Perempuan dalam Kitab Suci Hindu

Weda yang disebut Weda Samhita kemudian kedua bagian Weda yang disebut Brahmana dan akhirnya bagian Weda yang disebut Upanishad. 2 Pada zaman Weda 1500 SM hingga 600 SM yang meliputi zaman kedatangan bangsa Arya dan penyebarannya di India, serta penyebaran kebudayaan dan peradaban Arya itu. 3 Orang-orang Arya datang ke India pada millenium kedua sebelum Masehi membawa tradisi Indo-Eropa yang patrineal dan patrilokal. Agama mereka memiliki ciri patriarkal, etnis berorientasi keluarga dan mempertahankan hidup. Tujuan hidupnya adalah mempertahankan dominasi laki- laki dan identitas bangsa Arya di samping itu juga untuk memenuhi hasrat memperoleh keturunan, kemakmuran sampai usia lanjut, dan ritual-ritual keagamaan yang semua itu didasarkan terutama pada keluarga. 4 Pada zaman Weda memberikan penghargaan yang baik terhadap feminitas maupun komplementaritas antara suami istri, meskipun masih dalam struktur yang patriarkal. Penghargaan ini merupakan suatu pembaharuan sistem patriarki yang terdapat dalam konteks tradisi Indo-Eropa sebelumnya. 5 Hal ini terlihat dalam perubahan istilah dampati yang pada awalnya di kalangan orang-orang Indo- Eropa diartikan “tuan rumah” kemudian di India berubah menjadi “pasangan” suami istri. Pada masa ini anak perempuan duhita dan gadis kanya dipuji karena cantik, wajah berseri, dandanan menarik, senyum yang manis, pinggul yang sintal dan paha yang besar. Deskripsi yang semacam ini menunjukkan adanya interest pada daya tarik sensualitas feminin dan kemampuan seorang perempuan untuk 2 F. X. Koesno, Sekilas Sari Filsafat India Hindu, Mawas Diri, h. 31. 3 F. X. Koesno, Sekilas Sari Filsafat India Hindu, Mawas Diri. h. 33. 4 Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, terj. Syafa’atun Al-Mirzanal. Dkk Jakarta: Ditperta Depag RI, CIDA, Mc Gill Project, 2002, h. 72. 5 Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 73. melahirkan anak terutama anak laki-laki. Seorang gadis yang belum menikah diawasi dan dijaga ketat oleh orang tuanya, karena seorang pengantin perempuan dituntut harus perawan. 6 Di dalam Rg-Weda digambarkan secara jelas tentang upacara perkawinan di India dijelaskan bahwa pengantin perempuan merupakan “keberuntungan” sumangali dan “menguntungkan” siva. Dalam upacara tersebut doa-doa dipanjatkan untuk para dewa-dewa agar pasangan pengantin mendapatkan kebahagiaan saubhagatva, bersama-sama mencapai usia lanjut, makmur, memiliki keturunan dan kesatuan hati, serta ditujukan kepada Visvavasu, yang merupakan pelindung gadis-gadis perawan, agar memindahkan penjagaannya kepada yang lain. Selain itu, pengantin perempuan diberikan nasehat-nasehat agar ia tidak boleh marah atau benci kepada suaminya; harus lembut, ramah, gembira, melahirkan anak laki-laki, mengasihi para dewa, memberikan kebahagiaan, membawa keberkahan dan menjadi ratu bagi iparnya. Semua nasehat praktis yang diberikan kepada pengantin perempuan dalam Rg-Weda diistilahkan sebagai Jaya orang yang ikut merasakan perasaan suami, Jani ibu anak-anak, dan patni partner dalam melakukan berbagai ritual atau yajna. Istilah-istilah tersebut dalam Rg-Weda merupakan ciri peranan perempuan Hindu. 7 Ritual-ritual keagamaan di pusatkan di rumah, yaitu dewa-dewa diundang untuk mengunjungi dan menerima hadiah di sana-maka istri hadir dalam peristiwa-peristiwa ini serta berpartisipasi di dalamnya melalui hymne-hymne pujian dan sikap-sikap yang ramah. Dalam ritual domestik maupun ritual publik menekankan kehadiran bersama suami dan istri. Kehadiran seorang istri 6 Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 73. 