Perbedaan Strategi Koping Pada Perempuan Hindu Bali Yang Bekerja Dan Yang Tidak Bekerja.

(1)

PERBEDAAN STRATEGI KOPING PADA PEREMPUAN

HINDU BALI YANG BEKERJA DAN YANG TIDAK

BEKERJA

SKRIPSI

Diajukan Kepada Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas

Udayana Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat-syarat Guna Memperoleh

Gelar Sarjana Psikologi

I GUSTI AYU INTAN KINANTI ANGLIGAN

1102205037

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR


(2)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

Dipertahankan di Depan Panitia Ujian Skripsi Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana dan Diterima untuk Memenuhi Sebagian dari

Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi.

Pada tanggal :

18 April 2016

Mengesahkan Program Studi Psikologi

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Dekan,

Prof. Dr. dr. Putu Astawa, SpOT (K)., M.Kes.

Tim Penilai : Tanda tangan

1. Luh Made Karisma Sukmayanti Suarya, S.Psi., M.A. ________________

Pembimbing

2. Drs. Supriyadi, M.S., Psi. ________________

Ketua Penguji

3. Luh Kadek Pande Ary Susilawati, S.Psi., M.Psi. ________________

Sekretaris Penguji

4. Ni Made Ari Wilani, S.Psi., M.Psi. ________________


(3)

iii MOTTO

Sukses adalah hasil kesempurnaan, kerja keras, belajar dari

kegagalan, kesetiaan, dan ketekunan.

Colin Powell

Face the world with smile, actually “the ending is a new

beginning”.

Anonim

Berdamailah dengan diri Anda.

Cintailah diri Anda.

Mencintai diri Anda berarti menerima diri Anda apa adanya.

Ajahn Chan


(4)

iv

PERSEMBAHAN

Dalam lembar ini, ijinkan saya mempersembahkan karya ini kepada : Ida Sang Hyang Widhi Wasa

Ayah Tersayang

I Gusti Putu Wahyudi Angligan, MBA.

Ibu Tercinta

Cokorda Istri Mirah Wahyuni

Kakak Terkasih

I Gusti Ngurah Bagus Krishna Angligan

Program Studi Psikologi Universitas Udayana

Institusi pendidikan yang menjadi tempat saya mengenyam ilmu yang sekaligus telah banyak membantu saya untuk mengembangkan potensi diri

dan


(5)

v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Yang bertandatangan dibawah ini, Saya, I Gusti Ayu Intan Kinanti Angligan, dengan disaksikan oleh tim penguji skripsi, dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh derajat kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun. Sepanjang pengetahuan saya, tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia derajat kesarjanaan ini dicabut.

Denpasar, April 2016 Yang Menyatakan,

I Gusti Ayu Intan Kinanti Angligan NIM. 1102205037


(6)

vi

PERBEDAAN STRATEGI KOPING PADA PEREMPUAN HINDU BALI YANG BEKERJA DAN YANG TIDAK BEKERJA

I Gusti Ayu Intan Kinanti Angligan

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana intanqeenan@yahoo.co.id

ABSTRAK

Secara umum, perempuan memiliki dua peran dalam kehidupan, yaitu peran domestik dan peran publik. Dalam kaitan budaya Bali, perempuan memiliki tiga peran atau triple roles dalam kehidupan, yaitu peran reproduktif, peran produktif, dan peran sosial. Sebagai perempuan Bali yang tidak terlepas dari ikatan adat, tentunya menuntut keseimbangan dalam menjalankan tiga peran atau triple roles dalam kehidupan. Masih banyak perempuan Bali terbelenggu di dalam kondisi dilematis untuk melakukan pekerjaan mencari karier, sementara di satu sisi harus menjadi pengurus rumah tangga maupun kegiatan sosial yang tanpa disadari memiliki tuntutan tersendiri. Apabila kondisi ini tidak dikomunikasikan dengan baik, maka dapat menggangu kondisi psikologis atau menjadi stres. Untuk menangani stres serta mencegah efek negatif stres terus terjadi, maka individu melakukan strategi koping. Namun, strategi koping yang dilakukan sangat bervariasi antara individu satu dengan individu lain. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan strategi koping pada perempuan Hindu Bali yang bekerja dan yang tidak bekerja. Penelitian ini merupakan sebuah penelitian kuantitatif dengan menggunakan teknik analisis chi-square. Teknik pengambilan sampel yang digunakan yaitu purposive sampling, pada subjek perempuan Hindu Bali yang bekerja sebanyak 100 orang dan yang tidak bekerja sebanyak 100 orang yang tinggal di Kota Denpasar dengan rentang usia 20 tahun sampai 40 tahun. Alat ukur dalam penelitian ini menggunakan skala strategi koping sebanyak 31 aitem dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,917. Hasil dari penelitian ini diperoleh nilai signifikansi sebesar 0.406 atau berada di atas 0,05 (p>0,05). Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa tidak terdapat perbedaan strategi koping pada perempuan Hindu Bali yang bekerja dan yang tidak bekerja. Sebanyak 164 subjek pada penelitian ini tergolong ke dalam kategori subjek yang memiliki strategi koping kombinasi.


(7)

vii

THE COPING STRATEGY DIFFERENTIATION TOWARDS EMPLOYEE AND UNEMPLOYEE BALINESE HINDU WOMEN

I Gusti Ayu Intan Kinanti Angligan

Department of Psychology, Medical Faculty, Udayana University intanqeenan@yahoo.co.id

ABSTRACT

In general, women have two roles in life, there are domestic roles and public roles. In terms of Balinese culture, women have three roles or triple roles in life, which are reproductive roles, productive roles, and social roles. Being Balinese Hindu women which is inseparable from the customary of traditional bonds, of course, requires a balance in running are three roles or triple roles in life. There are still many Balinese women imprisoned in a state of dilemma to do a job search for a career, while on the other hand must be a housewife and social activities that unwittingly has its own demands. If this condition is not communicated properly, it can interfere with the psychological condition or stress. To deal with stress and to prevent the negative effects of stress continues to occur, then the individual conduct coping strategies. However, coping strategies do vary considerably between one individual with another individual. This study aims to determine differences in coping strategies in Bali Hindu woman who works and what does not work. This research is a quantitative study using chi-square analysis techniques. The sampling technique used is purposive sampling, on the subject of Balinese Hindu women who worked (being employee) as many as 100 people and who are not working (unemployee) as many as 100 people who live in Denpasar with an age range of 20 years to 40 years. A parametric in this study using a scale of coping strategies as much as 31 item with reliability coefficient of 0,917. The results of this study obtained significance value of 0,406 or is above 0,05 (p>0,05). Based on these results it can be said that there is no difference in coping strategies in employee and unemployee Balinese Hindu woman ( who works and what does not work). A total of 164 subjects in this study belongs to the category of subjects who have combine coping strategies.

Keywords: Balinese Hindu Women, Being Employee, Being Unemployee, Coping Strategies


(8)

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas waktu, nafas, kesadaran dan tubuh serta pemikiran yang masih tersedia sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan skripsi yang berjudul "Perbedaan Strategi Koping Pada Perempuan Hindu Bali Yang Bekerja Dan Yang Tidak Bekerja" ini merupakan salah satu syarat dalam memperoleh gelar sarjana psikologi di Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Penyusunan skripsi yang berlangsung selama kurang lebih 1 tahun dengan berbagai tantangan dan pembelajaran ini didukung oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti menyampaikan terimakasih kepada segenap pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, khususnya :

1. Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), M.Kes sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

2. Dra. Adijanti Marheni, M.Si, Psikolog, sebagai Ketua Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan tanda tangan dan izin sidang sebagai wujud dukungan, motivasi bagi penulis serta memberikan saran untuk skripsi ini serta sebagai Dosen Pembimbing Akademik penulis yang selalu membimbing, memberikan dukungan, motivasi dan semangat selama 10 semester serta terimakasih atas saran yang diberikan untuk skripsi ini.

3. Luh Made Karisma Sukmayanti Suarya, S.Psi.,M.A. sebagai dosen pembimbing skripsi yang begitu sabar membimbing penulis serta meluangkan waktu dan tenaga, dan sangat bijak memberikan dukungan, semangat, dan memotivasi penulis serta membagikan ilmu bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Drs. Supriyadi, M.S., Psi. selaku ketua penguji skripsi yang telah mendukung dan memberikan tambahan ilmu dan perbaikan dalam revisi untuk


(9)

ix

membuat skripsi ini menjadi lebih baik serta memberikan masukan dan membantu peneliti untuk memecahkan permasalahan statistik dalam penulisan skripsi ini. 5. Ibu Luh Kadek Pande Ary Susilawati, S.Psi., M.Psi. selaku sekretaris penguji

skripsi yang telah memberikan masukan yang sangat berguna untuk memperbaiki penyusunan skripsi ini.

6. Ibu Ni Made Ari Wilani, S.Psi., M.Psi. selaku anggota penguji skripsi yang telah memberikan arahan, masukan, kritik maupun saran yang sangat bermanfaat kepada penulis untuk memperbaiki skripsi ini.

7. Keluarga besar Program Studi Psikologi Universitas Udayana yang sudah peneliti anggap seperti keluarga sendiri. Seluruh staff dosen, staff Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, serta seluruh teman-teman dari berbagai angkatan, yang terus memberi dukungan dalam proses penyelesaian skripsi ini. 8. Kepada Orangtua tercinta, Ayah I Gusti Putu Wahyudi Angligan, MBA., Ibu

Cokorda Istri Mirah Wahyuni, serta kakak terkasih I Gusti Ngurah Bagus Krishna Angligan, terimakasih telah memberikan dukungan materiil maupun psikologis dalam segala hal dan terimakasih telah sabar menunggu penulis menyelesaikan pendidikan sarjana ini.Thank you so much. You’re my everything.

9. Kepada teman-teman terbaik, Ayu Diyantari, Wiwin Fitriya, Lorenzy Oshel, Putu Natalya, Ferra Sarah, Santika Dewi, serta semua teman Zestrivida – Psikologi 2011 yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, yang semuanya punya peranan tersendiri dalam kehidupan penulis.

10.Teman-teman Cambridge Squad di English First, Yogi, Johnny, Kak Yuni, Yupi, Kevin, Darma, yang setia setiap saat mengingatkan dan memberikan semangat dalam proses pengerjaan skripsi ini pada penulis. Thanks for supporting me.


(10)

x

11.Kepada adik-adik serta rekan-rekan tersayang, Wahde, Wahgung, Tante Cok Mas, Bu Ari, Bu Tude, Om Arya, dan Tante Wulan, yang telah membantu serta memberikan semangat dan memotivasi peneliti dalam proses pengambilan maupun input data penelitian.

12.Kepada Human Resources Manager Bali Padma Resort Hotel, Bapak Nyoman Adi Arimbawa serta Unit Manager Pru Integrity, Ibu Ayu Widiani, yang telah mengijinkan penulis melakukan proses pengambilan data demi kelancaran proses pembuatan skripsi penulis.

13.Kepada seluruh perempuan Hindu yang berdomisili di Kota Denpasar, terimakasih telah membantu penulis dengan ikut berpatisipasi dalam mengisi skala strategi koping penelitian ini.

