9 : Distribusi perbandingan masalah penting yang berhasil dan masalah menonjol yang tidak berhasil ditangani dirinci berdasarkan bisang-bidang
Tabel 2.9 : Distribusi perbandingan masalah penting yang berhasil dan masalah menonjol yang tidak berhasil ditangani dirinci berdasarkan bisang-bidang
masalahnya
Desa Masalah Penting yang Berhasil Diatasi Masalah Penting menonjol yang Tidak Berhasil Diatasi dan/atau yang
tidak ditangani
PL KM Mbay II
KH PL KM
KH
N. Harga beras rang hama dan
A. Padi terse-
P. Kurangnya
C. Berkurangnya
ketrampilan
hasil panen
M. Sengketa C. Menurunnya G. Air kurang
tapal batas
hasil panen
dengan hutan lindung
Totomala C. Hasil panen
P. SDM masih menurun
G. Air minum
kurang
rendah
E. Ternak lepas M. Sengketa merusak
perbatasan
tanaman
dengan desa Tendakinde
Langedhawe A. Hama dan
O. Jalan
Danga rusak
tanaman
parah (memang belum pernah ada pengaspalan)
I. Mutu dan
N. Rendahnya
ketersediaan
harga komo-
hutan menurun
diti penduduk
Takatunga I. Ketersedia-an G. Sumber air
A. Serangan
O. Sarana
lahan yang
terancam
hama bekicot
transpotasi
makin
kekeringan karena
pada tanaman
(jalan) yang
berkurang
penebangan hutan
rakyat
tidak memadai P. Rendah-nya kemam-puan pengor- ganisasian wadah-wadah organisasi yang ada
Sangadeto C. Hasil panen
M. Sengketa
Malawawo, dll).
G. Air untuk sawah
M. Sengketa
O. Jalan
kurang
tapal batas
masuk
dengan desa
kampung
Rowa
tidak baik (belum pernah ada pengaspalan)
Todabelu I. Ketersediaan
I. Pene-bangan
G. Pendistri-
lahan yang makin
hutan secara
busi-an air
sempit
tidak merata N. Harga
liar
tanah rendah
Mangulewa G. Air minum
kurang O. Tidak ada
sarana penghubung ke kantong- kantong produksi (kebun)
Sumber : Data lapangan LLI (2) Tahap III, diolah.
Berkaitan dengan adanya penilaian ‘berhasil atau ‘memuaskan’ oleh peserta diskusi kelompok terarah atas sejumlah upaya penanggulangan masalah penting ini perlu segera dicatat sebagai sesuatu yang bersifat ‘relatif’. Sebab, jika diamati secara lebih cermat lagi, walau ada upaya yang dianggap Berkaitan dengan adanya penilaian ‘berhasil atau ‘memuaskan’ oleh peserta diskusi kelompok terarah atas sejumlah upaya penanggulangan masalah penting ini perlu segera dicatat sebagai sesuatu yang bersifat ‘relatif’. Sebab, jika diamati secara lebih cermat lagi, walau ada upaya yang dianggap
Bagaimanapun, rendahnya kinerja upaya-upaya penanggulangan tentunya tidak bisa dilepaskan dari berbagai faktor. Salah satu faktor terpenting adalah kemampuan untuk mengidentifikasi akar masalah. Asumsinya, pengenalan akar masalah yang baik akan mewujudkan ‘upaya penanggulangan’ yang efektif. Pada akhirnya, pilihan tentang ‘upaya yang efektif’ akan menentukan ‘kinerja hasil’ dan juga ‘strategi pemecahan masalahnya itu sendiri’. Dengan kata lain, pengenalan akar masalah yang cermat dan benar akan berguna sebagai pedoman dalam menentukan upaya penanggulangan yang optimal. Oleh sebab itu, untuk lebih memantapkan kesimpulan-kesimpulan di atas, ada baiknya dilakukan semacam ‘gap analisis’ yang melibatkan variabel-variabel (a) faktor-faktor penyebab masalah di satu pihak serta (b) macam upaya penanggulangan dan (c) kinerja hasilnya di pihak
lain, sebagaimana yang akan diuraikan dalam bagian-bagian berikut ini 17 . Sebagaimana yang dapat dilihat secara rinci pada Matriks Gap Analisis Masalah Penting, Faktor-faktor Penyebab, Upaya penanggulangan, dan Kinerja Hasilnya (Appendix 2), pada dasarnya dapat dikatakan bahwa masyarakat mampu mengenali akar masalah atau faktor-faktor yang menyebabkan adanya masalah di maksud. Bahkan masalah-masalah yang tidak ada upaya untuk menanggulanginya pun, sebenarnya, akar masalahnya dapat dikenali oleh
penduduk 18 . Misalnya, sekedar menyebut contoh, kasus ‘Padi terserang hama dan penyakit’ diketahui oleh masyarakat disebabkan oleh (a) pada musim kemarau debit air kurang; (b) Perawatan kurang; (c) Pola tanam tidak serentak; (d) Tidak melakukan penggiliran tanaman; (e) Karena tanah basah terus; (f) Sistem pengeringan tidak ada/drainase tidak ada; (g) Ketersediaan obat-obatan yang terbatas; (h) Harga (obat-obatan) mahal; (i) (Obat-obatan) terlambat didatangkan; (j) KUD tidak menangani urusan obat-obatan lagi; dan (k) KUD tidak ada modal (Kasus Desa Mbay II). Atau seperti yang terjadi pada kasus ‘Kurangnya kemampuan mengorganisir wadah-wadah’ (di Desa Takatunga), yang disebutkan oleh masyarakat disebabkan oleh (a) pembekalan terhadap pengurus organisasi belum ada; (b) pemimpin tidak jelas tugas dan fungsinya; (c) pertanggungjawaban administrasi tidak dilakukan; (d) aturan turun dari atas; (e) pemilihan pengurus ditentukan oleh orang tertentu saja; (f) mekanisme pemilihan pengurus tidak baik; (g) kader tidak disiapkan; (h) loyalitas terhadap
17 Penyataan ini tentunya bukan bermaksud untuk mangatakan bahwa kemampuan mengenali akar masalah akan serta merta mampu mewujudkan tindakan-tindakan penanggulangan, terlebih lagi upaya
penanggulangan yang mampu mengatasi masalah yang dihadapi. Sebagaimana yang akan dijelaskan nanti masih banyak faktor lain yang memungkinkan suatu upaya penanggulangan terwujud. Begitu pula, masih banyak faktor lain yang menyebabkan apakah upaya itu akan berhasil guna atau tidak. Salah satu faktor penting dalam hal ini adalah power.
