja tidaklah sempurna. Karena meskipun tingkat penawaran tenaga kerja sama dengan tingkat permintaan tenaga kerja


(37)

tetap saja masih terapat pengangguran. Kondisi demikian disebut dengan Natural Unemployment disebabkan oleh beberapa factor, seperti tingkat kualitas Sumber Daya Manusia (SDM ) yang ditawarkan tidak sesuai dengan kebutuhan dunia industri, informasi pasar yang tidak transparan dna mahalnya biaya untuk memperoleh informasi pasar.

Natural Rate of Unemployment atau Frictional Unemployment dalam kurva Philips digambarkan sebagai perpotongan antara kurva Philips dan sumbu horizontal sebagaimana dijelaskan pada gambar 4 berikut:

W

UN = Natural Rate Of Unemployment

W = Tingkat Kstabilan Upah = 0

U = Upah

0 UN U

Gambar 4: Natural Rate Of Unemployment

UN merupakan tingkat pengangguran yang didalamnya terdapat tingkat upah yang stabil, yaitu W = 0 Lipsey dalam analisisnya tentang kurva Philips menggunakan teori pasar tenaga kerja yang didasarkan pada dua asumsi sebagai berikut :

1. Penawaran dan permintaan tenaga kerja akan menentukan tingkat upah.

2. perubahan tingkat upah ditentukan oleh besarnya kelebihan permintaan tenaga kerja yang disebut Excess Demand.


(38)

Perubahan tingkat upah dan kelebihan permintaan mempunyai hubungan yang positif ( searah ), yaitu semakin besar kelebihan permintaan tenaga kerja akan semakin besar pula perubahan tingkat upah. Sedangkan kelebihan permintaan tenaga kerja dengan tingkat pengangguran mempunyai hubungan negative ( tidak searah ), yaitu semakin besar kelebihan permintaan tenaga kerja tingkat pengangguran akan semakin kecil. Jadi perubahan tingkat upah mempunyai hubungan terbalik. ( negative ) dengan perubahan tingkat pengangguran sebagaimana digambarkan dalam kurva Philips.

Hasil analisa Lipsey berbeda dengan hasil analisis kurva Philips, yaitu :

1. Teori pasar tenaga kerja klasik yang dijadikan landasan analisis Lipsey mencerminkan tingkah laku upah rill.

2. Kurva Philips mencerminkan tingkah laku upah nominal.

Upah rill dan upah nominal akan sama jika dipasar tenaga kerja terdapat stabilitas harga-harga, inilah kelemahan lipsey, jadi untuk dapat melakukan analisis hubungan antara tingkat inflasi atau tingkat harga dan tingkat pengangguran, maka sumbu vertical dengan perubahan tingkat upah rill atau upah nominal dibagi dengan harga sebagaimana banyak dilakukan oleh ekonom sejak akhir tahun 1960-an.

3. Pergeseran Kurva Philips

Pada awal analisis kurva Philips dijelaskan bahwa terdapat trade off antara inflasi dan pengangguran, yaitu kenaikkan tingkat inflasi akan diikuti dengan penurunan tingkat pengangguran. Namun kenyataanya di AS selama periode 1950-1982 menunjukkan bahwa kwnaikkan tingkat inflasi diikuti dengan kenaikkan tingkat pengangguran. Jadi tidak terdapat trade off, kurva Philips telah bergeser kekanan atas. Dengan demikian hasil


(39)

analisis kurva Philips perlu diuji lagi kebenarannya.

Pergeseran kurva Philips pertama kali terjadi pada awal tahun 1976 dan kemudian terjadi lagi pada periode tahun 1973-1975 sebagai dampak embargo minyak Arap terhadap Negara-negara industri yang berpihak pada Israel dalam perang Timur Tengah. Banyak industri mengalami kebangkrutan karena dilanda resesi ekonomi dunia yang sangat parah. Pergeseran kurva Philips berakhir pada periode tahun 1979-1982. selama kurun waktu tersebut terjadi kenaikkan tingkat inflasi bersamaan dengan kenaikkan tingkat pengangguran dengan bentuk pergeseran kuva Philips yang berbeda-beda.

Terjadi perbedaan pergeseran kurva Philips tersebut disebabkan dua factor yaitu: 1. Demografi

Terjadi kenaikan tingkat pertumbuhan penduduk AS, khususnya kaum wanita dan anak-anak yang selanjutnya meningkatkan angka pertumbuhan angkatan kerja. Angkatan kerja wanita dan anak-anak yang sebahagian tidak dapat diserap pasar tenaga kerja semakin memperparah jumlah pengangguran, karena bidang industri lebih mengutamakan tenaga kerja dewasa dan pria.

2. Keseimbangan pasar tenaga kerja

Dalam kondisi keseimbangan pasar tenaga kerja, secara alamiah terdapat pengangguran yang oleh Milton Friedmsn disebut Natural Rate of Unemployment. Dalam kurva Philips pengangguran alamiah tersebut dibuktikan dengan adanya titik perpotongan antara kurva Philips dan sumbu


(40)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis pengaruh tingkat inflasi terhadap tingkat pengangguran di Provinsi Sumatera Utara.

3.2. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data dalam penelitian ini adalah:

a. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari objek penelitian melalui wawancara.

b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari sumber-sumber lain yang telah diolah seperti Sumatera Utara dalam Angka.

