2. Dasar Teori Kurva Philips
Tujuan utama dari kebijakaan ekonomi makro adalah untuk memecahkan masalah inflasi sebagai penyebab terjadinya ketidakstabilan harga dan untuk memecahkan
masalah pengangguran. Jadi kebijakan ekonomi makro harus dapat mencapai sasarannya, yaitu menciptakan stabilitas harga dan dalam waktu bersamaan menciptakan kesempatan
kerja. Pandangan demikian berlangsung cukup lama dan berakhir sampai dengan tahun 1950-an.
Kurva Philips membuktikan bahwa antara stabilitas harga dan kesempatan kerja yang tinggi tidak mungkin terjadi secara bersamaan karena harus ada trade off. Jika ingin
mencapai kesempatan kerja yang tinggi, berarti sebagai konsekuensinya harus bersedia menanggung beban inflasi yang tinggi. Demikian implikasi dari kurva philips yang
mendasarkan teorinya pada hasil study empiric. Kemudian pada tahun 1960, Lipsey berusaha memperkuat landasan teori kurva Philips dengan menggunakan teori pasar
tenaga kerja sebagai landasan dasarnya. Dipasar tenaga kerja penurunan tingkat upah akan menyebebkan meningkatnya
pengangguran karena adanya kelebihan penawaran tenaga kerja. Sebaliknya, tingkat upah akan naik jika terjadi kelebihan permintaan tenaga kerja. Jadi apabila dipasar terjadi
kelebihan penawaran tenaga kerja atau jumlah pengangguran meningkat dan jumlah pencari kerja bertambah. Maka tingkat upah akan turun. Demikian pula sebaliknya jika
penawaran tenaga kerja menurun upah tenaga kerja akan meningkat. Namun Lipsey berpendapat bahwa kenyataannya pasar tenaga kerja tidaklah sempurna. Karena
meskipun tingkat penawaran tenaga kerja sama dengan tingkat permintaan tenaga kerja
Universitas Sumatera Utara
tetap saja masih terapat pengangguran. Kondisi demikian disebut dengan Natural Unemployment disebabkan oleh beberapa factor, seperti tingkat kualitas Sumber Daya
Manusia SDM yang ditawarkan tidak sesuai dengan kebutuhan dunia industri, informasi pasar yang tidak transparan dna mahalnya biaya untuk memperoleh informasi
pasar. Natural Rate of Unemployment atau Frictional Unemployment dalam kurva
Philips digambarkan sebagai perpotongan antara kurva Philips dan sumbu horizontal
sebagaimana dijelaskan pada gambar 4 berikut: W
U
N =
Natural Rate Of Unemployment W
=
Tingkat Kstabilan Upah
=
U
=
Upah
0 U
N
U
Gambar 4: Natural Rate Of Unemployment
U
N
merupakan tingkat pengangguran yang didalamnya terdapat tingkat upah yang stabil, yaitu W = 0 Lipsey dalam analisisnya tentang kurva Philips menggunakan teori
pasar tenaga kerja yang didasarkan pada dua asumsi sebagai berikut : 1.
Penawaran dan permintaan tenaga kerja akan menentukan tingkat upah. 2.
perubahan tingkat upah ditentukan oleh besarnya kelebihan permintaan tenaga kerja yang disebut Excess Demand.
Universitas Sumatera Utara
Perubahan tingkat upah dan kelebihan permintaan mempunyai hubungan yang positif searah , yaitu semakin besar kelebihan permintaan tenaga kerja akan semakin
besar pula perubahan tingkat upah. Sedangkan kelebihan permintaan tenaga kerja dengan tingkat pengangguran mempunyai hubungan negative tidak searah , yaitu semakin
besar kelebihan permintaan tenaga kerja tingkat pengangguran akan semakin kecil. Jadi perubahan tingkat upah mempunyai hubungan terbalik. negative dengan perubahan
tingkat pengangguran sebagaimana digambarkan dalam kurva Philips. Hasil analisa Lipsey berbeda dengan hasil analisis kurva Philips, yaitu :
1. Teori pasar tenaga kerja klasik yang dijadikan landasan analisis Lipsey
mencerminkan tingkah laku upah rill. 2.
Kurva Philips mencerminkan tingkah laku upah nominal. Upah rill dan upah nominal akan sama jika dipasar tenaga kerja terdapat stabilitas
harga-harga, inilah kelemahan lipsey, jadi untuk dapat melakukan analisis hubungan antara tingkat inflasi atau tingkat harga dan tingkat pengangguran, maka sumbu vertical
dengan perubahan tingkat upah rill atau upah nominal dibagi dengan harga sebagaimana banyak dilakukan oleh ekonom sejak akhir tahun 1960-an.
3. Pergeseran Kurva Philips