7 Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 74 diperlukan untuk menghadirkan dewa-dewa dan rumah dipandang menguntungkan subha apabila adanya kebrsamaan suami istri. Kesempurnaan hidup kebahagiaan, kekayaan dan kesejahteraan, pencapaian keabadian versi syurgawi hidup ini, dan bahkan tata tertib alam dan masyarakat pun diperoleh karena adanya keharmonisan suami istri. 8 Bagaimanapun seorang istri dan ibu pada zaman ini dimuliakan, namun suamilah yang tetap memiliki peranan yang dominan. Perempuan menurut Weda tidak lebih dari seorang patner yang ikut membantu, meskipun tidak terlibat secara aktif dalam ritual-ritual Weda. Hal ini disebabkan karena alasan bahwa para dewa tidak mungkin diabaikan dan perhatikan. Jadi, jika semua laki-laki tidak berada di rumah, maka istri melakukan peran ritual menjamu tamu menggantikan suaminya di samping tugas rutinnya sebagai penjaga api rumah. 9 Dengan demikian perempuan mempunyai andil yang sangat kecil dalam kegiatan- kegiatan ritual keagamaan. Sebagian besar naskah Hindu seperti “the law of manu”, Smriti, Yajnavalkyis, atri dan Vahista meletakan wanita pada posisi terbawah dibandingkan laki-laki di dalam keluarga, ritual, umum, wanita selalu berada dibawah pengawasan laki-laki, tanpa laki-laki, wanita berpotensi terkena bahaya. 10 Kehidupan suami-istri biasanya memerlukan perlindungan dari suaminya dan begitupun suami memerlukan kasih sayang dari isterinya. Dalam ajaran agama Hindu disebut “tattwamasi” maksudnya: saya adalah engkau atau engkau 8 .Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 74. 9 Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 74 10 Ida Rosyidah , Gandhi’s Ideas of Women in Hinduism, REFLEKSI Jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Vol. VIII, No. 3, Jakarta, 2006, h. 265. adalah saya. 11 biasanya suami istri dalam ajaran Hindu memilki pedoman yang dijadikan acuan dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Seperti dalam pustaka suci Manawa Dharmasastra III dalam sloka 60, 61, 62. Samtusto bharyaya bharta tathaiwa ca, Yasminnewa kule nityam kalyanan tatra wai dhruwam Artinya: Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal. Yadi hi stri na roceta pumamsam na pramodayet, Apramodat punah pumsah prajanan na prawartate Artinya: Karena kalau istri tidak mempunyai wajah berseri, ia tidak akan menarik suaminya, tetapi jika seorang istri tidak tertarik pada suaminya tidak akan ada anak yang lahir. Striya tu rocamanayam sarwam tadrocate kulam, Tasyam twarocamanayam sarwmena na rocate Artinya: Jika seorang istri selalu berseri-seri seluruh rumah akan kelihatan bercahaya, teapi jika ia tidak berwajah demikian semuanya akan kelihatan suram. 12 Dalam agama Hindu terdapat praktek Sati yang merupakan dharma kebaikan dari pada menjanda yang merupakan suatu adharma kejahatan. Jadi, ketika seorang suami meninggal dunia seorang istri harus memilih antara melakukan Sati dengan predikat kemuliaannya ataukah menjadi janda dengan predikat kesialannya. Bagi seorang perempuan yang memilih Sati, Sati adalah pelaksanaan upacara keagamaan yang dilakukan seorang istri demi kesetiaan terhadap suaminya. Seorang perempuan dengan penuh ketenangan dan penyerahan jiwa dan raga, rela ikut dibakar bersama jasad suaminya yang telah 11 Ni Made Sri Arwati, Swadarma Ibu dalam Keluarga Hindu, h. 7. 