3.3. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengadakan penelitian ini, maka penulis menggunakan 2 (dua) metode yaitu :

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Yaitu penulisan yang dilakukan dengan cara pengumpulan data sumber kepustakaan, majalah-majalah, tulisan ataupun karya ilmiah yang ada kaitannya dengan penulisan skripsi ini, sehingga diperoleh data sekunder.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)


(41)

diteliti, dalam hal ini adalah di ke Kantor Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara.

Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah :

1) Pengamatan (observasi), yakni melakukan pengamatan secara langsung pada objek yang diteliti.

2) Wawancara (interview), yakni melakukan tanya jawab dengan pihak-pihak yang berwenang dalam perusahaan tersebut untuk memperoleh keterangan yang berkaitan dengan penulisan ini.

3.4. Pengolahan Data

Penulis menggunakan program software SPSS versi 12 untuk mengolah data dalam penulisan skripsi ini.

3.5. Model Analisis

Adapun metode analisis yang digunakan dalam penulisan ini adalah dengan menggunakan analisis regresi linier sederhana. Regresi linier sederhana didasarkan pada hubungan fungsional ataupun kausal satu variabel independen dengan satu variabel dependen. Persamaam umum regresi linier sederhana adalah:

Ŷ = a + bX

Dimana:

Ŷ = Tingkat pengangguran


(42)

b = Angka arah atau koefisien regresi, yang menunjukkan angka peningkatan ataupun penurunan variabel dependen yang didasarkan pada variabel independen. Bila b (+) maka naik dan bila ( - ) maka terjadi penurunan.

X = Inflasi.

3.6. Test Goodnes Of Fit ( Uji Kesesuaian ) 1. Koefisien Determinasi ( R Square )

Koefisien determinasi dilakukan untukmelihat seberapa besar variable-variabel independent secara bersama mampu memberikan penjelasan mengenai variable dependen.

2. Uji t

Untuk mengetahui apakah nilai koefisien regresi diatas dapat diterapkan , maka akan dilakukan pengujian dan interpretasi sebagai berikut :

a. Uji Hipotesis

Ho : b = 0, tidak ada peran nyata inflasi terhadap tingkat pengangguran Hi : b ≠ 0, ada peran nyata inflasi terhadap tingkat pengangguran

Dilihat dari persamaan diatas, nilai b = 2.452 berarti tidak samadengan nol, maka untuk sementara Ho ditolak dan Hi diterima, berarti ada peran nyata inflasi terhadap tingkat pengangguran.

b. Uji t


(43)

t tabel = t 0,025 (18)

t hitung < t tabel 0,05 (dk = n-2), maka Ho : diterima t hitung > t tabel 0,05 (dk = n-2), maka Ho : ditolak

3.7. Definisi Operasional

Defenisi operasional Variabel disusun sebagai pemikiaran teoritis dari hasil yang dicapai. Dalam bagian ini konsep disusun dalam bentuk variable sebagai berikut :

a. Variabel bebas (X) : inflasi adalah kecendrungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat dikatakan inflasi, kecuali bila kenaikkan itu meluas kepada atau mengakibatkan kenaikkan sebahagian besar dari barang-barang lain.

b. Variabel (Y) : pengangguran yaitu tingkat pemberdayaan dari golongan usia kerja pada pada dunia kerja.


(44)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskriptif Daerah Penelitian 1. Gambaran Geografis

Sumatera Utara terletak diantara 10– 40 Lintang Utara dan 980 – 1000 Bujur Timur. Di sebelah Utara berbatasan dengan Propinsi Sumatera Utara berbatasan dengan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Selat Malaka, sebelah Timur dan Selat Malaka, sebelah Selatan dengan Propinsi Riau dan Sumatera Barat, sebelah Barat dengan Samudera Hindia.

Luas daerah Propinsi Sumatera Utara adalah 71.680 Km2 atau 7.168.000 Ha, yang meliputi : pantai Timur, dataran tinggi, pantai Barat dan Kepulauan Nias. Dan panjang Timur + 330 Km dan pantai Barat + 280 Km, jarak antara pantai Barat dan pantai Timur melewati pegunungan Bukit Barisan di sebelah Utara + 220 Km sedang di bagian Selatan + 300 Km. Luas hutan pada tahun 1982 tinggal 28% dari luas wilayah Sumatera Utara yang menyebabkan tanah krisis yakni 724 – 144 Ha serta pendangkalan sungai yang menimbulkan banjir.

Keadaan topografi bervariasi, sebahagian datar dan sebagian merupakan daerah pantai dan dataran tinggi dan ketinggian dari 0 meter di atas permukaan laut di Tanjung Balai sampai 1.418 meter di atas rata-rata berkisar 150C – 320C, dan kelembaban udara antara 83% - 89%.


