PPAT SEBAGAI PEMBANTU KEPALA KANTOR PERTANAHAN

BAB III PPAT SEBAGAI PEMBANTU KEPALA KANTOR PERTANAHAN

DALAM PENDAFTARAN TANAH

1. Pejabat Pembuat Akta Tanah PPAT

a. Pengertian PPAT

Peraturan hukum yang mengatur tentang PPAT ini adalah Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Peraturan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2006. Di dalam Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 1998 dibedakan pengertian PPAT, PPAT Sementara, dan PPAT Khusus. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 1998 mendefenisikan PPAT sebagai pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Sementara yang dimaksud dengan PPAT Sementara dalam Pasal 1 angka 2 adalah Pejabat Pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terhadap PPAT. Sedangkan yang dimaksud dengan PPAT Khusus menurut Pasal 1 angka 3 PP nomor 37 tahun 1998 adalah Pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan 61 Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan PPAT hanya meliputi PPAT dan PPAT sementara sjaa.

b. PPAT Sebagai Penjabat

Pengaturan PPAT sebagai penjabat untuk pertama kali diatur dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 1961. Khusus yang mengatur tentang ”Bentuk Akta” dimuat dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 1961 yang menyebutkan PPAT sebagai penjabat. Kedua peraturan itu menunjuk pada pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang menetapkan bahwa : a. Berbagai perbuatan hukum harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria dan bahwa : b. Akta tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria 93 Dengan sebutkan penjabat, hal-hal yang bersangkutan dengan pelaksanaan tugas pembuatan akta, mendapat pengaturan lebih lanjut dalam pasal 22 ayat 1, 2, 3 pasal 25 ayat 1, pasal 28 ayat 4, pasal 35 huruf a, pasal 38, 39, 40, 43, dan 44 dari Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. 93 J. Kartini Soedjendro, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi Konflik, Semarang, Penerbit : Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1999, hal. 83. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. Untuk jelasnya, bunyi pasal-pasal tersebut secara lengkap adalah sebagai berikut : Pasal 22 Ayat 1 : Mengenai tanah yang sudah dibukukan, maka penjabat dapat menolak permintaan untuk membuat akta sebagai yang dimaksud dalam pasal 19 jika : ... dan seterusnya Ayat 2 : Jika penjabat menganggapnya perlu maka ia dapatminta supaya pembuatan akta disaksikan oleh Kepala Desa dan seorang anggota pemerintah desa yang bersangkutan Ayat 3 : Akta yang termasuk dalam ayat 1 pasal ini beserta sertifikat dan warkah lain yang diperlukan untuk pembuatan akta itu oleh penjabat segera disampaikan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang bersangkutan untuk didaftarkan ... dan seterusnya 94 Pasal 25 Ayat 1 : Jika untuk memindahkan hak, memberikan hak baru, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan tanggungan hak atas tanah dengan menyimpang dari ketentuan dalam pasal 22 ayat 1 sub a ... dan seterusnya Pasal 43 : Barang siapa yang membuat akta yang dimaksud dalam pasal 19 tanpa ditunjuk oleh Menteri Agraria sebagai Penjabat, dipidana 94 Ibid., hal. 84. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10.00,- 95 Pasa 44 Ayat 1 : Kepala Desa dilarang membuatkan perjanjian yang dimaksud dalam pasal 22 dan 25 yang dibuat tanpa akta oleh Penjabat. 96 Dalam pelbagai pengaturan itu, sistem pertanggungjawaban tugas PPAT terarah pada pejabat utama dan bersifat administratif, yakni pejabat agraria. 97 Demikian pula melalui penyebutan penjabat, maka hal-hal yang terkait dengan pengangkatan, pemberhentian, penetapan daerah kerja, hak-hak dan kewajiban PPAT cukup diatur melalui Peraturan Menteri atau Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 1961. Pengaturan lewat perangkat peraturan menteri seperti ini secara hukum memang sesuatu yang wajar karena sebagai seorang penjabat, PPAT tidak lebih dari seorang yang memegang jabatan, dan bukan sebagai pejabat yang mandiri. Artinya, sebagai penjabat, ia hanya sebagai seorang yang diperbantukan dalam menjalankan tugas Menteri Agraria sebagai pejabat utama dalam pembuatan akta. 98 Hal ini secara jelas dapat disimpulkan dari pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang menetapkan : 95 Ibid., hal. 84. 96 Ibid., hal. 84. 97 Ibid., hal. 84. 98 Ibid., hal. 85. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. ”Setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberi sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah, atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria. Akta tersebut bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria”. 99 Dengan demikian, tugas pokok PPAT adalah membantu Menteri Agraria membuat akta : 1. Pemindahan hak atas tanah 2. Pemberian sesuatu hak baru atas tanah 3. Penggadaian tanah, dan 4. Pemberian Hak Tanggungan atas tanah Selain tugas pokok tersebut, peraturan pemerintah yang sama menentukan kewajiban PPAT sebagai pelaksanaan tugas : 1. Membantu mengisi formulir permohonan izin pemindahan hak atas tanah dan pengirimannya kepada instansi agraria yang berwenang seperti ditentukan dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 14 Tahun 1961. 2. Membantu membuat surat permohonan penegasan konversi hak-hak adat Indonesia atas tanah dan pendaftaran hak-hak bekas konversi tersebut sebagai yang dimaksud dalam Peraturan Menteri Pertanian dan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1962. 100 99 Ibid., hal. 85. 100 Ibid., hal. 85. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. Mencermati kedua kewajiban PPAT tersebut di atas, maka terlihat bahwa ia menjalankan tugas administratif yang menjadi lingkup tugas instansi agraria. Dalam kaitan dengan pendaftaran tanah, kedudukan membantu instansi agraria, nyata dalam Peraturan Menteri Negara Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, khusus yang mengatur ”Jenis dan Bentuk Akta Tanah”. 