14.Kepada semua pihak, setiap orang yang pernah penulis temui dan membantu langsung maupun tidak langsung memberikan semangat untuk penulis bertahan dan berjuang melanjutkan setiap perjuangan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum sepenuhnya sempurna, karena masih terdapat kesalahan dan kekurangan terkait keterbatasan yang penulis miliki. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Denpasar, April 2016


(11)

xi DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN MOTTO ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 13

1. Manfaat Teoritis ... 13

2. Manfaat Praktis ... 14

E. Keaslian Penelitian ... 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 17

A. Strategi Koping ... 17

1. Definisi Strategi Koping ... 17

2. Jenis-jenis Strategi Koping ... 19

3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Strategi Koping ... 27

B. Perempuan Hindu Bali ... 30

1. Perempuan Bekerja ... 30

2. Perempuan Tidak Bekerja ... 32

3. Perempuan Hindu Bali yang Bekerja dan yang Tidak Bekerja ... 33

C. Dinamika Antar Variabel ... 35

D. Hipotesis Penelitian ... 39

BAB III METODE PENELITIAN ... 40

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 40

1. Variabel Bebas ... 40

2. Variabel Tergantung ... 41

B. Definisi Operasional Variabel Penelitan ... 41

1. Status Pekerjaan Ibu ... 41

2. Strategi Koping ... 42

C. Subjek Penelitian ... 43

1. Populasi ... 43

2. Sampel ... 43

3. Teknik Pengambilan Sampel ... 44


(12)

xii

D. Metode Pengumpulan Data ... 45

E. Validitas dan Reliabilitas ... 47

1. Uji Validitas ... 48

2. Uji Reliabilitas ... 49

G. Metode Analisis Data ... 49

BAB IV Persiapan, Laporan Penelitian, dan Pembahasan ... 51

A. Persiapan Penelitian ... 51

1. Persiapan Uji Coba Alat Ukur Penelitian ... 51

2. Uji Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 52

B. Pelaksanaan Penelitian ... 56

C. Analisis Data dan Hasil Penelitian ... 57

1. Karakteristik Subjek ... 57

2. Kategorisasi Skor Penelitian ... 60

3. Uji Analisis Data ... 62

4. Analisis Tambahan ... 63

D. Pembahasan ... 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 74

A. Kesimpulan ... 74

B. Saran ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 76

DAFTAR ISTILAH ... 81


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR


(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue Print Strategi Koping ... 46

Tabel 2. Indeks Daya Beda Aitem dan Reliabilitas Skala Strategi Koping ... 54

Tabel 3. Sebaran Skala Strategi Koping Sebelum Dilakukan Seleksi Aitem ... 55

Tabel 4. Sebaran Skala Strategi Koping Setelah Dilakukan Penyusunan Nomor Aitem ... 56

Tabel 5. Gambaran Karakteristik Subjek Berdasarkan Status Pekerjaan ... 58

Tabel 6. Gambaran Karakteristik Subjek Berdasarkan Usia ... 58

Tabel 7. Gambaran Karakteristik Subjek Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 59

Tabel 8. Gambaran Karakteristik Subjek Berdasarkan Jumlah Anak ... 59

Tabel 9. Gambaran Karakteristik Subjek Berdasarkan Jumlah Penghasilan Keluarga ... 60

Tabel 10. Rentang Kategorisasi Skor ... 61

Tabel 11. Kategorisasi Skor Strategi Koping Pada Ibu Bekerja ... 61

Tabel 12. Kategorisasi Skor Strategi Koping Pada Ibu Tidak Bekerja ... 61

Tabel 13. Perhitungan Statistik Chi-square ... 62

Tabel 14. Rangkuman Hasil Uji Hipotesis ... 63

Tabel 15. Perbedaan Strategi Koping Berdasarkan Usia ... 63

Tabel 16. Perbedaan Strategi Koping Berdasarkan Pendidikan ... 64

Tabel 17. Perbedaan Strategi Koping Berdasarkan Jumlah Anak ... 64


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner Try Out... 82

Lampiran 2. Kuesioner Penelitian (Aitem Valid)... 89

Lampiran 3. Sebaran Data Try Out... 95

Lampiran 4. Sebaran Data Try Out Skala Strategi Koping ... 98

Lampiran 5. Reliabilitas dan Validitas Skala Strategi Koping Sebelum Aitem Digugurkan ... 101

Lampiran 6. Reliabilitas dan Validitas Skala Strategi Koping Setelah Aitem Digugurkan ... 103

Lampiran 7. Sebaran Data Penelitian ... 105

Lampiran 8. Sebaran Data Penelitian Skala Strategi Koping ... 113

Lampiran 9. Kategorisasi Data Penelitian ... 121

Lampiran 10. Uji Hipotesis Data Penelitian ... 125

Lampiran 11. Uji Data Tambahan Perbedaan Strategi Koping Berdasarkan Usia ... 126

Lampiran 12. Uji Data Tambahan Perbedaan Strategi Koping Berdasarkan Pendidikan... 127

Lampiran 13. Uji Data Tambahan Perbedaan Strategi Koping Berdasarkan Jumlah Anak ... 128

Lampiran 14. Uji Data Tambahan Perbedaan Strategi Koping Berdasarkan Penghasilan ... 129

Lampiran 15. Nilai-nilai Chi-square (χ2) ... 130


(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap manusia memiliki banyak kebutuhan yang selalu ingin dipenuhi dalam hidup. Kebutuhan itu dapat berupa kebutuhan fisik, psikis dan sosial. Dalam kehidupan nyata kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak selalu dapat dipenuhi. Keadaan itulah yang cenderung membuat manusia merasa tertekan secara psikologis. Lazarus (dalam Maryam, 2009) mengatakan respon dari perasaan tertekan itu dimanifestasikan manusia dalam bentuk perilaku yang bermacam-macam didasarkan pada sejauh mana manusia itu memandang masalah yang sedang dihadapi. Jika masalah yang dihadapi dipandang negatif, maka respon perilaku pun negatif dan diperlihatkan dalam bentuk-bentuk perilaku neurotis dan patologis. Sebaliknya, jika persoalan yang dihadapi dipandang positif, maka respon perilaku yang ditampilkan pun dapat berupa penyesuaian diri yang sehat dan mengatasi masalah dengan cara-cara yang konstruktif.

Pemilihan cara mengatasi masalah ini disebut dengan istilah proses koping. Dalam pandangan Sarafino (2006), koping adalah suatu proses atau usaha individu mencoba untuk mengelola perbedaan yang dirasakan antara tuntutan dan sumber daya yang dimiliki dengan tujuan untuk menetralisasi atau mengurangi stres yang terjadi. Para ahli psikologi seperti Baum, Coyne dan Holroy (dalam Maryam, 2009), mengelompokkan stres dalam tiga perspektif yaitu stres sebagai stimulus, stres sebagai suatu respon, dan stres sebagai suatu proses. Menurut perspektif stres sebagai stimulus, stres terjadi disebabkan oleh lingkungan atau kejadian yang dapat mengancam atau berbahaya sehingga menimbulkan ketegangan dan perasaan tidak nyaman. Menurut pandangan stres sebagai respon, stres merupakan reaksi atau respon individu terhadap


(17)

2

kejadian yang tidak menyenangkan. Selanjutnya, stres sebagai suatu proses terjadi karena adanya interaksi antara individu dan lingkungan.

Cooper dan Palmer (2007) mengidentifikasikan berbagai sumber penyebab stres, salah satunya adalah konflik peran. Sebagian besar perempuan yang bekerja, terutama di perusahaan besar, cenderung dianggap sebagai pihak yang mengalami stres lebih tinggi dibandingkan dengan pria. Hal ini dapat terjadi dikarenakan perempuan bekerja menghadapi konflik peran sebagai perempuan karier sekaligus ibu rumah tangga. Dalam kebudayaan Indonesia, perempuan dituntut untuk berperan sebagai ibu rumah tangga yang baik sehingga banyak perempuan karier yang merasa bersalah ketika harus bekerja. Perasaan bersalah ditambah dengan tuntutan dari dua sisi, yaitu pekerjaan dan ekonomi rumah tangga yang sangat berpotensi menyebabkan perempuan bekerja mengalami stres.

Penelitian yang dilakukan Junita (2011) menunjukkan bahwa perempuan karier yang sudah berkeluarga cenderung mengalami konflik peran dalam menjalani peran sebagai seorang istri, ibu, dan karyawan. Konflik peran disebabkan oleh tuntutan waktu yang bersamaan pada peran dalam organisasi dan peran dalam rumah tangga. Penelitian yang dilakukan Alteza dan Hidayati (2012) tentang work-family conflict pada perempuan bekerja menunjukkan bahwa penyebab work-family conflict pada perempuan bekerja dapat bersumber dari pekerjaan maupun keluarga (work-to-family interference dan family-to-work interference). Penyebab konflik yang bersumber dari pekerjaan berupa working time arrangements yaitu jam kerja yang panjang dan menyita waktu, waktu tempuh kantor dengan rumah yang cukup lama dan job content yaitu beban pekerjaan yang terlalu menuntut dan kurangnya dukungan dari rekan sekerja. Sedangkan penyebab konflik yang bersumber dari keluarga berupa karakeristik situasi pribadi atau rumah tangga, di antaranya memiliki anak kecil yang masih memerlukan


(18)

3

perhatian lebih, pertentangan di antara anggota keluarga, dan ketiadaan atau keterbatasan bantuan dari orang lain untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.

Permatasari (2010) mengatakan bahwa perkembangan jaman di era pembangunan seperti kemajuan ekonomi, meningkatnya pendidikan perempuan, tingkat modernisasi dan globalisasi informasi serta adanya keberhasilan gerakan emansipasi perempuan dan feminisme menyebabkan kehidupan perempuan tidak terbatas pada kehidupan rumah tangga saja. Perempuan diberikan kesempatan untuk mengembangkan peran baik sebagai ibu rumah tangga maupun perempuan bekerja. Perempuan diberi kesempatan dan peran yang sama dengan pria untuk berpartisipasi dalam pembangunan nasional dan semakin terlibat dalam berbagai kegiatan atau berkarya di luar rumah.

Masih banyak dijumpai ibu rumah tangga yang tidak bekerja dan hanya menghabiskan waktu untuk mengurus segala keperluan suami dan anak-anak. Bahkan tidak sedikit seorang ibu yang rela meninggalkan pekerjaan yang sangat dicintai demi menyandang status sebagai ibu rumah tangga. Status sebagai seorang ibu rumah tangga yang tidak bekerja memang unik dan spesial. Di tengah kemajuan teknologi, perkembangan komunikasi dan persaingan ketat yang menuntut manusia untuk mengalami kemajuan dalam hidupnya, seorang ibu rumah tangga rela melepaskan semua impian dan cita-cita yang sangat menjanjikan kesuksesan (Rahmawati, 2009).