(45)

memiliki kesuburan tanah yang lebih baik jika dibandingkan dengan wilayah pantai Barat. Wilayah pantai Timur merupakan areal perkebunan yang luas dan diselingi oleh areal persawahan. Wilayah dataran tinggi, sebahagian besar diusahakan untuk tanaman pangan serta tanaman perkebunan rakyat dan perkebunan besar. Akan tetapi sebagian wilayah ini sesuai dengan keamanan alamnya terdiri dari areal hutan yang tidak dimanfaatkan untuk areal pertanian disamping pada alang-alang yang luas serta tanahnya yang kurang subur. Wilayah pantai Barat (Tapanuli Selatan) dan sebahagian daerah lainnya, beriklim agak kering dengan areal pertanian yang kurang subur. Wilayah kepulauan Nias adalah daerah yang agak lambat dalam perkembangan prasarana perhubungan serta perkembangan sosial budaya penduduknya. Tanahnya berbukit, sebahagian kurang subur apabila ia digunakan untuk areal pertanian terutama di pulau-pulau kecil selain pulau Niasnya.

2. Potensi Pertanian

Sesuai dengan keadaan alamnya, maka Sumatera Utara merupakan propinsi di mana sektor pertanian menjadi tulang punggung bagi struktur ekonominya, disamping sektor industri yang peranannya semakin meningkat. Areal perkebunan besar dengan komoditi karet, kelapa, kelapa sawit, tembakau, tebu, teh dan coklat yang terdapat di Kabupaten Langkat, Deli Serdang, Simalungun, Asahan, Labuhan Batu dan Tapanuli Selatan. Perkebunan karet milik rakyat terutama terdapat di kabupaten Karo, Dairi dan Tapanuli Selatan. Perkebunan Kopi di Kabupaten Dairi, Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan. Kemenyan terdapat di Kabupaten Tapanuli Utara sedangkan tanaman cengkeh terdapat hampir di semua kabupaten, juga pala


(46)

dan kayu manis. Tanaman pangan, yakni : padi, jagung, kedele, kacang hijau dan kacang tanah terdapat hampir di semua kabupaten. Tanaman holtikultura terdapat di Kabupaten Karo, Simalungun dan Tapanuli Utara.

Perluasan areal pertanian masih tersedia, terutama di kabupaten Langkat, Labuhuan Batu dan Tapanuli Selatan. Selain sektor pertanian, sektor industri juga mempunyai peranan yang tidak kalah pentingnya dalam pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara. Jenis Industri yang terdapat antara lain : industri hasil pertanian, bahan bangunan, kimia, pollywood, makanan pokok dan peleburan aluminium.

Keadaan alam Sumatera Utara juga memungkinkan pengembangan sektor pariwisata, terutama di daerah : Danau Toba, Pulau Samosir, Kabupaten Nias, Karo dan Langkat yang merupakan potensi yang dapat digali untuk meningkatkan pemasukan devisa.

3. Penduduk

Jumlah penduduk Sumatera Utara tahun tahun 1980 adalah 8,36 juta jiwa, tahun 1985 sebesar 9,42 juta jiwa, tahun 1990 sebesar 10.25 juta jiwa, tahun 2000 sebesar 11.48 juta jiwa, tahun 2001 sebesar 11,72 juta jiwa dan tahun 2006 sebesar 11.85 juta jiwa (Sumber : BPS Propinsi Sumatera Utara Tahun 2006). Hal ini menunjukkan tingkat pertumbuhan penduduk pada periode tahun 1961 – 1971 sebesar 2,95% pertahun, periode tahun 1971 – 1980 sebesar 2,60% per tahun dan periode tahun 1980 - 1990 sebesar 2,06% per tahun, sedangkan periode 1990 – 2000 sebesar 1,20% pertahun.


(47)

Untuk persebaran penduduk di Sumatera Utara tidak merata, dapat di lihat dari kepadatan penduduk yang berbeda-beda antara daerah di dataran rendah pantai Timur dan daerah dataran tinggi pantai Barat. Pada umumnya penduduk terkonsentrasi di daerah perkotaan dan daerah pantai Timur. Hal ini disebabkan banyaknya industri dan perkebunan besar di daerah tersebut dan juga disebabkan tingkat penghasilan daerah perkotaan dan daerah pantai Timur lebih tinggi serta banyaknya fasilitas seperti : pendidikan, hiburan dan kesempatan kerja jauh lebih luas jika dibandingkan dengan di daerah pedesaan.


(48)

Tabel 1.

Jumlah Penduduk Menurut Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2006

Golongan Umur Laki-Laki Perempuan Laki-Laki + Perempuan 0 – 4

5 – 9 10 – 14 15 – 19 20 – 24 25 – 29 30 – 34 35 – 39 40 – 44 45 – 49 50 – 54 55 – 59 60 – 64 65 + 694.166 710.100 754.490 712.517 528.149 475.846 425,952 388.411 346.926 265.436 180.241 138.209 120.570 189.007 664.639 671.871 706.395 704.356 566.793 509.432 441.779 403.417 337.468 251.285 179.295 144.141 126.151 219.033 1.358.805 1.381.971 1.451.885 1.416.873 1.094.942 985.278 867.731 791.828 684.394 516.721 359.536 282.350 246.721 308.040

Jumlah 5.921.020 5.926.055 11.847.075 Sumber : BPS Propinsi Sumatera Utara Tahu 2006


(49)

Propinsi Sumatera Utara merupakan provinsi yang keempat terbesar jumlah penduduknya di Indonesia setelah Jawa Barat, Timur, dan Jawa Tengah. Menurut hasil pencacahan lengkap Sensus Penduduk (SP) 1990 penduduk Sumatera Utara pada tanggal 31 Oktober 1990 berjumlah 10,81 juta jiwa dan pada tahun 2006, jumlah penduduk Sumatera Utara d sebesar 11.85 juta jiwa. Kepadatan penduduk Sumatera Utara tahun 1990 adalah 143 jiwa per km2 dan tahun 2006 meningkat menjadi 165 jiwa per km2. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk Sumatera Utara selama kurun waktu tahun 1990 – 2000 adalah 1,20 persen pertahun.