18 Menjadi menarik, kemudian, untuk mengetahui mengapa pada masing-masing masalah itu tidak dilakukan aksi bersama. Di satu sisi, tidak adanya upaya bersama itu justru menunjukkan pemahaman
masyarakat yang cukup tinggi terhadap faktor-faktor masalah yang bersangkutan. Artinya, tidak adanya aksi bersama pada dasarnya adalah fungsi dari tidak adanya faktor-faktor penyebab masalah yang bisa dutangani. Terutama karena faktor-faktor itu merupakan hal-hal yang di luar kontrol masyarakat itu sendiri, seperti faktor keterbatasan pelayan alam (contohnya ‘kekurangan air’) dan bersumber dari kebijakan pemerintah di mana masyarakat tidak punya akses untuk merubah kebijakan yang bersangkutan (contohnya ‘harga beras turun’. Namun, di pihak lain, untuk beberapa kasus, tidak adanya upaya bersama ini adalah fungsi dari ketidakberdayaan masyarakat untuk mengatasi masalah- masalah yang bersangkutan.
tugas kurang; (i) imbalan kesejahteraan untuk petugas tidak ada; dan (j) masyarakat apatis dengan organisasi-organisasi di desa yang ada. Untuk kasus yang tidak ditangani, ambilah contoh kasus ‘Harga beras turun’, yang dikenali disebabkan oleh (a) Terdesak kebutuhan, sehingga hasil dijual cepat; (b) Maraknya beras impor; (c) KUD tidak mampu menampung hasil (kurang modal); (d) Permainan elit politik; (e) Mutu beras rendah; (f) Pasca panen kurang baik; (g) Terbatasnya mesin perontok; (h) Terbatasnya tenaga penyuluh;
dan (i) Serangan hama walang sangit 19 .
Meski begitu, terlihat pula bahwa relatif amat sedikit upaya penanggulangan masalah yang menyentuh faktor-faktor penyebab masalah yang sebenarnya. Dalam arti, banyak upaya yang dilakukan hanya menyentuh beberapa faktor penyebab masalah saja. Itupun tidak langsung pada pokok masalah. Jika dalam hal ini dapat dibuat tiga kategori penilaian, masing- masing adalah (1) upaya yang menangani seluruh atau hampir seluruh faktor penyebab masalah; (2) upaya hanya menyentuh beberapa faktor penyebab saja; dan (3) upaya yang relatif ‘tidak jelas ujung-pangkalnya’, maka umumnya upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah yang ada berada pada kategori 2 (terdapat 22 kasus). Upaya yang menyentuh hampir seluruh faktor penyebab (kecuali faktor alam tentunya) terdapat 14 kasus. Terdapat pula 2 upaya yang dapat dikategorikan sebagai upaya yang ‘tidak jelas ujung- pangkalnya.
Peristiwa upaya yang dapat dikategorikan sebagai upaya yang tidak jelas ‘ujung-pangkalnya’ terjadi pada kasus ‘hasil panen turun’ (Desa Totomala) dan kasus ‘dampak eksplorasi gas alam yang tidak menentu’ (Desa Todabelu). Pada kedua kasus ini, jika dilihat upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah dimaksud tentunya tidak dapat dikatakan sebagai upaya yang ‘tidak jelas ujung-pangkalnya’. Sebab, jika dicermati, upaya-upaya itu berkorelasi langsung dengan kedua masalah dimaksud. Namun, jika dikaitkan dengan faktor-faktor penyebabnya, sebagaimana yang dikemukakan sendiri oleh penduduk, upaya-upaya itu dapatlah disebutkan tidak menyentuh faktor- faktor penyebab itu sendiri. Karenanya, dalam penilaian ini, upaya-upaya yang dilakukan dalam kedua kasus ini dikategorikan sebagai upaya yang ‘tidak jelas ujung-pangkalnya’.
Pelajaran apa yang dapat dipetik dari ‘peta dasar’ yang demikian itu? Dari catatan-catatan di atas, terlepas dari apakah kondisinya lemah atau kuat, benarlah jika dikatakan bahwa kapasitas lokal itu ada di mana-mana, seperti yang terlihat dari adanya upaya bersama untuk menanggulangi masalah yang
ada 20 . Meski harus pula ditambahkan bahwa cakupan wilayah keberlakuannya dapatlah dikatakan relatif terbatas.
19 Tentu saja harus pula diberikan catatan segera bahwa beberapa hal yang disebut sebagai faktor penyebab masalah yang bersangkutan terkesan ‘mengada-ada’, atau amat jauh jaraknya.
20 Lihat Kamala Chandrakirana, “Local Capacity and Its Implication for Development: The Case of Indonesia”, Local Level Institutions Studi, World Bank & Bappenas, 1999.