keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan, dapat di akses, dan dapat ditampilkan, sehingga menerangkan suatu keadaan.
Berkaitan dengan hal tersebut, ahvi syahrin menyatakan suatu alat bukti yang dipergunakan di pengadilan perlu memenuhi beberapa syarat, diantaranya:
66
a. Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti.
b. Reability, yaitu alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya.
c. Necessity, yaitu alat bukti yang diajukan memang diperlukan untuk
membuktikan suatu fakta d.
Relevance, yaitu alat bukti yang diajukan mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.
C. Pengaturan Beban Pembuktian di Indonesia
Dikaji dari perspektif ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal ada 3 tiga teori tentang beban pembuktian. Secara universal ketiga teori tentang beban
pembuktian tersebut hakikatnya terdapat di Negara Indonesia, yaitu: a.
Beban Pembuktian Pada Penuntut Umum Didalam hukum acara pidana, tersangka atau terdakwa tidak dibebani
kewajiban pembuktian pasal 66 KUHAP. Namun kewajiban pembuktian
66
Alvi Syahrin, ketentuan pidana dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Pelindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta: Sofmedia, 2011 hal 13-14
tersebut dibebankan kepada penuntut umum karena sistem hukum Indonesia menganut asas praduga tidak bersalah presumption of innocence dan asa tidak
mempersalahkan diri sendiri non self incrimination. Konsekuensi logis teori beban pembuktian ini, bahwa penuntut umum harus mempersiapkan alat-alat
bukti dan barang bukti secara akurat, sebab jika tidak demikian akan susah meyakinkan hakim tentang kesalah terdakwa.
67
b. Beban Pembuktian Pada Terdakwa
Beban pembuktian seperti ini dapat dikategorikan beban pembuktian “biasa” atau “konvensional”. Pada sistem beban pembuktian biasa berlaku cara
menggunakan alat-alat bukti yang mengacu pada syarat minimal pembuktian pada pasal 183 KUHAP. Pada dasarnya alat bukti yang boleh dipergunakan dalam
sistem pembebanan pembuktian biasa adalah sebagaimana tercantum dalam pasal 184 KUHAP.
Dalam konteks ini, terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu, terdakwalah di depan sidang
pengadilan akan menyiapkan segala beban pembuktian dan bila sudah tidak dapat membuktikan, terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana. Pada
asasnya teori beban pembuktian jenis ini dinamakan “pembalikan beban pembuktian” “omkering van het bewijslast atau shifting of burden of proofonus
of proof.dikaji dari perspektif teoritis dan praktik teori beban pembuktian ini dapat di klasifikasikan lagi menjadi pembalikan beban pembuktian yang bersifat
murni maupun bersifat terbatas limited burden of proof. Pada hakikatnya
67
Lilik Mulyadi, Op.cit, hal 101
pembaikan beban pembuktian tersebut merupakan suatu penyimpangan hukum pembuktian dan juga merupakan suatu tindakan luar biasa terhadap tindak pidana
korupsi.
68
Secara kronologis, asas pembalikan beban pembuktian bermula dari sistem
pembuktian yang dikenal pada Negara-negara yang menganut rumpun Anglo- saxon
atau Negara-negara penganut “case law” terbatas pada “certain cases” atau kasus-kasus tertentu khususnya terhadap tindak pidana gratifikasi atau pemberian
yang berkorelasi dengan suap. Pada hakikatnya, asas pembalikan beban pembuktian dalam sistem hukum
pidana Indonesia dikenal dalam Tindak Pidana korupsi UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, Tindak Pidana Pencucian Uang UU No 15
Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003, perlindungan konsumen UU No. 8 Tahun 1999 dan kegiatan transfer dana UU No. 3 Tahun 2011.
69
“Asas pembalikan beban pembuktian merupakan suatu sistem pembuktian yang berada diluar kelaziman teoritis pembuktian dalam hukum acara
pidana universal. Dalam hukum pidana formal, baik sistem Kontinental maupun Anglo-Saxon, mengenal pembuktian dengan tetap membebankan
kewajibannya pada jaksa penuntut umum. Hanya saja, dalam “certain cases” diperkenankan penerapan dengan mekanisme yang diferensial,
yaitu sistem pembalikan beban pembuktian atau dikenal sebagai “reversal of burden proof” omkering van bewjislast. Itupun tidak dilakukan secara
overall , tetapi memiliki batas-batas yang seminimal mungkin tidak melakukan suatu destruksi terhadap perlindungan dan penghargaan hak
asasi manusia, khususnya hak tersangkaterdakwa.”
