kehidupan rohani, sehingga setiap saat dalam kehidupannya merupakan usaha yang sadar untuk menghayati kitab Bhagavad Gita.
Buku lainnya yaitu Civil Disobedience karya Henry David Thoreau dan The Kingdom Of God Is Within You karangan Leo Tholstoy. Kedua buku ini
mempengaruhi Gandhi dalam melaksanakan Satyagraha. Civil Disobedience telah membuka mata Gandhi bagaimana ahimsa dapat digunakan dalam menghadapi
persoalan-persoalan politik. Sedangkan dalam The Kingdom Of God Is Within You Gandhi mendapatkan dukungan yang meyakinkan atas kepercayaannya pada
kebenaran dan tanpa perlawanan, juga yang lebih menarik ia mendapatkan suatu ungkapan tentang keindahan dan kebesaran penderitaan. Bahwa penderitaan tidak
selalu „didalam dirinya sendiri’bernilai negatif, penderitaan ternyata mampu mengangkat manusia ketaraf keutamaan yang lebih tinggi. Disebutkan dalam
buku itu bahwa melalui penderitaan, manusia bisa membebaskan diri dan menetralisasi kekuatan-kekuatan jahat yang ada di dalam dirinya.
27
Gandhi tertarik mempelajari moralitas Kristen, terutama kekuatan cinta kasih dari Khotbah Yesus di atas bukit pada Al-kitab Perjanjian Baru. Pada
khotbah di bukit mengajarkan bahwa manusia harus saling mencintai. Keharusan itu bukan karena ada perintah untuk mencintai, melainkan manusia pada
hakikatnya memerlukan itu. Hukum yang diletakan Yesus bukanlah sesuatu yang berada di luar diri manusia, melainkan sesuatu yang berada di dalam hati
manusia, inheren dalam setiap pribadi.
28
27
R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, h. 15.
28
I. Marsana Windhu, Khotbah di Bukit Ahimsanya Mahatma Gandhi, Rohani, 1993, h. 166-167.
C. Garis Besar Pemikirannya
Gandhi dikenal sebagai seorang yang taat beragama, ketaatan baragamanya tidak lepas dari dari pengaruh ibunya yang rajin menjalankan
peribadatan, dan adanya kitab-kitab agama yang dibacanya. Dikatakan oleh Thekkenedath: sesungguhnya ketika berada di Afrika Selatan Gandhi mempelajari
bahasa Sansekerta, menghafal Gita, membaca karya-karya Ruskin, Tolstoy dan Thoreau, meninggalakan keduniaan dan menjadi Mahatma berjiwa besar.
Pemikiran Gandhi sebenarnya tidak kompleks, justru sebaliknya, Gandhi dengan tegas memilih kesederhanaan, tidak hanya dalam menjelaskan ajaran-
ajarannya, tetapi juga oleh praktek hidupnya. Hal ini nampak terutama dalam konsepnya tentang dunia, Tuhan, alam dan kehidupan manusia.
Sebagai seorang Mahatma, pemikirannya tentang Tuhan tidaklah terlalu rumit. Menurutnya Tuhan merupakan wujud universal yang meliputi segala
sesuatu, dan manusia adalah salah satu bagian kecil, Tuhan juga menciptakan hukum, dimana antara pencipta hukum dan hukum itu tidak dapat dibedakan
antara satu dengan lainnya. Adapun mengenai sifat Tuhan, Gandhi melihatnya bahwa Tuhan tidak
personal yang mempribadi, melainkan yang impersonal yang hanya di tangkap melalui pemahaman. Keyakinan terhadap kesempurnaan-Nya tidak diragukan
lagi, dan manusia karena keterbatasannya hanya menangkap bagian dari kesempurnaan itu. Sedang kehadiran Tuhan dapat dirasakan melalui fenomena
alam yang teratur. Keteraturan itu bukanlah suatu hukum yang buta, sebab keteraturan itu mempunyai arah yang jelas, dan hukum semacam itu dipahami
Gandhi sebagai Tuhan
Gandhi memaknai kebenaran sebagai sesuatu yang sama dengan suara di dalam bathin setiap orang. Maka kebenaran itu bukan semata-mata obyektif tetapi
subyektif. Jika kebenaran itu bersifat subyektif maka akan tampak berbagai kebenaran dari individu-individu, dan hal itu bukan masalah bagi pencari
kebenaran. Ia menyatakan:
“Namun, meskipun mengabdi pada apa yang tampak sebagai kebenaran bagi seseorang, akan tampak sering bagi orang lain sebagai ketidakbenaran. Tetapi hal itu
tidak perlu menggusarkan bagi seorang pencari kebenaran. Di mana ada ikhtiar-ikhtiar yang jujur, disana akan kita sadari bahwa tampaknya kebenaran yang berbeda-beda hanya
merupakan daun-daun dari satu pohon yang tak terhitung banyaknya dan kelihatannya
berbeda.”
Konsepsi semacam ini timbul karena Gandhi memahami bahwa Tuhan menampakan diri pada manusia dengan berbagai bentuk, tetapi ia meyakini
kebenaran adalah sebutan tepat bagi Tuhan. Jalan untuk melihat Tuhan yaitu dengan melihat ke dalam ciptaannya
dan bersatu dengan ciptaan-Nya itu, inilah kebenaran yang dimaksud Gandhi. Dan cara bersatu, berdamai serta selaras dengan ciptaan itu adalah sebagai ahimsa.
Ahimsa yang diajarkan Gandhi merupakan suatu keseluruhan hidup yang meliputi pikiran tindakan dan kata-kata. Ahimsa ditujukan kepada mereka yang kuat
jiwanya, bukan kepada mereka yang lemah dan suka kompromi. Hanya mereka yang mampu mengalahkan ketakutannyalah yang sunguh-sungguh dapat memiliki
kekuatan ahimsa, sehingga ia benar-benar menjadi seorang yang seluruh hidupnya hanya mau berpegang pada kebenaran atau Satyagraha.
29
Menjadi Satyagrahi atau orang yang melakukan Satyagraha, seorang dituntut mengadakan tindakan disiplin diri dan sikap pengabdian, karena
penekanannya pada pencapaian ketinggian moral. Untuk itu perlu melatih diri
29
R. Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi, h. 17-18.