❏ Isma Tantawi Didong Gayo Lues: Analisis Pemikiran tentang Alam
LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008 Halaman 98
jengkal. Guna are untuk takaran. Guna hasta untuk mengukur panjang. Guna genggaman
untuk memenuhkan takaran. Guna pelingkut untuk meratakan takaran. Guna neraca
untuk menimbang, supaya tidak lebih berat ke sebelah kanan atau tidak lebih ringan ke
sebelah kiri. Idris, paragraf: 16.
Dalam kehidupan masyarakat Gayo Lues sangat hati-hati dengan alat takaran. Mereka
merasa takut jika takaran tidak sesuai. Oleh karena itu, untuk meratakan alat ukur digunakan kayu
pelingkut untuk meratakan. Dengan pelingkut ini akan menghasilkan takaran isi yang tepat, tidak
lebih dan tidak kurang. Pelingkut digunakan untuk meratakan bagian atas alat ukur are dan kal. Kal
dan are selalu digunakan untuk menyukat beras atau padi Idris, paragraf: 22.
2.4.2 Alat Memasak Bagi masyarakat Gayo Lues ada peristiwa suka
dan ada peristiwa duka. Peristiwa suka atau kegembiraan ini selalu dimeriahkan, seperti pesta
ayunan pemberian nama, pesta penyerahan anak kepada guru belajar ilmu adat dan agama, pesta
sunat rasul menjalanlan sunah rasul dan pesta perkawinan jika sudah ada jodoh atau pertemuan.
Dalam pelaksanaan pesta tersebut selalu menggunakan alat-alat pesta seperti periuk, kuali,
piring, dan sendok. Alat ini digunakan untuk keperluan makan tamu yang hadir dalam pesta
yang sedang dilaksanakan Ramli, paragraf: 23. 2.4.3 Tepak
Bagi masyarakat Gayo Lues tepak adalah barang yang sangat berharga. Berharga bukan karena nilai
jual uang, tetapi tepak merupakan barang yang berhubungan dengan budaya suku Gayo Lues.
Misalnya, kalau ada pergaduhan antara satu kampung dengan kampung yang lainnya karena
persoalan remaja atau persoalan lain, dengan mengirimkan tepak yang berisi sirih pinang, maka
pihak lawan akan dapat menahan dan mengawal emosinya. Setelah menerima sirih pinang, jika
tidak dapat mengawal emosi, maka ia akan menerima resikonya. Tepak juga digunakan
masyarakat Gayo Lues untuk tempat sirih pinang guna menyampaikan lamaran kepada seorang anak
dara. Di samping itu juga tepak digunakan untuk tempat sirih pinang untuk menyampaikan mohon
maaf kepada semua lapisan masyarakat di dalam persembahan Didong Jal, Ramli, paragraf: 28.
2.4.4 Senjata Bagi masyarakat Gayo Lues menjaga keselamatan
diri-sendiri adalah hal yang penting. Jika pergi ke suatu tempat harus membawa senjata, seperti
pedang dan tongkat. Pedang dapat digunakan untuk keperluan di perjalanan dan untuk
menghadang musuh. Tongkat dipergunakan sebagai panduan, artinya di dalam kehidupan
sehari-hari harus ada tuntunan. Supaya dapat selamat dan berhasil serta dapat didukung oleh
semua pihak. Seperti diceritakan Guru Didong berikut ini:
Jika anakku pergi, jangan lupa membawa pedang
sebagai senjata. Jika ada kayu yang
melintang dapat diluruskan, jika ada bahaya yang menghadang dapat dilawan. Nasihat
dari ayah dan ibu, kalau berjalan harus bertongkat, kalau bercerita harus
mempunyai pedoman Idris, paragraf: 50.
2.4.5 Tangga Dalam kehidupan masyarakat Gayo Lues, tangga
tidak hanya digunakan untuk alat menaiki tempat yang tinggi, tetapi juga digunakan untuk
perumpamaan bahwa naik harus melalui tangga. Artinya, apa saja yang kita lakukan harus
berdasarkan kepada peraturan-peraturan yang sedang dilaksanakan, supaya apa yang kita lakukan
dapat berhasil dan tidak menjadi masalah serta didukung oleh semua pihak. Seperti diceritakan
Guru Didong berikut ini:
Jika pergi ke daerah lain, untuk bermain Didong Gayo, berjalan harus melalui jalan,
naik harus melalui tangga, duduk harus pada tempat yang sudah disediakan…Idris,
perenggan: 52.
2.4.6 Tampi dan Sapu Bagi masyarakat Gayo Lues tampi dan sapu
memiliki makna yang tersendiri. Tampi yang digunakan untuk memisahkan beras dengan sekam
dan padi. Sapu digunakan untuk membersihkan lantai. Perbuatan yang tergesa-gesa diumpamakan
seperti menir berlomba ke ujung tampi dan sampah berlomba ke ujung sapu, seperti dikemukakan
Guru Didong berikut ini:
Mungkin diriku seperti menir yang terlalu cepat ke ujung tampi, seperti sampah
berlomba-lomba ke ujung sapu. Mungkin saya terlalu cepat, sehingga merosak segala
aturan. Semua itu saya serahkan kepada dirimu… Idris, paragraf: 67.
Pada bagian
lain Guru Didong bercerita.
Seperti berikut ini: … mungkin terlalu cepat apa yang saya
sampaikan atau terlalu lambat apa yang saya usulkan. Diriku bercerita seperti menir
berlomba ke ujung tampi, seperti sampah berebut ke ujung sapu Ramli, paragraf: 82.
❏ Isma Tantawi Didong Gayo Lues: Analisis Pemikiran tentang Alam
LOGAT JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA
Volume IV No. 2 Oktober Tahun 2008 Halaman 99
2.4.7 Tinta dan Kertas Menurut pemikiran masyarakat Gayo Lues bahwa
dunia sebagai pentas kehidupan semua makhluk. Di atas dunia ini sangat banyak masalah, misalnya
masalah di langit, di udara, di bumi dan di laut dan di antara kempatnya. Jika masalah itu dituliskan
tidak akan cukup air laut untuk tintanya dan tidak akan cukup daun kayu untuk kertasnya. Seperti
diceritakan Guru Didong berikut ini:
… jika kita ceritakan pun pulau yang banyak laut yang luas, tidak akan pernah
selesai. Kita kaji pun banyaknya pulau tidak akan cukup air laut untuk tintanya. Jika kita
kaji pun luasnya lautan, tidak akan cukup daun kayu untuk kertasnya Idris, paragraf:
68.
2.4.8 Buku Masyarakat Gayo Lues sudah menyadari perlunya