Kartono (2007) menjelaskan ada kalanya seorang perempuan sungguh-sungguh ingin menjadi ibu rumah tangga dengan tujuan berkonsentrasi untuk mengurus, mendidik, melayani dan mengatur keluarga. Telah banyak diketahui bahwa ibu rumahtangga mempunyai tugas untuk mengurus segala keperluan atau kebutuhan rumahtangga. Pada umumnya, perempuan menganggap bahwa menjadi ibu rumahtangga bukan suatu pekerjaan, karena seorang perempuan yang berkeluarga akan secara langsung menerima peran sebagai ibu rumah tangga.


(19)

4

Menjadi seorang ibu rumah tangga pun memiliki masalah-masalah tersendiri. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ayu (2009) menjelaskan bahwa ibu rumah tangga cenderung mengalami masalah dengan suami, anak, keuangan, dan diri sendiri. Masalah dengan suami meliputi bidang penghasilan suami yang minim maupun ketidakjujuran suami dalam berkomunikasi. Masalah dengan anak meliputi perasaan sedih dikala anak sedang sakit, sehingga aktivitas-aktivitas yang sering dilakukan tertunda dengan memikirkan dan mengurus anak. Masalah dengan keuangan meliputi keuangan yang kurang dengan kebutuhan keluarga yang semakin besar, ditambah lagi hanya dengan mengandalkan penghasilan suami. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ananda (2013) yang menjelaskan bahwa mayoritas ibu rumah tangga yang tidak bekerja merasa memiliki self-esteem yang lebih rendah dibanding ibu rumah tangga yang bekerja, karena ibu rumah tangga yang tidak bekerja tidak mempunyai penghasilan sendiri sehingga seluruh kebutuhan keuangan ditanggung oleh suami.

Masalah lain yang timbul adalah masalah terhadap diri sendiri yaitu ibu rumah tangga cenderung merasa tidak dipedulikan oleh keluarga dan menganggap semua pekerjaan yang dilakukan tidak berarti menurut pandangan keluarga. Setelah anak atau suami melakukan aktivitas masing- masing di luar rumah, ibu rumahtangga menjadi kesepian. Beban kerja rumah tangga yang banyak dan semakin berat bukan saja mengurus suami dan anak, tetapi mengurus rumah setiap hari, dapat menimbulkan rasa jenuh yang berlarut dan ditambah lagi dengan tidak ada yang membantu ibu rumah tangga dalam menyelesaikan pekerjaan rumahtangga (Ayu, 2009).

Penelitian di Amerika Serikat yang dilakukan oleh Sarah Damaske, seorang profesor Perburuhan dan Ketenagakerjaan di Pennsylvania State University (dalam www.liputan6.com, 2014) menemukan bahwa ibu rumahtangga lebih stres dibanding perempuan kantoran. Hasil penelitian menunjukkan sebagian peserta tes yang bekerja di


(20)

5

rumah menunjukkan kadar kortisol lebih tinggi dibanding yang bekerja di kantor dan berlaku untuk seluruh jenis kelamin, di semua tingkat pendidikan, di seluruh tingkat pekerjaan. Profesor Damaske menjelaskan, penyebab stres terjadi karena rutinitas sehari-hari yang melelahkan. Stres di rumah disebabkan permintaan untuk kehidupan pribadi menjadi meningkat. Menyiapkan makanan dan mempersiapkan anak-anak sekolah menjadi pelaku utama stres. Berbeda dengan di kantor yang lebih bahagia karena merasa dihargai rekan-rekan kerja. Perempuan yang bekerja merasa bahagia di kantor karena setelah meninggalkan pekerjaan, kemudian memasak makan malam serta mencuci piring.

Hal ini diperkuat oleh sebuah riset dari Amerika (dalam www.wolipop.detik.com, 2013) yang menjelaskan bahwa ibu rumahtangga cenderung lebih depresi daripada perempuan bekerja yang sudah mempunyai anak. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 41% ibu rumahtangga mengalami tingkat kekhawatiran lebih tinggi daripada perempuan bekerja yang juga menjadi seorang ibu. Penelitian juga menunjukkan, 28% ibu yang tinggal di rumah mengalami depresi. Sedangkan, ibu bekerja memiliki tingkat depresi lebih rendah, sekitar 17%. Tidak hanya itu saja, survei juga mengungkapkan bahwa ibu rumahtangga mengalami tingkat stres sebesar 48%, kemarahan sebesar 19%, dan kesedihan sebesar 16%. Hal ini dikarenakan ibu bekerja cenderung lebih banyak tersenyum, tertawa, serta mempelajari banyak hal menarik.

Kuswanti (2011) menjelaskan bahwa menghabiskan waktu terlalu lama untuk bekerja dapat menghambat perempuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan keluarga. Ketika kehidupan kerja dirasa mengganggu kehidupan keluarga, maka hal yang ingin dilakukan oleh perempuan adalah mengurangi waktu kerja, agar dapat meluangkan waktu lebih banyak untuk keluarga. Keinginan kuat untuk mengurangi waktu kerja yang dirasakan pada saat bekerja dapat meningkatkan stres kerja, karena memicu munculnya


(21)

6

beban pada saat melaksanakan pekerjaan. Sebaliknya, ketika tuntutan dari keluarga dirasa mengganggu kehidupan kerja, perempuan dapat menginginkan atau bahkan melakukan pengurangan waktu kerja, agar dapat lebih memperhatikan keluarga. Akibatnya, pelaksanaan kerja dapat terganggu sehingga menimbulkan stres kerja.

Dalam latar belakang budaya Bali, mewajibkan masyarakat baik laki-laki maupun perempuan melakukan kegiatan yang berkaitan dengan adat dan agama, sesuai dengan yang tertuang dalam awig-awig (aturan adat) yang dibuat dan disepakati bersama warga sehingga bagi perempuan khususnya yang berpartisipasi di sektor publik (produktif) sering terjadi konflik (Saskara, Pudjihardjo, & Suman, 2012). Kerja bagi perempuan Bali adalah mempertahankan harga diri dan martabat keluarga asal tempat dilahirkan. Perempuan Bali bukan orang malas yang hanya mampu menengadahkan tangan, mengatur apa yang diberikan kepada suami, tetapi perempuan Bali adalah perempuan kreatif yang mampu mengusahakan sesuatu untuk bersama-sama membangun rumah tangga. Karakter perempuan Bali sering digambarkan secara streriotif yaitu sebagai figur manusia beretos kerja tinggi, ulet, mandiri, dan memiliki bakti yang tinggi pada keluarga. Tidak ada masalah bagi perempuan Bali untuk mengembangkan diri sebagai seorang profesional di bidang karier yang digeluti yang disumbangkan pada kesejahteraan keluarga (www.warisanindonesia.com, 2011).

Hidayati (2005) menjelaskan bahwa perempuan Bali bukan hanya penghuni dapur. Data statistik menunjukkan hanya 24 persen perempuan Bali mengurus rumah tangga secara eksklusif sedangkan 55 persen perempuan Bali pada kelompok umur 10 tahun ke atas bekerja. Perbandingannya, pada kelompok umur yang sama, yaitu 73 persen laki-laki bekerja. Artinya, untuk setiap 100 laki-laki bekerja ada 75 perempuan yang bekerja. Diungkapkan pula bahwa ada banyak sektor yang diisi oleh tenaga kerja perempuan antara lain sektor pertanian, perdagangan, industri, dan jasa. Hal yang paling


(22)

7

menonjol adalah di sektor perdagangan, di mana lebih dari 50 persen perempuan produktif terserap di sektor ini.

Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Nilakusmawati dan Susilawati (2012) mengenai presentase perempuan Bali yang bekerja atau tidak bekerja menunjukkan terdapat sebesar 71,75 persen perempuan yang bekerja dan sebesar 28,25 persen perempuan yang tidak bekerja. Persentase perempuan bekerja atau tidak bekerja menurut sektor kerja suami menunjukkan bahwa ketika suami bekerja di sektor formal, perempuan (istri) lebih banyak bekerja yaitu sebesar 77,23 persen, dan untuk suami yang bekerja di sektor informal, sebesar 43,33 persen perempuan (istri) memilih untuk tidak bekerja. Persentase perempuan bekerja atau tidak bekerja menurut tingkat pendidikan menunjukkan bahwa untuk tingkat pendidikan SMU dan perguruan tinggi, perempuan cenderung memilih untuk bekerja yaitu sebesar 74,78 persen dari 115 orang responden yang berpendidikan SMU dan perguruan tinggi. Untuk kasus perempuan dengan tingkat pendidikan SD dan SMP yaitu sebesar 43,75 persen dari 16 orang responden mempunyai status tidak bekerja.

Widayani dan Hartati (2014) menjelaskan bahwa perempuan Bali memiliki tiga peran dalam kehidupan, yaitu peran reproduktif, peran produktif, dan peran sosial. Tiga peran atau biasa disebut triple roles ini antara lain (1) berperan sebagai pengurus dan pelindung rumah tangga, (2) berperan sebagai pencari nafkah, dan (3) berperan sebagai pelaksana adat baik di keluarga, banjar, maupun di desa adat. Kegigihan perempuan Bali tampak dengan cara tidak membeda-bedakan dalam melakukan pekerjaan, karena jenis pekerjaan apapun sanggup dipikul. Hal ini terbukti melalui jenis pekerjaan kasar yang indentik dengan pria seperti buruh bangunan, petani yang bekerja di bawah terik matahari juga sanggup digeluti oleh perempuan Bali. Menurut Koentjaraningrat (dalam Kusuma, 2011), sebagian besar mata pencaharian pokok orang Bali adalah bertani.


(23)

8

Dapat dikatakan 70% orang Bali bermata pencaharian pada bidang bercocok tanam, dan hanya 30% bermata pencaharian pada bidang peternakan, berdagang, menjadi buruh, atau pegawai. Dengan demikian, apabila melihat perempuan Bali bekerja sebagai petani atau berdagang merupakan hal yang wajar dan biasa bagi penduduk setempat.

Adanya kewajiban-kewajiban non ekonomi yaitu adat, agama, dan rumah tangga, cenderung membatasi keterlibatan perempuan Bali di sektor publik. Keadaan seperti ini terutama kegiatan adat dalam budaya Bali, yang merupakan kewajiban bagi setiap warga dapat menghambat aktivitas perempuan di lingkungan kerja. Perempuan Bali memainkan peran yang multidimensi dan multijender, sebagai perempuan, pekerja, anggota keluarga, dan warga banjar, serta sebagai penyelenggara praktek keagamaan. Praktik agama Hindu adat Bali hampir dapat dipastikan digerakkan oleh mayoritas kaum perempuan (Saskara dkk., 2012).