101 Pasal 97 peraturan tersebut menetapkan bahwa, Ayat 1 : Sebelum melakukan pembuatan akta mengenai pemindahan atau pembebasan hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, PPAT wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan mengenai kesesuaian sertifikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan setempat dengan memperlihatkan sertifikat asli. 102 Ayat 5 : Apabila sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ternyata tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan, maka diambil tindakan sebagai berikut : a. Apabila sertifikat tersebut bukan dokumen yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, maka pada sampul dan semua halaman sertifikat tersebut dibubuhkan cap atau tulisan 101 Ibid., hal. 85. 102 Ibid., hal. 86. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. dengan kalimat : “Sertifikat ini tidak diterbitkan oleh Kantor Pertanahan …” kemudian diparaf. b. Apabila sertifikat tersebut adalah dokumen yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan akan tetapi data fisik dan atau data yuridis yang termuat di dalamnya tidak sesuai lagi dengan data yang tercatat dalam buku tanah dan atau surat ukur yang bersangkutan, kepada PPAT yang bersangkutan diterbitkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah sesuai data yang tercatat di Kantor Pertanahan dan pada sertifikat yang bersangkutan tidak dicantumkan sesuatu tanda. 103 Pasal 103 : Ayat 1 : PPAT wajib menyampaikan akta PPAT dan dokumen- dokumen lain yang diperlukan untuk keperluan pendaftaran peralihan hak yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan, selambat-lambatnya 7 tujuh hari kerja sejak ditanda tanganinya akta yang bersangkutan. 104 Pasal 115 : Ayat 1 : Untuk pendaftaran Hak Tanggungan yang obyeknya berupa hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang sudah terdaftar tetapi belum atas nama pemberi Hak Tanggungan dan 103 Ibid., hal. 86. 104 Ibid., hal. 86. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. diperoleh pemberi Hak Tanggungan karena peralihan hak melalui pewarisan atau pemindahan hak, PPAT yang membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib selambat-lambatnya 7 tujuh hari kerja setelah penandatanganan akta tersebut menyerahkan kepada Kantor Pertanahan berkas yang diperlukan yang terdiri dari : a. Surat pengantar dari PPAT, yang dibuat rangkap 2 dua dan memuat daftar jenis surat-surat yang disampaikan; b. Surat permohonan pendaftaran peralihak hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun dari pemberi Hak Tanggungan c. Fotocopy surat bukti identitas pemohon pendaftaran peralihan hak sebagaimana dimaksud huruf b d. Sertifikat asli hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang menjadi obyek Hak Tanggungannya e. Dokumen asli yang membuktikan terjadinya peristiwa atau perbuatan hukum yang mengakibatkan beralihnya hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun kepada pemberi Hak Tanggungan, yaitu : 1 dalam hal pewarisan : surat keterangan sebagai ahli waris dan Akta Pembagian Waris apabila sudah diadakan pembagian waris Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. 2 dalam hal pemindahan hak melalui jual beli : akta jual beli 3 dalam hal pemindahan hak melaui lelang : kutipan risalah lelang 4 dalam hal pemindahan hak melalui pemasukan modal dalam perusahaan atau inbreng : akta pemasukan ke dalam perusahaan 5 dalam hal pemindahan hak melalui tukar menukar : akta tukar menukar 6 dalam hal pemindahan hak melalui hibah : akta hibah f. Bukti pelunasan pembayaran bea perolehan hak atas tanah dan bangunan sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Nomor 21 Tahun 1997, dalam hal bea tersebut terutang g. Bukti pelunasan pembayaran Pajak Penghasilan PPh sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996, dalam hal pajak tersebut terutang h. Surat permohonan pendaftaran Hak Tanggungan dari penerima Hak Tanggungan i. Fotocopy surat bukti identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan j. Lembar ke 2 dua AktaPemberian Hak Tanggungan Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. k. Salinan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang sudah diparaf oleh PPAT yang bersangkutan untuk disahkan sebagai salinan oleh Kepala Kantor Pertanahan untuk pembuatan Sertifikat Hak Tanggungan l. Surat Kuasa Membebanan Hak Tanggungan, apabila pemberian Hak Tanggungan dilakukan melalui kuasa. 105 Pasal 116 Ayat 1 : Untuk pendaftaran Hak Tanggungan yang obyeknya berupa sebagian atau hasil pemecahan atau pemisahan dari hak atas tanah induk yang sudah terdaftar dalam suatu usaha real estat, kawasan industri atau Perusahaan Inti Rakyat PIR dan diperoleh pemberi Hak Tanggungan melalui pemindahan hak PPAT yang membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib selambat-lambatnya 7 tujuh hari kerja setelah penandatanganan Akta tersebut menyerahkan kepada Kantor Pertanahan berkas yang diperlukan yang terdiri dari : seperti pada pasal 115 ayat 1 huruf a sampai dengan 1 kecuali pada huruf e yang berbunyi, e. Akta jual beli asli mengenai hak atas bidang tanah tersebut dari pemegang hak atas tanah induk kepada pemberi hak tanggungan. 106 105 Ibid., hal. 88. 106 Ibid., hal. 88. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. Pasal 117 Ayat 1 : Untuk pendaftaran Hak Tanggungan yang obyeknya berupa hak atas tanah hak milik adat yang belum terdaftar, PPATyang membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib selambat- lambatnya 7 tujuh hari kerja setelah penandatanganan Akta tersebut menyerahkan kepada Kepala Kantor Pertanahan berkas yang diperlukan yang terdiri dari : seperti pada pasal 116 ayat 1 kecuali pada huruf b yang berbunyi, f. Surat permohonan pendaftaran hak atas tanah yang berasal dari konversi hak milik adat dari pemberi Hak Tanggungan. 107 Dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, maka PPAT pun tidak kurang dari sebuah lembaga yang timbul sebagai pelasana pendaftaran tanah. Akta-akta hak yang dibuatnya, merupakan kelengkapan berkas dalam kerangka pendaftaran tanah dimaksud. Dalam bagian pertimbangan dari setiap peraturan yang mengatur PPAT, misalnya pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 dijadikan sebagai dasar rujukan pengaturan itu. Untuk jelasnya, perlu dicermati pasal 19 Undang-Undang Ayat 1 : diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Nomor 5 Tahun 1960 berbunyi sebaga berikut Untuk menjamin kepastian hukum, oleh pemerintah akan 107 Ibid., hal. 88. