Perluasan Pembuktian Pada Tindak Pidana Khusus

didakwakan. Singkatanya hakim tidak bisa dipaksa yakin berdasarkan alat bukti yang ada, meskipun alat bukti yang ada sudah memenuhi syarat pembuktian.

B. Perluasan Pembuktian Pada Tindak Pidana Khusus

Berdasarkan KUHAP, maka yang dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas kepada alat bukti sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 184 Ayat 1 KUHAP. Dengan kata lain, sifat dari alat bukti menurut KUHAP adalah “limitative” atau terbatas pada yang ditentukan saja. Di luar alat bukti yang telah ditentukan tersebut, tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Akan tetapi, KUHAP bukanlah satu-satunya peraturan perundang-undangan pidana formil yang mengatur mengenai pembuktian. Hukum pembuktian yang bersifat khusus , dasarnya bukan semata-mata kepada ketentuan hukum acara pidana sebagaimana pasal 183 KUHAP. Tegasnya, ketentuan hukum pembuktian yang bersifat khusus terdapat dalam UU tindak pidana khusus diluar tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum PidanaKUHP 63 . Didalam UU tindak pidana khusus tersebut diatur mengenai ketentuan hukum pidana formal dan hukum pidana materil secara sekaligus. 64 63 Ketentuan pasal 103 KUHP berbunyi, “ketentuan-ketentuan yang tersebut di dalam delapan bab pertama dari buku ini, juga berlaku terhadap perbuatan-perbuatan yang menurut lain-lain peraturan perundang-undangan diancam dengan hukuman, kecuali jika ditentukan lain oleh undang-undang, oleh peraturan umum dari pemerintah atau oleh suatu ordonansi.” 64 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung : Alumni, 2007 hal: 91 Beberapa undang-undang pidana yang mempunyai aspek formil juga mengatur mengenai alat bukti tersendiri yang diantaranya terdapat pengaturan alat bukti elektronik. Berikut ini, beberapa contoh undang-undang pidana formil di luar KUHAP yang mengatur mengenai alat bukti antara lain: 1 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam ketentuan pasal 26A undang-undang ini, alat bukti petunjuk diperluas, jangkauan pembuktian tidak hanya digali dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa sebagaimana ketentuan pasal 188 ayat 2 KUHAP melainkan dapat digali dari alat bukti lain yang berupa: a. Informasi yang diucapkan, diterima, dikirim atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu; dan b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat,dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. 2 Undang-Undang nomor 11 Tahun 2011 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Dalam ketentuan pasal 76 dan pasal 77 undang-undang tersebut yang berbunyi: Pasal 76: 1 Infromasi elektronik, dokumen elektronik danatau hasil cetaknya dalam kegiatan transfer dana merupakan alat bukti hukum yang sah; 2 Informasi elektronik, dokumen elektronik danatau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Pasal 77: Tanda tangan elektronik dalam kegiatan transfer dana memiliki kekuatan hukum yang sah 3 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perihal pembuktian diatur secara khusus. Kekhususan perihal pembuktian sebagaimana disebutkan dalam bagian kedua tentang pembuktian pasal 96 menyebutkan “alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa; danatau f. Alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pada penjelasan Pasal 96 huruf f merupakan penjelasan otentik Undang- undang, disebutkan bahwa yang dimaksud dengan alat bukti lain, meliputi, informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik, magnetik, optik, danatau yang serupa dengan itu; danatau alat bukti data, rekaman, atau informasi yang dapat dibaca, dilihat, dan didengar yang dapat dikeluarkan dengan danatau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol, atau perporasi yang memiliki makna atau yang dapat dipahami atau dibaca. Pada ketiga contoh undang-undang diatas yang mengatur adanya perluasan sistem pembuktian mengatur tentang bukti elektronik. Dalam praktek penerapan bukti elektronik, hasil cetak dari dokumen atau informasi tidak langsung dapat diterima sebagai alat bukti yang beridiri sendiri. Menurut Ridwan, suatu bukti elektronik dapat memiliki kekuatan hukum apabila informasinya dapat dijamin keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan, dapat diakses dan dapat ditampilkan sehingga menerangkan suatu keadaan. Orang atau pihak-pihak yang mengajukan bukti elektronik di persidangan harus dapat menunjukan bahwa informasi yang dimilikinya berasal dari sistem elektronik yang dapat dipercaya yang pembuatannya dilakukan oleh penyelenggara sertifikat elektronik dan sistem elektronik. 65 Bukti elektronik baru dapat dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia. Suatu bukti elektronik dapat memiliki kekuatan hukum apabila informasinya dapat dijamin 65 Hakim PN Cianjur, Varia Peradilan No 296 Juli 2010 keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan, dapat di akses, dan dapat ditampilkan, sehingga menerangkan suatu keadaan. Berkaitan dengan hal tersebut, ahvi syahrin menyatakan suatu alat bukti yang dipergunakan di pengadilan perlu memenuhi beberapa syarat, diantaranya: 66 a. Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti. b. Reability, yaitu alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya. c. Necessity, yaitu alat bukti yang diajukan memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta d. Relevance, yaitu alat bukti yang diajukan mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.

C. Pengaturan Beban Pembuktian di Indonesia