4.2. Hasil Penelitian 1. Inflasi

Perkembangan perekonomian Sumatera Utara sebelum krisis menunjukkan perkembangan yang menarik. Sekitar awal tahun 1960 sampai akhir tahun 1960-an sumatera Utara termasuk Indonesia secara keseluruhan mengalami inflasi yang luar biasa tinggi bahkan sampai pernah pada tingkat 600%, tetapi sejak itu lambat laun dapat dikendalikan. Sampai dengan tahun-tahun terakhir sebelum terjadinya krisis (1997), Sumatera Utara secara khusus dan Indonesia umumnya berhasil menekan laju inflasinya pada angka satu digit saja. Pada periode 1986 – 1993 perekonomian Indonesia meningkatkan 6% per tahun dengan tingkat inflasi fluktuatif. Di tahun 1994 laju inflasi secara kumulatif sebesar 9,24% lebih rendah dibandingkan dengan nilai inflasi tahun sebelumnya .Dan perkembangan inflasi dapat dilihat lebih jelas dalam tabel dibawah.


(50)

Dalam upaya mengatasi krisis ekonomi, pemerintah telah menempuh berbagai langkah penyesuaian di berbagai bidang meskipun hasil yang dicapai tidak secepat yang diharapkan. Hal ini disebabkan oleh terdapatnya beberapa permasalahan struktural yang penyelesaiannya membutuhkan waktu yang relatif lama. Namun dengan pelaksanaan kebijakan yang konsisten dan terarah pada Triwulan I Tahun 1999 kegiatan perekonomian mulai meningkat sementara laju inflasi terus menurun.

Dalam tahun 1999, permintaan agregat terutama konsumsi mulai meningkat. Peningkatan permintaan tersebut diimbangi oleh kenaikan penawaran, khususnya produksi di sektor pertanian, sektor industri pengolahan, sektor jasa-jasa, serta sektor listrik, gas dan air minum, sehingga tidak menimbulkan tekanan inflasi yang berarti. Laju inflasi menurun tajam dari 77,6% pada tahun 1998 menjadi 2,0% pada tahun 1999. Kondisi moneter yang relatif stabil dalam tahun 1999 belum berhasl dimanfaatkan secara optimal oleh sektor riil sehingga pemulihan ekonomi berjalan lambat. Gambaran mengenai lambatnya pemulihan ekonomi Indonesia terlihat pada PDB riil yang selama tahun laporan diperkirakan mencatat pertumbuhan 0,2%.

Dalam perkembangannya, laju inflasi IHK Tahun 2000 mencapai 9,35%, lebih tinggi dari pada laju inflasi pada tahun 1999 sebesar 2,01 %. Sehubungan dengan itu, Bank Indonesia selama tahun 2000 terus menerus memantau perkembangan harga-harga di dalam negeri dengan tetap mengupayakan pencapaian sasaran laju inflasi yang menjadi tujuan BI guna mencukung proses pemulihan ekonomi yang berkesinambungan. Kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan selama tahun 2000 diperkirakan telah memberikan konstribusi terhadap inflasi sebesar 3,42% lebih besar dari 2,0% seperti yang diperkirakan semula. Hal ini


(51)

disebabkan oleh belum teridentifikasinya sjeumlah kebijakan di awal tahun, lebih besarnya sebagian kenaikan tarif dari pada yang dipekrirakan, dan adanya perubahan pola implementasi kebijakan.

Tabel 2.

Perkembangan Inflas Dan TingkatPengangguran (%)Di Sumatera Utara Tahun 1986 s/d Tahun 2006

Tahun Inflasi Tingkat Pengangguran

1987 8,90 37,11

1988 5,47 32,15

1989 5,97 31,10

1990 9,53 37,52

1991 9,52 40,21

1992 4,94 29,45

1993 9,77 38,47

1994 9,24 41,04

1995 8,64 39,60

1996 6,47 35,00

1997 11,05 41,37

1998 77,63 5,50

1999 2,01 24,65

2000 9,35 39,49

2001 12,55 45,80

2002 10,00 39,20

2003 5,10 29,43

2004 5,70 2,65

2005 5,90 3,40

2006 5,80 11,47


(52)

2. Pengangguran

Masalah pengangguran merupakan masalah yang universal. Tidak saja bagi negara berkembang seperti Indonesia, negara majupun juga menghadapi hal yang sama. Begitu juga di Sumatera Utara pengangguran juga menjadi hal yang penting untuk diperhatikan, Tingkat pengangguran yang tinggi akan selalu berakibat buruk. Pengangguran timbul antara lain karena ketidaksesuaian antara permintaan dan penawaran tenaga kerja. Penawaran tenaga kerja melimpah antara lain disebabkan tingkat pertumbuhan penduduk produktif yang relatif tinggi, persebaran yang tidak merata dan daya serap ekonomi terbatas. Sedang permintaan memperhatikan kemampuan tenaga kerja, misalnya tingkat pendidikan, keterampilan dan lain-lain. Di samping ini sektor formal cenderung lebih banyak menggunakan teknologi padat modal sehingga daya serap tenaga kerja terbatas.