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Ayat 2 : Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi : a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak atas tanah tersebut c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. 108 Dalam konteks tugas yang demikian itulah dapat dimengerti mengapa peraturan yang pertama kali mengatur ikhwal PPAT, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Khusus terhadap PPAT, pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang menentukan kedudukannya sebagai penjabat mendapat pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 1960 dan Nomor 15 Tahun 1961. Peraturan yang pertama Nomor 10 Tahun 1961 mengatur tentang PPAT sebagai penjabat yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah, sedangkan Peraturan Menteri Agraria Nomor 15 Tahun 1961 tentang PPAT sebagai penjabat pembuat akta pembebanan dan pendaftaran hipotek serta credietverband. Melalui pasal 12 ayat 1b Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985, kedudukan PPAT sebagai penjabat ditegaskan kembali, yaitu sebagai 108 Ibid., hal. 89. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. penjabat yang berwenang membuat akta pembebanan hak jaminan terhadap bagian rumah susun di atas tanah hak pakai yang berasal dari tanah yang secara langsung dikuasai oleh negara. Jaminan yang dibuat oleh PPAT itu wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan sesuai dengan Pasal 15 Undang- Undang Nomor 16 ahun 1985. 109 Bila memperhatikan lingkup masalah yang dijadikan sebagai pbjek yang memerlukan akta PPAT, maka hampir seluruhnya merupakan masalah yang menjadi bidang kerja birokrasi di masa lalu hingga kini. Di sini dapat disebut lingkup masalah dimaksud dalam tiga kategori : 1. Dalam perundang-undangan di Indonesia sejak zaman Hindia Belanda hingga kini, seorang Notaris hanya berwenang membuat akta pengikatan jual beli atas tanah, sedangkan pencatatan balik namanya dilakukan oleh overschrijvings ambtenaar. Sejak tahun 1947, kewenangan itu dipegang oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah atau Kadaster, kini tugas peralihan hak atas tanah ditangani oleh PPAT sebagai penjabat yang berwenang, sedangkan balik nama atas tanahnya hanya bersifat penyelesaian administratif saja lewat Kantor Badan Pertanahan setempat. 2. Sebelum berlakunya UUPA dalam jual beli tanah hak milik adat sebagian menjadi tugas Kepala Desa. Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, kewenangan tersebut berada pada PPAT. 109 Ibid., hal. 89. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. 3. Sebagian tugas penjabat pamongpraja khususnya menyangkut kewenangan membuat akta creditveband, sejak berlakunya Peraturan Menteri Agraria Nomor 15 Tahun 1961, kewenangan itu berada di tangan PPAT. 110 Dari latar belakang yang demikian, maka dapat dimengerti bila hingga tahun 1996, yakni sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, tugas-tugas PPAT masih mencirikan kedudukannya sebagai penjabat. Peraturan yang akan disebut berikut ini mengatur tugas PPAT dalam kerangka tata laksana pemindahan hak dan pembebanan hak atas tanah. Peraturan- peraturan yang dimaksud adalah : 1. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah 2. Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penunjukan Penjabat Pembuat Akta yang dimaksud oleh Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 3. Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 1971 tentang Pembentukan Panitia Ujian PPAT 4. Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 1961 tentang Penetapan Bentuk-bentuk Akta Jual Beli dan Hibah Tanah 5. Peraturan Menteri Agraria Nomor 14 Tahun 1961 jo. Nomor 59 Tahun 1970 tentang Permintaan dan Pemberian Izin Hak atas Tanah 110 Ibid., hal. 90. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. 6. Peraturan Menteri Agraria Nomor 15 Tahun 1961 tentang Pembebanan dan Pendaftaran Hipotek dan Creditverband 7. Surat Keputusan Direktur Jenderal Agraria Nomor 67 Tahun 1968 tentang Bentuk Buku Tanah dan Sertifikat Hipotek Creditverband 8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1975 tentang Pendaftaran Hak atas Tanah Kepunyaan Bersama dan Pemilikan Bagian- bagian Bangunan yang ada di atasnya, serta penerbitan sertifikatnya 9. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 1992 tentang Biaya Pendaftaran Tanah 111 Sebagai catatan terakhir, perlu kiranya dikemukakan di sini mengenai status akta yang dibuat oleh PPAT dalam kedudukannya sebagai penjabat. Dalam semua peraturan yang telah disebut di atas, kita tidak menemukan penegasan tentang status akta PPAT, apakah sebagai akta biasa ataukah sebagai akta autentik. Dengan tidak perlu mengutip kembali pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang menurunkan peraturan-peraturan dibawahnya, dapat penulis katakan bahwa rumusannya mirip dengan rumusan pasal 1868 BW. Akan tetapi, dalam ketentuan BW atau sekarang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut ditegaskan bahwa, akta yang dibuat pegawai-pegawai umum adalah akta autentik. Secara lengkap bunyi pasal itu sebagai berikut : 111 Ibid., hal. 90. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. “Suatu akta autentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya”. 112 Ada dua hal yang membedakan kedua ketentuan tersebut. Pertama, dalam pasal 1868 BW ditegaskan pejabat pembuat akta adalah pegawai- pegawai atau pejabat umum, sementara dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Thaun 1961 hanya menyebutkan akta an sich. Dalam konteks pengaturan seperti ini atau pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dan pasal 1868 BW, dapat diduga terdapat perbedaan kedudukan antara seorang pejabat umum yang membuat akta autenti atau pasal 1868 BW, dengan seorang penjabat yang hanya membuat akta bukti perjanjian atau pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. 113