12 Gede Pudja dan Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmasastra, h. 148. meninggal dunia. Masyarakat memandang seorang perempuan yang berani melakukan Sati, dianggap seorang istri yang baik atau seorang Sati sejati, yang mendatangkan kehormatan dan kemuliaan bagi diri, keluarga dan masyarakatnya. Masyarakat pun mengungkapkan rasa terima kasih terhadap perempuan tersebut karena memperoleh kesempatan menyaksikan pengorbanan mulia itu. 13 Sedangkan perempuan yang memilih tetap menjadi janda, ia ditandai dengan “garis-garis ketidak beruntungan” tertulis di kening putihnya sebab di situ sudah tidak ada lagi titik merah tilaka. Rambut kepalanya dicukur atau dibiarkan terurai tanpa hiasan bunga, hal ini memperlihatkan keadaannya yang sengsara. Tidak ada satu pun perhiasan menghiasi bagian-bagian tubuhnya, tubuhnya hanya dibalut kain Sari dari kain kapas berwarna buruk, sering kali tanpa blous dan seperti biasa ia berjalan tanpa alas kaki. Dalam masyarakat, ia dikucilkan seperti tidak boleh mengikuti pertemuan-pertemuan, perayaan-perayaan, pesta-pesta perjamuan bahkan kesenangan atau kenikmatan dalam bentuk apapun. Sebagai seorang manusia, ia dipandang sebagai seorang perempuan yang telah gagal dalam melakukan perbuatan dan tujuan keagamaannya. 14

B. Konsep Ideal Perempuan Hindu

1. Perempuan sebagai istri Tuhan Yang Maha Esa menciptakan dua mahluk yang berlainan jenis dan menumbuhkan rasa saling mencintai antara keduanya, sehingga lahirlah perkawinan dan terwujudnya suatu keluarga. 15 Perkawinan merupakan suatu 13 Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 100 14 Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h. 101. 15 Gusti Ayu Kade Jati Laksmi, Wanita Hindu dalam Perluasan Cakrawala Pembangunan, h.45. sakramen, yang dalam agama Hindu merupakan satu diantara empat ashrama. 16 Perkawinan mengesahkan hak untuk berpadu bagi kedua mitra dengan mengucilkan semua orang lain, bila mereka berdua beranggapan bahwa perpaduan itu menyenangkan. Namun tidak diberi hak mutlak kepada masing-masing mitra untuk menuntut kepatuhan terhadap hasratnya untuk berpadu. 17 Sakramen perkawinan yang dilakukan biasanya merupakan pengalaman traumatis bagi seorang gadis muda, karena saat perkawinan, Ia diambil dari rumahnya; dimana dia dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Dia dipindah ke keluarga suaminya dengan diawasi secara ketat oleh sanak familinya. Meskipun dirinya beruntung, karena status perkawinannya sesuai dengan ajaran-ajaran agama, namun stereotipe yang berkembang memperlihatkan bahwa keluarga suami seringkali menganggap dirinya sebagai figur yang berbahaya, seorang perempuan penggoda, hingga ia melahirkan anak pertama. Lebih disukai jika anak yang dilahirkan adalah anak laki-laki, dan setelah itu baru ia berada pada posisi aman. 18 Dalam sastra-sastra Hindu telah menuliskan bahwa tujuan utama suatu pernika han yaitu memperoleh keturunan, seperti do’a yang diucapkan ibu rumah tangga baru pada saat pernikahannya, oleh saudari-saudarinya yang lebih tua, yaitu semoga kami dikaruniai banyak anak. Hal ini menguatkan bahwa hidup 16 Empat ashrama merupakan ciri-ciri perkembangan kehidupan beragama manusia, yang terdiri dari Brahmachari masa menuntut ilmu, Grhastha masa berumah tangga, Wanaprastha masa pertapa dan Sanyasin masa hidup dengan meninggalkan keduniawian. Lihat: Djam’annuri, Agama Kita Perspektif Sejarah Agama-agama sebuah pengantar Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2000, h.36-37. 17 Mahatma Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, Kehidupan dan Gagasan Mahatma Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, terj. Kustiniyati Mochtar Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PT. Gramedia, 1988, h. 191. 18 Arvin Sharma, Perempuan dalam Agama-agama Dunia, h.98.