Dari tabel di atas dapat dilihat besarnya angka pengangguran secara sektoral tahun 1987 (37,11%) disebabkan akibat kemunduran ekonomi Indonesia tahun 1998 (Krisis Moneter), hal tersebut terbukti dimana Indonesia dewasa ini perekonomian menjadi lebih baik dan angka pengguran menjadi lebih kecil pada tahun 2006 yaitu sebesar 11,47% .


(53)

4.3. Pembahasan

1. Pengaruh Inflasi terhadap tingkat pengangguran di Sumatera Utara

Pengaruh inflasi bagi suatu masyarakat tidak selalu sama dengan pengaruh inflasi masyarakat lainnya. Ini disebabkan oleh perbedaan struktur perekonomian antar Negara yang satu dengan Negara yang lainnya. Inflasi di Sumatera Utara akan berpengaruh besar baik terhadap produksi maupun ekspor dan impor. Inflasi yang terjadi di Sumatera Utara akan menyebabkan turunnya produksi barang-barang yang akan di ekspor. Turunnya produksi ini disebabkan karena dalam masa inflasibiaya produksi akan meningkat sehingga harga pokok dari hasil-hasil yang diproduksi naik pula. Naiknya harga barang-barang ini terutama barang-barang yang diekpor keluar negeri menyebabkan berkurangnya permintaan luar negri terhadap barang-barang yang diproduksikan di Indonesia. Dengan kata lain menyebabkan turunnya ekspor. turunnya ekspor menyebabkan turunyya impor dan turunnya impor menyebabkan produksi menurun terutama turunnya hasil-hasil produksi dari industri yang mempergunakan bahan-bahan baku yang di impor.

Inflasi dalam suatu Negara juga sangat berpotensi terciptanya pengangguran, Pengangguran merupakan suatu masalah pembangunan nasional dan khususnya di Propinsi Sumater Utara masalah ini belum dapat diselesaikan secara tuntas. Pertumbuhan angkatan kerja seiring dengan pertumbuhan penduduk, namun tidak sebanding dengan pertambahan persediaan lapangan kerja di semua sektor ekonomi, serta struktur umur muda sangat mempengaruhi persediaan lapangan kerja tersebut, Sehingga timbul pengangguran.


(54)

Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh inflasi terhadap tingkat pengangguran di Sumatera Utara, maka penulis akan menggunakan analisa secara statistic, yang digunakan untuk menghitung data kuantitatif. Dalam penghitungan data ini penulis menggunakan Metode Kuadrat Terkecil, dan rumus yang digunakan adalah :

Y = a + bX Dimana:

Y = Tingkat pengangguran

a = Harga Y bila X = 0 (harga konstan)

b = Angka arah atau koefisien regresi, yang menunjukkan angka peningkatan ataupun penurunan variabel dependen yang didasarkan pada variabel independen. Bila b (+) maka naik dan bila ( - ) maka terjadi penurunan.

X = Inflasi. _ _

X b Y a 

Nilai a dan b dapat ditentukan dengan cara metode:

 

 

   X X n Y X XY n b 2 atau

 2 x xy b


(55)

maka akan dilakukan pengujian dan interpretasi sebagai berikut :

1. Ho : b = 0, tidak ada peran nyata inflasi terhadap tingkat pengangguran. Hi : b ≠ 0, ada peran nyata inflasi terhadap tingkat pengangguran. 2. Uji t

α = 5%, df = n - m – 1 = 20 – 1 – 1 = 18

t tabel = t 0,025 (18) = 2.1009

3. t hitung < t tabel 0,05 (dk = n-2), maka Ho : diterima t hitung > t tabel 0,05 (dk = n-2), maka Ho : ditolak

Dalam pembahasan ini penulis menganalisis pengaruh inflasi dalam menentukan tingkat pengangguran di Sumatera Utara. Untuk mempermudah perhitungan dan memperoleh hasil yang akurat, maka penulis menggunakan perhitungan statistic melalui computer atau lebih dikenal dengan program SPSS. Analisa dari program SPSS diperoleh hasil sebagai berikut:


(56)

1. Statistik Deskriptif TABEL 3.

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N pengangguran 29.7305 14.47170 20 Inflasi 7.8455 2.67491 20

Dari tabel 4.3. diatas dapat diperoleh hasil sebagai berikut : A. Rata-rata tingkat pengangguran

Rata-rata tingkat pengangguran selama 20 tahun keatas adalah sebesar 29.7305% B. Rata-rata Inflasi

Rata-rata inflasi selama 20 tahun keatas adalah sebesar 7.8455%

2. Koefisien Regresi

Untuk mencari konstanta ( a ) adalah sebagai berikut:

_ _

X b Y a 

dari perhitungan dengan program SPSS diperoleh koefisien regresi sebagai berikut:


(57)

TABEL 4. Coefficients(a)

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized

Coefficients t Sig. B Std. Error Beta 1 (Constant) 10.497 9.398 1.117 .279 Inflasi 2.452 1.137 .453 2.157 .045 a Dependent Variable: pengangguran

Dari tabel 4.4 diatas dapat diperoleh hasil sebagai berikut: a. Nilai a :

Nilai a atau pada program SPSS disebut sebagai Unstandardized Coefficients, yaitu nilai constant adalah 10.497

Nilai b :

Nilai b atau pada program SPSS disimbolkan sebagai B adalah 2.452 Dari kedua nilai diatas dapat dibuat persamaan regresi yaitu : Ŷ = a + bX

Ŷ = 10.497 + 2.452 X

Interpretasi persamaan diatas adalah sebagai berikut :

Inflasi berpengaruh secara positif terhadap tingkat pengangguran. Koefisiennya menunjukkan 2.452 yang berarti pengaruhnya kuat.