c. Pergeseran Kedudukan dan Tugas PPAT sebagai Penjabat Menjadi

Pejabat Umum Berbeda dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 berserta semua peraturan yang diturunkan darinya, maka dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, PPAT disebut secara tegas sebagai pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta : 1 Pemindahan hak atas tanah; 2 pembebanan hak atas tanah; 3 pemberian kuasa membebankan hak 112 Ibid., hal. 90. 113 Ibid., hal. 91. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. tanggungan atau pasal 1 ayat 4. Dengan demikian, dalam kedudukan seperti itu, lingkup tugas seorang PPAT bertambah satu jenis lagi atau di luar Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985, yaitu pemberian kuasa membebankan hak tanggungan. Untuk tugas yang terakhir ini, cakupan objeknya pun luas, seperti yang diperintahkan oleh pasal 37 UUPA, yaitu yang menyangkut semua tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dan yang menyangkut semua tanah hak milik. 114 Kedudukan PPAT sebagai pejabat umum mempunyai implikasi pada bentuk akta yang dibuatnya, yakni akta yang autentik atau lihat penjelasan Undang-Undang Nomor 4 Tahun1996 angka 7. Penegasan kedudukan sebagai pejabat dari seorang PPAT beserta akta yang dibuatnya itu memperoleh peneguhan kembali lewat Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yang menetapkan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta autentik mengenai perbuatan hukum tertentu menyangkut hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun atau pasal 1 angka 1. 115 Dalam pasal 2 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 itu, ditetapkan cakupan tugas pokok PPAT, yaitu melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan 114 Ibid., hal. 91. 115 Ibid., hal. 92. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftar perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. 116 Selanjutnya, dalam ayat 2 dirinci jenis-jenis perbuatan hukum yang tentu memerlukan akta PPAT sebagai pejabat umum, yakni : 1. jual beli 2. tukar menukar 3. hibah 4. pemasukan ke dalam perusahaan atau inbreng 5. pembagian hak bersama 6. pemberian hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah hak milik 7. pemberian hak tanggungan 8. pemberian kuasa membebankan hak tanggungan 117 Pergeseran kedudukan PPAT dari seorang penjabat menjadi seorang pejabat umum, membawa posisinya sama dengan notaris sebagai openbaar ambtenaar. Akta yang dibuat oleh PPAT tidak lagi berkadar relaas akta sebagaimana halnya suatu berita acara tentang kejadian atau urut-urutan peristiwa yang disaksikannya untuk disampaikan kepada instansi agraria, tetapi sudah berbobot partij akta. Dalam hal ini, PPAT dalam aktanya memuat persyaratan-persyaratan atau ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Ia harus memastikan bahwa perjanjian itu, 116 Ibid., hal. 92. 117 Ibid., hal. 92. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. berikut persyaratan-persyaratan benar seperti apa yang dituntut dalam perjanjian itu. 118 Kalau sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, jabatan PPAT terkesan sebagai ”jabatan ikutan” notaris, maka dalam kedua ketentuan tersebut kedua jabatan itu sama posisinya. Dengan merujuk pada lampiran Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 1971, maka ketentuan yang menentukan bahwa pengangkatan seseorang menjadi PPAT harus ditunggu sampai yang bersangkutan diangkat menjadi Notaris, tidak bisa lain, memperkuat kesan bahwa jabatan PPAT adalah ”jabatan ikutan” notaris. 119 Namun, baik dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 maupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, kedua jabatan itu memiliki posisi yang sederajat. Dalam pasal 15 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 misalnya, surat kuasa membebankan hak tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT. Sementara itu, dalam pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, dari sekian syarat umum untuk menjadi PPAT, maka terdapat syarat khusus terutama ditentukan dalam huruf f, yang menetapkan bahwa seseorang harus merupakan ”lulusan 118 Ibid., hal. 93. 119 Ibid., hal. 93. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. program pendidikan spesialis notariat atau program pendidikan khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi”. 120 Tidak dapat dipastikan, apakah kedua aturan itu merupakan terobosan terhadap Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 1971 yang memberi kesan jabatan PPAT sebagai ”jabatan ikutan” notaris. Kalaupun dianggap suatu terobosan, tidak dapat dipastikan pula, apakah ”langkah maju” tersebut terkait dengan pergeseran kedudukan PPAT sebagai pejabat umum seperti halnya notaris. 121 Kepastian tentang itu memang tidak bisa dilacak lewat peraturan- peraturan tersebut karena memang tidak dijelaskan di sana. Yang dapat dijadikan sebagai landasan dugaan terjadinya korelasi antara pergeseran kedudukan PPAT dengan kesederajatan Notaris dan PPAT adalah pembagian tugas yang tegas antara PPAT dan Notaris mengenai objek perjanjian yang harus dibuatkan akta autentik bagi perjanjian-perjanjian yang menyangkut tanah, sedangkan Notaris membat akta autentik lain yang tidak menyangkut tanah. 122