Indriyanto seno adji terhadap dimensi ini lebih detail menyatakan
pendapatnya, bahwa:
70
68
Ibid, hal 102-103
69
Ibid, hal 104
70
Indriyanto Seno, Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian, Jakarta: penerbit kantor pengacara dan konsultasi hukum “prof Oemar Seno Adji, S.H. rekan, 2001 hal 132-133
Dengan dianutnya pembalikan beban pembuktian secara murni menyebabkan beralihnya asas praduga tak bersalah menjadi asas praduga
bersalah. Konsekuensi logis dimensi demikian, praduga bersala realitif cendrung dianggap sebagai pengingkaran asas yang bersifat universal khususnya terhadap
asas praduga tidak bersalah. Pada asasnya, praduga tak bersalah merupakan asas fundamental dalam Negara hukum. Konsekuensinya, setiap orang yang
didakwakan melakukan tindak pidana mendapatkan hak untuk tidak dianggap bersalah hingga terbukti kesalahannya dengan tetap berlandaskan kepada beban
pembuktian pada penuntut umum, norma pembuktian yang cukup dan metode pembuktian yang cukup dan metode pembuktian harus mengikuti cara-cara yang
adil. Selain itu apabila dikaji lebih detail, teori pembalikan beban pembuktian
akan bersinggungan dengan Hak Asasi Manusia HAM khususnya implementasi terhadap ketentuan hukum acara pidana. Pada ketentuan hukum acara pidana
sebagaimana ketentuan pasal 66 KUHAP, pasal-pasal 66 ayat 1,2 dan pasal 67 ayat 1 huruf I statuta Roma Mhakamah Pidana Internasional, pasal 11 ayat 1
Deklarasi Universal Hak Asasi ManusiaHAM, pasal 40 ayat 2b butir I Konvensi tentang hak-hak anak, prinsip 36 ayat 1 kumpulan prinsip-prinsip untuk
perlindungan semua orang dalam bentuk penahanan apapun atau pemenjaraan, resolusi majelis umum PBB 431739 Desember 1988, terdakwa tidak dibebani
kewajiban pembukitan.
71
71
Lilik Mulyadi, op.cit , hal 107
Maka dalam melakukan penindakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi haruslah dicarikan justifikasi yuridis terhadap teori yang dapat mempermudah
pembuktian dengan tetap berpegang teguh kepada asas-asas universal baik dalam ketentuan hukum acara pidana maupun hukum pidana materiil serta instrument
internasional. Tegasnya, disatu sisi untuk membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana korupsi tetap berpegang pada ketentuan teori hukum pembuktian yang
mengedepankan asas pembuktian negative sedangkan disisi lainnya untuk mengembalikan asset asset recovery hasil dari tindak pidana korupsi serta
membuktikan terhadap harta kepemilikan kekayaan pelaku, tetap dipergunakan teori pembalikan beban pembuktian karena teori pembuktian yang demikian
relative tetap menjunjung tinggi ketentuan hukum acara pidana, hukum pidana materil dan instrumen internasional
72
Atas dasar parameter sebagaimana disebut diatas guna mengantisipasi akses negative teori pembalikan beban pembuktian, pembuktian terhadap pelaku
tindak pidana korupsi dipergunakan teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan yang mengedepankan keseimbangan secara
proposional antara perlindungan kemerdekaan individu disatu sisi, dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaan milik pelaku
yang diduga kuat berasal dari korupsi disisi lainnya. Konklusinya, teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan menempatkan pelaku
tindak pidana korupsi terhadap perbuatan atau kesalahan orang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi tidak boleh dipergunakan asas pembalikan
72
Ibid, hal 109
beban pembuktian melainkan tetap berdasarkan asas negative karena perlindungan terhadap hak individu ditempatkan paling tinggi terhadap perampasan
kemerdekaan seseorang.
73
c. Beban Pembuktian Berimbang
Konkretisasi asas ini baik penuntut umum maupun terdakwa danatau penasihat hukumnya saling membuktikan di depan persidangan. Lazimnya
penuntut umum akan membuktikan kesalahan terdakwa sedangkan sebaliknya terdakwa beserta penasihat hukum akan membuktikan sebaliknya bahwa terdakwa
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan. Dalam kepustakaan ilmu hukum asas beban pembuktian ini
dinamakan juga asas pembalikan beban pembuktian “berimbang”. Apabila ketiga polarisasi teori beban pembuktian tersebut dikaji dari tolak
ukur penuntut umum dan terdakwa, sebenarnya teori beban pembuktian dapat dibagi menjadi 2 dua kategori, yaitu :
Pertama, sistem beban pembuktian biasa atau konvensional, penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa dengan mempersiapkan alat-alat bukti
sebagaimana ditentukan undang-undang. Kemudian terdakwa dapat menyangkal alat-alat bukti dan beban pembuktian dari penuntut umum sesuai dengan pasal 66
KUHAP. Kedua, teori pembalikan beban pembuktian yang dalam aspek ini dapat
dibagi menjadi teori pembalikan beban pembuktian yang bersifat “absolut” atau “murni” bahwa terdakwa danatau penasihat hukumnya membuktikan
73
Ibid, hal 111
ketidakbersalahan terdakwa. Kemudian teori pembalikan beban pembuktian yang bersifat “terbatas dan berimbang” dalam artian terdakwa dan penutut umum saling
membuktikan kesalahan atau ketidakbersalahan dari terdakwa.
74
74
Ibid, hal 104
BAB III PENGATURAN HUKUM PEMBUKTIAN DI AMERIKA SERIKAT
A. Penerapan Alat Bukti Form of Evidence Di Amerika Serikat Dalam