(58)

3. Uji t

Untuk mengetahui apakah nilai koefisien regresi diatas dapat diterapkan , maka akan dilakukan pengujian dan interpretasi sebagai berikut :

a. Uji Hipotesis

Ho : b = 0, tidak ada peran nyata inflasi terhadap tingkat pengangguran Hi : b ≠ 0, ada peran nyata inflasi terhadap tingkat pengangguran

Dilihat dari persamaan diatas, nilai b = 2.452 berarti tidak samadengan nol, maka untuk sementara Ho ditolak dan Hi diterima, berarti ada peran nyata inflasi terhadap tingkat pengangguran.

b. Uji t

α = 5%, df = n - m – 1 = 20 – 1 – 1 = 18

t tabel = t 0,025 (18) = 2.1009

t hitung < t tabel 0,05 (dk = n-2), maka Hi : diterima t hitung > t tabel 0,05 (dk = n-2), maka Ho : ditolak

berdasarkan hasil perhitungan koefisien regresi dapat diketahui bahwa t hitung = 2.157, dimana t hitung lebih besar dari t tabel, (2.157 > 2.1009). Artinya ada peran nyata inflasi terhadap tingkat pengangguran.


(59)

3. Koefisien Korelasi Determinasi TABEL 5.

Model Summary (b)

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate 1 .453(a) .205 .161 13.25411 a Predictors: (Constant), inflasi

b Dependent Variable: pengangguran

Berdasarkan tabel 4.6 diatas diperoleh Koefisien determinasi 0.205 hal ini menunjukkan kemampuan variable inflasi memberikan penjelasan terhadap variable tingkat pengangguran sebesar 2.05%.


(60)

5. Gambar (scatterplot) antara inflasi terhadap tingkat pengangguran. Gambar 5.

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Observed Cum Prob

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 Expe ct ed C u m Pr ob

19982006 2005 1990 1997 1993 2002 2001 1987 19892000 1991 2003 1992 1994 1995 1996 1999

Dependent Variable: pengangguran


(61)

(62)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

1. Rata-rata pengangguran (dengan jumlah data 20 tahun) adalah 29.7305 satuan dengan standard deviasi sebesar 14.47170 satuan, sedangkan rata-rata inflasi (dengan jumlah data 20 tahun) adalah 7.8455 satuan dengan standard deviasi sebesar 2.67491 satuan. Besar hubungan antara variabel pengangguran dengan inflasi yang dihitung dengan koefisien korelasi adalah 0,453. Hal ini menunjukkan hubungan yang sangat erat di antara pengangguran dengan inflasi. Arah hubungan yang positif (tidak ada tanda negatif pada angka 0,453) menunjukkan semakin besar tingkat inflasi akan membuat pengangguran cenderung meningkat. Demikian pula sebaliknya.

2. Angka R square adalah 0,205 (adalah pengkuadratan dari koefisien korelasi. R. Square bisa disebut koefisien dterminasi, yang dalam hal ini berarti 20.5% pengangguran bisa dijelaskan oleh variabel inflasi. Sedangkan sisanya (100%-20.5% = 79.5%) dijelaskan oleh sebab-sebab yang lain. R. Square berkisar pada angka 0 sampai 1, dengan catatan semakin kecil angka R square, semakin lemah hubungan kedua variabel.

3. Dari hasil uji regresi linier sederhana diketahui diketahui nilai persamaan Ŷ = 10.497 + 2.452 X Hal ini menunjukkan konstanta sebesar 10.497 menyatakan bahwa jika tidak ada inflasi, maka pengangguran adalah 10.497 satuan. Koefisien regresi sebesar 2.452 menyatakan bahwa setiap penambahan


(63)

(karena tanda +) 1% tingkat inflasi akan meningkatkan pengangguran sebesar 2.452 satuan. Namun sebaliknya jika tingkat inflasi turun sebesar 1%, maka pengangguran juga diprediksi mengalami penurunan sebesar 2.452 satuan. Jadi tanda + menyatakan arah hubungan yang serah, dimana kenaikan atau penurunan variabel independen (X) akan mengakibatkan kenaikan/penurunan variabel dependen (Y).

4. Sedangkan dari uji t diketahui nilai t hitung 2.157 > 2.1009 t tabel, sehingga dapat disebutkan bahwa inflasi memberikan pengaruh positif terhadap pengangguran di Provinsi Sumatera Utara.

5.2. Saran

1. Untuk menekan laju inflasi, maka pemerintah seharusnya mampu menyediakan barang dan jasa (PDB) secara memadai untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang cenderung selalu meningkat.