d. Dari Penjabat Menjadi Pejabat

Berdasarkan uraian di atas, maka pergeseran kedudukan dan tugas PPAT dapat diringkas sebagai berikut PPAT sebagai Penjabat Pembuat Akta 120 Ibid., hal. 93. 121 Ibid., hal. 93. 122 Ibid., hal. 93. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. Tanah, seperti disebutkan pada bagian depan, mulai muncul dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 1961 tentang Bentuk Akta. Pada tahun 1985, jabatan tersebut dan sebutan Penjabat Pembuat Akta tanah memperoleh pengukuhan sebagai Pejabat dengan mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun. 123 Pasal 10 ayat 2 menyebutkan bahwa pemindahan atas satuan rumah susun dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah dan didaftarkan pada Kantor Agraria Kabupaten atau Kotamadya yang bersangkutan menurut Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. 124 Istilah Pejabat Pembuat Akta Tanah juga dijumpai di dalam Penjelasan pasal 21 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan. Di samping itu istilah tersebut dijumpai juga dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1008KMK041985 tanggal 28 Desember 1985 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan dan Pemberian Keterangan dari Pejabat yang dalam jabatannya berkaitan langsung atau ada hubungannya dengan objek paja dari Pajak Bumi dan Bangunan. 125 Undang-Undang Nomor 16 tahun 1985 menunjuk pada Peraturan Pemerintah pasal 19 UUPA yang dimaksud Peraturan Pemerintah dalam tulisan ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 yang mengatur 123 Ibid., hal. 93. 124 Ibid., hal. 94. 125 Ibid., hal. 94. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. pendaftaran tanah Peraturan Menteri Agraria Nomor 11 Tahun 1961, pasal 19 tersebut masih mempergunakan istilah Penjabat. 126 Di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 dan Undang- Undang Nomor 16 Tahun 1985 ada pergeseran kata menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah, bukan Penjabat Pembuat Akta Tanah. Tampaknya dengan perubahan kata dari Penjabat menjadi Pejabat mengandung arti bahwa Pejabat cenderung menunjuk kepada orang yang menjabat jabatan yang bersangkutan. Penyebutan PPAT dalam kedua undang-undang tersebut pada hakikatnya memiliki makna pengukuhan keberadaannya. 127 Istilah Pejabat tersebut dikukuhkan kembali di dalam Keputusan Menteri Agraria atau Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 yang mengaur tugas PPAT dalam bidang jenis dan bentuk akta tanah. 128 Pergeseran secara kualitatif tugas PPAT, baru mengalami perubahan setelah keluar Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri tanggal 3 April 1971 Nomor 19DDA1971 tentang Pengangkatan PPAT. Isi surat keputusan tersebut antara lain menyatakan bahwa : 1. Yang diangkat menjadi PPAT adalah mereka yang telah dinyatakan lulus dalam ujian yang diselenggarakan Panitia Ujian Pejabat Pembuat Akta Tanah. Panitia tersebut diketuai oleh Direktur Pendaftaran Tanah Direktorat Jenderal Agraria 126 Ibid., hal. 94. 127 Ibid., hal. 94. 128 Ibid., hal. 94. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. 2. Materi ujian meliputi Pancasila, Tata Guna Tanah, Land Reform, Pengurusan Hak-hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Sedangkan yang dapat menempuh ujian PPAT adalah : a. Notaris b. Wakil Notaris yang diangkat Menteri Kehakiman c. Bekas Pegawai Teknis Dirjen Agraria yang oleh Paniti dianggap cukup mempunyai pengetahuan yang berhubungan dengan pendaftaran tanah dan persoalan hak atas tanah d. Sarjana hukum bekas pegawai negeri e. Bekas pegawai pamongpraja yang pernah menjabat sebagai PPAT 129 Dengan demikian pergeseran keduduan dan tugas PPAT mengalami perubahan yang cukup berarti dari Penjabat menjadi Pejabat dan secara kualitatif PPAT juga dituntut untuk memperdalam pengetahuannya melalui ujian. Tentu dengan ujian tidak otomatis kualitas anggota PPAT menjadi meningkat, tetapi apabila ujian dilaksanakan dengan sungguh-sungguh akan berdampak positif, yaitu para calon akan mempelajari materi secara serius. 130 129 Ibid., hal. 95. 130 Ibid., hal. 95. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008.

e. Tugas Pokok dan Kewenangan PPAT

Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tugas pokok dari PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Sususn, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. 131 Dalam kedudukannya sebagai pejabat umum PPAT menurut Pasal 6 dan Bab V Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 adalah Pejabat Tata Usaha Negara. Karena bertugas melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah, yang merupakan bagian dari urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 132 Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tersebut menurut Pasal 3 ayat 1 seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 2 131 Runtung Sitepu, Penelitian Evaluasi Produk-Produk Akta PPAT yang Menimbulkan Masalah Pertanahan, Draft Laporan, Medan, Penerbit : Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2003, hal. 6. 132 Ibid., hal. 36. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. 133 Adapun perbuatan hukum yang dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat 2 tersebut meliputi : jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan inbreng, pembagian hak bersama, pemberian Hak Guna Bangunan Hak Pakai atas Tanah Hak Milik, pemberian Hak Tanggungan, dan pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan. Sedangkan kewenangan dari PPAT khusus hanyalah membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukkannya Pasal 3 ayat 2 PP No. 37 Tahun 1998. 134