Peran laki-laki dan perempuan Bali di banjar pun berbeda. Kelompok laki-laki mengambil peran dalam pembuatan keputusan politik yang kemudian dilaksanakan oleh anggota banjar. Sedangkan peran perempuan lebih banyak sebagai pelaksana kegiatan. Peran laki-laki Bali dalam adat menjadi penting dalam kapasitasnya, seperti mengadakan sangkep, yaitu rapat dalam kelompoknya, menentukan seorang pemimpin, pelaksana pemilu di banjar, membuat keputusan jadwal ritual dan adat keagamaan, mebat atau membuat ragam kuliner untuk pesta sebagai bagian ritual upacara,

megambel atau bermain musik, menyelenggarakan kremasi bagi keluarga yang

meninggal dan negen wadah yaitu memanggul jenasah keluarga dan warga pada saat kematian. Sesungguhnya, hampir semua peran ini dapat dilakukan perempuan Bali. Hal ini menjadi beban bagi perempuan Bali karena mengambil waktu tambahan yang biasanya dilakukan pukul 8 hingga 11 malam. Ketidakhadiran perempuan Bali dalam


(24)

9

mendukung program penguasa banjar atau pemerintah dapat dikenakan hukuman atau denda oleh pengelola kegiatan (www.balebengong.net, 2011).

Perempuan Bali dalam kehidupan sosial kemasyarakatan mengemban tugas yang sangat penting dalam menyukseskan berbagai kegiatan ritual dan upacara adat. Perempuan Bali memang sejak kecil terlatih membuat banten atau sesajen dan orangtua selalu melibatkan anak perempuan dalam membuat sesaji upacara ritual (www.antaranews.com, 2013). Perempuan Bali diyakini sebagai sosok yang memiliki beban kerja terbesar dalam sebuah keluarga jika dibandingkan dengan laki-laki. Pernyataan tersebut didukung dengan adanya fenomena bahwa dari segala persiapan sampai selesainya prosesi ritual yang berjalan pada masyarakat Bali, perempuan memerankan fungsi secara maksimal. Persiapan seluruh rangkaian upacara didominasi oleh kaum perempuan sebagai sarati (tukang banten). Perempuan merupakan pemegang kendali dari pelaksanaan upacara di masing-masing keluarga, karena upacara tidak mungkin terlaksana tanpa adanya banten dan persembahan (Mulia, 2012).

Adanya aturan yang tertuang dalam awig-awig yang melekat pada kehidupan masyarakat Bali merupakan pengikat yang harus dipatuhi dalam setiap jenjang kehidupan di Bali. Awig-awig yang pelaksanaanya cenderung ketat akan menciptakan intensitas kegiatan adat yang dapat menimbulkan konflik bagi perempuan Bali yang bekerja di sektor publik. Awig-awig merupakan kewajiban yang harus dipatuhi oleh setiap krama (anggota masyarakat), tanpa memandang status, jabatan dan pekerjaan. Pilihan yang dihadapi adalah apakah mengorbankan pekerjaan publik yang dapat menghasilkan uang demi pekerjaan domestik, yang bisa dikatakan pekerjaan nonekonomi yang tidak menghasilkan uang. Pilihan ini seperti dua sisi mata uang logam yang saling berdampingan karena merupakan sebuah keputusan yang berat untuk mengorbankan salah satunya. Mengorbankan adat akan berhadapan dengan sanksi adat


(25)

10

yang bersifat sosial sedangkan melalaikan pekerjaan publik akan kehilangan nafkah (Saskara dkk., 2012).

Ketiga peran atau multiperan yang dibebankan kepada kaum perempuan Bali dianggap sebagai suatu bentuk ketimpangan peran, karena ketiga peran tersebut tidak dibebankan juga kepada kaum laki-laki. Beban kerja sangat dirasakan kaum perempuan Bali karena harus menjalankan tiga peran dalam kehidupan. Dalam melakukan peran sosial dan peran produktif, kaum perempuan Bali tidak dapat berkonsentrasi dan menjalankan peran sepenuhnya karena harus membagi perhatiannya juga kepada peran reproduktif. Adanya anggapan jender bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara, rajin, dan tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, mengakibatkan semua pekerjaan domestik menjadi tanggungjawab perempuan. Sedangkan kaum laki-laki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni pekerjaan domestik sehingga menyebabkan terjadinya beban kerja yang berlebih pada perempuan (Widayani & Hartati, 2014).

Salah satu contoh yang terjadi pada seorang Ibu A yang berdomisili di wilayah Denpasar. Ibu A mengaku sangat merasa bersalah ketika harus meninggalkan ketiga anak yang masih kecil setiap pagi hingga petang untuk bekerja di luar rumah. Ibu A sadar bahwa ketiga anak masih membutuhkan bimbingan dan perhatian terutama dari Ibu. Satu sisi ibu A ingin mengembangkan potensi yang dimiliki dengan bekerja sesuai dengan keinginan, sedangkan di sisi lain ingin menjadi seorang ibu yang bertanggungjawab terhadap keluarga. Belum lagi adanya tugas-tugas adat seperti mempersiapkan upacara keagamaan atau ngayah di banjar yang biasanya dilakukan saat libur yang apabila tidak dilakukan maka Ibu A akan mendapat sanksi sosial berupa denda. Meskipun Ibu A telah terbantu dengan adanya mertua yang menjaga atau mengasuh anak, Ibu A tetap merasa tidak nyaman. Perasaan bersalah, sakit kepala, serta


(26)

11

uring-uringan adalah gejala yang sering dialami oleh Ibu A dalam menjalankan ketiga

peran tersebut.

Kasus lain juga terjadi pada seorang ibu rumah tangga yang tidak bekerja yang bernama Ibu W yang berdomisili di wilayah Denpasar. Ibu W menceritakan bahwa sebelumnya Ibu W pernah bekerja sebagai Sekretaris selama hampir 2 tahun. Setelah menikah, suami Ibu W melarang Ibu W bekerja dan menginginkan Ibu W fokus menjadi isteri dan mengurus rumahtangga. Ibu W mengaku awalnya tidak keberatan, tetapi semakin lama Ibu W merasa bosan dengan keseharian yang dijalani sebagai ibu rumahtangga seperti memasak, menyapu, mengepel, atau menjemput anak. Ibu W menganggap bahwa pekerjaan rumahtangga adalah pekerjaan yang tiada habis dan cenderung monoton. Selain menjadi ibu rumahtangga, Ibu W juga harus mengikuti kegiatan-kegiatan adat yang diselenggarakan di banjar atau mempersiapkan segala keperluan upacara adat saat rahinan tiba. Perasaan jenuh dan capek hingga pusing adalah gejala yang sering dialami Ibu W dalam menjalankan peran-peran tersebut.

Berdasarkan pemaparan-pemaparan di atas dan hasil-hasil penelitian yang ditemukan di lapangan dapat dikatakan bahwa konflik peran sebagai perempuan karier sekaligus ibu rumah tangga menjadi penyebab stres sebagian besar kaum perempuan di Indonesia. Khusus pada perempuan Bali, memiliki tiga peran atau triple roles dalam kehidupan yaitu peran reproduktif, produktif, dan sosial. Sebagai perempuan Bali yang tidak terlepas dari ikatan adat, tentunya menuntut keseimbangan dalam menjalankan tiga peran atau triple roles dalam kehidupan. Masih banyak perempuan Bali terbelenggu di dalam kondisi dilematis untuk bekerja atau mencari nafkah, sementara di satu sisi harus menjadi pengurus rumah tangga maupun kegiatan sosial yang tanpa disadari memiliki tuntutan tersendiri. Apabila kondisi ini tidak dikomunikasikan dengan baik, maka dapat menggangu kondisi psikologis atau menjadi stres.


(27)

12

Stres dapat menjadi sebuah masalah dan butuh penanganan. Lazarus dan Folkman (dalam Maryam, 2009) mengatakan bahwa keadaan stres yang dialami seseorang akan menimbulkan efek yang kurang menguntungkan baik secara fisiologis maupun psikologis. Individu tidak akan membiarkan efek negatif stres terus terjadi dan akan melakukan suatu tindakan untuk mengatasi. Tindakan yang diambil individu dinamakan strategi koping. Smet (1994) mengatakan koping merupakan cara yang dilakukan seseorang untuk menghadapi situasi yang menekan.

Pada penelitian yang dilakukan Cucuani (2013) didapatkan hasil bahwa perempuan bekerja cenderung menggunakan problem focus coping dalam menghadapi konflik peran ganda. Perempuan bekerja melakukan problem focus coping dalam menghadapi konflik peran ganda dengan cara seperti melakukan manajemen waktu, berolahraga agar fisik selalu sehat untuk dapat menghadapi konflik serta melakukan kontrol diri agar terhindar dari stressor. Lain hal dengan strategi koping yang dilakukan oleh ibu rumah tangga. Menurut Maisya (2014), mayoritas ibu rumah tangga tidak memiliki kecenderungan spesifik pada salah satu bentuk strategi koping, baik problem-focused coping maupun emotion-problem-focused coping untuk mengatasi stres yang dirasakan.

Walaupun tidak memiliki kecenderungan spesifik pada salah satu bentuk strategi koping, ibu rumah tangga masih menggunakan bagian dari kedua strategi koping dengan intensitas yang lebih rendah.

Smet (1994) mengatakan umumnya proses koping terjadi secara otomatis. Saat individu merasakan adanya situasi yang menekan atau mengancam, maka individu dituntut untuk sesegera mungkin mengatasi ketegangan yang dialami. Individu akan melakukan evaluasi dan memutuskan strategi koping apa yang seharusnya digunakan. Koping yang dilakukan sangat bervariasi antara individu satu dengan individu lain.


(28)

13

Individu akan memberikan penilaian yang berbeda terhadap situasi atau permasalahan tertentu.

Pentingnya penggunaan strategi koping dalam menghadapi konflik peran yang dialami perempuan, khususnya perempuan Bali yang menjalani tiga peran atau triple roles, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Perbedaan Strategi

Koping Pada Perempuan Hindu Bali Yang Bekerja Dan Yang Tidak Bekerja.

B. Rumusan Masalah

Apakah terdapat perbedaan strategi koping pada perempuan Hindu Bali yang bekerja dan yang tidak bekerja?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan strategi koping pada perempuan Hindu Bali yang bekerja dan yang tidak bekerja.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang terdapat dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis manfaat, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1. Manfaat Teoritis

a. Untuk menambah pengetahuan dalam ilmu psikologi khususnya bidang psikologi kesehatan dan klinis, serta dapat pula pada indigenous psychology mengenai strategi koping pada ibu rumah tangga dan ibu bekerja dalam kaitan dengan kebudayaan Bali.


(29)

14

b. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi literatur, sumber acuan, pertimbangan, dan inspirasi bagi peneliti selanjutnya dalam melakukan penelitian terkait strategi koping pada ibu rumah tangga dan ibu bekerja dalam latar belakang budaya Bali. c. Dapat memberikan informasi, wawasan, dan pengetahuan mengenai strategi

koping baik bagi perempuan yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga maupun ibu bekerja.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Perempuan Hindu Bali

Diharapkan penelitian ini bermanfaat baik bagi ibu rumah tangga, ibu bekerja, maupun para perempuan sebagai calon ibu rumah tangga agar dapat memilih strategi koping yang tepat dan sesuai sehingga mampu mengelola stres yang dialami ke arah yang lebih positif dan menimbulkan kenyamanan baik fisik maupun emosional.

b. Bagi Pemerintah, Intansi, atau Swasta

Diharapkan penelitian ini dapat menjadi usulan dalam pembuatan pelatihan strategi koping untuk manajemen stres bagi karyawan perempuan di instansi pemerintah atau swasta, maupun organisasi atau perusahaan sehingga karyawan ataupun individu, khususnya perempuan, mampu memanajemen stres agar tidak berlanjut pada gangguan psikologis lainnya.

c. Bagi Masyarakat

Dapat menjadi pertimbangan pelaksaan awig-awig yang berlaku di lingkungan masyarakat setempat, khususnya pada perempuan Bali yang memiliki tiga peran atau triple roles.