2. Pemerintah sebaiknya juga harus bertindak untuk mendorong investasi dan meningkatkan daya saing ekspor non migas, upaya untuk mengurangi ekonomi biaya tinggi dan meningkatkan kemampuan ekonomi dalam mengurangi pengangguran dan kemiskinan.

3. Untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara agar stabil, perlu diupayakan suatu sistem kebijaksanaan untuk menaikkan barang maupun jasa. Dengan demikian diharapkan akan menambah dan meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat.


(64)

dikembangkan dan dimanfaatkan baik sebagai sumber meningkatkan pendapatan maupun sebagai sumber persediaan kesempatan kerja. Jadi sebisa amungkin kita harus bdapat memanfaatkan potensi tersebut supaya dapat menciptakan lapangan kerja yang baru.


(65)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsini, (1998), Prosedur Penelitian, Bandung : Angkasa. Boediono, (1995), Teori Pertumbuhan Ekonomi, Yogyakarta : BPFE.

Djojohadimusumo, Sumitro, (1995), Indonesia Dalam perkembangan Dunia : Kini

dan Masa Datang, Jakarta : LP3ES.

Hamid, Suandy, (2001), Sistem Ekonomi, Utang Luar Negeri dan Isyu-Isyu

Ekonomi Politik Indonesia, Yogyakarta : EKONISIA.

Hasibuan, Malayu, (1997), Ekonomi Pembangunan dan Perekonomian Indonesia, Bandung : Armico.

Jhingan, M.L. 2002, Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan, Edisi terjemahan oleh D. Guritno, Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Kamaluddin, Rustian, (1999), Pengantar Ekonomi Pembangunan, Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Kelana, Said, (2000), Teori Ekonomi Makro, Jakarta : Raja Grafindo. Soediyono, R. (1992), Ekonomi Makro, Yogyakarta : Liberty.

Stan Stavenuiter, (1996), Quantitative Technique for E,ployment Planning

Application to Indonesia’a Labour Surplus Economic, Jakarta : 1996.


(66)

Persada.

Sugiyono (1999), Metode Penelitian Administrasi, Bandung: Alfabeta.

Sukirno, Sadono, (2003), Pengantar Teori Makro Ekonomi, Jakarta : Raja Grafindo Persada.

_____________, (1995), Ekonomi Pembangunan, Jakarta : Bima Grafika LPFE-UI. Sanusi, Bachrawi, (2004), Pengantar Ekonomi Pembangunan, Jakarta : Rineka

Cipta.

Swasono, Yudo dan Endang Sulistiyaningsih, (1993), Metode Perencanaan Tenaga


(67)

LAMPIRAN

SAMPLE

Regression

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N pengangguran 6.5655 4.38603 20 inflasi 11.1770 15.85111 20


(68)

pengangg

uran inflasi Pearson

Correlation

pengangguran 1.000 -.130 inflasi -.130 1.000 Sig. (1-tailed) pengangguran . .292

inflasi .292 .

N pengangguran 20 20

inflasi 20 20

Variables Entered/Removed(b)

Model

Variables Entered

Variables

Removed Method 1 inflasi(a) . Enter a All requested variables entered.

b Dependent Variable: pengangguran

Model Summary(b)

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate 1 .130(a) .017 -.038 4.46792 a Predictors: (Constant), inflasi

b Dependent Variable: pengangguran

Coefficients(a) Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant

) 6.968 1.233 5.651 .000

inflasi -.036 .065 -.130 -.557 .585 a Dependent Variable: pengangguran

Casewise Diagnostics(a)

Case Number tahun Std. Residual

pengangg uran

Predicted

Value Residual

1 1987 .104 7.11 6.6475 .46254

2 1988 -.296 5.45 6.7709 -1.32093 3 1989 -.370 5.10 6.7529 -1.65293 4 1990 -.068 6.32 6.6248 -.30479 5 1991 -.227 5.61 6.6251 -1.01515 6 1992 -.434 4.85 6.7900 -1.94001 7 1993 .437 8.57 6.6161 1.95385


(69)

9 1995 -.438 4.70 6.6568 -1.95682 10 1996 .037 6.90 6.7349 .16506 11 1997 -.022 6.47 6.5701 -.10007 12 1998 .095 4.60 4.1734 .42659 13 1999 -.480 4.75 6.8955 -2.14548 14 2000 -.457 4.59 6.6313 -2.04127 15 2001 -.362 4.90 6.5161 -1.61608 16 2002 -.517 4.30 6.6079 -2.30787 17 2003 3.972 24.53 6.7843 17.74575 18 2004 -.473 4.65 6.7627 -2.11265 19 2005 -.527 4.40 6.7555 -2.35545 20 2006 -.065 6.47 6.7591 -.28905 a Dependent Variable: pengangguran

Residuals Statistics(a)

Minimum Maximum Mean Std. Deviation N Predicted Value 4.1734 6.8955 6.5655 .57059 20 Std. Predicted Value -4.192 .578 .000 1.000 20 Standard Error of