f. Pengangkatan dan Pemberhentian PPAT

Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi PPAT menurut ketentuan Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 adalah : 1 berkewarganegaraan Indonesia 2 berusia sekurang-kurangnya 30 tiga puluh tahun 3 berkelakuan baik yang dinyatakan dengan surat keterangan yang dibuat oleh Instansi Kepolisian setempat 4 belum pernah dihukum penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap 133 Ibid., hal. 37. 134 Ibid., hal. 37. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. 5 sehat jasmani dan rohani 6 lulusan program pendidikan spesialis notariat atau program pendidikan khusus PPAT yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan tinggi 7 lulus ujian yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri Negara AgrariaBadan Pertanahan Nasional Sementara itu menurut Pasal 7 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 PPAT dapat merangkap jabatan sebagai Notaris, Konsultan atau Penasehat Hukum. Tetapi PPAT dilarang merangkap jabatan sebagai Pengacara atau Advokat, Pegawai Negeri, atau Pegawai Badan Usaha Milik NegaraDaerah, terkecuali untuk menjadi PPAT Sementara dan PPAT Khusus. 135

g. Pengangkatan dan Pemberhentian PPAT Khusus dan Sementara

Menurut Pasal 5 ayat 1 PP No. 37 Tahun 1998 PPAT dan PPAT Khusus diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Negara Agraria. Sedangkan wewenang mengangkat dan memberhentikan Camat sebagai PPAT Sementara dengan Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 1998 telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi. 136 135 Ibid., hal. 38. 136 Ibid., hal. 38. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. Ada beberapa hal yang dapat menyebabkan seorang PPAT berhenti menjabat sebagai PPAT menurut Pasal 8 PP No. 37 Tahun 1998, yaitu : 1 meninggal dunia; atau 2 telah mencapai usia 65 tahun; atau 3 diangkat dan mengangkat sumpah jabatan atau melaksanakan tugas sebagai Notaris dengan tempat kedudukan di KabupatenKota yang lain daripada daerah kerjanya sebagai PPAT; atau 4 diberhentikan oleh Menteri. 5 PPAT Sementara dan PPAT Khusus berhenti melaksanakan tugas PPAT apabila tidak lagi memegang jabatan, atau diberhentikan oleh Menteri 137 Menteri Negara Agraria berhak memberhentikan seorang PPAT baik dengan hormat ataupun dengan tidak hormat karena alasan-alasan tertentu. Pasal 10 ayat 1 menegaskan bahwa PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena : 2 permintaan sendiri; 3 tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan yang berwenang atas permintaan Menteri atau Pejabat yang ditunjuk; 4 melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT; 5 diangkat sebagai pegawai negeri sipil atau ABRI. 138 137 Ibid., hal. 39. 138 Ibid., hal. 39. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. Sedangkan dalam ayat 20 disebutkan bahwa PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya, karena : 1 melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT; 2 dijatuhi hukuman kurunganpenjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5 lima tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap. Khusus bagi PPAT yang berhenti atas permintaan sendiri menurut ayat 4 Pasal 10 PP No. 37 Tahun 1998 dapat diangkat kembali menjadi PPAT untuk daerah kerja lain daripada daerah kerjanya semula, apabila formasi PPAT untuk daerah kerja tersebut belum penuh. 139

h. Daerah Kerja PPAT

Menurut Pasal 4 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 seorang PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya, sebagaimana yang disebutkan dalam surat keputusan pengangkatannya sebagai PPAT. 140 139 Ibid., hal. 40. 140 Ibid., hal. 40. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. Daerah kerja PPAT tersebut berdasarkan Pasal 12 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 meliputi : 1 satu wilayah kerja Kantor Pertanahan KabupatenKota, bagi PPAT; 2 wilayah kerjanya sebagai pejabat Pemerintah yang menjadi dasar penunjukkannya, bagi PPAT Sementara dan PPAT Khusus 141 Dengan ketentuan bahwa apabila suatu wilayah KabupatenKota dipecah menjadi 2 dua atau lebih wilayah KabupatenKota, maka dalam waktu 1 satu tahun sejak diundangkannya Undang-undang tentang pembentukan KabupatenKota semula harus memilih salah satu wilayah KabupatenKota sebagai daerah kerjanya. Jika pemilihan tersebut tidak dilakukan pada waktunya, maka mulai 1 satu tahun sejak diundangkannya UU pembentukan Kabupaten Kota baru tersebut daerah kerja PPAT yang bersangkutan hanya meliputi wilayah KabupatenKota letak Kantor PPAT yang bersangkutan Pasal 13 ayat 1. 142