(30)

15

E. Keaslian Penelitian

Penelitian mengenai strategi koping dilakukan oleh Ayu (2009) yang berjudul Stressor dan Coping Stress pada Ibu Rumah Tangga yang Tidak Bekerja. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa mayoritas stressor ibu rumah tangga yang tidak bekerja adalah sumber dari keluarga, diri individu, dan lingkungan atau masyarakat. Strategi koping yang digunakan yaitu Emotion Focused Coping dengan cara Positive Reinterpretation and Growth dan Turning to Religion, Problem Focused Coping dengan

cara Active Coping dan Suppression of Competing Activities, dan Maladaptive Coping dengan melakukan Mental Disengagement. Persamaan penelitian Ayu dengan penelitian ini adalah variabel coping stress atau strategi koping pada perempuan. Perbedaannya, pada penelitian Ayu (2009) hanya menggunakan subjek ibu rumah tangga yang tidak bekerja sedangkan dalam penelitian ini mengkhususkan pada perempuan Hindu Bali yang bekerja dan yang tidak bekerja.

Penelitian strategi koping pada perempuan bekerja dilakukan pula oleh Alteza dan Hidayanti (2012) yang berjudul Work-Family Conflict Pada Wanita Bekerja: Studi Tentang Penyebab, Dampak, dan Strategi Coping. Hasil penelitian ini menjelaskan munculnya work family conflict pada perempuan bekerja bersumber baik dari pekerjaan maupun keluarga. Sumber dari pekerjaan yaitu working time arrangements dan job content. Sedangkan sumber dari keluarga adalah karakteristik situasi rumah tangga,

yaitu memiliki tanggungan yang menuntut perhatian lebih serta keterbatasan atau ketiadaan bantuan untuk menyelesaikan tanggung jawab rumah tangga. Persamaan penelitian Alteza dan Hidayanti (2012) dengan penelitian ini adalah variabel strategi koping pada perempuan. Perbedaannya, pada subjek penelitian Alteza dan Hidayanti (2012) ini hanya perempuan bekerja, sedangkan pada penelitian ini menggunakan subjek perempuan bekerja dan tidak bekerja. Penelitian Alteza dan Hidayanti (2012) ini


(31)

16

menggunakan metode kualitatif sehingga pengambilan data dilakukan dalam bentuk wawancara dan observasi, sedangkan pada penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan pengambilan data menggunakan kuesioner.

Penelitian strategi koping pada perempuan bekerja juga dilakukan oleh Sari (2013) yang berjudul Hardiness dan Problem Focused Coping Pada Wanita Karier. Hasil penelitian Sari menunjukkan terdapat hubungan yang sangat signifikan antara hardiness dengan problem focused coping pada perempuan karir. Persamaan penelitian

Sari (2013) dengan penelitian ini adalah variabel strategi koping dengan menggunakan metode kuantitatif. Namun, pada penelitian Sari (2013) hanya meneliti satu strategi koping, yaitu problem focused coping sedangkan pada penelitian ini menggunakan kedua strategi koping, yaitu problem focused coping dan emotion focused coping. Subjek pada penelitian Sari hanya perempuan karier sedangkan pada penelitian ini menggunakan subjek perempuan bekerja dan yang tidak bekerja dan mengkhususkan pada perempuan Hindu di Bali.

Hal-hal yang tertulis dalam penelitian ini yaitu ide, kerangka berpikir, dan pemikiran-pemikiran terhadap penelitian merupakan hasil pemikiran penulis, bukan merupakan peniruan terhadap penelitian-penelitian yang lain atau penelitian-penelitian selanjutnya. Penelitian yang berjudul Perbedaan Strategi Koping Pada Perempuan Hindu Bali Yang Bekerja Dan Yang Tidak Bekerja ini merupakan penelitian yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Meskipun terdapat variabel yang sama atau serupa pada penelitian-penelitian sebelumnya, namun penelitian-penelitian sebelumnya bukan merupakan penelitian yang sama dengan penelitian ini.


(32)

17 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. StrategiKoping

1. Definisi Strategi Koping

Setiap individu dari semua umur dapat mengalami stres dan akan menggunakan berbagai cara untuk menghilangkan stres yang sedang diderita atau dihadapi. Ketegangan fisik dan emosional yang menyertai stres menimbulkan ketidaknyamanan. Ketidaknyamanan ini membuat invidu menjadi termotivasi untuk melakukan sesuatu demi mengurangi stres. Usaha yang dilakukan oleh individu tersebut disebut dengan koping. Koping adalah suatu proses di mana seseorang mencoba untuk mengatur perbedaan yang diterima antara keinginan (demands) dan pendapatan (resources) yang dinilai dalam suatu kejadian maupun keadaan yang penuh tekanan (Hawari, 2006).

Menurut Taylor (2009), koping adalah kecenderungan umum yang digunakan individu untuk menangani peristiwa stres dengan cara-cara tertentu. Lazarus dan Folkman (dalam Smet, 1994) menjelaskan bahwa individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tuntutan-tuntutan baik tuntutan yang berasal dari individu maupun tuntutan yang berasal dari lingkungan dengan sumber-sumber daya yang digunakan dalam menghadapi situasi menekan. Hal ini serupa dengan penjelasan Sarafino (2012) yang menjelaskan bahwa koping adalah suatu proses individu mencoba untuk mengelola perbedaan yang dirasakan antara tuntutan dan sumber daya yang mereka nilai dalam situasi stres.

Lazarus dan Folkman (dalam Maryam, 2009) mengatakan dalam embangun perilaku koping diperlukan sumberdaya koping baik yang bersifat fisik maupun non


(33)

18

fisik. Sumberdaya koping cenderung bersifat subjektif sehingga perilaku koping dapat bervariasi pada setiap orang. Cara seseorang melakukan strategi koping didasarkan pada sumberdaya yang dimiliki. Adapun sumberdaya koping yang begitu penting adalah dukungan sosial. Dukungan sosial meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diperoleh atau diberikan oleh orangtua, saudara atau anggota keluarga lain, teman, dan lingkungan masyarakat sekitar. Dengan adanya dukungan sosial, maka individu akan semakin mampu dan yakin dalam memecahkan masalah yang dihadapi serta dapat membantu individu dalam melakukan koping yang tepat.

Lazarus dan Folkman (dalam Taylor, 2009) menjelaskan bahwa terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses koping. Beberapa hal yang dapat mempengaruhi individu sebelum akhirnya menentukan cara merespon masalah dan strategi koping yang akan dipilih antara lain sumber kemampuan yang dimiliki individu seperti uang dan waktu, dukungan sosial yang diperoleh, serta ada atau tidaknya stresor lain dalam kehidupan, seperti peristiwa yang mempengaruhi kehidupan atau masalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Cara koping yang berbeda antara individu satu dengan individu lain dan faktor kepribadian dapat pula mempengaruhi individu dalam memberikan respon koping dan memilih strategi koping.

Lazarus dan Folkman (dalam Taylor, 2009) melanjutkan bahwa kejadian yang menimbulkan stres serta tahapan-tahapannya dan cara individu melakukan antisipasi juga akan turut mempengaruhi individu terutama dalam memberikan penilaian dan interpretasi terhadap stresor yang dirasakan. Setelah memberikan penilaian dan interpretasi, kemudian individu akan memberikan respon dan memilih strategi koping yang paling sesuai, misalnya dengan mencari informasi, melakukan aksi langsung, dan mencari dukungan dari orang lain. Setelah memberikan respon dan memilih strategi


(34)

19

koping, individu akan melakukan tugas-tugas koping yang berguna untuk mengurangi kondisi lingkungan yang dirasakan mengancam sehingga individu dapat menyesuaikan diri dengan kenyataan yang terjadi. Dari tugas-tugas koping yang dilakukan individu, maka akan muncul sebuah hasil koping (coping outcomes), misalnya pulihnya fungsi psikologis sehingga mampu melakukan aktivitas sehari-hari.

Dari penjelasan mengenai strategi koping di atas, dapat dikatakan bahwa strategi koping adalah sebuah cara atau proses yang dilakukan individu untuk mengelola perbedaan antara yang dirasakan dengan tuntutan lingkungan atau situasi yang mengancam.

2. Jenis-jenis Strategi Koping

Lazarus dan Folkman (1984) secara umum membedakan bentuk strategi koping ke dalam dua klasifikasi, yaitu problem focused coping dan emotional focused coping. Carver, Weintraub, dan Scheier (dalam Maryam, 2009) menjelaskan bahwa problem focused coping digunakan untuk mengontrol hubungan yang terjadi antara individu

dengan lingkungan yang berorientasi pada pemecahan masalah, pembuatan keputusan maupun dengan menggunakan tindakan langsung serta strategi penyelesaian. Pada emotional focused coping, tekanan emosional yang dialami individu dikurangi atau

diminimalkan tanpa mengubah kondisi objektif dari peristiwa yang terjadi. Reaksi dari tekanan emosional tersebut dapat berupa upaya menghindari, meminimalkan tekanan, membuat jarak, memberi perhatian pada hal tertentu saja (selektif) atau memberi makna positif terhadap situasi negatif. Selain itu, dapat pula berupa usaha untuk mencari hal-hal terbaik dari masalah yang dihadapi, memperoleh simpati dan pengertian dari orang lain, atau dengan cara mencoba untuk melupakan peristiwa (Lazarus & Folkman, 1984).


(35)

20

a. Problem focused coping

Problem focused coping adalah bentuk koping yang cenderung diarahkan dalam

upaya untuk mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh tekanan, dalam arti koping yang muncul terfokus pada masalah individu yang akan mengatasi stres dengan mempelajari cara-cara keterampilan yang baru. Individu cenderung menggunakan strategi ini ketika individu percaya bahwa tuntutan dari situasi dapat diubah (Sarafino, 2006). Problem focused coping memungkinkan individu membuat rencana dan tindakan lebih lanjut serta berusaha menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi untuk memperoleh apa yang telah direncanakan dan diinginkan sebelumnya. Problem focused coping digunakan untuk mengontrol hal yang terjadi antara individu dengan lingkungan

melalui pemecahan masalah, pembuatan keputusan, dan tindakan langsung. Problem focused coping juga dapat berupa pembuatan rencana tindakan, melaksanakan, dan

mempertahankan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Dalam mengatasi permasalahan, individu yang menggunakan problem focused coping akan berpikir logis dan berusaha memecahkan permasalahan dengan positif (Lazarus & Folkman, 1984).