Predicted Value .999 4.412 1.206 .756 20 Adjusted Predicted Value -12.4847 7.0510 5.7319 4.29622 20 Residual -2.35545 17.74575 .00000 4.34876 20 Std. Residual -.527 3.972 .000 .973 20 Stud. Residual -.543 4.092 .026 1.011 20 Deleted Residual -2.49474 18.83309 .83360 5.99205 20 Stud. Deleted Residual -.532 15.041 .577 3.419 20 Mahal. Distance .000 17.576 .950 3.914 20 Cook's Distance .000 7.128 .385 1.591 20 Centered Leverage Value .000 .925 .050 .206 20 a Dependent Variable: pengangguran


(70)

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Observed Cum Prob

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Expected Cum Prob

2005 2002

1999 2004

2000 1995

1992 1989

2001 1988

1991 1990 2006

1997 1996 1994 1998 1987

1993 2003 Dependent Variable: pengangguran


(71)

-6 -4 -2 0 2

Regression Standardized Predicted Value

-2 0 2 4 6 8 10 12 14 16

Regre

ssion

Student

iz

ed Deleted (Press)

Residual

1987

1988 1989

1991 1993 1998

2001

2003 Dependent Variable: pengangguran


(72)

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00

pengangguran

-6 -4 -2 0 2

Regression Standardiz

ed Predicted Value

1987 1988 1989

1990 1992 1996

1997

1998 1999

2002

2003 Dependent Variable: pengangguran


(1)

LAMPIRAN

SAMPLE

Regression

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N pengangguran 6.5655 4.38603 20 inflasi 11.1770 15.85111 20


(2)

pengangg

uran inflasi Pearson

Correlation

pengangguran 1.000 -.130 inflasi -.130 1.000 Sig. (1-tailed) pengangguran . .292 inflasi .292 . N pengangguran 20 20 inflasi 20 20

Variables Entered/Removed(b)

Model

Variables Entered

Variables

Removed Method 1 inflasi(a) . Enter a All requested variables entered.

b Dependent Variable: pengangguran

Model Summary(b)

Model R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate 1 .130(a) .017 -.038 4.46792 a Predictors: (Constant), inflasi

b Dependent Variable: pengangguran

Coefficients(a) Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients

t Sig. B Std. Error Beta

1 (Constant

) 6.968 1.233 5.651 .000 inflasi -.036 .065 -.130 -.557 .585 a Dependent Variable: pengangguran

Casewise Diagnostics(a)

Case Number tahun Std. Residual

pengangg uran

Predicted

Value Residual 1 1987 .104 7.11 6.6475 .46254 2 1988 -.296 5.45 6.7709 -1.32093 3 1989 -.370 5.10 6.7529 -1.65293 4 1990 -.068 6.32 6.6248 -.30479 5 1991 -.227 5.61 6.6251 -1.01515 6 1992 -.434 4.85 6.7900 -1.94001 7 1993 .437 8.57 6.6161 1.95385 8 1994 .091 7.04 6.6352 .40477


(3)

9 1995 -.438 4.70 6.6568 -1.95682 10 1996 .037 6.90 6.7349 .16506 11 1997 -.022 6.47 6.5701 -.10007 12 1998 .095 4.60 4.1734 .42659 13 1999 -.480 4.75 6.8955 -2.14548 14 2000 -.457 4.59 6.6313 -2.04127 15 2001 -.362 4.90 6.5161 -1.61608 16 2002 -.517 4.30 6.6079 -2.30787 17 2003 3.972 24.53 6.7843 17.74575 18 2004 -.473 4.65 6.7627 -2.11265 19 2005 -.527 4.40 6.7555 -2.35545 20 2006 -.065 6.47 6.7591 -.28905 a Dependent Variable: pengangguran

Residuals Statistics(a)

Minimum Maximum Mean Std. Deviation N Predicted Value 4.1734 6.8955 6.5655 .57059 20 Std. Predicted Value -4.192 .578 .000 1.000 20 Standard Error of

Predicted Value .999 4.412 1.206 .756 20 Adjusted Predicted Value -12.4847 7.0510 5.7319 4.29622 20 Residual -2.35545 17.74575 .00000 4.34876 20 Std. Residual -.527 3.972 .000 .973 20 Stud. Residual -.543 4.092 .026 1.011 20 Deleted Residual -2.49474 18.83309 .83360 5.99205 20 Stud. Deleted Residual -.532 15.041 .577 3.419 20 Mahal. Distance .000 17.576 .950 3.914 20 Cook's Distance .000 7.128 .385 1.591 20 Centered Leverage Value .000 .925 .050 .206 20 a Dependent Variable: pengangguran


(4)

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Observed Cum Prob

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0

Expected Cum Prob

2005 2002

1999 2004

2000 1995

1992 1989

2001 1988

1991 1990 2006

1997 1996 1994 1998 1987

1993 2003

Dependent Variable: pengangguran

Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual


(5)

-6 -4 -2 0 2

Regression Standardized Predicted Value

-2 0 2 4 6 8 10 12 14 16

Regre

ssion

Student

iz

ed Deleted (Press)

Residual

1987

1988 1989

1991 1993 1998

2001

2003

Dependent Variable: pengangguran

Scatterplot


(6)

0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00

pengangguran

-6 -4 -2 0 2

Regression Standardiz

ed Predicted Value

1987 1988 1989

1990 1992 1996

1997

1998 1999

2002

2003

Dependent Variable: pengangguran

Scatterplot