2. Produk Akta PPAT

Berdasarkan Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 yang dimaksud dengan Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah 141 Ibid., hal. 40. 142 Ibid., hal. 41. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. dilaksanakan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. 143 Dengan meminjam syarat-syarat perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata dikaitkan dengan ketentuan Pasal 18 PermenagKa. BPN No. 4 Tahun 1999 maka dalam pembuatan akta PPAT ini secara materil harus juga dipenuhi syarat-syarat subyektif subyek hak atau orang-orang yang menghadap atau komparan dan syarat obyektif obyek hak yang dialihkan dalam membuat akta PPAT adalah sebagai berikut : a. Kecakapan para pihak melakukan perbuatan hukum Para pihak yang melakukan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun tersebut haruslah cakap melakukan perbuatan hukum. Kecakapan yang dimaksud di sini meliputi kecakapan bertindak dalam hukum karena usianya ataupun kewenangannya untuk melakukan perbuatan hukum. Tentang kecakapan seseorang untuk bertindak dalam hukum dilihat dari batas usianya ternyata belum ada peraturan yang mengaturnya secara tegas. 144 b. Pasal 47 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan : 1 Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya; 143 Ibid., hal. 41. 144 Ibid., hal. 41. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. 2 Orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar Pengadilan 145 Apabila dilakukan penemuan hukum secara argumentum a contrario maka menurut ketentuan tersebut setiap orang yang telah genap berumur 18 tahun atau sudah pernah melangsungkan perkawinan kecuali berada di bawah pengampuan tidak lagi berada di bawah kekuasaan orang tuanya, dan tidak perlu lagi diwakili oleh orang tuanya untuk melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Namun apabila dilihat dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 98 ayat 1 batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa ditetapkan 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental, atau belum pernah melangsungkan perkawinan. 146 Akibat dari adanya dua peraturan yang berbeda maka PPAT cenderung menetapkan ketentuan tentang kecakapan bertindak dalam hukum tersebut adalah orang yang telah mencapai umur genap 21 tahun atau telah pernah melangsungkan perkawinan. Mengenai kecakapan dalam arti kewenangan bertindak mengenai sesuatu perbuatan, berarti bahwa para penghadap itu haruslah benar-benar berhak untuk melakukan perbuatan hukum pengalihan ataupun pembebanan terhadap hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun tersebut. Misalnya jika obyeknya 145 Ibid., hal. 42. 146 Ibid., hal. 42. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. merupakan harta warisan yang belum dibagi, semua ahli waris harus secara bersama-sama menghadap atau memberi kuasa untuk itu kepada ahli waris lainnya. Demikian juga halnya apabila obyeknya merupakan milik dari perseroan atau koperasi ataupun badan usaha lainnya, yang menghadap pada PPAT haruslah orang-orang yang diberi hak atau kewenangan untuk itu dalam anggaran dasarnya. c. Adanya kesepakatan dari para pihak PPAT hanya membuat akta PPAT atas dasar adanya kesepakatan dari para pihak yang menghadap. Tanpa adanya kesepakatan dari para penghadap akta PPAT tidak akan diterbitkan oleh PPAT. Hal ini dibuktikan dengan kesaksian 2 orang saksi bahwa telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan berdasarkan kesepakatan. d. Mengenai hal tertentu Obyek dari perbuatan hukum itu haruslah berupa hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang harus dibuktikan dengan data fisik dan data yuridis. Dengan demiian dalam Pasal 39 PP No. 24 Tahun 1997 disebutkan : 1 PPAT menolak untuk membuat akta, jika : a. Mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertifikat asli hak yang bersangkutan atau sertifikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar- daftar yang ada di Kantor Pertanahan; atau Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. b. Mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan : 1 Surat bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat 1 atau surat keterangan Kepala DesaKelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat 2; dan 2 Surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertifikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala DesaKelurahan; atau c. Salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau salah satu saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian; atau d. Salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakekatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak; atau e. Untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh izin Pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. f. Obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau g. Tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan 147 Mengenai obyek perbuatan hukum yang hak atas tanahnya sedang dalam persengketaan seperti diatur dalam Pasa 39 ayat 1 huruf f Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997, apabila tetap dibuatkan akta PPAT-nya, maka tindakan PPAT tersebut dapat dikategorikan pelanggaran berat dan diancam dengan tindakan administratif berupa pemberhentian dengan tidak hormat sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 jo Pasal 38 ayat 1 huruf b Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala BPN No. 4 Tahun 1999. 148 Kemudian secara formil, diatur mengenai tata cara dan syarat-syarat pembuatan akta PPAT diatur dalam Pasal 17 dan Pasal 18 Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan PPAT. 149 Pasal 17 menyebutkan : 1 PPAT melaksanakan tugas pembuatan akta PPAT di kantornya dengan dihadiri oleh para pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan atau kuasanya sesuai dengan ketentuan yang berlaku; 147 Ibid., hal. 43. 148 Ibid., hal. 43. 149 Ibid., hal. 44. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. 2 PPAT dapat membuat akta di luar kantornya hanya apabila salah satu pihak dalam perbuatan hukum atau kuasanya yang sesuai ketentuan yang berlaku harus hadir tidak dapat datang di kantor PPAT karena alaan yang sah, dengan ketentuan bahwa para pihak harus hadir di hadapan PPAT di tempat pembuatan akta tersebut. 