Penelitian yang dilakukan oleh Rotondo, Carlson, dan Kincaid (2003) menunjukkan hasil bahwa problem focused coping sebagai cara yang efektif untuk mengelola masalah dalam peran kerja dan keluarga. Langkah-langkah penting yang diambil untuk memenuhi tanggung jawab di rumah dan di pekerjaan secara efisien akan dapat membantu para individu untuk memiliki banyak waktu dalam keterlibatan di kedua peran, yaitu peran keluarga dan peran kerja. Studi lain yang dilakukan oleh Cucuani (2013) menemukan hasil bahwa perempuan bekerja cenderung menggunakan problem focus coping dalam menghadapi konflik peran ganda. Perempuan bekerja melakukan


(36)

21

melakukan manajemen waktu, berolahraga agar fisik selalu sehat untuk dapat menghadapi konflik serta melakukan kontrol diri agar terhindar dari stressor.

Dari uraian pendapat beberapa ahli di atas, dapat dikatakan bahwa problem focused coping adalah bentuk koping yang digunakan individu dalam menghadapi

situasi yang menekan dengan cara mempelajari keterampilan-keterampilan baru, melakukan perencanaan tindakan, membuat keputusan yang baik serta tindakan langsung untuk mendapatkan hasil yang positif.

Menurut Lazarus dan Folkman (1984), pengklasifikasian bentuk perilaku koping yang berorientasi pada problem focused coping yaitu:

1. Confrontative coping

Usaha untuk mengubah keadaan yang dianggap sumber tekanan dengan cara melakukan hal-hal yang bertentangan dengan aturan yang berlaku walaupun terkadang mengalami resiko yang cukup besar.

2. Planfull problem solving

Individu memikirkan dan mempertimbangkan secara matang beberapa alternatif pemecahan masalah yang mungkin dilakukan, meminta pendapat dan pandangan dari orang lain tentang masalah yang dihadapi, bersikap hati-hati sebelum memutuskan sesuatu dan mengevaluasi strategi yang pernah dilakukan.

3. Seeking social support

Suatu cara yang dilakukan individu dalam menghadapi masalah dengan cara mencari dukungan pada keluarga atau lingkungan sekitar, dapat berupa informasi, bantuan nyata, simpati, maupun perhatian.

Carver (dalam Taylor, 2009) menjelaskan dimensi-dimensi dari problem focused coping, yaitu:


(37)

22

1. Active coping

Individu menggunakan langkah-langkah untuk mencoba menghilangkan stresor atau memperbaiki akibat yang ditimbulkan dari stresor. Yang termasuk dalam active coping adalah memulai tindakan langsung, meningkatkan usaha-usaha untuk

menghadapi masalah, dan berusaha melalukan upaya mengatasi masalah secara bertahap.

2. Planning

Berpikir mengenai cara menghadapi stresor. Planning atau peencanaan meliputi mengajukan strategi tindakan, berpikir mengenai langkah yang harus diambil, dan bagaimana memilih cara terbaik dalam mengatasi masalah.

3. Using instrumental support

Individu mencari dukungan sosial karena alasan instrumental, antara lain dengan mencari nasehat, bantuan, maupun informasi guna menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.

4. Behavioral disengagement

Individu mengurangi usaha dalam menghadapi situasi yang menimbulkan stres bahkan menyerah atau tidak melakukan apapun terhadap sumber stres tersebut. Perilaku behavioral disengagement muncul pada seseorang yang merasa bahwa apapun yang dilakukan tidak akan menimbulkan hasil atau sering disebut

Helplessness”.

Perilaku koping yang berorientasi pada problem focused coping dalam penelitian ini menggunakan pendekatan dari Lazarus dan Folkman (1984), yaitu confrontative coping, planfull problem solving, dan seeking social support.


(38)

23

b. Emotion focused coping

Emotion focused coping adalah bentuk koping yang diarahkan untuk mengatur

respon emosional terhadap situasi yang menekan. Individu dapat mengatur respon emosional dengan pendekatan behavioral dan kognitif. Contoh dari pendekatan behavioral adalah mencari dukungan emosional dari teman – teman dan mengikuti berbagai aktivitas seperti berolahraga atau menonton televisi yang dapat mengalihkan perhatian individu dari masalahnya. Sementara pendekatan kognitif melibatkan bagaimana individu berfikir tentang situasi yang menekan. Dalam pendekatan kognitif, individu melakukan pendefinisian terhadap situasi yang menekan seperti membuat perbandingan dengan individu lain yang mengalami situasi lebih buruk, dan melihat sesuatu yang baik diluar dari masalah. Individu cenderung menggunakan strategi ini ketika mereka percaya bahwa mereka dapat melakukan sedikit perubahan untuk mengubah kondisi yang menekan (Sarafino, 2006).

Emotion focused coping merupakan strategi untuk meredakan emosi individu yang

ditimbulkan oleh stressor atau sumber stres tanpa berusaha untuk mengubah suatu situasi yang menjadi sumber stres secara langsung. Emotion focused coping dapat dikatakan pula sebagai upaya untuk mengurangi atau mengatur ketidaknyamanan emosi yang berhubungan atau diakibatkan oleh suatu situasi. Emotion focused coping memungkinkan individu mencoba melihat sisi kebaikan dari sesuatu yang terjadi, mengharapkan simpati dan pengertian dari orang lain atau mencoba melupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang menekan emosinya. Individu belajar mencoba dan mengambil hikmah atau nilai dari segala usaha yang telah dilakukan sebelumnya dan dapat dijadikan sebagai latihan pertimbangan untuk menyelesaikan masalah berikutnya (Lazarus & Folkman, 1984). Hasil penelitian yang dilakukan Khoiroh (2011) menjelaskan bahwa individu yang menggunakan emotion focused


(39)

24

coping dalam penyelesaian masalah cenderung menunjukkan perilaku dengan lebih

mengutamakan introspeksi diri daripada sibuk menyalahkan orang lain dan memandang positif masyarakat atau lingkungan di sekitar.

Dari uraian pendapat beberapa tokoh di atas, dapat dikatakan bahwa emotion focused coping adalah bentuk koping yang digunakan individu dalam menghadapi

situasi yang menekan dengan cara mengontrol atau mengatur respon emosi yang muncul sehingga individu mampu menilai secara positif situasi yang terjadi.

Menurut Lazarus dan Folkman (1984), pengklasifikasian bentuk perilaku koping yang berorientasi pada emotion focused coping yaitu:

1. Distancing

Individu menunjukkan sikap kurang peduli terhadap persoalan yang dihadapi bahkan mencoba melupakan seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

2. Self-controlling

Individu melakukan penyelesaian masalah dengan cara mengendalikan dri, menahan diri, mengatur perasaan, teliti dan tidak tergesa dalam mengambil tindakan.

3. Escape-Avoidance

Individu berusaha menghindar dari masalah yang dihadapi atau individu berusaha menyanggah atau mengingkari dan melupakan masalah-masalah yang ada pada dirinya.

4. Accepting responsibility

Usaha untuk menyadari tanggung jawab diri sendiri dalam permasalahan yang dihadapi dan mencoba menerima untuk membuat semua keadaan menjadi lebih baik.


(40)

25

5. Positive reappraisal

Individu melihat sisi positif dari masalah yang dialami dalam kehidupannya dengan mencari arti atau keuntungan dari pengalaman tersebut serta mengembangkan diri termasuk melibatkan diri dalam hal-hal yang religius.

Carver (dalam Taylor, 2009) menjelaskan dimensi-dimensi dari emotional focused coping, yaitu:

1. Using emotional support

Individu mencari dukungan sosial karena alasan emosional, antara lain dengan mencari dukungan moral, simpati, kepercayaan, atau pengertian. Dukungan yang dicari hanya untuk menenangkan diri atau mengeluarkan perasaan saja.

2. Positive reframing

Individu cenderung melepaskan emosi yang dirasakan atau individu mengatur emosi yang berkaitan dengan stres yang dialami. Kecenderungan ini sering disebut dengan penilaian kembali secara positif.

3. Self-distraction

Individu melakukan tindakan-tindakan alternatif untuk melupakan stresor atau masalah yang dihadapi dengan menghayal, tidur, menonton televisi, atau berolahraga.

4. Denial

Individu cenderung menolak untuk percaya bahwa suatu stresor itu ada atau mencoba bertindak seolah-olah stresor tersebut tidak nyata. Terkadang penolakan menjadi pemicu masalah baru jika tekanan yang muncul diabaikan karena dengan menyangkal suatu kenyataan dari masalah yang dihadapi seringkali mempersulit upaya menghadapi masalah yang seharusnya lebih mudah untuk diselesaikan.


(41)

26

5. Acceptance

Individu menerima kenyataan akan situasi yang penuh stres serta menerima bahwa kenyataan tersebut pasti terjadi. Penerimaan dapat memiliki dua makna, yaitu sikap menerima tekanan sebagai suatu kenyataan dan sikap menerima karena belum adanya strategi menghadapi masalah secara aktif yang dapat dilakukan.

6. Religion

Individu mencoba mengalihkan permasalahan yang dihadapi dengan melakukan kegiatan yang berhubungan pada agama, antara lain rajin beribadah, melakukan meditasi, dan memohon pertolongan Tuhan.

7. Venting

Kecenderungan individu untuk memusatkan perhatian pada hal-hal yang dirasakan sebagai distress dan kemudian melepaskan perasaan-perasaan tersebut. Venting sering juga dikatakan sebagai kecenderungan individu untuk melepaskan emosi yang dirasakan.

8. Humor

Individu membuat lelucon atau sesuatu hal yang lucu mengenai masalah yang dihadapi.

9. Substance use

Individu menggunakan minuman beralkohol atau obat-obatan tertentu untuk melepaskan diri dari masalah yang dihadapi.

10. Self-blame

Kecenderungan individu untuk mengkritik atau menyalahkan diri sendiri terhadap hal-hal yang telah terjadi.

Perilaku koping yang berorientasi pada emotional focused coping dalam penelitian ini menggunakan pendekatan dari Lazarus dan Folkman (1984), yaitu


(42)

27

distancing, self-controlling, escape-avoidance, accepting responsibility, dan positive reappraisal.

Aldwin dan Brustrom (dalam Gallagher & Nelson, 2003) menjelaskan bahwa individu dapat menggunakan problem focused coping dan emotion focused coping secara bersamaan. Menurut Tennen et al., (dalam Sarafino, 2012), individu jarang menggunakan hanya satu metode untuk mengatasi stresor. Metode yang digunakan biasanya melibatkan kombinasi dari problem focused coping dan emotional focused coping. Illfeld, Perlin, dan Schooler (dalam Sarafino, 2012), mengatakan tidak ada

metode koping tunggal seragam untuk diterapkan atau efektif pada semua situasi stres. Hal ini dikarenakan koping adalah sebuah proses dinamis yang terus berubah seperti halnya seseorang menemukan informasi baru dan mencoba teknik-teknik baru untuk menangani situasi. Menurut Cantor, Baum, dan Vitaliano (dalam Gallagher & Nelson, 2003), fleksibilitas dalam jenis strategi koping yang digunakan dan penggunaan relatif dari problem focused coping dan emotion focused coping dapat membuat individu menjadi lebih adaptif.