150 Ketentuan ini mengharuskan PPAT untuk melaksanakan pembuatan akta PPAT di kantornya sendiri, terkecuali dalam hal-hal tertentu. Selanjutnya dalam Pasal 18 disebutkan : 1 Akta PPAT dibuat dengan mengisi blanko akta yang tersedia secara lengkap sesuai dengan petunjuk pengisiannya. 2 Pengisian blanko akta dalam rangka pembuatan akta PPAT sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus dilakukan sesuai dengan kejadian, status dan data yang benar dan didukung oleh dokumen yang menurut pengetahuan PPAT yang bersangkutan adalah benar. 151 3 Pembuatan akta PPAT dilakukan dengan disaksikan oleh 2 dua orang saksi yang memberikan kesaksian mengenai : a. identitas penghadap dalam hal PPAT tidak mengenal penghadap secara pribadi; b. kehadiran para pihak atau kuasanya; 150 Ibid., hal. 44. 151 Ibid., hal. 45. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. c. kebenaran data fisik dan data yuridis obyek perbuatan hukum dalam hal obyek tersebut belum didaftar; d. kebenaran dokumen-dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta; e. telah dilaksanakan perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan. 4 Yang dapat menjadi saksi adalah orang yang memenuhi syarat untuk memberikan kesaksian di bawah sumpah di muka pengadilan mengenai kebenaran dalam perkara perdata Selanjutnya ketentuan tersebut juga mengharuskan disaksikan oleh dua orang saksi dalam pembuatan akta PPAT tersebut. Akta PPAT menurut PermenagKa. BPN No. 4 Tahun 1999 ini adalah dalam bentuk blanko yang telah disediakandicetak oleh Badan Pertanahan Nasional, jadi PPAT hanya tinggal melakukan pengisian saja terhadap blanko tersebut sesuai dengan kejadian, status dan data dalam perbuatan hukum yang dihadapinya. 152 Bentuk akta yang menjadi produk PPAT sebagaimana diatur dalam Pasal 96 Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala BPN No. 3 Tahun 1997 dan ditegaskan lagi dalam Pasal 2 PP No. 37 tahun 1998 tentang PPAT, terdiri atas : a. Akta jual beli b. Akta tukar-menukar c. Akta hibah d. Akta pemasukan ke dalam perusahaan 152 Ibid., hal. 45. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. e. Akta pembagian hak bersama f. Akta pemberian hak tanggungan g. Akta pemberian hak guna bangunanhak pakai atas hak milik h. Surat kuasa membebankan hak tanggungan 153 Selanjutnya terhadap akta PPAT yang hendak didaftarkan ke Kantor Pertanahan, terdapat ketentuan tentang prosedur penyampaian dokumen oleh PPAT baik terhadap peralihan hak atas tanah yang belum bersertipikat maupun yang sudah bersertipikat yang sifatnya wajib dipenuhi oleh PPAT yang bersangkutan, agar peralihan hak atas tersebut dapat didaftarkan. Dalam praktek di Kantor Pertanahan Kota Medan ditentukan bahwa penyampaian dokumen yang wajib disampaikan oleh PPAT pada saat hendak mendaftaran perbuatan hukum peralihan hak atas tanah yang sudah terdaftar bersertipikat sebagaimana diatur dalam Pasal 103 ayat 2 Peraturan Menteri Negara Agrariaepala BPN No. 3 tahun 1997 adalah : a. Surat permohonan pendaftaran peralihan hak yang ditandatangani oleh penerima hak atau kuasanya b. Surat kuasa tertulis dari penerima hak apabila yang mengajukan permohonan pendaftaran peralihan hak bukan penerima hak c. Akta tentang perbuatan hukum pemindahan hak yang bersangkutan yang dibuat oleh PPAT yang pada waktu pembuatan akta masih menjabat dan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan 153 Ibid., hal. 45. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. d. Bukti identitas pihak yang mengalihkan hak e. Bukti identitas penerima hak f. Sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dialihkan g. Izin pemindahan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat 2 h. Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 21 tahun 1997 dan Undang- Undang No. 20 tahun 2000 – pen dalam hal bea tersebut terutang 154 i. Bukti pelunasan pembayaran Pajak Penghasilan PPh sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 1994 dan Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1996 dalam hal bea tersebut terutang. 155 Sedangkan untuk tanah yang belum terdaftarbelum bersertipikat, maka penyampaian dokumen yang wajib disampaikan oleh PPAT ketika hendak mendaftarkan peralihak hak atas tanah tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 103 ayat 3 Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala BPN No. 3 tahun 1997 adalah : a. Surat permohonan pendaftaran hak atas tanah yang dialihkan yang ditanda tangani oleh pihak yang mengalihkan hak b. Surat permohonan pendaftaran peralihan hak yang ditandatangani oleh penerima hak atau kuasanya 154 Ibid., hal. 45. 155 Elfachri Budiman, Pelaksanaan Pendaftaran Akta PPAT di Kantor Pertanahan Kota Medan, Medan : Makalah disampaikan dalam rangka pembinaan PPAT Kota Medan, tanggal 15 Maret 2003, hal. 6. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008. c. Surat kuasa tertulis dari penerima hak apabila yang mengajukan permohonan pendaftaran peralihak hak bukan penerima hak d. Akta PPAT tentang perbuatan hukum pemindahan hak yang bersangkutan; e. Bukti identitas pihak yang mengalihkan hak f. Bukti identitas penerima hak g. Surat-surat alat pembuktian hak lama dalam bentuk tertulis dengan nama apapun juga h. Izin pemindahanpembebanan hak dari instansi berwenang atau pemindahan hakpembebanan hak Pakai atas tanah negara i. Bukti pelunasan pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No. 21 tahun 1997 dan Undang- Undang No. 20 tahun 2000 – pen dalam hal bea tersebut terutang j. Bukti pelunasan Pembayaran Pajak Penghasilan PPh sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 1994 dan Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1996 dalam hal bea tersebut terutang. 156 Bila syarat-syarat dimaksud baik syarat materil subyektif maupun syarat formil sebagaimana diuraikan di atas tidak dipenuhi, maka produk akta PPAT tidak bisa dijadikan sebagai perantara untuk pendaftaran peralihan hak selanjutnya di Kantor Pertanahan setempat. 156 Elfachri Budiman, Pelaksanaan Pendaftaran Akta PPAT di Kantor Pertanahan Kota Medan, Medan : Makalah disampaikan dalam rangka pembinaan PPAT Kota Medan, tanggal 15 Maret 2003, hal. 6. Pantas Situmorang : Problematika Keontetikan Akta PPAT. USU e-Repository © 2008.

BAB IV KENDALA-KENDALA YANG DIHADAPI OLEH PPAT DALAM