3. Faktor-faktor yang Memengaruhi Strategi Koping

Taylor (2009) menyebutkan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi individu dalam melakukan strategi koping. Kedua faktor tersebut terbagi ke dalam faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri individu, seperti karateristik sifat kepribadian dan metode koping yang digunakan. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri individu, seperti: waktu, uang, pendidikan, kualitas hidup, dukungan keluarga, dan sosial serta tidak adanya stresor lain.

Maryam (2009) menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan individu dalam melakukan koping, antara lain:


(43)

28

a. Kondisi kesehatan

Definisi sehat menurut WHO (1984) adalah suatu keadaan sejahtera atau status kenyamanan menyeluruh yang meliputi fisik, mental, dan sosial yang tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan. Kondisi kesehatan yang baik sangat diperlukan agar seseorang dapat melakukan koping dengan baik sehingga berbagai permasalahan yang dihadapi dapat diselesaikan dengan baik.

b. Konsep diri

Menurut Maramis (1998), apabila individu memiliki konsep diri yang positif, maka masalah-masalah yang dihadapi dapat disikapi dengan cara yang positif di mana individu memiliki kesadaran bahwa setiap masalah dapat diselesaikan dengan cara yang baik atau bersangka baik. Namun, jika konsep diri yang negatif muncul, maka hal yang dapat terjadi adalah adanya pikiran, perasaan maupun perbuatan yang negatif dalam menyikapi semua masalah yang dialami sehingga individu dengan konsep diri negatif cenderung terlibat dengan orang-orang yang dapat memunculkan masalah.

c. Kepribadian

Jung (dalam Feist & Feist, 2010) menjelaskan bahwa individu dengan tipe kepribadian introvert cenderung memiliki penyesuaian kurang baik dengan dunia luar, memiliki jiwa tertutup, sulit bergaul atau sulit berhubungan dengan orang lain, serta kurang dapat menarik hati orang lain. Individu introvert cenderung menunjukkan sikap pesimis, lebih bermasalah dengan fokus,cenderung menggunakan koping avoidance atau penyangkalan dalam mengahadapi masalah. Sedangkan individu tipe kepribadian extrovert cenderung lebih terbuka, mudah bergaul, dan hubungan dengan orang lain lancar. Individu extrovert adalah individu yang memiliki rasa optimis. Individu yang optimis akan lebih berantusias untuk


(44)

29

mencari pemecahan masalah karena yakin bahwa semua masalah pasti ada jalan keluar asalkan mau berpikir dan berusaha untuk mencoba.

Beberapa faktor yang mempengaruhi strategi koping pada individu juga dikemukakan oleh Smet (1994), yaitu:

a. Usia

Usia mempengaruhi kemampuan tubuh dalam memerangi rasa sakit. Kemampuan tubuh memerangi rasa sakit sudah ada pada masa kanak-kanak, tetapi kemampuan ini menurun pada masa tua.

b. Pendidikan

Individu yang memiliki pendidikan lebih tinggi akan menilai segala sesuatu secara realistis dan koping akan lebih aktif dibanding dengan individu yang mempunyai pendidikan lebih rendah.

c. Status Sosial Ekonomi

Seseorang yang memiliki status sosial ekonomi rendah akan menyebabkan tingkat stress yang tinggi terutama dalam masalah ekonomi, jika dibandingkan dengan yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih tinggi.

d. Dukungan Sosial

Dukungan sosial yang positif berhubungan dengan berkurangnya kecemasan dan depresi. Dukungan sosial diperoleh dari orang-orang di sekitar individu, seperti orang tua, saudara, teman dekat, dan masyarakat.

e. Karakteristik Kepribadian

Suatu model karakteristik kepribadian yang berbeda akan mempunyai coping yang berbeda. Karakteristik kepribadian mencakup introvert-ekstrovert, stabilitas emosi, kepribadian ketabahan atau hardiness, locus of control, kekebalan dan ketahanan.


(45)

30

f. Pengalaman

Pengalaman sebagai suatu kejadian yang pernah terjadi dan dialami oleh individu sebelumnya. Pengalaman akan mempengaruhi tindakan-tindakan individu dalam menghadapi suatu kejadian yang hampir sama.

Dari beberapa penjelasan terkait faktor-faktor yang mempengaruhi strategi koping di atas, dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi seseorang dalam melakukan strategi koping adalah kondisi kesehatan, kepribadian, konsep diri, usia, pendidikan, status sosial ekonomi, dukungan sosial, dan pengalaman.

B. Perempuan Hindu Bali

1. Perempuan Bekerja

Dewasa ini, kesadaran akan kesejajaran jender semakin meningkat. Perempuan telah banyak merambah kehidupan publik, yang selama ini didominasi laki-laki. Perempuan telah banyak bekerja di luar rumah dan berkarier. Perempuan bekerja berarti perempuan yang berkecimpung dalam kegiatan profesi seperti bidang usaha, perkantoran, dan sebagainya, dilandasi pendidikan keahlian seperti keterampilan, kejujuran, dan sebagainya, yang menjanjikan untuk mencapai kemajuan (Muri’ah, 2011).

Menurut Kartono (2006), ibu bekerja adalah perempuan yang sudah menikah, mempunyai anak, dan bekerja di luar rumah. Pengertian bekerja disini adalah kegiatan yang dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mendapat penghargaan dalam bentuk uang atau barang, mengeluarkan energi, dan nilai waktu. Oleh karena itu, perempuan yang sudah menikah selalu dihadapkan pada dilema menjadi istri dan ibu rumahtangga yang baik atau memajukan kariernya.


(46)

31

Menurut Wikarta (2005), faktor yang mendorong perempuan bekerja adalah kebutuhan ekonomi. Pendapatan tunggal tidak dapat lagi cukup untuk menghidupi sebuah keluarga. Banyak perempuan Indonesia sekarang mengambil peran dalam usaha untuk menghidupi keluarga. Kebanyakan perempuan bekerja untuk menambah gaji suami atau menopang keuangan keluarga. Selain karena kebutuhan ekonomi, faktor selanjutnya yang mendorong perempuan bekerja adalah aktualisasi diri. Wikarta (2005) menambahkan bekerja bagi kaum perempuan lebih dari sekedar mencari uang. Banyak keuntungan yang diperoleh dari bekerja selain mendapatkan tambahan keuangan, misalnya memiliki tempat yang dituju setiap hari, mengembangkan keterampilan, menjadi anggota dari komunitas tertentu, memiliki persahabatan dan menjadi diri sendiri. Pendidikan pun dapat menjadi faktor pendorong perempuan bekerja. Semakin tinggi pendidikan seorang perempuan, maka semakin besar keinginannya untuk memasuki dunia kerja dan menjadi perempuan karier.

Penjelasan lain dikemukakan oleh Kartono (2006) mengenai hal-hal yang melatarbelakangi perempuan untuk bekerja, yaitu:

a. Motif ekonomi

Seseorang karena penghasilan orang tua atau suami tidak mencukupi, terpaksa harus turut bekerja.

b. Ingin membina karier

Seorang perempuan yang meskipun memiliki kondisi ekonomi cukup tetapi demi karier yakin mempergunakan dan mengembangkan keahlian yang dimiliki.

c. Kesadaran bahwa pembangunan memerlukan tenaga kerja baik laki-laki maupun perempuan

Motif ini mendorong seseorang yang tidak perlu bekerja karena alasan ekonomi, tetapi masuk dalam angkatan kerja hanya sebagai relawan.


(47)

32

Dari uraian pendapat beberapa tokoh di atas, dapat dikatakan bahwa perempuan bekerja atau ibu bekerja adalah perempuan yang telah menikah, memiliki anak, dan memiliki aktivitas lain di luar rumah atau kegiatan profesi seperti bidang usaha, perkantoran, dan sebagainya, dengan tujuan untuk memperoleh penghargaan berupa uang, barang, ataupun nilai waktu.

2. Perempuan Tidak Bekerja

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), ibu rumah tangga diartikan sebagai seorang perempuan yang mengatur penyelenggaraan berbagai macam pekerjaan rumah tangga, atau dengan pengertian lain ibu rumahtangga merupakan seorang istri sekaligus ibu yang hanya mengurusi berbagai pekerjaan dalam rumahtangga atau tidak bekerja di kantor.

Menurut Gunarsa (2008), ibu rumahtangga menurut konsep tradisional adalah perempuan yang mempersembahkan waktunya untuk memelihara, melatih, serta mengasuh anak-anak menurut pola-pola yang dibenarkan oleh masyarakat. Jadi, perempuan yang tidak bekerja adalah perempuan yang mempersembahkan waktunya untuk mengurus, memelihara rumah (keluarga) tanpa suatu aktivitas atau pekerjaan di luar rumah. Dengan kata lain, perempuan yang tidak bekerja adalah perempuan yang hanya menjalankan fungsinya sebagai ibu rumahtangga dan lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah tanpa terkait pekerjaan lain di rumah.

Ibu rumahtangga adalah suatu peran yang otomatis diterima seorang perempuan di saat mulai berkeluarga. Ibu rumahtangga melukiskan kegiatan yang berpusat pada suatu kegiatan melayani. Perempuan menjadi sumber untuk membahagiakan orang lain. Sebagai istri, perempuan menjadi pengasuh rumah tangga dan memberi pelayanan yang sangat menyenangkan kepada suami, mengurus rumahtangga, mendidik anak, dan sebagian besar waktunya berada di dalam rumah (Kartono, 2006).


(48)

33

Dari uraian pendapat beberapa tokoh di atas, dapat dikatakan bahwa perempuan tidak bekerja atau ibu rumah tangga adalah seorang istri sekaligus ibu yang mengatur penyelenggaraan berbagai macam pekerjaan rumahtangga serta mempersembahkan waktunya hanya untuk mengurus dan memelihara keluarga tanpa memiliki aktivitas atau pekerjaan lain di luar rumah.

3. Perempuan Hindu Bali yang Bekerja dan yang Tidak Bekerja

Kehidupan berumahtangga sebagai masyarakat kecil merupakan tempat yang paling baik untuk menanamkan segala bentuk kebajikan. Kehidupan berumahtangga seorang ibu mempunyai dua fungsi yaitu sebagai seorang istri dan sebagai seorang ibu. Kedua tugas ini harus dilaksanakan dengan seimbang tanpa berat sebelah. Sebagai seorang istri, perempuan harus berusaha agar selalu nampak indah, bersih, ramah tamah serta bergairah dihadapan suami. Seorang istri harus memelihara kesatuan yang harmonis dalam keluarga karena seorang istri yang didambakan suami adalah istri yang penuh kesetiaan dan pengabdian, saling menghormati serta penuh pengertian terhadap situasi dan kondisi yang sedang terjadi pada suami (Suhardi, 2015).

Selain sebagai seorang istri yang selalu mendampingi suami dalam melayani baik lahir maupun batin, juga sebagai seorang ibu yang memiliki tanggung jawab kepada anak-anak. Seorang istri mempunyai kedudukan untuk mengandung anak dan diharapkan ketika anak lahir, maka akan menyemarakkan rumah tangga. Ketika anak tumbuh dan memasuki masa belajar, maka seorang ibu, khususnya, akan memiliki andil besar dalam pembinaan perkembangan anak. Seorang ibu sebagai pengasuh dan pendidik anak haruslah mengajari anak dengan budi pekerti yang sehat dan moral yang tinggi, karena pendidikan yang harmonis adalah pendidikan yang meliputi kecerdasan akal, pikiran dan mental spiritual (Suhardi, 2015).


(1)

Adanya perkembangan teknologi dan informasi membuat perempuan Bali tidak hanya berperan sebagai ibu rumahtangga saja. Bekerja bagi orang Bali adalah perbuatan dharma yaitu berbuat baik. Perempuan Bali yang ikut bekerja mencari nafkah mampu meningkatkan ekonomi rumahtangga. Sasongko (2009) mengatakan bahwa perempuan ikut bekerja mencari nafkah karena bekerja bagi orang Bali baik laki-laki maupun perempuan, di samping karena faktor ekonomi juga karena budaya. Selain karena adanya kebutuhan atau pengeluaran rumahtangga, juga adanya kewajiban untuk ber-yadnya di mana semua yadnya yang dilakukan di Bali membutuhkan biaya tersendiri.

Dalam lingkungan masyarakat, perempuan Bali juga memiliki tugas, seperti ngayah banjar, yaitu kegiatan sosial yang berupa kerja sosial di wilayah tempat tinggal. Ngayah merupakan suatu aktivitas kemasyarakatan yang tidak mengharapkan imbalan berupa materi. Kegiatan ngayah disebut juga kegiatan kolektif masyarakat yang bersifat sosial yang berhubungan dengan kegiatan spiritual. Perempuan sebagai bagian integral dari komunitas masyarakat Bali tidak dapat terlepas dari tugas dan tanggung jawab sebagai pelaksana dan penyelenggara ritual Hindu yang berlangsung di lingkup keluarga dan sosial masyarakat. Upacara-upacara yang umumnya berlangsung di Bali terdiri dari: Dewa Yadnya, Manusa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya, dan Butha Yadnya. Masing-masing upacara memiliki tujuan yang berbeda-beda dan memerlukan banten atau sajen yang berbeda pula (Mukhyananda, 1996). Persiapan seluruh rangkaian upacara didominasi oleh kaum perempuan sebagai sarati (tukang banten). Upacara tidak mungkin terlaksana tanpa adanya banten atau persembahan. Proses persiapan sarana banten dan pengerjaannya dilakukan oleh perempuan, bahkan maturan atau ritual mempersembahkan banten juga dilakukan oleh perempuan (Titib, 1993).

Dari penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa perempuan Bali yang memutuskan untuk bekerja karena ingin membantu perekonomian keluarga. Selain untuk


(2)

perekonomian, perempuan Bali bekerja karena adanya budaya. Kegiatan-kegiatan adat di Bali yang memerlukan biaya tersendiri membuat perempuan Bali ikut berperan dalam mencari nafkah sehingga ekonomi keluarga menjadi meningkat dibantu dengan penghasilan suami. Pada perempuan Bali yang tidak bekerja tentu hanya memiliki peranan sebagai istri sekaligus ibu yang mendampingi suami, mengurus rumah tangga, mendidik anak dengan budi pekerti yang sehat dan moral yang baik, serta memelihara kesatuan harmonis dalam keluarga. Namun, dalam kegiatan-kegiatan keagamaan, misalnya upacara piodalan di tempat-tempat suci, perempuan mempunyai peranan lebih menonjol dalam mempersiapkan perlengkapan sesajen yang diperlukan.

C. Dinamika Antar Variabel

Perempuan yang telah menikah atau berkeluarga secara otomatis memiliki peran sebagai istri sekaligus ibu rumahtangga. Bagi perempuan yang memilih untuk bekerja setelah menikah, maka peran menjadi bertambah yakni sebagai ibu rumahtangga dan perempuan karier. Dalam menjalankan kedua peran tersebut, adakalanya perempuan dihinggapi berbagai masalah yang apabila tidak diatasi dengan baik akan dapat berakibat timbulnya gangguan. Gangguan yang sering dihadapi adalah berupa stres.

Ibu rumahtangga dapat mengalami stres yang disebabkan oleh beban rumah tangga yang rutin dan overload. Overload adalah sebuah kondisi di mana ibu rumah tangga merasa terlalu banyak hal yang harus dihadapi dan diselesaikan. Seorang ibu rumahtangga akan memiliki masalah dengan anak dan pekerjaan rumahtangga yang sangat mungkin menyebabkan seorang ibu rumahtangga mengalami overload. Menurut Frieze (1978), ibu rumahtangga cenderung tidak dapat secara bebas memilih pekejaan dan cenderung untuk terisolasi di rumah karena banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan. Terlebih bila tidak ada yang membantu mengerjakan pekerjaan rumah


(3)

tangga. Isolasi ini cenderung memperkuat perasaan tidak berdaya pada perempuan yang pada akhirnya menyebabkan perempuan lebih mudah mengalami masalah–masalah psikologis.

Ibu rumahtangga yang berada dalam kondisi stres akan mencari cara untuk mengatur stres yang dialami agar dapat menjalankan tugas-tugas rumahtangga dengan optimal. Usaha mencari cara-cara untuk mengatur stres biasa disebut dengan strategi koping. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ayu (2009) menunjukkan bahwa strategi koping yang digunakan ibu rumahtangga yang tidak bekerja adalah emotion focused coping, problem focused coping, dan maladaptive coping. Untuk emotion focused coping, bentuk yang paling sering digunakan antara lain positive reinterpretation and growth dan turning to religion. Untuk problem focused coping dengan cara active coping dan suppression of competing activities. Untuk maladaptive coping dengan melakukan mental disengagement.

Selanjutnya, bagi ibu yang memilih bekerja akan berdampak pada bertambahnya peran yang dijalani yaitu peran reproduktif, peran produktif, dan peran sosial. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh seorang ahli psikologi, Rice (dalam Rini, 2002) menjelaskan bahwa ibu bekerja cenderung mengalami stres lebih tinggi daripada pria. Hal ini dikarenakan perempuan yang bekerja menghadapi konflik peran. Di satu pihak, perempuan berperan sebagai ibu rumahtangga yang harus terlebih dahulu mengatasi urusan keluarga, suami, anak, dan hal lain yang menyangkut rumahtangga. Tetapi di pihak lain perempuan sebagai pekerja yang harus menyelesaikan pekerjaan di tempat kerja. Tuntutan peran tersebut sangat berpotensi menyebabkan perempuan bekerja mengalami stres.

Konflik peran ganda tidak dapat dihindari oleh perempuan yang telah menikah dan memutuskan untuk bekerja di luar rumah. Untuk itu, perlu adanya perilaku


(4)

pengatasan masalah atau sering disebut dengan strategi koping bagi perempuan bekerja. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Cucuani (2013) menunjukkan bahwa dalam menghadapi konflik peran, ibu bekerja cenderung menggunakan problem focus coping. Bentuk problem focused coping tersebut antara lain mempekerjakan pekerja rumah tangga dan/atau meminta bantuan anggota keluarga yaitu anak, suami, orang tua, kakak, adik, atau keponakan untuk membantu mengasuh anak dan menyelesaikan tanggungjawab rumahtangga, melakukan penjadwalan, menyusun skala prioritas, merencanakan waktu keluarga bersama-sama dengan anggota keluarga lain, mengubah sikap dalam berinteraksi dengan anggota keluarga dan mencari dukungan sosial dari anggota keluarga maupun rekan sekerja.

Dalam budaya Bali, adanya kegiatan yang berkaitan dengan adat dan agama yang tertuang sesuai dalam awig-awig (aturan adat) yang dibuat dan disepakati bersama warga, menyebabkan perempuan khususnya yang berpartisipasi di sektor publik sering terjadi konflik. Selain faktor budaya dan adat istiadat, adanya faktor sosial, ekonomi dan lingkungan dapat memengaruhi perempuan bekerja juga mengalami konflik dalam menentukan pilihan apakah mengorbankan pekerjaan publik demi melaksanakan kegiatan domestik (rumah tangga, adat dan agama), yang berdampak pada punishment (hukuman) atau mengorbankan kegiatan domestik untuk kegiatan publik yang menghasilkan uang yang berdampak pada terkena sanksi sosial (Sirta, 2004).

Menurut Handayani dan Sugiarti (2008), beban kerja sangat dirasakan oleh kaum perempuan Bali karena harus menjalankan tiga peran dalam kehidupan, yaitu peran reproduktif, peran produktif, dan peran sosial. Surpha (2006) menjelaskan bahwa adanya pikiran tradisional pada masyarakat Bali menjadi dasar terbentuknya hukum pelanggaran adat sebagai bentuk pemulihan keseimbangan yang berupa sanksi sosial seperti beban mental dan psikologis. Beban kerja yang dirasakan kaum perempuan bali


(5)

menjadi beban psikis yang tidak mampu diungkapkan secara terbuka karena pengaruh budaya dan kontrol sosial yang kuat sehingga hanya dapat diterima begitu saja walaupun dengan rasa berat hati.

Smet (1994) mengatakan bahwa ketidakberhasilan individu menghadapi masalah atau stresor mengakibatkan gangguan psikofisiologis yaitu perubahan fungsi tubuh, munculnya reaksi yang maladaptif, menjadi tidak bergairah, tidak bersemangat, sehingga dapat mempengaruhi kesehatannya. Untuk berhasil menghadapi tekanan, baik ibu rumahtangga maupun ibu bekerja membutuhkan strategi koping yang baik agar gangguan psikofisiologis tidak terjadi. Strategi koping yang sesuai dapat mengarahkan seorang ibu, baik ibu rumahtangga maupun ibu bekerja untuk berhasil menghadapi stres.

Bagan dinamika strategi kopingpada perempuan Hindu Bali yang bekerja dengan yang tidak bekerja sebagai berikut:

Gambar 1 Dinamika Antar Variabel Tidak Bekerja Bekerja Strategi Koping Mengontrol stres Tiga Peran Perempuan Hindu Bali: -Peran Reproduktif -Peran Produktif -Peran Sosial Merasa terisolasi dan pekerjaan rumah tangga dirasakan terlalu menumpuk

(overload)

Mengalami konflik Peran Dua Peran Perempuan Hindu Bali: -Peran Reproduktif -Peran Sosial

Perempuan

Hindu Bali Aspek-aspek:

1. Confrontative coping 2. Planfull

problem solving 3. Seeking social

support 4. Distancing 5. Self-controlling 6. Escape-Avoidance 7. Accepting responsibility 8. Positive reappraisal


(6)

Keterangan gambar:

: Variabel penelitian

: : Faktor yang tidak diteliti

: garis pengaruh yang akan diteliti

: garis pengaruh yang tidak diteliti

D. Hipotesis Penelitian

Ho : Tidak ada perbedaan strategi koping pada perempuan Hindu Bali yang bekerja dan yang tidak bekerja.

Ha : Ada perbedaan strategi koping pada perempuan Hindu Bali yang bekerja dan yang tidak bekerja.